Mahar Dalam Perkawinan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KEDUDUKAN MAHAR
1.
Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar Secara etimologi berarti mas kawin.
Sedangkan pengertian mahar menurut terminology ilmu fiqih adalah pemberian yang
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami,
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Mahar hanya diberikan oleh calon
suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun
sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya,
meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istrinya.
Allah SWT. Berfirman :
وَآتُوا النِّسَاءَ
صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤)
Artinya :
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.
Jika ia telah menerima maharnya,
tanpa paksaan dan tipuan muslihat lalu ia memberikan sebagian maharnya maka
boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan
maharnya karena malu, takut, maka ia tidak halal menerimanya.
2.
Syarat-syarat Mahar
a.
Harta/bendanya berharga
b.
Barangnya suci dan bisa diambil
manfaat
c.
Barangnya bukan barang gasab
d.
Bukan barang yang tidak jelas
keadannya.
3.
Kadar (jumlah) Mahar
Islam tidak menetapkan berapa
banyak mahar yang harus diberikan kepada calon stri. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan antar sesama manusia. Ada orang yang kaya dan ada yang miskin, ada
yang lapang dan ada yang disempitkan rizkinya. Disamping itu, setiap masyarakat
memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Besarnya mahar fuqaha sepakat tidak
ada batasnya, namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling sedikitnya.
Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu
Saur, dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa mahar itu tidak
ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu
yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar.
Sebagian fuqaha yang lain
berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para
pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas
murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang sebanding
dengan berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang
mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat dirham.
4.
Memberi Mahar dengan Kontan dan
Utang
Pelaksanaan membayar mahar bisa
dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat
masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Akan tetapi, yang lebih baik, bahkan
disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya diberikan langsung sebagian lebih
dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan secara berangsur-angsur.
Perbedaan pendapat karena apakah
pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak
dapat disamakan dengannya.
Bagi fuqaha yang mengatakan dapat
disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh
sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedang yang mengatakan tidak dapat
disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat bahwa penundaan membayar mahar
itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.
A.
JENIS MAHAR DALAM PERNIKAHAN
1.
Macam-macam Mahar
a. Mahar
Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau
dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam
pelaksanaannya mahar musamma harus
diberikan secara penuh apabila :
1.
Telah
bercampur (bersenggama)
2.
Apabila
salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar
musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab
tertentu seperti : ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan
ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.
Akan
tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya.
Kemudian dalam hal khalwat atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan
belum terjadi persetbuhan, maka tidak wajib membayar mahar seluruhnya. Dan
dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih.
b. Mahar
Misil (Sepadan)
Yaitu mahar yang tidak disebut besar
kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi
demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita
(bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada maka misil itu
beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar
misil juga terjadi apabila dalam
keadaan sebagai berikut :
·
Bila
tidak disebutkan kadar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian
suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
·
Kalau
mahar musamma belum dibayar,
sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Jika
istri menuntut penentuan mahar
Apabila istri menuntut penentuan
mahar bagi dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh
mahar misil. Akan tetapi, jika suami
menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha
mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar.
Jika
suami meninggal sebelum menentukan mahar
Apabila
suami meninggal dunia sebelum menentukan mahar, dan belum menggauli istrinya,
maka Imam Malik dengan para pengikutnya serta Al-Auza’li berpendapat bahwa,
istri tidak memperoleh mahar tetapi memperoleh mut’ah dan warisan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri
memperoleh mahar misil dan warisan Pendapat ini juga dikemukakan
oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
2.
Gugur/ Rusaknya Mahar
Rusaknya mahar bisa terjadi
karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti
tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri,
yaitu seperti khamar, babi, dan barang-barang yang tidak boleh dimiliki,
sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya
isamakan dengan jual beli yang mengandung 5 persoalan pokok, yaitu :
a. Barangnya tidak boleh dimiliki.
b. Mahar digabungkan dengan jual
beli.
c. Penggabungan mahar dengan
pemberian.
d. Cacat pada mahar.
e. Persyaratan dalam mahar.
Mengenai
gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang belum digauli melepaskan
maharnya atau menghibahkan padanya.
3.
Mahar Yang dipersengketakan Suami
Istri
a.
Kadar mahar
Jika terjadi persengketaan tentang besarnya mahar, misalnya: jika
istri mengatakan 200 dirham sedangkan suami mengatakan 100 dirham, maka
terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama’ fiqh.
Imam Malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi
sebelum dukhul, sedangkan suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan
kata-kata istri dan istri juga mengatakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata
suami, maka keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan. Jika salah satu
bersumpah, sedangkan yang lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah
kata-kata orang yang bersumpah.
Apabila persengketaan itu terjadi, sesudah dukhul maka yang
dijadikan pegangan adalah kata-kata suami.
b.
Penerimaan mahar
Apabila suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila
istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah
memberikannya, maka jumhur fuqaha, seperti Imam Syafi’I, As-Sauri, Ahmad, dan
Abu Saur berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan
ini lebih baik, karena ia menjadi pihak tergugat.
c.
Persengketaan mengenai Macam/ Jenis Mahar
Ibnu Qasar berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul.
Adapun kalau sesudah dukhhul maka yang dijadikan pegangan adalah
kata-kata suami. Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan
adalah kata-kata suami apabila kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata
istri atau tidak. Jiak kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip,
maka keduanya saling bersumpah dan istri memperoleh mahar misil.
d.
Persengketaan mengenai waktu
Bagi fuqaha yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka
mereka berpendapat bahwa, mahar baru menjadi wajib setelah dukhul.
Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah
yang menjadi syarat kehalalan, maka mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib
sebelum dukhul.
Itulah sebabnya Imam Malik menganjurkan agar suami memberikan mahar
sebelum dukhul.
Comments