Asal Usul Komunikasi profetik dan konsekuensinya
Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.
Dipaparkan juga perkembangan ilmu komunikasi dalam perspektif historis dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk sejarah perkembangan komunikasi di lndonesia, relasi antara ilmu, agama, dan media; pengertian keilmuan teoantroposentris sebagai metode keilmuan dan membincangkan teori kritis dalam konteks industri.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunyi hadits tersebut ?
2. Bagaimana penjelasan hadits?
3. Bagaimana asal-usul komunikasi profetik?
4. Apa konsekuensi komunikasi profetik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teks Hadits
من عبد الله بن عمرو راضي تعالى 'الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً.(رواه البخاري)
Artinya : Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).
B. Pejelasan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
Poin kandungan hadits Pertama: Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua: Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk : Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah). Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh kapabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang salah.
Ketiga: Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya,). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah. Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan.[1]
C. Asal-usul Komunikasi Profetik
Secara historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam.
Ayat (teks) merupakan kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi dengan manusia. Ayat (teks) disampaikan kepada manusia melalui Nabi. Dalam studi ilmu Al-Qur’an, ayat tersebut disebut dengan wahyu. Wahyu merupakan bentuk komunikasi khas antara Tuhan dan para Rasul-Nya. Komunikasi tersebut kemudian “dialih turunkan” oleh para Nabi dan Rasul dalam bentuk ayat yang tertulis, seperti yang terulang dalam kitab suci Al-Qur’an. Wahyu merupakan keinginan nyata dari kehendak Tuhan untuk berkomunikasi mellaui penyampaian berita dalam bentuk teks (ayat) kepada manusia. Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.[2]
Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa usia komunikasi sebagai praktek pentebaran informasi sama tuanya dengan usia manusia. Bahkan sebelum manusia tercipta, komunikasi sudah terlebih dahulu ada. Hal tersebut dapat kita temui dalam kisah komunikasi antara allah SWT dengan iblis ketika menciptkana Nabi Adam sebagai manusia pertama. Inilah yang kemudian menmbulkan ambiguitas dan paradoks, jika komunikasi sudah ada sejak manusia tercipta. Rahasia dibalik konvergensi-intekoneksi keilmuan tersebut terletak pada luasnya khazanah keilmuan Allah SWT yang belum terjamah dan tersentuh oleh manusia. Masih banyak keilmuan Allah SWT tersebut yang perlu didekati dan diungkap kebenarannya. Untuk berupaya “mendekati” Allah SWT dalam mengungkapkan sebagian tabir rahasia keilmuan yang dimilik-Nya. Pendekatan ini diberi nama dengan “komunikasi Profetik”.
Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Pilar ilmu sosial profetik ada tiga, yaitu humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu'minu billah). Dalam buku ini diuraikan komuniksi dalam perspektif lslam, yang menekankan pentingnya komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi), dan selalu berorientasi kepada Tuhan (transendensi) melalui integrasi-interkonesi kajian ilmu komunikasi.
Dalam konteks inilah, Iswandi Syahputra mengolah perenungan dan pengalamannya dan berupaya mengajukan gagasan baru tentang konsep dan pendekatan komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi) dan selalu berorientasi pada Tuhan (transendensi). Inilah suatu kajian baru tentang komunikasi profetik, komunikasi kenabian yang memberi porsi penting pada nilai dan etika. Dalam hal ini, profetik merupakan kesadaran sosiologis para nabi dalam sejarah untuk mengangkat derajat kemanusiaan dan membawa manusia beriman pada Allah. Komunikasi profetik yang diajukan memang merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi. Istilah ini buah dari pengembangan dari konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang pernah keluar dari gagasan Kuntowijoyo, seorang ilmuwan Islam yang terinspirasi juga oleh spirit Prophetic Reality yang diusung Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Dengan menyebut ilmu-ilmu profetik (seperti halnya komunikasi profetik), kita hanya mendapatkan substansinya, bukan bentuk. Ilmu profetik menemukan bentuknya dalam wujud ilmu integralistik yang menyatukan wahyu Tuhan dan akal pikiran manusia (Kuntowijoyo, 2005 : 103).
Dalam hal inilah, komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Ini bisa dibilang sebuah upaya “suntikan imunisasi” bagi perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, semacam menerapkan prinsip-prinsip kaidah komunikasi kenabian terhadap dinamisnya ilmu komunikasi yang berperan penting dalam kancah akselerasi perubahan sosial. Lebih jauh, hal itu dapat menempatkan pengguna komunikasi, konsumen dan media komunikasinya jadi memiliki ”imunitas” pertimbangan etis dalam pelbagai praktik berkomunikasi.[3]
D. Konsekuensi Komunikasi Profetik
Konsekuensi adanya komunikasi profetik Pertama, jika melihat sejarah Orde lama, orde baru, dan reformasi sekarang, umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini seharusnya memiliki otoritas yang lebih dengan cara penyampaian hak Umat Islam ke regulasi pemerintah. Kasus-kasus yang merugikan kemurnian ajaran Islam sendiri seharusnya diatur lewat aturan yang dirancang oleh wakil rakyat yang sebagian besar mereka adalah pemeluk Islam. Ketegasan aturan agama merupakan sebuah upaya menolak penistaan agama yang membuat ajaran Agama Islam sendiri tidak jelas. Satu contoh jika terbukti bahwa Ahmadiyah bukan termasuk ajaran Islam maka perlu ada ketegasan baik dari kesepakatan Ulama dan disampaikan pemerintah bahwa memang Ahmadiyah bukan ajaran Islam. Ketegasan ini diambil agar tidak terjadi tindakan anarkisme dari sekelompok golongan karena merasa ajaran Islam dinodai dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Alquran dan hadist. Seperti nabi menjelaskan bahwa tidak akan mungkin umatku bersepakat secara mayoritas tentang bid’ah-bid’ah dalam agama. Andaikan benar terjadi bahwa Ahmadiyah bukan menganut ajaran Islam dengan keputusan Ulama dan penyampaian pemerintah maka jelas sudah masalah dan biarkan mereka menjalankan ritual tanpa ada tindakan anarkisme karena mereka sudah jelas bukan Islam.
Kedua, Anarkisme agama sebenarnya memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan sebuah struktur, baik itu entitas agama, gerakan sosial, lembaga politik, ormas Islam dan kelompok-kelompok lainnya. Naluri manusia selalu memberikan apresiasi positif terhadap hal-hal yang menyuguhkan kedamaian. Nilai Profetik (kenabian) mungkin kata yang tepat untuk mewakili sebuah sikap saling menjaga, toleransi, berbicara dengan hati, ketulusan. Dengan nilai profetik inilah agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia akan hakikat diri sebagai seorang makhluk Tuhan. Nilai Profetik inilah yang menjadi jawaban kenapa Muhammad begitu sangat ditaati dan diikuti ajarannya. Tidak ada sedikitpun dalam sejarah manusia tentang agama yang mendahulukan anarkisme dalam interaksi masa. Bahkan tercatat dalam sejarah begitu banyaknya nabi yang sebenarnya menjadi korban dari anarkisme kaumnya karena di tolak ajaran dakwahnya. Nabi Nuh, Isa, Muhammad pernah mengalami hal demikian. Tapi yang sangat menakjubkan kesabaran para nabi menjadi magnet dakwah tersendiri bagi sebagian manusia.
Ketiga, Memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran agama akan lebih berdampak positif dari pada melakukan tindakan anarkisme agama. Dakwah bil hikmah wamauizhatil hasanah (Dakwah dengan hikmah dan suri tauladan yang baik) gambaran yang paling tepat bagi agama apapun. Walaupun nabi Muhammad pernah ditolak kaum taif namun mereka menyadari bahwa Muhammadlah satu-satunya manusia saat itu yang dapat dipercaya hingga dijuluki Al-amin, Muhammad adalah seorang yang jujur, selalu menyambung tali silaturahmi. Tidak ada satu orangpun yang meragukan kebenaran walau mereka telah melempari Muhammad dengan batu saat memberi ajakan kepada Islam. Lalu yang terjadi sekarang umat sudah berbeda jauh. Beberepa sekelompok ormas Islam sangat miris dengan mengedepankan anarkisme. Upaya melakukan nilai profetik telah berubah menjadi kebrutalan yang justru tidak membuat manusia simpati terhadap ajaran Islam. Akibat ulah beberapa kelompok ini yang nantinya merugikan agama dalam membangun rahmatan lil alamin. Dan jangan heran jika nantinya isu tentang terorisme terhadap islam tidak kunjung usai karena memang ada sebagian dari kita yang selalu meneror tanpa memberikan kepemahaman profetik.
Keempat, perlu adanya sebuah konstruksi dalam kepemimpinan umat Islam. Ini sekaligus menjadi jawaban kenapa Kepemimpinan sangat penting bagi Islam. Dengan pemimpin ini Islam akan mengembalikan kejayaan masa lampau dengan menyuguhkan masyarakat berperadaban yang menjadi kiblat dunia di masa lalu di mana istilah menyebut masyarakat madani (civil society). Kepemimpinan dalam Islam perlu diselesaikan dengan cara bersama antara umat Islam yang dijembatani Ormas Islam, Lembaga Agama, NGO Islam, Organisasi kepemudaan Islam dan lainnya. Konstruksi Kepemimpinan ini dibentuk untuk memberikan dasar-dasar pemahaman arti pentingnya nilai profetik yang diajarkan para Nabi karena memang agama bukan paksaan, sekaligus menjadi puncak regulasi dalam menjaga tatanan moral agama sehingga tidak terjadi hal-hal yang membuat orang menjadi benci dengan agama. Sebagaimana filosofi yang para Nabi gunakan dalam interaksi bagaikan pohon mangga yang telus dilempari dengan kayu dan batu tapi pohon selalu membalasnya dengan menjatuhkan buah mangga yang manis. Inilah garis besar Nilai Profetik yang disebut dalam Al-quran Id’fak bilatihiya ahsan (menolak kejahatan dengan kebaikan). Pemimpin harus mampu menuntaskan salah urus negara yang telah terjadi agar klaim kebenaran tidak harus dilakukan dengan kekerasan tapi dengan pemahaman.[4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam. Dalam hal inilah, komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Ini bisa dibilang sebuah upaya “suntikan imunisasi” bagi perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, semacam menerapkan prinsip-prinsip kaidah komunikasi kenabian terhadap dinamisnya ilmu komunikasi yang berperan penting dalam kancah akselerasi perubahan sosial. Lebih jauh, hal itu dapat menempatkan pengguna komunikasi, konsumen dan media komunikasinya jadi memiliki ”imunitas” pertimbangan etis dalam pelbagai praktik berkomunikasi.
Konsekuensi komunikas profetik, yang pertama, tidak adanya bid’ah-bid’ah yang dilakukan karena Nabi tidak pernah menyeru untuk melakukan hal tersebut. Kedua, adanya sifat toleransi, menghargai dan berbicara dengan hati yang tulus. Ketiga: berusaha untuk melakukan suatu kebenaran yang pernah dilakukan Nabi. Keempat: menolak kejahatan dengan kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007)
Mokhamad Mahfud, Komunikasi Lintas Agama, (persepektif Filsafat Ilmu Etika Profetik), searching web.
N. Faqih Syarif H. Menjadi Da’i yang Dicintai. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)
[1] N. Faqih Syarif H. Menjadi Da’i yang Dicintai. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011). Hal: 2-7
[2] Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), hal 113-115
[3] Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), hal: 9
[4] Mokhamad Mahfud, Komunikasi Lintas Agama, (persepektif Filsafat Ilmu Etika Profetik), searching web.
Dipaparkan juga perkembangan ilmu komunikasi dalam perspektif historis dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk sejarah perkembangan komunikasi di lndonesia, relasi antara ilmu, agama, dan media; pengertian keilmuan teoantroposentris sebagai metode keilmuan dan membincangkan teori kritis dalam konteks industri.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunyi hadits tersebut ?
2. Bagaimana penjelasan hadits?
3. Bagaimana asal-usul komunikasi profetik?
4. Apa konsekuensi komunikasi profetik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teks Hadits
من عبد الله بن عمرو راضي تعالى 'الله عنه، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً.(رواه البخاري)
Artinya : Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).
B. Pejelasan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
Poin kandungan hadits Pertama: Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua: Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk : Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah). Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh kapabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang salah.
Ketiga: Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya,). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah. Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan.[1]
C. Asal-usul Komunikasi Profetik
Secara historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam.
Ayat (teks) merupakan kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi dengan manusia. Ayat (teks) disampaikan kepada manusia melalui Nabi. Dalam studi ilmu Al-Qur’an, ayat tersebut disebut dengan wahyu. Wahyu merupakan bentuk komunikasi khas antara Tuhan dan para Rasul-Nya. Komunikasi tersebut kemudian “dialih turunkan” oleh para Nabi dan Rasul dalam bentuk ayat yang tertulis, seperti yang terulang dalam kitab suci Al-Qur’an. Wahyu merupakan keinginan nyata dari kehendak Tuhan untuk berkomunikasi mellaui penyampaian berita dalam bentuk teks (ayat) kepada manusia. Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.[2]
Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa usia komunikasi sebagai praktek pentebaran informasi sama tuanya dengan usia manusia. Bahkan sebelum manusia tercipta, komunikasi sudah terlebih dahulu ada. Hal tersebut dapat kita temui dalam kisah komunikasi antara allah SWT dengan iblis ketika menciptkana Nabi Adam sebagai manusia pertama. Inilah yang kemudian menmbulkan ambiguitas dan paradoks, jika komunikasi sudah ada sejak manusia tercipta. Rahasia dibalik konvergensi-intekoneksi keilmuan tersebut terletak pada luasnya khazanah keilmuan Allah SWT yang belum terjamah dan tersentuh oleh manusia. Masih banyak keilmuan Allah SWT tersebut yang perlu didekati dan diungkap kebenarannya. Untuk berupaya “mendekati” Allah SWT dalam mengungkapkan sebagian tabir rahasia keilmuan yang dimilik-Nya. Pendekatan ini diberi nama dengan “komunikasi Profetik”.
Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Pilar ilmu sosial profetik ada tiga, yaitu humanisasi (amar ma'ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu'minu billah). Dalam buku ini diuraikan komuniksi dalam perspektif lslam, yang menekankan pentingnya komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi), dan selalu berorientasi kepada Tuhan (transendensi) melalui integrasi-interkonesi kajian ilmu komunikasi.
Dalam konteks inilah, Iswandi Syahputra mengolah perenungan dan pengalamannya dan berupaya mengajukan gagasan baru tentang konsep dan pendekatan komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi) dan selalu berorientasi pada Tuhan (transendensi). Inilah suatu kajian baru tentang komunikasi profetik, komunikasi kenabian yang memberi porsi penting pada nilai dan etika. Dalam hal ini, profetik merupakan kesadaran sosiologis para nabi dalam sejarah untuk mengangkat derajat kemanusiaan dan membawa manusia beriman pada Allah. Komunikasi profetik yang diajukan memang merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi. Istilah ini buah dari pengembangan dari konsep Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang pernah keluar dari gagasan Kuntowijoyo, seorang ilmuwan Islam yang terinspirasi juga oleh spirit Prophetic Reality yang diusung Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Dengan menyebut ilmu-ilmu profetik (seperti halnya komunikasi profetik), kita hanya mendapatkan substansinya, bukan bentuk. Ilmu profetik menemukan bentuknya dalam wujud ilmu integralistik yang menyatukan wahyu Tuhan dan akal pikiran manusia (Kuntowijoyo, 2005 : 103).
Dalam hal inilah, komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Ini bisa dibilang sebuah upaya “suntikan imunisasi” bagi perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, semacam menerapkan prinsip-prinsip kaidah komunikasi kenabian terhadap dinamisnya ilmu komunikasi yang berperan penting dalam kancah akselerasi perubahan sosial. Lebih jauh, hal itu dapat menempatkan pengguna komunikasi, konsumen dan media komunikasinya jadi memiliki ”imunitas” pertimbangan etis dalam pelbagai praktik berkomunikasi.[3]
D. Konsekuensi Komunikasi Profetik
Konsekuensi adanya komunikasi profetik Pertama, jika melihat sejarah Orde lama, orde baru, dan reformasi sekarang, umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini seharusnya memiliki otoritas yang lebih dengan cara penyampaian hak Umat Islam ke regulasi pemerintah. Kasus-kasus yang merugikan kemurnian ajaran Islam sendiri seharusnya diatur lewat aturan yang dirancang oleh wakil rakyat yang sebagian besar mereka adalah pemeluk Islam. Ketegasan aturan agama merupakan sebuah upaya menolak penistaan agama yang membuat ajaran Agama Islam sendiri tidak jelas. Satu contoh jika terbukti bahwa Ahmadiyah bukan termasuk ajaran Islam maka perlu ada ketegasan baik dari kesepakatan Ulama dan disampaikan pemerintah bahwa memang Ahmadiyah bukan ajaran Islam. Ketegasan ini diambil agar tidak terjadi tindakan anarkisme dari sekelompok golongan karena merasa ajaran Islam dinodai dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Alquran dan hadist. Seperti nabi menjelaskan bahwa tidak akan mungkin umatku bersepakat secara mayoritas tentang bid’ah-bid’ah dalam agama. Andaikan benar terjadi bahwa Ahmadiyah bukan menganut ajaran Islam dengan keputusan Ulama dan penyampaian pemerintah maka jelas sudah masalah dan biarkan mereka menjalankan ritual tanpa ada tindakan anarkisme karena mereka sudah jelas bukan Islam.
Kedua, Anarkisme agama sebenarnya memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan sebuah struktur, baik itu entitas agama, gerakan sosial, lembaga politik, ormas Islam dan kelompok-kelompok lainnya. Naluri manusia selalu memberikan apresiasi positif terhadap hal-hal yang menyuguhkan kedamaian. Nilai Profetik (kenabian) mungkin kata yang tepat untuk mewakili sebuah sikap saling menjaga, toleransi, berbicara dengan hati, ketulusan. Dengan nilai profetik inilah agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia akan hakikat diri sebagai seorang makhluk Tuhan. Nilai Profetik inilah yang menjadi jawaban kenapa Muhammad begitu sangat ditaati dan diikuti ajarannya. Tidak ada sedikitpun dalam sejarah manusia tentang agama yang mendahulukan anarkisme dalam interaksi masa. Bahkan tercatat dalam sejarah begitu banyaknya nabi yang sebenarnya menjadi korban dari anarkisme kaumnya karena di tolak ajaran dakwahnya. Nabi Nuh, Isa, Muhammad pernah mengalami hal demikian. Tapi yang sangat menakjubkan kesabaran para nabi menjadi magnet dakwah tersendiri bagi sebagian manusia.
Ketiga, Memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran agama akan lebih berdampak positif dari pada melakukan tindakan anarkisme agama. Dakwah bil hikmah wamauizhatil hasanah (Dakwah dengan hikmah dan suri tauladan yang baik) gambaran yang paling tepat bagi agama apapun. Walaupun nabi Muhammad pernah ditolak kaum taif namun mereka menyadari bahwa Muhammadlah satu-satunya manusia saat itu yang dapat dipercaya hingga dijuluki Al-amin, Muhammad adalah seorang yang jujur, selalu menyambung tali silaturahmi. Tidak ada satu orangpun yang meragukan kebenaran walau mereka telah melempari Muhammad dengan batu saat memberi ajakan kepada Islam. Lalu yang terjadi sekarang umat sudah berbeda jauh. Beberepa sekelompok ormas Islam sangat miris dengan mengedepankan anarkisme. Upaya melakukan nilai profetik telah berubah menjadi kebrutalan yang justru tidak membuat manusia simpati terhadap ajaran Islam. Akibat ulah beberapa kelompok ini yang nantinya merugikan agama dalam membangun rahmatan lil alamin. Dan jangan heran jika nantinya isu tentang terorisme terhadap islam tidak kunjung usai karena memang ada sebagian dari kita yang selalu meneror tanpa memberikan kepemahaman profetik.
Keempat, perlu adanya sebuah konstruksi dalam kepemimpinan umat Islam. Ini sekaligus menjadi jawaban kenapa Kepemimpinan sangat penting bagi Islam. Dengan pemimpin ini Islam akan mengembalikan kejayaan masa lampau dengan menyuguhkan masyarakat berperadaban yang menjadi kiblat dunia di masa lalu di mana istilah menyebut masyarakat madani (civil society). Kepemimpinan dalam Islam perlu diselesaikan dengan cara bersama antara umat Islam yang dijembatani Ormas Islam, Lembaga Agama, NGO Islam, Organisasi kepemudaan Islam dan lainnya. Konstruksi Kepemimpinan ini dibentuk untuk memberikan dasar-dasar pemahaman arti pentingnya nilai profetik yang diajarkan para Nabi karena memang agama bukan paksaan, sekaligus menjadi puncak regulasi dalam menjaga tatanan moral agama sehingga tidak terjadi hal-hal yang membuat orang menjadi benci dengan agama. Sebagaimana filosofi yang para Nabi gunakan dalam interaksi bagaikan pohon mangga yang telus dilempari dengan kayu dan batu tapi pohon selalu membalasnya dengan menjatuhkan buah mangga yang manis. Inilah garis besar Nilai Profetik yang disebut dalam Al-quran Id’fak bilatihiya ahsan (menolak kejahatan dengan kebaikan). Pemimpin harus mampu menuntaskan salah urus negara yang telah terjadi agar klaim kebenaran tidak harus dilakukan dengan kekerasan tapi dengan pemahaman.[4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam. Dalam hal inilah, komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Ini bisa dibilang sebuah upaya “suntikan imunisasi” bagi perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, semacam menerapkan prinsip-prinsip kaidah komunikasi kenabian terhadap dinamisnya ilmu komunikasi yang berperan penting dalam kancah akselerasi perubahan sosial. Lebih jauh, hal itu dapat menempatkan pengguna komunikasi, konsumen dan media komunikasinya jadi memiliki ”imunitas” pertimbangan etis dalam pelbagai praktik berkomunikasi.
Konsekuensi komunikas profetik, yang pertama, tidak adanya bid’ah-bid’ah yang dilakukan karena Nabi tidak pernah menyeru untuk melakukan hal tersebut. Kedua, adanya sifat toleransi, menghargai dan berbicara dengan hati yang tulus. Ketiga: berusaha untuk melakukan suatu kebenaran yang pernah dilakukan Nabi. Keempat: menolak kejahatan dengan kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007)
Mokhamad Mahfud, Komunikasi Lintas Agama, (persepektif Filsafat Ilmu Etika Profetik), searching web.
N. Faqih Syarif H. Menjadi Da’i yang Dicintai. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011)
[1] N. Faqih Syarif H. Menjadi Da’i yang Dicintai. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011). Hal: 2-7
[2] Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), hal 113-115
[3] Iswandi Syahputra. Komunikasi Profetik (konsep dan pendekatan). (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), hal: 9
[4] Mokhamad Mahfud, Komunikasi Lintas Agama, (persepektif Filsafat Ilmu Etika Profetik), searching web.
Comments