Mahar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam melangsungkan pernikahan,
suami diwajibkan memberi sesuatu kepada istri, baik berupa uang ataupun barang
(harta benda). Pemberian inilah yang dinamakan mahar. Pemberian mahar ini wajib
atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah; dan apabila tidak disebutkan
pada waktu akad, pernikahan itu pun sah.
Banyaknya maskawin itu tidak
dibatasi oleh syariat islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta
keridhoan si istri. Dengan demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup
membayarnya; karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi
utang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain.
Kalau tidak dibayar, akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kemudian.
Janganlah terpedaya dengan kebiasaan bermegah-megah dengan banyak mahar
sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang, sedangkan dia tidak
ingat akibat yang akan menimpa dirinya. Perempuan (istri) pun wajib membayar
zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat utangnya yang
dipiutangnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kedudukan Mahar dalam
Pernikahan ?
2. Apa sajakah jenis-jenis Mahar dalam
pernikahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN MAHAR
1. Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar Secara etimologi berarti mas kawin.
Sedangkan pengertian mahar menurut terminology ilmu fiqih adalah pemberian yang
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami,
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Mahar
hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita
lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh
menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan
ridha dan kerelaan istrinya. Allah SWT. Berfirman :
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤)
Artinya
:
berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Imam
Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan seorang
lelaki kepada seorang perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Jika
ia telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipuan muslihat lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, takut, maka ia tidak
halal menerimanya.
Allah
SWT. Berfirman :
وَإِنْ
أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُبِينًا (٢٠)
Artinya
:
dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?
2. Syarat-syarat Mahar
a. Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar dengan
yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuannya.
Namun, apabila mahar sedikit tetapi maemiliki nilai, maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil
manfaat
c. Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil
harta milik orang lain tanpa izin, namun tidak bermaksud untuk memilikinya
karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Memberikan mahar dengan
gasah tidak sah, namun akadnya sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas
keadannya.
3. Kadar (jumlah) Mahar
Islam
tidak menetapkan berapa banyak mahar yang harus diberikan kepada calon stri.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan antar sesama manusia. Ada orang yang kaya
dan ada yang miskin, ada yang lapang dan ada yang disempitkan rizkinya.
Disamping itu, setiap masyarakat memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Oleh
karena itu, mahar diberikan berdasarkan kemampuan masing-masing orang sesuai
dengan adat dan tradisi yang berlaku dimasyarakat. Bahkan, islam membolehkan
member mahar dengan apa saja, asalkan bermanfat, misalnya cincin kurma,
segantang kurma, atau mengajarkan Al-Qur’an, dan sebagaimana atas kesepakatan
kedua belah pihak.
Besarnya
mahar fuqaha sepakat tidak ada batasnya, namun mereka berbeda pendapat tentang
batasan paling sedikitnya.
Imam
Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Abu Saur, dan fuqaha MAdinah dari kalangan tabi’in
mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batasan rendahnya. Segala sesuatu yang
dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain maka dapat dijadikan sebagai mahar.
Sebagian
fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik
dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang
sebanding dengan berat emas dan perak tersebut.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat
dirham.
4. Memberi Mahar dengan Kontan dan
Utang
Pelaksanaan
membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan
keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan hutang sebagaian yang lain. Kalau memang demikian, maka
disunnahkan membayar sebagian.
Akan
tetapi, yang lebih baik, bahkan disunnahkan apabila akan diangsur sebaiknya
diberikan langsung sebagian lebih dulu, sedangkan kekurangannya dilakukan
secara berangsur-angsur.
Dalam
hal penundaan pembayaran mahar (dihutang), terdapat dua perbedaan pendapat
dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak
boleh diberikan diberikan dengan cara dihutang keseluruhan. Segolongan lainnya
mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar
membayar sebagian mahar dimuka manakala akan menggauli istri.
Dan
diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang
membolehkan hanya untuk tenggag waktu terbatas yang telah ditetapkannya.
Demikian penapat Imam Malik. Ada juga yang membolehkannya karena kematian atau
perceraian. Ini adalah pendapat Az-Auzali.
Perbedaan
pendapat tersebut karena apakah pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli
dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya.
Bagi
fuqaha yang mengatakan dapat disamakan dengan jual beli, mereka berpendapat
bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian.
Sedang yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli, mereka
berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa
pernikahan itu merupakan ibadah.
B. JENIS MAHAR DALAM PERNIKAHAN
1.
Macam-macam
Mahar
a. Mahar Musamma
Yaitu
mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama
fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar
musamma harus diberikan secara penuh apabila :
1. Telah
bercampur (bersenggama)
Allah SWT.
Berfirman :
وَإِنْ
أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُبِينًا (٢٠)
Artinya
:
dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ?
Yang dimaksud “mengganti
istri dengan istri yang lain” pada ayat tersebut adalah menceraikan istri
yang tidak disenangi dan menikah dengan istri yang baru.
Meskipun
menceraikan istri yang lama itu bukan tujuan untuk menikah, meminta kembali pemberian-pemberian
itu tidak dibolehkan.
2. Apabila
salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma
juga wajib dibayar seluruhnya
apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternuata nikahnya rusak dengan
sebab-sebab tertentu seperti : ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira
perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.
Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum
bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya. Kemudian dalam hal khalwat atau bersenang-senang dengan buka-bukaan dan
belum terjadi persetbuhan, maka tidak wajib membayar mahar seluruhnya. Dan
dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih.
Abu Hanifah meengatakan bahwa apabila
suami istri sudah tinggal menyendiri dalam pengertian yang sebenarnya, maka ia
wajib membayar mahar yang telah dijanjikan. Artinya jika suami istri berada
disuatu tempat yang aman dari penglihatan siapapun dan tidak ada halangan hukum
untuk bercampur, seperti salah seorang berpuasa wajib atau istri sedang haid,
atau karena ada halangan emosi seperti salah seorang menderita sakit sehingga
tidak bisa melakukan persengamaan yang wajar, atau karena ada halangan yang
bersifat alamiah seperti ada orang ketiga di samping mereka.
Akan tetapi, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan
Abu Daud, berpendapat bahwa dengan penentuan tabir hanya mewajibkan separoh
mahar, selama tidak terjadi persetubuhan. Demikian juga pendapat Suraih, juga
Said bin Mansur. Abdul Razak juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa, tidak
wajib membayar mahar seluruhnya sebelum terjadi persetubuhan.
b. Mahar Misil (Sepadan)
Yaitu
mahar yang tidak disebut besar kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara
perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila
tidak ada maka misil itu beralih dengan ukiran wanita lain yang sederajat
dengan dia.
Mahar misil juga terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :
·
Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya
ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri,
atau meninggal sebelum bercampur.
·
Kalau mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan
istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
1. Jika istri menuntut penentuan mahar
Apabila istri menuntut penentuan mahar bagi
dirinya, maka golongan fuqaha berpendapat bahwa ia berhak memperoleh mahar misil. Akan tetapi, jika suami
menceraikan istrinya sesudah memberikan ketentuan mahar, maka segolongan fuqaha
mengatakan bahwa istri memperoleh separuh mahar. Segolongan lainnya mengatakan
bahwa istri tidak memperoleh suatu apapun, karena dasar penentuan mahar tidak
terdapat pada waktu akad nikah dilaksanakan. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah
dan para pengikutnya.
2. Jika suami meninggal sebelum
menentukan mahar
Apabila suami meninggal dunia sebelum
menentukan mahar, dan belum menggauli istrinya, maka Imam Malik dengan para
pengikutnya serta Al-Auza’li berpendapat bahwa, istri tidak memperoleh mahar
tetapi memperoleh mut’ah dan warisan.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, istri memperoleh mahar misil dan warisan Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Kedua pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Tetapi yang
dijadikan pegangan dikalangan pengikutnya adalah pendapat Imam Malik.
Perbedaan itu disebabkan oleh adanya
pertentangan antara qiyas dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a.
segi pertentangan qiyas dengan hadits tersebut adalah bahwa mahar merupakan
pengganti. Dan karena mahar tersebut belum diterima, maka pengganti tersebut
tidak diwajibkan karena disamakan dengan jual beli.
2.Gugur/ Rusaknya Mahar
Rusaknya
mahar bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari
barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang
rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar, babi, dan barang-barang yang
tidak boleh dimiliki, sedangkan mahar yang rusak karena sulit dimiliki atau
diketahui, pada dasarnya isamakan dengan jual beli yang mengandung 5 persoalan
pokok, yaitu :
a.
Barangnya tidk boleh dimiliki.
b.
Mahar digabungkan dengan jual beli.
c.
Penggabungan mahar dengan pemberian.
d.
Cacat pada mahar.
e.
Persyaratan dalam mahar.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari
kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum
persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari islam, atau
memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan setelah dewasa
menolak dinikahan dengan suami yang dipilihkan walinya. Bagi istri seperti ini,
hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu
darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri yang
belum digauli melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti
ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedang mahar
sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.
3. Mahar Yang dipersengketakan Suami
Istri
Persengketaan
antara suami istri tidak terlepas dari masalah penerimaan, seperti mahar sudah
diterima atau belum, atau kadar besarnya mahar, macamnya tau waktunya yakni
mahar itu menjadi wajib.
a.
Kadar mahar
Jika terjadi
persengketaan tentang besarnya mahar, misalnya: jika istri mengatakan 200
dirham sedangkan suami mengatakan 100 dirham, maka terdapat perbedaan pandangan
di kalangan ulama’ fiqh.
Imam Malik
mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi sebelum dukhul, sedangkan
suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri dan istri juga
mengatakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata suami, maka keduanya saling
bersumpah dan saling membatalkan. Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang
lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata orang ynag
bersumpah.
Apabila
persengketaan itu terjadi, sesudah dukhul maka yang dijadikan pegangan
adalah kata-kata suami.
b.
Penerimaan
mahar
Apabila suami
istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan belum
menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikannya, maka jumhur
fuqaha, seperti Imam Syafi’I, As-Sauri, Ahmad, dan Abu Saur berpendapat bahwa
yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan ini lebih baik, karena ia
menjadi pihak tergugat.
c.
Persengketaan
mengenai Macam/ Jenis Mahar
Apabila suami
misalnya berkata, “aku nikahkan kamu dengan hamba sahaya ini sebagai mahar, “
sedangkan istri mengatakan bahwa, “aku nikahi kamu dengan kain ini”. Menurut
pendapat yang terkenal dalam madzhab Maliki bahwa, “ keduanya saling bersumpah
dan saling membatalkan, jika persengketaan terjadi sesudah dukhul, maka
akad nikah tetap sah dan istri memperoleh mahar misil selama tidak lebih
banyak dari jumlah yang digugat istri atau tidak lebih sedikit dari jumlah yang
diakui suami.
Ibnu Qasar
berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul. Adapun kalau
sesudah dukhhul maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami.
Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata
suami apabila kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata istri atau tidak.
Jiak kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip, maka keduanya
saling bersumpah dan istri memperoleh mahar misil.
d.
Persengketaan
mengenai waktu
Dalam masalah
waktu, perbedaan pendapat bisa terjadi berkenaan dengan tunggakan. Menurut
pokok-pokok pendapat Imam Malik berdasarkan riwayat yang terkenal darinya –
yang dijadiakn pegangan dalam masalah tunggakan adalah kata-kata orang yang
berutang, karena disamakan dengan jual beli. Perbedaan pendapat juga bisa
terjadi berkenaan dengan kapankah mahar menjadi wajib, apakah sebelum dukhul
atau sesudahnya?
Bagi fuqaha
yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka mereka berpendapat bahwa,
mahar baru menjadi wajib setelah dukhul. Sedang bagi fuqaha yang
berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi syarat
kehalalan, maka mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib sebelum dukhul.
Itulah sebabnya
Imam Malik menganjurkan agar suami memberikan mahar sebelum dukhul.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Islam
mengajarkan untuk menghargai dan memperhatikan kedudukan seorang wanita dengan
memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar
adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang lelaki kepada perempuan untuk
dapat menguasai seluruh anggota badannya. Selain untuk diberikan kepada si
perempuan tersebut, mahar juga merupakan syarat sahnya nikah. Jadi,
melangsungkan pernikahan itu kita juga harus tahu syarat-syarat mahar dan jenis
atau macam-macam mahar dalam pernikahan.
Comments