Tradisi Carok di madura dilihat dari aspek sosial dan modernisasi
Saya mengangkat tema tentang “Tradisi Carok dilihat dari aspek sosial dan
modernisasi”adalah karena menurut saya banyak yang menganggap “Carok” adalah tindakan keji dan
bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama
Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang
tradisi Carok. Maka disini
saya ingin membahas carok itu sendiri ditinjau dari aspek sosial serta apakah
carok tersebut masih digunakan sebagai penyelesaian sengketa mutlak mengingat
hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan apalagi pada era
seperti sekarang ini masih adanya alternatif lain atau cara-cara damai dalam menyelesaikan
sengketa tersebut tanpa menggunakan jalan kekerasan.
1. Carok dalam aspek sosial
Masyarakat Madura dikenal memiliki
budaya yang khas, unik, dan, identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri
individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan
masyarakat Madura memegang teguhCarok,Carok adalah pemulihan
harga diri ketika diinjakinjak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta,
tahta, tanah, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan.
Dalam ungkapan Madura LebbiBagus Pote Tollang atembang Pote Mata.
(Lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu).Kata Carok sendiri
berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan kehormatan'.
Biasanya, "Carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh
masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika
menyangkut masalahmasalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang
Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat
martabat/kehormatan keluarga).
Adapun kesimpulan yang dapat saya
sampaikan disini adalah Caroksebagai suatu kekerasan, yang secara historis telah
dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu, selain
mempunyai kaitan dengan faktorfaktor tersebut, tampaknya juga tidak dapat
dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas Negara atau Pemerintah
sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam mengontrol sumbersumber kekerasan,
serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap masyarakat terhadap rasa
keadilan.
Pada saat Carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris
sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi
menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Senjata celurit ini sengaja
diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra “Pak Sakera”
sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak
dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam.
Celurit digunakan Sakera sebagai simbol
perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.Sedangkan bagi Belanda,
celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda
tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi
filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah,
dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan Carok. Alasannya adalah demi
menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang.
Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran
jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada
keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan
jalan Carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang
digunakan selalu celurit.
2. Carok dilihat dari sejarah dan
perkembangannya dalam era modernisasi
Pada masa lalu, merupakan perang tanding
antara satu orang melawan satu orang. Sebelum perang tanding, masing-masing
mengadakan perjanjian mengenai penentuan tempat arenanya, hari dan waktunya.
Setelah disepakati, mereka melapor kepada penguasa setempat untuk Carok.
Arena Carok itu diberi tanda berupa bendera dan disaksikan
banyak orang. Usai membunuh musuhnya, pelaku tidak kabur, tapi dengan celurit
yang masih menempel darah segar, pelaku melapor kepada aparat untuk menyerahkan
diri.
Sedangkan Carok yang
terjadi sekarang tidak lagi saling berhadap-hadapan tapi mencari kelengahan
musuhnya untuk melampiaskan niatnya. Usai membunuh pelaku juga melarikan diri.
Memang ada satu, dua orang yang melapor ke petugas, tapi itu jarang terjadi.
Malah yang lebih banyak kabur menyelamatkan diri.Walau pelaku sudah dihukum
berat lebih 10 tahun, tidak membuat kapok pelakunya. Dikatakan, yang paling
memicu timbulnya Carok, adalah manakala harga diri telah dipermalukan.perkembangannya, Carok tidak
bisa hanya dipahami sebagai sesuatu yang hanya menekankan aspek kekerasan.
Pada suku Madura, tindakan kekerasan
mendapat pembenaran secara budaya dan bahkan mendapat persetujuan sosial jika
tindakan itu bertujuan mempertahankan harga diri dan kehormatan, Di era modernisasi
seperti sekarang "Carok" digunakan sebagai jalan terakhir yang
di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya
terjadi jika menyangkut masalahmasalah yang menyangkut kehormatan/harga diri
bagi orang Madura (sebagian besar karena
masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).
Pandangan itu berangkat dari anggapan
bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah
tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental atau gampang marah,
pendendam sertasuka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura
dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan
lain untuk melakukan tindakan balasan.
tidak lebih dari suatu gambaran stereotip
belaka. Sebab, kenyataannya, salah satu karakteristik sosok Madura yang
menonjol adalah karakter yang apa adanya. Artinya, sifat masyarakat etnik ini
memang ekspresif, spontan, dan terbuka, ketika
Lingkungan Sosial Budaya MaduraEkspresivitas, spontanitas, dan
keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon
segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan oranglain atas
dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus
terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika
itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan
terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
Contohnya, suatu ketika di atas kapal
feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung, Perak, ada seorang Madura sedang
merokok di dalam ruangan ber-AC. Oleh orang lain, ia ditegur. Apakah orang
Madura yang ditegur itu berang? Ternyata tidak. Spontan ia mematikan rokoknya
yang masih cukup panjang dan dengan keterbukaan ia pun mengaku tidak tahu kalau
ada rambu dilarang merokok Nyo'on sapora, sengko' ta' tao (Minta maaf, saya
tidak tahu), katanya dengan ekspresi yang lugu.
Ada pula anekdot yang lucu dan lugu.
Misalnya, ketika seorang abang becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia
dikatakan goblok karena melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun
akhirnya tertawa karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini. "Wah,
Pak Polisi ini bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak mbecak pak. Tak iye, ..."
Keputusan perlu tidaknya menggunakan
kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini sangat tergantung pada tingkat
pelecehan yang mereka rasakan.
Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka
bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan:
Ango'an Poteya Tolang, Etembhang Poteya Mata (artinya, kematian lebih
dikehendaki daripada harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya,
jika harga diri orang Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat
dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan perilaku andhap asor.
Mereka akan amat ramah, sopan, hormat
dan rendah hati. Bahkan, secara kualitatif tidak jarang justru bisa lebih
daripada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng dadi taretan (artinya, orang lain
yang tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan layaknya saudara sendiri).
Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini kurang dipahami oleh orang
luar.
Jadi, soal carok itu bukanlah suatu
kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum tentu seorang yang dulu jagoan
dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok. yang jelas, carok
itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri. Misalnya, menyangkut
soal pagar ayu,
Carok itu bisa terjadi kepada siapa
saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan,
tapi kalau menyangkut harga diri,martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok
bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan.
Contohnya, ada satu keluarga yang tidak
carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir
bisadipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan
melakukan perhitungan dengansi pembunuh orangtuanya.
Apa yang dilakukan si anak yang sudah
dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan atas nama
keluarga. Hal sepertiini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu, jangan
heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara
berkepanjangan.
3.
Penyelesaian sengketa secara damai selain menggunakan tradisi carok
Ketika
terjadi pelanggaran normanorma di dalam masyarakat berarti hukum yang berfungsi
sebagai pengendali kontrol sosial yang membuat keadaan tetap damai telah
dilanggar. Bentukbentuk pelanggaran tidaklah ditolerir dalam derajat yang sama
karena konsepsi batasbatas pelanggaran yang dapat ditolerir bersifat relatif,
berbedabeda sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat dan kebudayaan itu
sendiri bersifat relatif.
Mengenai
masyarakat Madura di Indonesia, telah menunjukan betapa identiknya Islam dan
pentingnya peranan ulama atau kyai dalam kehidupan orang Madura. Pengaruh Agama
Islam terhadap unsur kehidupan masyarakat Madura dapat dilihat terutamanya pada
hubungan yang erat antara ulama dengan anggota masyarakat. Besarnya peranan
Islam dan ulama atau kyai di dalam kehidupan orang Madura tidak hanya diketahui
oleh masyarakat umum tetapi juga pihak pemerintah Indonesia.
Dalam
konteks rancangan pembangunan misalnya, pihak ulama atau kyai yang lazimnya
didekati untuk mengetahui pandangan masyarakat Madura. Selain unsur tersebut,
bahasa dan budaya Madura merupakan unsur yang penting untuk membedakan mereka
daripada etnik lain yang terdapat di Jawa Timur. Sehubungan dengan itu, dapat
disimpulkan bahwa agama Islam, ulama atau kyai dan bahasa Madura dapat dianggap
sebagai asas atau panutan kepada pembentukan identitas masyarakat Madura.
Sehingga
diharapkan dapat dilakukan penyelesaian secara damai dengan melibatkan ulama
atau tokoh agama yang menjadi panutan tersebut sebagai pihak ketiga yang dapat
memberikan jalan tengah terbaik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang
bersengketa tentunya selain daripada penyelesaian melalui jalur hukum.
Kesimpulan
Carok adalah tindakan pembalasan dendam yang disebabkan oleh pelecehan harga diri
seseorang terhadap orang lain. Tindakan pembalasan dendam ini dilakukan dengan
adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang mati, satu lawan
satu dan antara laki-laki. Bisa saja dilakukan massal (Carok massal), namun jarang
terjadi. Motivasi Carok adalah
pelecehan harga diri terutama masalah perempuan, istri dan anggota keluarga,
mempertahankan martabat, perebutan harta warisan dan pembalasan dendam karena
kakak kandungnya dibunuh.
Carok adalah solusi bagi masyarakat Madura
dalam menyelesaikan konflik, karena sejarah yang sudah berabad-abad lamanya
membentuk mereka untuk tidak meyakinin dan mempercayai pengadilan atau hukumyang berlaku. Carok mungkin bukan peredam konflik. Tetapi salah satu unsur Carok yaitu remo, dapat menjadi peredam konflik
karena merupakan tempat berkumpulnya para jagoan desa.
Pada
zaman sekarang carokbagi
masyarakat Madura bukanlah dianggap sebagai perbedaan yang perlu dinilai
negatif atau dipertentangkan mengingat carok sendiri adalah merupakan bukan
penyelesaian sengketa yang mutlak dalam arti masih dilakukannya penyelesaian
secara damai sebagai antisipasi terjadinya carok tersebut yakni dengan jalan
melibatkan ulama atau tokoh agama setempat yang menjadi panutan dalam
masyarakat sebagai pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Comments