Pengetahuan Manusia sebagai Pengemban Nilai Kebenaran
Berbicara tentang aksiologi berarti tidak terlepas dari
upaya memahami realitas dan fenomena nilai dalam hidup manusia. Diskusi kita
awali dengan kesadaran bahwa pengetahuan sebagai dimensi nilai yang tinggi
dalam hidup kemanusiaan bermula dari rasa ingin tahu manusia terhadap persoalan
dan misteri kehidupannya. Pada gilirannya manusia akan mengembangkannya menjadi
ilmu pengetahuan yang lebih merupakan upaya sistematis, terstruktur, “masuk
akal” dan melalui metode-metode tertentu dari pengetahuan tersebut.
Mengapa nilai sebuah pengetahuan begitu tinggi dalam
kehidupan manusia? Jawabannya terletak pada bahwa dengan ilmu pengetahuan dan
ilmunya manusia menyingkapkan tabir yang menutupi realitas, yang berarti pula
membuka tabir yang menutupi kebenaran. Tentu saja secara alamiah mempunyai alat
untuk mencapai dan membuka kebenaan. Yakni (1) Indera, untuk membuka tabir
realitas fisik, tigkat kebenarannya bersifat parsial. (2) Naluri, untuk membuka
tabir realitas hidup jasmaniah, mempertahankan dan melangsungkan hidup
jasmanian baik secara pribadi maupun social. (3) Akal untuk membuka tabir
realitas kemanusiaan secara utuh. Akal mempunyai kemampuan dsar berupa :
a)nKemampuan rasional. b) Kemampuan intuitif imajinatif. c) Kemampuan hati
nurani. Ketiga kemampuan akal tersebut diatas dalam kehidupan manusia berfungsi
besama-sama. Hanya masing-masing bebeda tekanannya, ada yang lebih menekankan
pad akemampuan rasional, utamanya dalam dunia ilmiah, ada yang lebih menekankan
pada kemampuan intuitif-imajinatif, seperti kesenian dan pada kemampuan hati
nurani seperti kehendak bermoral. Kalau ketiga daya akal ini secara optimal oleh manusia secara
kebersamaan , merupakan potensi untuk dapat mencapai dan membuka tabir yang
menutup realitas tansenden. Maka manusia mempunyai alat ke (4) Iman, untuk
membuka realitas lingkungannya. Tetapi ransenden,
yang merupakan puncak kebenaran yang dapat dan harus dicapai oleh manusia
berakal.
Nilai keutamaan manusia, tidak tidak terletak pada
realitas fisik maupun metafisiknya, melainkan pada kualitas “karya”-nya. Sistem
kegiatan-kegiatan manusiawilah yang membatasi dunia “kemanusiaan”. Bahasa,
mitos, religi, kesenian, sejarah adalah sector-sector penting dlam dunia. Dunia
manusia tidak dapat terlepas dari mitos agama, yaitu gejala kebudayaan manusia
yang sulit didekati. Tetapi menjadi salah satu bagian dari dunia manusia yang
dianggap paling benar dan menentukan corak hidup manusia.
Agama secara umum dapat didefinisikan sebagai perangkat
aturn yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungannya.
Tetapi hal ini terkesan tekstual dan doktriner, sehingga keterlibatan manusia
sebagai subjek tidak tampak didalamnya. Maka agama selanjutnya didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut,
dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasiakan dan memberikan tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan
diyakini sebagai gaib dan suci. Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi
bagia dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan, menjadi pendorong sekaligus pengendali bagi tindakan-tindakan
anggota masyarakat tersebut agar tetap sesuai dengan nilai-nilai agama
kebudayaan.
Bahwa wilayah peran dan fungsi agama adalah kehidupan
manusia konkret-historis, dari lahir hingga mati, dalam arti individu atau
social. Sehingga agama dalam kebudayaan dapat befungsi sebagai (1) Sistem
simbolik yang berfungsi dalam mengatur keputusan tindakan manusia untuk (2)
menetapkan, meresapkan perasaan-perasaan, motivasi-motivasi secara kuat,
meenyeluruh dan bertahan lama dalam diri manusia dengan cara (3)
memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan atau tata tertib kehidupan dan
(4) dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan aura tertentu secara
nyata hingga (5) perasaan-perasaan dan motivasi-motovasi tesebut tampak
bersifat nyata. Di sini dapat secara praktis dikatakan bahwa agama dengan
ajarannya dapat berpengaruh kuat terhadap sistem-sistem kebudayaan.
Comments