Konsep Diri
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembahasan mengenai Konsep Diri merupakan bagian dari komunikasi
antar pribadi (interpersonal communication). Dimana di dalam Komunikasi Antar
Pribadi masuk dalam Kesadaran diri (Self Awareness). Konsep diri dirasa penting
di dalam komunikasi antar pribadi dikarenakan konsep diri adalah bagaimana kita
memandang dan memahami diri kita sendiri. Memahami diri pribadi merupakan salah
satu teori untuk mempelajari komunikasi antar pribadi (interpersonal
communication). Jadi konsep diri sangat penting untuk dipelajari dan di
mengerti, karena dalam komunikasi antar pribadi selain kita juga diharuskan
mengerti dan memahami diri orang lain kita juga harus memahami diri kita agar
komunikasi antar pribadi dapat berjalan lancar dan pesan dapat disampaikan
secara efektif.
Dalam pembahasan Konsep diri nanti kita akan membahas pengertian
konsep diri secara harfiah dan pendapat dari beberapa tokoh, faktor-faktor yang
mempengaruhi konsep diri, dan pengaruh konsep diri pada komunikasi
interpersonal.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Definisi konsep diri?
b.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi konsep diri?
c.
Faktor
konsep diri pada komunikasi interpersonal?
C.
Tujuan
Pembahasan
a.
Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami devinisi konsep diri
secara bahasa dan pendapat beberapa tokoh.
b.
Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri.
c.
Mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami faktor konsep diri pada komunikasi
interpersoanal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Konsep Diri
Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian penting dalam
setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat
yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari
makhluk hidup lainnya. konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya
yang merupakan aktualisasi orang tersebut. manusia sebagai organisme yang
memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan
keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian akan
membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri adalah
pandangan individu mengenai siapa diri individu dan itu bisa diperoleh lewat
informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri
individu (Mulyana, 2000:7).
Menurut J. M. Baldwin, lebih dari setengah
abad yang lalu memelopori mulai mengadakan penyelidikan tentang “self” dengan
menyebutkan sebagai : “an actively
organized concept”, sebagai konsep yang tersusun dan aktif.
Robert
E. L. Faris, berkata : “Man is not born
with a self, or with consciousness of self. Each person becomes an object to
him self by virtue of an active process of discovary the material for building
a conception of self is acquired in the process of interaction with other persons. The self is defined in the
reactions of others”.
Dua
pendapat di atas, menunjukkan bahwa “self”, tidak ada atau belum ada pada saat
manusia dilahirkan, atau pada waktu masih kanak – kanak. “Self” itu selanjutnya
akan lahir dan terbentuk sebagai hasil dari hubungannya dengan orang – orang di
sekitarnya. Misalnya : ibunya, ayahnya, kakaknya dan sebagainya dengan siapa
dia selalu berhubungan tiap hari.[1]
Sebagai
misal : Ada seorang anak bernama “Vitri” yang mempunyai kawan bernama “Han”.
Pada mulanya, dia tidak akan menyebut dirinya dengan “aku”, melainkan namanya
“Vitri”. Begitu pula dia dalam mengatakan “milikku”, melainkan “milik Vitri”.
Demikian pula kalau akan mengatakan : “milikmu”, dia tentu mengatakan : “milik
Han”.
Lama
kelamaan, paralel dengan perkembangan pergaulannya, penyebutan – penyebutan
tersebut mengalami perubahan. Artinya, dia sudah mengatakan : “aku”, untuk
penyebutan terhadap dirinya, dan “milikmu” untuk penyebutan kepunyaannya begitu
pula “kamu”, dalam menyebut kawannya.
Pendapat
– pendapat di atas kesimpulannya adalah, bahwa “self” adalah produk daripada
sosial. Sebaliknya ada pendapat lain, misalnya : Norman Cameron. Dia
mengatakan, konsep daripada “self” sudah ada pada manusia sejak sebelum manusia
dilahirkan.
Manakah
yang benar?
Kedua
golongan pendapat di atas, kiranya hanya menitik beratkan pada salah satu
faktor saja. Sedangkan sesungguhnya dua faktor, yang menentukan adanya dan
perkembangan “self”, daripada manusia, konsep “aku” manusia, yaitu : dari dalam
(faktor endogen) dan dari luar (faktor exogen). Artinya, manusia dilahirkan,
sudah membawa kemampuan yang berupa kemungkinan konsep daripada “self” nya,
daripada “konsep aku nya”.[2]
Dan
kemampuan yang berwujud kemungkinan itu terbentuk dan terealisasikan dengan
adanya pengaruh sosial (interaksi sosial) yang terus menerus dengan orang di
sekitarnya.
Konsep
diri menunjuk pada suatu cara, bagaimana seseorang mengkonsepkan dirinya
berdasarkan kriteria yang diperolehnya selama bersosialisasi. Dalam interaksi
sosial actual, materi sosialisasi ini akan dapat berupa kesan – kesan oleh
orang lain, yang sifatnya kategoris. Seseorang akan berusaha memfungsikan kesan
– kesan ini itu, sehingga ia dapat memaksimalisasikan “kenikmatan” dan
meminimalisir “penderitaan”.[3]
Konsep
diri berkaitan pula dengan kapasitas seseorang untuk memfungsikan seluruh daya
yang ada pada dirinya. Dengan konsep dirinya tersebut, potensi dan
kapabilitasnya, akan diupayakan mencapai “keluaran” yang paling optimal untuk
merealisasikan hidupnya. Konsep diri juga merupakan “kerangka kerja” untuk
mengorganisasikan serta menafsirkan pengalaman – pengalaman.
Konsep
diri ini berfungsi untuk memelihara “rasa penghargaan kepada diri sendiri” (self – esteem) seseorang, melalui cara – cara pengelolaan kesan – kesan, yang
timbul pada diri orang lain atas dirinya.
Dalam
teknik pengendalian kesan, konsep diri dikomunikasikan kepada orang lain dalam
batas – batas identitas dirinya. Selanjutnya, dalam rangka memelihara rasa
penghargaan kepada diri sendiri, seseorang menggunakan siasat – siasat yang
dapat mengaktifkan identitas diri ini di bawah pengendaliannya sehingga tidak
terjadi kesenjangan antara konsep diri dan identitas diri.
Pada sisi lain,
individu memperoleh konsep dirinya (identitasnya yang spesifik sebagai individu)
melalui interaksi dengan orang lain. Dengan kata lain, orang mempersepsidan
mengevaluasi tindakannya terutama dengan mempersepsi dan mengevaluasi reaksi
orang lain terhadap diri kita. Reaksi orang lain ini membuat tindakan kita jauh
lebih berarti dan ini berarti bahwa seharusnya orang lain telah memberikan
patokan dimana kita dapat mengukur konsep diri kita.[4]
Di
dalam komunikasi interpersonal, ternyata kita tidak hanya menanggapi orang
lain, melainkan kita juga mempersepsikan diri kita. Diri kita bukanlah personal
penanggap, tetapi personal stimuli sekaligus. Bagaimana bisa terjadi, kita
menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus? Menurut Charles Horton Cooley,
kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain , dalam
benak kita. Cooley menyebut gejala ini sebagai “Looking-glass self” (diri
cermin), seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita[5].
a.
Pertama, kita
membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain, kita melihat sekilas dari
diri kita seperti dalam cermin. Misalnya: kita merasa wajah kita jelek.
b.
Kedua, kita
membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka
menganggap kita tidak menarik.
c.
Ketiga, kita mengalami
perasaan bangga atau kecewa, sedangkan orang mungkin merasa sedih atau malu.
Dengan mengamati
diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita dan inilah yang
disebut Konsep Diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi
humanistik, namun pembicaraan tentang konsep diri dapat dilancak sampai William
James. James membedakan antara “The I”, yaitu diri yang sadar dan aktif, dan
“The Me”, diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial yakni
psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi konsep diri dikembangkangkan
oleh Charles Horton Cooley (1864-1929), george Herbet Mead (1863-1931) dan
memuncak pada aliran interaksi simbolis, yang tokoh termukanya adalah Herbert
Blumer. Sedangkan di kalangan Psikologi sosial yakni psikologi sosial yang
berorientasi pada psikologi konsep diri tenggelam ketika behaviorisme berkuasa.
Pada tahun 1943, Gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori
motivasi Abraham Maslow (1967) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul
sebagai tema utama Psikologi Humanistik.
Menurut William
D Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “Those Physiccal, social, and
psychological perceptions of ourselves yhat we have derived from experiences
and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan
perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat
psikologi, sosial dan fisis. Bayangkan anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan
ini pada diri anda sendiri:
Bagaimana watak
saya sebenarnya?
Apa yang
membuat saya bahagia atau sedih?
Apa yang sangat
mencemaskan saya?
Bagaimana orang lain memandang saya?
Apakah mereka
menghargai atau merendakan saya?
Apakah mereka
membenci atau menyukai saya?
Bagaimana pandangan saya tentang
penampilan saya?
Apakah saya
orang yang cantik atau jelek?
Apakah tubuh
saya kuat atau lemah?
Jawaban pada
tiga pertanyaan pertama menunjukkan persepsi psikologis tentang diri anda.
Jawaban pada tiga pertanyaan kedua mengenai persepsi sosial tentang diri anda.
Dan jawaban pada tiga pertanyaan terakhir, yaitu persepsi fisis tentang anda.
Konsep diri hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian anda
tentang diri anda.[6]
Karena itu,
Anita Taylor Et Al, mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and
feel about you, the entire complex of and attitudes you hold about yourself”
Dengan demikian
terdapat dua komponen mengenai konsep diri, yaitu komponen kognitif dan
komponen afektif. Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang
keadaan dirinya, misalnya “saya anak bodoh” atau “saya anak nakal”. Jadi
komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” dimana akan memberi
gambaran tentang diri saya. Gambaran ini tersebut akan membentuk citra diri
(self image). Sedangkan komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap
diri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self
acceptance), serta harga diri (self esteem) individu.
Sebagai contoh:
Di dalam
psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self image) sedangkan komponen
afektif disebut harga diri (self esteem). Menurut William D brooks dan Philip
Emmert, kedua komponen tersebut berpengaruh besar kepada pola komunikasi
interpersonal.
B.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Konsep Diri
Seperti yang telah dibahas tadi bahwa komponen kognitif (self
image) dan komponen afektif (self esteem) adalah kedua komponen yang mempunyai
pengaruh besar kepada pola komunikasi interpersonal, namun sebelum melihat
melihat bagaimana pentingnya pengaruh konsep diri terhadap perilaku komunikasi
interpersonal kita akan meneliti lebih dahulu faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan konsep diri tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhinya diantaranya:
a.
Orang
Lain
Menurut Gabriel Marcel, seorang filusuf eksistensialis yang mencoba
menjawab misteri keberadaan, The Mistery of Being, menulis tentang
peranan orang lain dalam memahami diri kita, “ The fact is that we can
understand ourselves by starting from the other, or from others, and only by
starting from them”.
Contoh:
“saya teringat ketika pertama kali diperkenalkan di sebuah universitas
di Amerika sebagai Fullbright student. Orang Amerika mengenal mahasiswa yang
mendapat beasiswa Fullbright sebagai orang-orang cerdas, dan ketua Departemen
Komunikasi Massa memperkenalkan saya sebagai mahasiswa yang “Fully Bright”
setiap orang menganggap saya cerdas, rekan-rekan mahasiswa menggelari saya
profesor. Tiba-tiba say, yang lulus biasa-biasa saja di indonesia, mendapat
penghargaan yang luar biasa. Citra ini sudah terbentuk. Saya berniat
mempertahankan citra diri ini. Konsep diri saya terbentuk karena pujian orang
lain. Sampai sekarang saya masih ragu apakah keberhasilan itu timbul karena
kecerdasaan saya atau karena pujian orang terhadap saya”.
Menurut Harry Stack Sullivan menjelaskan bahwa jika kita diterima
orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan
cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, apabila
orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan
cenderung tidak akan menyenangi diri kita.
S. Frank Miyamoto dan Stanford M. Donrbusch (1956) mencoba
mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima
angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik. Sebagai indikator
penilaian yaitu kecerdesan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan
orang lain pada dirinya. Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain.
Ternyata orang-orang yang dinilai baik orang lain, cenderung memberikan skor
yang tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya, harga dirinya sesuai dengan
penilaian orang lain terhadap dirinya. Ekspreimen lain yang dilakukan Gergen
(1965) menunjang penemuan ini. Pada suatu kelompok, subjek-subjek eksperimen
yang menilai dirinya dengan baik diberi peneguhan dengan anggukan, senyuman,
atau pertanyaan mendukung pendapat mereka. pada kelompok lain, penilaian
positif tidak ditanggapi sama sekali. Kelompok pertama menunjukkan peningkatan
citra diri yang lebih baik, karena mendapat sokongan dari orang lain.
Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri
kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling deket dengan
diri kita. Menurut George Herbert Mead (1934) menyebut mereka dengan significant
others atau orang lain yabg sangat penting. Ketika kita masih kecil, mereka
adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal bersama di
dalam rumah dengan kita. Sedangkan menurut Richard Dewey dan WJ. Humber
menyebut atau menamainya dengan affective others atau orang lain yang
dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, kita
perlahan-lahan dapat membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan,
pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri kita secara positif. Sedangkan
ejekan, cemoohan, dan hardikan, akan membuat kita memandang diri kita secara
negatif.
Di dalam bukunya Jalaluddin Rachmat terdapat sebuah contoh, yaitu:
Anak Belajar dari Kehidupannya
Jika
anak dibesarkan dengan celaan,
ia belajar memaki
Jika
anak dibesarkan dengan permusuhan,
ia belajar berkelahi
Jika
anak dibesarkan dengan cemoohan,
ia belajar rendah diri
Jika
anak dibesarkan dengan penghinaan,
ia belajar menyesali diri
Jika
anak dibesarkan dengan toleransi,
ia belajar menahan diri
Jika
anak dibesarkan dengan dorongan,
ia belajar percaya diri
Jika
anak dibesarkan dengan pujian,
ia belajar menghargai
Jika
anak dibesarkan dengan baik perlakuannya,
ia belajar keadilan
Jika
ia dibesarkan dengan rasa aman,
ia belajar menaruh kenyamanan
Jika
ia dibesarkan dengan dukungan,
ia belajar menyenangi dirinya
Jika
ia dibesrakan dengan rasa kasih sayang,
ia akan belajar mencintai kehidupannya
Dalam perkembangannya , significant others meliputi semua orang
yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan
tindakan kita, membentuk pikiran kita dan menyentuh kita secara emosional.
Orang-orang ini boleh hidup selama atau sudah mati. Sebagai contoh: idola anda,
baik bintang film, pahlawan kemerdekaan, tokoh sejarah, atau orang yang
diam-diam anda cintai. Sebagai contoh
dalam permasalahan: “ minah memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua
orang tuanya, kakak-kakanya, tetangganya, gurunya, dan sahabat-sahabatnya.
Semuanya memandang minah sebagai gadis
yang nakal. Minah berpikir, “saya anak nakal”. Ia menilai dirinya sesuai dengan
persepsi orang lain. Pandangan diri anda tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap anda disebut
dengan Generalized Others. Konsep ini juga bersal dari George Herbert
Mead. Memandang diri kita seperti orang-orang lain memandangnya, berarti dengan
kata lain menempatkan diri kita sebagai orang lain. Misalnya bila saya seorang
ibu, bagaimana ibu memandang saya, bila saya menjadi guru bagaimana guru
memandang saya. Mengambil peran sebagai ibu, sebagai ayah atausebagai
Generalized Others disebut role taking, role taking juga sangat penting artinya
dalam pembentukan konsep diri.[7]
b.
Kelompok
Rujukan (Reference Group)
Dalam
pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok,
misalnya: RT, Persatuan Bulutangkis, Ikatan Warga, dan kelompok” lain. Setiap
kelompok mempunyai mempunyai norma-norma tertentu. Terdapat kelompok yang
secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep
diri kita. Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang
mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinyadengan ciri-ciri kelompoknya.
Kalau misalnya anda memilih kelompok rujukan anda adalah Ikatan Dokter
Indonesia, anda akan menjadikan norma-norma dalam ikatan ini sebagai ukuran
perilaku anda. Anda juga merasa diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap
dengan seluruh sifat-sifat dokter
menurut persepsi anda.
C.
Pengaruh
Konsep Diri pada Komunikasi Interpersonal
a.
Nubuat
yang Dipenuhi Sendiri
Konsep
diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal,
karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep
dirinya. Misalnya: bila dis adalah seorang mahasiswa yang menganggap dirinya
anak rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara teratur, membuat catatan
yang baik, mempelajari kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai
akademis yang baik.
Kecenderungan
untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri disebut sebagai “Nubuat yang
dipenuhi sendiri”. sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung kepada
kualitas konsep diri anda, baik positif maupun negatif. Menurut William D
Brooks dan Philip Emmert, terdapat 4 tanda orang yang memiliki konsep diri
negatif, yaitu:
-
Ia
peka terhadap kritik. Orang ini tidak tahan dengan kritik yang diterimanya, dan
mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini koreksi seringkali dipersepsi
sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang
mempunyai konsep diri negatif ini juga cenderung menghindari dialog terbuka dan
selalu bersih keras untuk mempertahankan pendapatnya.
-
Orang
yang mempunyai konsep diri negatif , rensponsif sekali terhadap pujian.
Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat
menyembunyikan rasa antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang
seperti ini, segala embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat
perhatiannya.
-
Bersamaan
dengan kesenangannya terhadap pujian, merekapun bersikap hiperkritis terhadap
orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apapun dan siapapun.
Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan
pada kelebihan orang lain. Inilah sifat yang ketiga, sifat hiperkritis.
-
Cenderung
memiliki sikap tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan,
oleh karena itulah ia bereaksi kepada orang lain sebagai musuh sehingga tidak
dapat menjalin kehangatan dan persaudaraan. Ia tidak pernah mempersalahkan
dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang
tidak beres.
-
Bersikap
pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing
dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia akan menganggap dirinya tidak
berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri bersifat positif
ditandai dengan lima hal, yaitu:
-
Ia
yakin akan kemampuan nya mengatasi masalah
-
Ia
merasa setara dengan orang lain
-
Ia
menerima pujian tanpa rasa malu
-
Ia
menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan
perilaku yang tidak seluruhnya disetujui msyarakat
-
Ia
mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek
kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Menurut
D.E Hamachek menyebutkan sebelas karateristik orang yang mempunyai konsep diri
positif:
-
Ia
meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi dia
juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah bprinsip-prinsip itu bila
pengalaman dan bukti-bukti yang menunjukkan dia salah.
-
Ia
mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang
berlebih-lebihan atau menyesali tindakannya jika oreang lain tidak menyetujui
tindakannya.
-
Ia
tidak mengahbiskan wajtu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan
terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang terjadi
waktu sekarang.
-
Ia
memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan.
-
Ia
merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia
tidak tinggi atau rendah dan walaupun terhadap perbedaan dalam
kemampuan.
-
Ia
sanggup menerima dirinya sebagai orang penting dan bernilai bagi orang lain.
-
Ia
dapat menerima pujian tanpa tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima
penghargaan tanpa merasa bersalah.
-
Ia
cenderung meolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
-
Ia
sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia
mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan.
-
Ia
mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi
pekerjaan.
-
Ia
peka pada kebutuhan orang lain.
b.
Membuka
Diri
Pengetahuan
tentang diri akan meningkatkan komunikasi dan pada saat yang sama,
berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan
membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri
sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima
pengalaman-pengalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cenderung menghindari
sikap defensif dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain.
Hubungan
konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Johari Window. Dalam
johari Window diungkapkan tingkat keterbukaan dan tingkat kesadaran tentang
diri kita. Untuk membuat johari window , gambarlah segi empat dengan garis
tengah yang membela jendela itu menjadi dua bagian. Sebelah atas jendea
menunjukkan aspek dari diri kita yang
diketahui oleh orang lain (public self), sebelah bawah adalah aspek diri yang tidak diketahui oleh
orang lain (private self).
Bila jendela kita belah kebawah, sebelah kiri adalah aspek diri
yang kita ketahui, dan sebelah kanan adalah aspek diri yang tidak kita ketahui.
c.
Percaya
Diri (Self Confident)
Keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang
negatiftimbul dari kurangnya rasa kepercayaan kepada kemampuan diri. Orang yang
tidak menyenangi dirinya merasa bahwa dirinya tidak akan mampu mengatasi
berbagai persoalan. Orang yang kurang rasa percaya diri akan cenderung sedapat
mungkin menghindari situasi komunikasi.
Ia takut orang lain akan mengejeknya atau menyalakannya. Dalam diskusi, ia akan
lebih banyak diam. Dalam pidato, ia berbicaranya dengan patah-patah. Ketakutan
melakukan komunikasi dikenal dengan Communication apprehension. Ciri-cirnya
orang ini akan menarik dirinya dari pergaulan. Berusaha sekecil mungkin untuk
melakukan komunikasi dan akan hanya berbicara sejenak jika terdesak. Menurut
Maxwell maltz, “ Believe in yourself and you will succeed” artinya “ untuk
meningkatkan rasa percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi
perlu”.
d.
Selektivitas
“konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep
diri mempengaruhi kepada pesan apa yang anda bersedia membuka diri, bagaimana
kita mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat,” dengan singkat, konsep
diri menyebabkan terpaan selektif (selective exposure), perpektif selektif
(selektif perception) dan ingatan selektif (selective attention).
a.
Terpaan
selektif : apabila anda merasa diri sebagai muslim yang baik, anda akan banyak
menghadiri pengajian atau membeli buku-buku agama. Dan bila anda merasa menjadi
pemeluk agama khatolik yang taat, tentu anda akan rajin ke gereja ,
mendengarkan khotbah keagamaan, dan membeli buku-buku khatolik.
b.
Persepsi
selektif : kalau kalau konsep diri anda negatif, anda akan cenderung
mempersepsi hanya reaksi-reaksi yang negatif pada diri anda. Bila anda merasa
diri sebagai orang bodoh, anda tidak akan memperhatikan penghargaan orang pada
karya-karya anda. Sebaliknya, anda memperbesar kritik orang pada anda.
c.
Ingatan
selektif : konsep diri tidak hanya sekedar mempengaruhi persepsi, ia juga
mempengaruhi yang kita ingat. Ada orang yang dapat mengingat dengan cermat
semua pemain sepak bola garuda indonesia, kemudian menyebutkan semua peristiwa
penting yang terjadi di dunia sepak bola, bahklan dapat menyebutkan berapa
dolar yang diterima maradonna dari italia, tetapi kita tidak ingat siapa nama
orang tua istri kita.
BAB III
KESIMPULAN
Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian penting dalam
setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat
yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari
makhluk hidup lainnya. konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya
yang merupakan aktualisasi orang tersebut. manusia sebagai organisme yang
memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan
keberadaan dirinya.
Gejala“Looking-glass
self” (diri cermin), seakan-akan kita menaruh
cermin di depan kita.
Pertama, kita membayangkan
bagaimana kita tampak pada orang lain, kita melihat sekilas dari diri kita
seperti dalam cermin. Misalnya: kita merasa wajah kita jelek.
Kedua, kita membayangkan bagaimana
orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak
menarik.
Ketiga, kita mengalami perasaan
bangga atau kecewa, sedangkan orang mungkin merasa sedih atau malu.
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian
diri kita dan inilah yang disebut Konsep Diri.
Menurut William D Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “Those
Physiccal, social, and psychological perceptions of ourselves yhat we have
derived from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep
diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita.
Dengan demikian terdapat dua komponen mengenai konsep diri, yaitu
komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif merupakan pengetahuan
individu tentang keadaan dirinya. Sedangkan
komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri :
a.
Orang
Lain, Menurut
Harry Stack Sullivan menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain,
dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap
menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, apabila orang lain selalu
meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak
akan menyenangi diri kita.
b.
Kelompok
Rujukan (Reference Group), Setiap kelompok
mempunyai mempunyai norma-norma tertentu. Terdapat kelompok yang secara
emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita.
Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang mengarahkan
perilakunya dan menyesuaikan dirinyadengan ciri-ciri kelompoknya.
Pengaruh Konsep Diri pada Komunikasi
Interpersonal :
1.
Nubuat
yang Dipenuhi Sendiri
2.
Membuka
Diri
3.
Percaya
Diri (Self Confident)
4.
Selektivitas
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Djuarsa,
Sasa Sedjaja. 1994. Teori Komunikasi.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Rahmad, Jalaluddin. 1991. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Suhardono, Edy. 1994. Teori Peran Konsep, Derivasi dan Implikasinya. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka
Wuryo, Kasmiran, Ali Sjaifullah. 1983. Pengantar Ilmu
Jiwa Sosial. Jakarta : Erlangga.
[2] Ibid., hal 39
[3] Edy Suhardono, Teori Peran
Konsep, Derivasi dan Implikasinya(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1994), hal 48
[4] S. Djuarsa S, Teori Komunikasi (Jakarta: Universitas terbuka,
1994), hal. 60.
[5] Jalaluddin R, Psikologi Komunikasi (bandung: Remaja Rosdakarya,
1991), hal. 99.
[6] Ibid, hal. 100.
[7] Ibid, hal. 104.
Comments
Mampir ya: Konsep Diri yang Baik dalam Psikologi