Awas! ada banyak pelanggaran UUD 45
PASAL 28 B AYAT 1
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Pernahkah Anda mendengar istilah nikah siri?
Jujur, saya pribadi belum pernah mempelajarinya secara formal melalui instansi pendidikan. Saya mendengar dan memahami makna istilah tersebut dari tayangan-tayangan infotainment di televisi serta bacaan umum lainnya.
Pengertian nikah siri secara garis besar adalah proses pernikahan yang sah menurut
agama, tapi tidak terdaftar di catatan KUA. Masyarakat umum sering menjulukinya “nikah di bawah tangan”. Banyak sekali faktor yang menyebabkan seseorang melakukan nikah siri. Diantaranya adalah ketidakadaannya biaya untuk melangsungkan pernikahan secara legal dimata negara dan hukum, serta sifat tradisional yang masih melekat.
Pemerintah mulai menekan fenomena nikah siri dengan beberapa kali mengadakan acara nikah masal secara gratis di pelosok-pelosok daerah. Tujuannya jelas, yaitu mewujudkan sebuah pernikahan yang sah di mata agama dan di mata hukum dan menghindari permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan administrasi dan kependudukan.
Baru-baru ini, saya membaca sebuah artikel di sebuah situs internet, bahwa MUI akan memberikan fatwa haram terhadap nikah siri serta mendukung hukuman pidana yang diusulkan Kementrian Agama. Hal ini disebabkan karena nikah siri semakin memudarkan nilai kesucian hubungan suami-istri, dimana seharusnya pernikahan adalah sebuah proses sakral dalam kehidupan yang harus memberikan kenyamanan dan tidak merugikan. Ada dua pihak yang dirugikan disini : wanita dan anak-anak.
Mengapa?
Nikah siri dinilai merugikan kaum istri karena mereka dinikahi tanpa adanya surat-surat resmi seperti layaknya pernikahan normal. Hal inilah yang dikhawatirkan berbagai pihak karena semakin memperluas potensi zina. Banyak pasangan yang menikah tanpa bukti tertulis akan menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri juga tidak mendapat fasilitas akte kelahiran karena kedua orangtua mereka tidak terdaftar dalam catatan KUA, serta masih banyak kerugian-kerugian lainnya.
Alasan-alasan diatas rasanya sudah cukup menjadi landasan hukuman pidana bagi pelaku nikah siri. Dalam agama islam sendiri, sebuah pernikahan itu sah apabila syarat-syaratnya mencukupi. Tapi akan menjadi haram apabila timbul pihak-pihak yang dirugikan.
Sebelumnya Kementerian Agama sudah menyerahkan RUU Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami dan kawin kontrak kepada Presiden SBY. Dalam RUU tersebut jika melakukan nikah siri akan dipidanakan dan akan ada hukuman kurungan maksimal 3 bulan serta denda maksimal 5 juta.
Hmm, setelah ini kira-kira masih adakah yang berniat nikah sirih?
PASAL 28 D AYAT 3
“Setiap warga negara berhak mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Pengembangan dan pembangunan bidang politik harus berdasar pada tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia.
Salah satu hak asasi manusia adalah, berpolitik, termasuk didalamnya turut andil dalam pemerintahan negara. Di dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urutan sistematis, bahwa dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral ketuhanan (sila I), moral kemanusiaan (sila II) dan moral persatuan (sila III) yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa. Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (sila V)
Selain itu, nilai-nilai politik juga terkandung dalam alinea II di pembukaan UUD 1945 tentang cita-cita negara dan kemerdekaan yaitu demokrasi. Dan jika kita kembali melihat sila-sila Pancasila, maka akan terjawab bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dalam rangka pelaksanaan demokrasi kerakyatan.
Hal itu pula yang mendasari timbulnya hak setiap warga negara untuk ikut serta duduk bersama di jajaran pemerintahan, seperti yang tercantum dalam pasal 28 D ayat 3, “Setiap warga negara berhak mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” yang dibuktikan dengan salah satu contoh konkret, pemilihan legislatif di Indonesia.
Dalam pemilihan anggota dewan beberapa waktu yang lalu, semua kalangan masyarakat Indonesia mempunyai hak politis dan kesempatan yang sama, untuk memilih dan dipilih. Dari berbagai sumber menyatakan, bahwa pemilu legislatif periode 2009-2014 merupakan pemilu yang paling berwarna, karena kesadaran politik sudah timbul di masing-masing individu. Semua kalangan dari berbagai latar belakang berlomba-lomba untuk menjadi wakil rakyat, agar bisa menyumbangkan tenaga dan gagasan dalam rangka turut membenahi negeri. Dan hasilnya, banyak juga kalangan artis dan budayawan yang berhasil melenggang masuk ke jajaran dewan perwakilan rakyat.
Sampai kemudian timbul pertanyaan besar yang menjadi polemik atas hasil pemilu legislatif periode ini. Sanggupkah mereka (yang tidak mempunyai latar belakang politik dan kenegaraan) mengarungi segala tantangan yang ada dan melaksanakan amanat rakyat dengan jujur dan bersih?
Seiring dampak era globalisasi yang menuntut banyak materi dan ketahanan mental, terkadang para pemegang amanat
tersebut tak mampu menahan keinginanuntuk mensejahterakan dirinya sendiri dengan cara-cara yang tidak terhormat dan tentunya akan sangat mengecewakan rakyat serta merugikan negara. Jangan sampai kesempatan rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ternodai dengan hal-hal negatif seperti korupsi dan lain-lain. Bisa dibilang disinilah pentingnya aktualisasi Pancasila dan UUD 1945 sebagai alat pengendali masing-masing individu.
PASAL 28 E AYAT 3
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Manusia adalah individu yang dilahirkan dengan naluri atau keinginan bersosialisasi yang tinggi. Mereka tidak bisa hidup sendiri tanpa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Sejak dulu sampai sekarang, kesadaran ini tak pernah lepas dan terus melekat erat di masing-masing individu.
Hak asasi yang berkaitan dengan kebebasan dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tidak hanya terjalin dalam bentuk yang formal dan serius. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga bisa dengan mudah menemukannya.
Misalnya perkumpulan Karang Taruna disekitar tempat tinggal, arisan RT, organisasi PKK, serta merambah ke instansi pendidikan seperti OSIS, MPK dan perkumpulan lainnya.
Sebenarnya, apa yang menyebabkan seorang individu merasa nyaman dan senang berserikat dengan sesamanya? Berikut ini adalah jawaban yang logis untuk pertanyaan tersebut :
Adanya kesamaan sudut pandang dan pemikiran , menyebabkan terciptanya komunikasi yang selaras dan berkesinambungan
Adanya perasaan saling melengkapi, melindungi, dan mengisi satu sama lain sehingga merasa nyaman untuk bergerak bersama dalam mewujudkan tujuan bersama.
Adanya kesenangan atau hobi yang sama
Adanya kesamaan asal-usul atau bersifat kedaerahan
Perserikatan atau organisasi mayoritas berdampak baik dan disadari atau tidak akan meningkatkan tali silaturahmi serta menambah wawasan dan pertemanan. Tetapi, sekarang ini banyak sekali perkumpulan-perkumpulan yang menjurus ke arah negatif dan memberontak. Misalnya seperti perkumpulan geng motor yang kerap meresahkan warga sekitar karena perilaku mereka yang buruk, perkumpulan segelintir masyarakat yang hendak melakukan teror, dan perkumpulan negatif lainnya. Hal ini tentunya menyimpang dan harus segera diluruskan.
Selain itu, hak asasi manusia yang lainnya adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. Manusia, baik itu di dalam ataupun di luar perkumpulannya pasti mempunyai pemikiran-pemikiran yang berlawanan, keinginan untuk melakukan perubahan, serta keinginan untuk mengeluarkan keluh kesah dari sebuah permasalahan.
Tentunya kita masih ingat kasus Prita Mulyasari. Ibu dua anak yang terseret kasus pencemaran nama baik hanya karen “curhat” di dunia maya tentang ketidakpuasannya dengan pelayanan RS Omni Internasional. Kasus ini begitu menyita perhatian dan simpati publik, seiring dengan keganjilan-keganjilan yang terlihat dalam kasus ini.
Mengapa kita tidak bisa lagi dengan bebasnya mengeluarkan
pendapat? Sebagai manusia tentunya kita sangat sadar bahwa mengeluarkan uneg-uneg itu wajar-wajar saja. Dari kasus tersebut, saya pribadi jadi sadar akan tanda tanya besar dalam makna ‘Kebebasan berpendapat’. Bukan berpendapatnya yang salah, tapi alangkah baiknya apabila kita dapat memilih media, waktu serta cara yang tepat dan bijak dalam mengeluarkan pendapat.
PASAL 28H AYAT 1
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Orang miskin dilarang sakit. Jargon tersebut tampaknya tidaklah asing lagi bagi kita, mengingat saat ini kesehatan dan pelayanannya sepertinya memang hanya diperuntukan bagi mereka yang berkantong tebal saja.
Namun rasanya akan memakan lembaran-lembaran yang tak terhitung jumlahnya jika kita hanya membincangkan masalah,pelanggaran,dan penyimpangan yang sering terjadi berhubungan dengan pasal diatas. Rasa-rasanya jajaran pemerintah sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik, dan sudah sangat sepantasnya untuk dihargai.
Berkaitan dengan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, pemerintah sudah menggalakkan progam-program seperti 3M, dalam rangka memberantas penyakit demam berdarah, serta masalah kesehatan lainnya. Selain itu juga pemerintah tengah berkoordinasi dengan berbagai wilayah untuk melakukan program kebersihan dari mulai tingkat RT. Agaknya masalah lingkungan hidup yang baik dan sehat memang harus diwujudkan dengan gerakan bersama-sama seluruh rakyat.
Selanjutnya mengenai pelayanan
kesehatan. Pemerintah terutama menteri
kesehatan RI sudah membuat berbagai program dan gerakan yang berupaya untuk meningkatkan
kualitas kesehatan rakyat. Seperti pengadaan posyandu di tiap-tiap daerah serta imunisasi rutin bagi para balita. Ada juga pengadaan kartu askes yang dapat meringankan biaya (atau bahkan konon katanya dapat membebaskan biaya) berobat bagi orang-orang tidak mampu. Sehingga diharapkan tidak ada lagi jargon-jaron ironis seperti ‘orang miskin dilarang sakit’. Selain itu ada juga program KB, penyuluhan narkoba, dan AIDS di lembaga pendidikan.
Pelayanan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah mulai mengembang dan sangat berkaitan dengan masalah penanggulangan bencana. Sejak musibah Tsunami di Aceh tahun 2004 silam, pelayanan kesehatan pasca bencana mulai digalakkan. Tidak hanya itu saja, Indonesia juga dengan sigap mengirim tim medis untuk menjadi relawan bencana alam di negara-negara lain seperti di China dan Haiti. Pantas saja, PBB baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang tanggap terhadap penanggulangan bencana.
PASAL 28I AYAT 1
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Terkadang manusia lupa atau bahkan tidak menyadari akan hak asasi yang melekat di diri mereka masing-masing, padahal keseluruhan ayat dalam Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menjabarkannya.
Bayi-bayi yang diaborsi atau bahkan dibuang oleh orangtua yang tak bertanggung jawab punya hak untuk hidup. Pahlawan-pahlawan devisa negara kita yang tengah merantau ke pelosok negeri tetangga demi sesuap nasi mempunyai hak untuk tidak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak.
Masyarakat kecil pun mempunyai hak yang sama dihadapan hukum serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,
meskipun pada kenyataannya di Indonesia sendiri banyak sekali rakyat kecil yang dijebloskan ke penjara hanya karena mencuri sebuah semangka ataupun biji kakao. Kalau sejak awal tahu akan ketidakadilan hukum bagi rakyat kecil seperti mereka, lebih baik sekalian saja menjarah bank serta melakukan kesalahan yang lebih runyam sekalian. Toh hukum tidak pernah berani menyentuh kasus-kasus kelas kakap seperti itu kan?
Demikian juga hak kemerdekaan pikiran dan nurani. Masih ingatkah kalian akan peristiwa bredel media massa pada zaman orde lama? Kala itu media massa sebagai teropong dan penyebar informasi banyak yang dibungkam keberadaannya. Dan laksana bom waktu, hak kemerdekaan menyalurkan pikiran dan nurani pun sudah dikantongi pers sekarang. (Yah, sekalipun mereka sesekali kerap terseret dalam masalah karena berita-berita yang mereka suarakan.)
Hak asasi manusia memang kasat mata keberadaannya. Mereka bergelung diam-diam di tubuh-tubuh kita. Namun dapat menggeliat marah jika keberadaannya terinjak. Indonesia saat ini sedang mengalami krisis apresiasi terhadap hak asasi manusia. Daftar panjang kasus pelanggaran HAM yang masuk ke KOMNAS HAM sendiri sudah tak terhitung banyaknya. Sebuah pekerjaan rumah yang sangat sulit dan tak dapat diselesaikan hanya dengan teori belaka. Banyak kasus-kasus HAM pelik yang sulit dipecahkan, seperti kasus pembunuhan aktivis HAM alm.Munir, misalnya. Dan pada dasarnya, hak asasi yang sejak lahir sudah mengiringi kita hingga akhir hayat nanti, sudah sepantasnya diperjuangkan dan tidak lagi diperjual-belikan layaknya mekanisme perdagangan di pasar.
Ingat, Hak asasi manusia adalah pemberian dari Sang Maha Pencipta. Tidak dapat tergantikan,dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Demikian hasil analisis dari saya kurang lebihnya apabila ada kesalahan dalam pengetikan ataupun penjalasannya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Pernahkah Anda mendengar istilah nikah siri?
Jujur, saya pribadi belum pernah mempelajarinya secara formal melalui instansi pendidikan. Saya mendengar dan memahami makna istilah tersebut dari tayangan-tayangan infotainment di televisi serta bacaan umum lainnya.
Pengertian nikah siri secara garis besar adalah proses pernikahan yang sah menurut
agama, tapi tidak terdaftar di catatan KUA. Masyarakat umum sering menjulukinya “nikah di bawah tangan”. Banyak sekali faktor yang menyebabkan seseorang melakukan nikah siri. Diantaranya adalah ketidakadaannya biaya untuk melangsungkan pernikahan secara legal dimata negara dan hukum, serta sifat tradisional yang masih melekat.
Pemerintah mulai menekan fenomena nikah siri dengan beberapa kali mengadakan acara nikah masal secara gratis di pelosok-pelosok daerah. Tujuannya jelas, yaitu mewujudkan sebuah pernikahan yang sah di mata agama dan di mata hukum dan menghindari permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan administrasi dan kependudukan.
Baru-baru ini, saya membaca sebuah artikel di sebuah situs internet, bahwa MUI akan memberikan fatwa haram terhadap nikah siri serta mendukung hukuman pidana yang diusulkan Kementrian Agama. Hal ini disebabkan karena nikah siri semakin memudarkan nilai kesucian hubungan suami-istri, dimana seharusnya pernikahan adalah sebuah proses sakral dalam kehidupan yang harus memberikan kenyamanan dan tidak merugikan. Ada dua pihak yang dirugikan disini : wanita dan anak-anak.
Mengapa?
Nikah siri dinilai merugikan kaum istri karena mereka dinikahi tanpa adanya surat-surat resmi seperti layaknya pernikahan normal. Hal inilah yang dikhawatirkan berbagai pihak karena semakin memperluas potensi zina. Banyak pasangan yang menikah tanpa bukti tertulis akan menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri juga tidak mendapat fasilitas akte kelahiran karena kedua orangtua mereka tidak terdaftar dalam catatan KUA, serta masih banyak kerugian-kerugian lainnya.
Alasan-alasan diatas rasanya sudah cukup menjadi landasan hukuman pidana bagi pelaku nikah siri. Dalam agama islam sendiri, sebuah pernikahan itu sah apabila syarat-syaratnya mencukupi. Tapi akan menjadi haram apabila timbul pihak-pihak yang dirugikan.
Sebelumnya Kementerian Agama sudah menyerahkan RUU Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami dan kawin kontrak kepada Presiden SBY. Dalam RUU tersebut jika melakukan nikah siri akan dipidanakan dan akan ada hukuman kurungan maksimal 3 bulan serta denda maksimal 5 juta.
Hmm, setelah ini kira-kira masih adakah yang berniat nikah sirih?
PASAL 28 D AYAT 3
“Setiap warga negara berhak mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Pengembangan dan pembangunan bidang politik harus berdasar pada tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia.
Salah satu hak asasi manusia adalah, berpolitik, termasuk didalamnya turut andil dalam pemerintahan negara. Di dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urutan sistematis, bahwa dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral ketuhanan (sila I), moral kemanusiaan (sila II) dan moral persatuan (sila III) yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa. Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (sila V)
Selain itu, nilai-nilai politik juga terkandung dalam alinea II di pembukaan UUD 1945 tentang cita-cita negara dan kemerdekaan yaitu demokrasi. Dan jika kita kembali melihat sila-sila Pancasila, maka akan terjawab bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dalam rangka pelaksanaan demokrasi kerakyatan.
Hal itu pula yang mendasari timbulnya hak setiap warga negara untuk ikut serta duduk bersama di jajaran pemerintahan, seperti yang tercantum dalam pasal 28 D ayat 3, “Setiap warga negara berhak mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” yang dibuktikan dengan salah satu contoh konkret, pemilihan legislatif di Indonesia.
Dalam pemilihan anggota dewan beberapa waktu yang lalu, semua kalangan masyarakat Indonesia mempunyai hak politis dan kesempatan yang sama, untuk memilih dan dipilih. Dari berbagai sumber menyatakan, bahwa pemilu legislatif periode 2009-2014 merupakan pemilu yang paling berwarna, karena kesadaran politik sudah timbul di masing-masing individu. Semua kalangan dari berbagai latar belakang berlomba-lomba untuk menjadi wakil rakyat, agar bisa menyumbangkan tenaga dan gagasan dalam rangka turut membenahi negeri. Dan hasilnya, banyak juga kalangan artis dan budayawan yang berhasil melenggang masuk ke jajaran dewan perwakilan rakyat.
Sampai kemudian timbul pertanyaan besar yang menjadi polemik atas hasil pemilu legislatif periode ini. Sanggupkah mereka (yang tidak mempunyai latar belakang politik dan kenegaraan) mengarungi segala tantangan yang ada dan melaksanakan amanat rakyat dengan jujur dan bersih?
Seiring dampak era globalisasi yang menuntut banyak materi dan ketahanan mental, terkadang para pemegang amanat
tersebut tak mampu menahan keinginanuntuk mensejahterakan dirinya sendiri dengan cara-cara yang tidak terhormat dan tentunya akan sangat mengecewakan rakyat serta merugikan negara. Jangan sampai kesempatan rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ternodai dengan hal-hal negatif seperti korupsi dan lain-lain. Bisa dibilang disinilah pentingnya aktualisasi Pancasila dan UUD 1945 sebagai alat pengendali masing-masing individu.
PASAL 28 E AYAT 3
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Manusia adalah individu yang dilahirkan dengan naluri atau keinginan bersosialisasi yang tinggi. Mereka tidak bisa hidup sendiri tanpa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Sejak dulu sampai sekarang, kesadaran ini tak pernah lepas dan terus melekat erat di masing-masing individu.
Hak asasi yang berkaitan dengan kebebasan dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tidak hanya terjalin dalam bentuk yang formal dan serius. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga bisa dengan mudah menemukannya.
Misalnya perkumpulan Karang Taruna disekitar tempat tinggal, arisan RT, organisasi PKK, serta merambah ke instansi pendidikan seperti OSIS, MPK dan perkumpulan lainnya.
Sebenarnya, apa yang menyebabkan seorang individu merasa nyaman dan senang berserikat dengan sesamanya? Berikut ini adalah jawaban yang logis untuk pertanyaan tersebut :
Adanya kesamaan sudut pandang dan pemikiran , menyebabkan terciptanya komunikasi yang selaras dan berkesinambungan
Adanya perasaan saling melengkapi, melindungi, dan mengisi satu sama lain sehingga merasa nyaman untuk bergerak bersama dalam mewujudkan tujuan bersama.
Adanya kesenangan atau hobi yang sama
Adanya kesamaan asal-usul atau bersifat kedaerahan
Perserikatan atau organisasi mayoritas berdampak baik dan disadari atau tidak akan meningkatkan tali silaturahmi serta menambah wawasan dan pertemanan. Tetapi, sekarang ini banyak sekali perkumpulan-perkumpulan yang menjurus ke arah negatif dan memberontak. Misalnya seperti perkumpulan geng motor yang kerap meresahkan warga sekitar karena perilaku mereka yang buruk, perkumpulan segelintir masyarakat yang hendak melakukan teror, dan perkumpulan negatif lainnya. Hal ini tentunya menyimpang dan harus segera diluruskan.
Selain itu, hak asasi manusia yang lainnya adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. Manusia, baik itu di dalam ataupun di luar perkumpulannya pasti mempunyai pemikiran-pemikiran yang berlawanan, keinginan untuk melakukan perubahan, serta keinginan untuk mengeluarkan keluh kesah dari sebuah permasalahan.
Tentunya kita masih ingat kasus Prita Mulyasari. Ibu dua anak yang terseret kasus pencemaran nama baik hanya karen “curhat” di dunia maya tentang ketidakpuasannya dengan pelayanan RS Omni Internasional. Kasus ini begitu menyita perhatian dan simpati publik, seiring dengan keganjilan-keganjilan yang terlihat dalam kasus ini.
Mengapa kita tidak bisa lagi dengan bebasnya mengeluarkan
pendapat? Sebagai manusia tentunya kita sangat sadar bahwa mengeluarkan uneg-uneg itu wajar-wajar saja. Dari kasus tersebut, saya pribadi jadi sadar akan tanda tanya besar dalam makna ‘Kebebasan berpendapat’. Bukan berpendapatnya yang salah, tapi alangkah baiknya apabila kita dapat memilih media, waktu serta cara yang tepat dan bijak dalam mengeluarkan pendapat.
PASAL 28H AYAT 1
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Orang miskin dilarang sakit. Jargon tersebut tampaknya tidaklah asing lagi bagi kita, mengingat saat ini kesehatan dan pelayanannya sepertinya memang hanya diperuntukan bagi mereka yang berkantong tebal saja.
Namun rasanya akan memakan lembaran-lembaran yang tak terhitung jumlahnya jika kita hanya membincangkan masalah,pelanggaran,dan penyimpangan yang sering terjadi berhubungan dengan pasal diatas. Rasa-rasanya jajaran pemerintah sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik, dan sudah sangat sepantasnya untuk dihargai.
Berkaitan dengan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, pemerintah sudah menggalakkan progam-program seperti 3M, dalam rangka memberantas penyakit demam berdarah, serta masalah kesehatan lainnya. Selain itu juga pemerintah tengah berkoordinasi dengan berbagai wilayah untuk melakukan program kebersihan dari mulai tingkat RT. Agaknya masalah lingkungan hidup yang baik dan sehat memang harus diwujudkan dengan gerakan bersama-sama seluruh rakyat.
Selanjutnya mengenai pelayanan
kesehatan. Pemerintah terutama menteri
kesehatan RI sudah membuat berbagai program dan gerakan yang berupaya untuk meningkatkan
kualitas kesehatan rakyat. Seperti pengadaan posyandu di tiap-tiap daerah serta imunisasi rutin bagi para balita. Ada juga pengadaan kartu askes yang dapat meringankan biaya (atau bahkan konon katanya dapat membebaskan biaya) berobat bagi orang-orang tidak mampu. Sehingga diharapkan tidak ada lagi jargon-jaron ironis seperti ‘orang miskin dilarang sakit’. Selain itu ada juga program KB, penyuluhan narkoba, dan AIDS di lembaga pendidikan.
Pelayanan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah mulai mengembang dan sangat berkaitan dengan masalah penanggulangan bencana. Sejak musibah Tsunami di Aceh tahun 2004 silam, pelayanan kesehatan pasca bencana mulai digalakkan. Tidak hanya itu saja, Indonesia juga dengan sigap mengirim tim medis untuk menjadi relawan bencana alam di negara-negara lain seperti di China dan Haiti. Pantas saja, PBB baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang tanggap terhadap penanggulangan bencana.
PASAL 28I AYAT 1
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Terkadang manusia lupa atau bahkan tidak menyadari akan hak asasi yang melekat di diri mereka masing-masing, padahal keseluruhan ayat dalam Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menjabarkannya.
Bayi-bayi yang diaborsi atau bahkan dibuang oleh orangtua yang tak bertanggung jawab punya hak untuk hidup. Pahlawan-pahlawan devisa negara kita yang tengah merantau ke pelosok negeri tetangga demi sesuap nasi mempunyai hak untuk tidak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak.
Masyarakat kecil pun mempunyai hak yang sama dihadapan hukum serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,
meskipun pada kenyataannya di Indonesia sendiri banyak sekali rakyat kecil yang dijebloskan ke penjara hanya karena mencuri sebuah semangka ataupun biji kakao. Kalau sejak awal tahu akan ketidakadilan hukum bagi rakyat kecil seperti mereka, lebih baik sekalian saja menjarah bank serta melakukan kesalahan yang lebih runyam sekalian. Toh hukum tidak pernah berani menyentuh kasus-kasus kelas kakap seperti itu kan?
Demikian juga hak kemerdekaan pikiran dan nurani. Masih ingatkah kalian akan peristiwa bredel media massa pada zaman orde lama? Kala itu media massa sebagai teropong dan penyebar informasi banyak yang dibungkam keberadaannya. Dan laksana bom waktu, hak kemerdekaan menyalurkan pikiran dan nurani pun sudah dikantongi pers sekarang. (Yah, sekalipun mereka sesekali kerap terseret dalam masalah karena berita-berita yang mereka suarakan.)
Hak asasi manusia memang kasat mata keberadaannya. Mereka bergelung diam-diam di tubuh-tubuh kita. Namun dapat menggeliat marah jika keberadaannya terinjak. Indonesia saat ini sedang mengalami krisis apresiasi terhadap hak asasi manusia. Daftar panjang kasus pelanggaran HAM yang masuk ke KOMNAS HAM sendiri sudah tak terhitung banyaknya. Sebuah pekerjaan rumah yang sangat sulit dan tak dapat diselesaikan hanya dengan teori belaka. Banyak kasus-kasus HAM pelik yang sulit dipecahkan, seperti kasus pembunuhan aktivis HAM alm.Munir, misalnya. Dan pada dasarnya, hak asasi yang sejak lahir sudah mengiringi kita hingga akhir hayat nanti, sudah sepantasnya diperjuangkan dan tidak lagi diperjual-belikan layaknya mekanisme perdagangan di pasar.
Ingat, Hak asasi manusia adalah pemberian dari Sang Maha Pencipta. Tidak dapat tergantikan,dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Demikian hasil analisis dari saya kurang lebihnya apabila ada kesalahan dalam pengetikan ataupun penjalasannya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Comments