Thaharah

A. Thaharah

Thaharah berarti bersih (nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas) seperti dalam al-Quran surat al-A’raf ayat 82:

Artinya:

“Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri."

Surat al-Baqarah ayat 222:
Artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Thaharah menurut istilah Fuqaha (ahli fiqh) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing dan tinja.[1]

Thaharah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Wudhu

Wudhu adalah membasuh sebagian anggota badan dengan syarat dan rukun tertentu setiap akan melakukan ibadah, terutama shalat, membaca al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya. Dengan berwudhu kondisi badan yang mengandung hadast kecil akan menjadi suci. Dalam Islam, wudhu mempunyai kedudukan yang tinggi karena merupakan syarat sahnya seseorang melakukan ibadah.[2]

Ø Fardhu-fardhu wudhu terbagi menjadi enam, antara lain:

· Niat

Yaitu tujuan suatu perbuatan yang didorong untuk mengikuti perintah Allah SWT. Para ulama madzhab sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melaksanakan wudhu itu.

Menurut Hanafi: sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan niat. Maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu, lalu ia shalat maka shalatnya adalah sah, kecuali sesuatu yang bercampur dengan sisa-sisa keledai atau anggur yang terbuat dari kurma, maka diwajibkan untuk niat.

· Membasuh Muka

Yang dimaksud dengan membasuh muka adalah mengalirkan air pada muka. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu.

Menurut Syafi’i: wajib membasahi sesuatu yang di bawah dagu.

Dalam membasuh muka, air harus mengalir pada bagian luar kulit maupun rambut yang terdapat pada wajah, jadi bagian dalam mulut, hidung, dan mata tidak wajib terkena basuhan.

· Membasuh Dua Tangan

Kaum muslimin sepakat bahwa membasuh dua tangan sampai dua siku-sikunya termasuk bagian yang wajib dibasuh. Dalam membasuh tangan inipun, air harus sampai pada seluruh kulit dan bulu yang ada di tangan. Jika terdapat kotoran yang menghalangi sampainya air ke ujung jari di bawah kukunya maka wudhunya tidak sah.

· Mengusap Kepala

Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah sekedar menyampaikan air tanpa mengalir, dengan meletakkan tangan yang basah pada kepala.

Menurut Hanafi: Wajib mengusap seperempat kepala. Dalil beliau ialah “Bahwa pada ayat wudhu terdapat perintah mengusap kepala. Alat utama untuk mengusap ke dalam telapak tangan. Dari itu dapa dipahami bahwa yang wajib disapu itu adalah kira-kira selebar telapak tangan atu seperempat bagian kepala”.

Menurut Syafi’i: Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Dalam hal ini tidak ada batasan bagian yang wajib di usap, sedikit sajapun, asalkan ada perbuatan mengusap kepala sudah cukup.

· Membasuh Kaki

Menurut kesepakatan para madzhab wajib membasuh kaki sampai mata kaki. Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Seperti pada basuhan lainnya disini juga wajib diperhatikan bahwa air itu harus mencapai seluruh bagian dari kaki.

· Tertib

Yang dimaksud dengan tertib adalah melakukan rukun-rukun wudhu itu sesuai dengan urutan yang dimulai dengan muka, tangan, kepala, dan kemudian kaki.

Menurut Hanafi: Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan terakhir di muka.

Ø Hal-hal yang membatalkan wudhu terbagi menjadi lima, antara lain:

· Keluar Sesuatu dari Qubul atau Dubur

Baik berupa benda cair, padat ataupun angin, kecuali air maninya sendiri.

Firman Allah SWT:

Menurut Hanafi: berpendapat bahwa setiap najis yang keluar dari tubuh membatalkan wudhu, walaupun tidak dari qubul ataupun dubur.

· Tidur

Kecuali dalam keadaan duduk dengan mantap. Ketika seseorang tidur, biasanya dari duburnya akan keluar sesuatu tanpa disadarinya. Oleh karena itu, Nabi Saw menetapkan bahwa tidur termasuk membatalkan wudhu.

· Hilang Akal

Dengan mabuk, gila, pitam sebagai sebabnya. Batalnya wudhu dengan hilang akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur. Dengan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya.

· Bersentuh Kulit Antara Pria dan Wanita

Sentuhan itu membatalkan wudhu karena dipandang sebagai mazinnah yang membangkitkan syahwat. Karenanya, dibatasi pada sentuhan: a. Antara kulit dengan kulit, b. Pria dan wanita yang telah mencapai usia syahwatnya, c. Diantara mereka tidak ada hubungan mahram, d. Sentuhan langsung tanpanalas atau penghalang.

Menurut Hanafi: Berpendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu sebab menurut beliau lamastum ialah bersetubuh.

· Menyentuh Kemaluan Manusia dengan Perut Telapak Tangan Tanpa Alas

2. Mandi

Menurut bahasa, mandi disebut “al-ghasl” atau “al-ghusl” berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan menurut istilah mandi ialah mengalirnya air ke seluruh tubuh disertai dengan niat.[3]

a. Fardhu Mandi, yaitu:

· Niat

Seperti halnya wudhu, karena mandi juga adalah ibadah maka diwajibkan melakukannya dengan niat.

Niat mandi besar:

Artinya:

“Saya berniat mandi untuk menghilangkan hadast besar fardhu karena Allah SWT”.[4]

Menurut Hanafi: Niat itu tidak wajib. Karena Hanafi tidak menganggap niat itu sebagai syarat sahnya mandi.

· Meratakan air ke seluruh tubuh, meliputi rambut dan permukaan kulit.

Menurut Hanafi: pertama memulai dengan menyiram air dari kepala, tubuh sebelah kanan, kemudian tubuh sebelah kiri. Hanafi juga menambahkan harus berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu di hembuskan.

Menurut Syafi’i: disunnahkan untuk memulai dari bagian atas badan sebelum pada bagian bawah, selain faraj (kemaluan).[5]

b. Sunnah Mandi

Beberapa hal yang sunah dilakukan ketika mandi adalah sebagai berikut:

· Membaca basmalah

· Beristinja’ dahulu walaupun tidak habis buang air

· Berwudhu sebelum mandi

· Membasuh anggota tubuh sampai tiga kali

· Membasuh secara terus menerus tidak dipisah-pisahkan

c. Hal-hal yang Mewajibkan Mandi

Ada beberapa hal yang mewajibkan mandi, baik yang berhubungan langsung dengan orang laki-laki dan perempuan ataupun hanya untuk perempuan saja.

Ada 3 hal yang mewajibkan mandi bagi laki-laki dan perempuan, yaitu:

· Bersenggama, baik keluar mani atau tidak

· Keluar mani, baik disengaja karena syahwat atau karena bermimpi

Menurut Syafi’i: kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak.

Menurut Hanafi: tiak diwajibkan mandi kecuali kalau pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi.

· Meninggal, kecuali orang yang mati syahid.

Adapun 3 hal yang khusus pada perempuan:

· Haid (darah yang keluar pada perempuan dalam keadaan sehat).

· Nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).

· Wiladah (darah yang keluar setelah melahirkan, namun anak yang dilahirkannya belum sempurna).

3. Tayamum

Menurut bahasa, tayamum berarti menyengaja. Sedangkan menurut istilah tayamum adalah menyengaja menggunakan tanah untuk mengusap muka dan kedua tangan sampai ke siku dengan syarat-syarat tertentu. Tayamum merupakan sebagai pengganti dari wudhu.

a. Sebab-sebab Diperbolehkannya Tayamum, antara lain:

· Apabila tidak ada air setelah mencari, atau ada air tetapi tidak cukup untuk bersuci.

· Seseorang yang dalam keadaan sakit atau mempunyai luka dan ia khawatir akan bertambah sakit atau lama sembuhnya, bila menggunakan air.

· Apabila air itu dirasakan sangat dingin dan diduga akan membahayakan apabila menggunakannya.

· Ada air tapi terhalang oleh musuh dan sebagainya.

· Ada air tapi tidak cukup karena digunakan untuk memasak, minum, atau untuk keperluan lainnya.

· Dapat menggunakan air, tetapi khawatir kehabisan waktu salah apabila memakainya.

b. Syarat-syarat diperbolehkannya Tayamum, antara lain:

· Adanya udzur sebab bepergian atau sakit

Menurut Hanafi: orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat (tiak sakit), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak pula shalat kalau tidak ada air. Hanafi mengemukakan pendapatnya itu berdasarkan ayat 6 Surat Al-Maidah:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. Ayat diatas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk boleh bertayamum selama orang itu bukan musafir atau sakit. Bila tayamum itu hanya khusus bagi orang yang musafir dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan shalat, karena ia tidak suci. Dan shalat hanya diajibkan bagi orang yang suci.”

· Sudah masuk waktu shalat

· Sudah berusaha mencari air setelah masuk waktu shalat

· Menghilangkan najis yang mungkin melekat pada tubuh sebelum tayamum

· Adanya hubungan untuk menggunakan air

· Memakai debu atau tanah yang suci

Menurut Hanafi: semua yang terdapat di permukaan bumi ini dapat digunakan untuk tayamum. Tidak hanya debu atau tanah yang suci, melainkan batu, pasir. Sedangkan menurut Syafi’i: menggunakan tanah yang suci, berdebu dan dapat melekat di wajah dan tangan.

c. Rukun Tayamum, antara lain:

· Niat tayamum.

· Mengusap muka dengan debu yang suci.

· Mengusap kedua tangan sampai siku dengan debu yang suci.

· Tertib.

d. Sunnah Tayamum, antara lain:

· Membaca basmalah.

· Mendahulukan anggota yang kanan dan mengakhirkan yang kiri.

· Dilakukan secara secara berurutan.

e. Yang Membatalkan Tayamum, antara lain:

· Semua yang membatalkan wudhu.

· Melihat air sebelum mulai melakukan shalat.

· Murtad.


DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin, Slamet dan Suyono, Muhammad. 1998. Fiqih Ibadah. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA

2. Mugniyah, M. Jawad. 1994. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: BASRI PRESS

3. Nasution, Lahmudin., FIQH I,



[1] M.Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (Basri Press, Jakarta: 1994) hal.35


[2] Drs.Slamet Abidin, Fiqh Ibadah, (CV. Pustaka Setia: Bandung, 1998) hal 35.


[3] Drs.Lahmuddin Nasution, Fiqh 1 () hal.29


[4] Drs.Slamet Abidin, Drs.Moh.Suyono, Fiqih Ibadah (CV.Pustaka Setia,Bandung:1998) hal.43


[5] M.Jawad Mughniyah, Fiqh 5 Madzhab (Basri Press, Jakarta:1994) hal.68

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki