Hadits yang berkenaan tentang larangan berambisi menjadi seorang pemimpin

Hadits yang berkenaan tentang larangan berambisi menjadi seorang pemimpin dikaitkan dengan hadits yang menyerahkan kekuasaan terhadap ahlinya jika dibicarakan dalam konteks yang ada dalam sistem di Indonesia ini sangat tepat karena dua hadits tersebut membicarakan tentang kemampuan ideologi yang dimiliki seorang calon pemimpin dengan tanggung jawab masyarakat yang memilih pemimpin tersebut.

Suatu negara yang menganut sistem demokrasi diberi kewenangan untuk mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin dari berbagai kedudukan kursi pemerintahan yang ada. Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang akan tetapi mayoritas negara yang menganut sistem demokrasi justru menjadikannya sebagai ajang rebutan, khususnya jabatan yang menjanjikan berupa kesenangan dunia.

Bagaimana tidak dengan menjadi seorang pemimpin memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri dihadapan mereka, memerintah dan menguasai kekayaan dan kemewahan serta kemegahan. Hal ini yang menjadikan islam melarang seseorang untuk berambisi dalam konteks gila jabatan.

Dalam realita yang ada saat ini wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya banyak elit politik atau calon pemimpin dibidang lainnya tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau sekedar uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye dan sebagainya. Bahkan ada yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival beratnya dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut.

Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang dihaturkan sebelumnya tidak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada mereka berbuat dhalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.

Maka langkah yang baik adalah memilih calon pemimpin yang mempunyai kredibilitas serta integritas yang tinggi dengan cara melihat latar belakang pendidikan dan misi visi yang disampaikan pada waktu kampanye dari hal itu kita bisa mengetahui setidaknya pemimpin tersebut mampu atau tidak dalam menjalankan roda kepemimpinannya kelak dan yang pastinya kontrol dari masyarakat sangat diharapkan demi berjalannya demokrasi kepemimpinan dalam pemerintahan yang baik. Jika kita menyerahkan tahta kepemimpinan pemerintahan terhadap orang yang tidak mampuni dalam bidang tersebut maka yang terjadi adalah kehancuran akan tiba dan hal itu akan dirasakan oleh semua pihak. Kehancuran tersebut beranekaragam, baik hancur secara moral atau hilangnya perikemanusian.

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Sejarah logika di indonesia