SENGKETA BISNIS PADA KASUS DUGAAN PAILIT PT. CITRA TELEVISI INDONESIA (TPI)
LATAR BELAKANG
Kepailitan merupakan suatu keadaan yang dialami oleh banyak perusahaan. Masalah kepailitan tentunya tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan hutang – piutang. Sebuah perusahaan dikatakan pailit apabila perusahaan tidak mampu membayar hutangnya terhadap perusahaan (kreditor) yang telah memberikan pinjaman kepada perusahaan yang pailit. Perusahaan yang pailit dinamakan debitor. Tentunya ada syarat- syarat khusus dalam mengajukan kasus kepailitan di dalam suatu perusahaan. Kasus pailitnya PT. Citra Televisi Indonesia atau yang lebih familiar disebut dengan TPI dengan slogan MIlik Kita Bersama ini adalah salah satu contoh dari begitu banyaknya perusahaan yang dinyatakan pailit oleh kreditornya. Berawal dari tuntutan Crown Capital Global Limited (CCGL), sebuah perseroan yang berkedudukan di British Virgin Island terhadap TPI dalam dokumen resmi yang diperoleh di pengadilan, permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Crown Capital melalui kuasa hukumnya, Ibrahim Senen, dengan perkara No. 31/PAILIT/2009/PN.NIAGA JKT PST, tertanggal 19 Juni 2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai kewajiban yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih US$ 53 juta (nilai pokok saja), di luar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Untuk terpenuhinya unsur – unsur pasal 2 (1) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited dengan tagihan US$ 10.325 juta diluar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Pasal 2 (1) UU Kepailitan memuat ketentuan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas nama permohonan sediri maupun permohonan dari krediturnya.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk mempailitkan TPI pada 14 Oktober 2009. Namun, rupanya Pengadilan Niaga melakukan kesalahan ketika memutusakan untuk mempailitkan TPI. Pengadilan Niaga tidak melakukan proses verifikasi utang – piutang secara lebih jeli, sehingga akibatnya banyak pihak yang seakan – akan menyalahkan keputusan Pengadilan Niaga yang tidak memberi kesempatan TPI untuk membela diri.
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Dari kasus tersebut, diperlihatkan bagaimana proses peradilan Indonesia berjalan. Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai nampak. Sedikit demi sedikit bukti pembayaran tagihan utang oleh TPI dimunculkan dalam setiap persidangan kasasi. Dalam laporan keuangan tersebut diaktakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo
Pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar. Lagipula, ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat – surat utang itu. Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam urusan hukum. Dikatakan bahwa, persyaratan pengajuan kepailitan adalah apabila transaksi yang berjalan berlangsung dengan sederhana, bukan kompleks seperti masalah dugaan pailitnya TPI. Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan diakatakan bahwa harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh mengajukan kasus ini ke pengadilan.
Melihat dua kekeliruan dia tas, pada tanggal 15 Desember 2009 pada akhirnya diputuskan bahwa TPI tidak pailit. TPI masih produktif dalam memberikan informasi, pendidikan, inspirasi, dan hiburan kepada berjuta – juta pemirsa di seluruh Indonesia. Hal ini tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi TPI dan karyawan – karyawannya.
Kejadian ini menurut kami sebagai penulis cukup unik dan menarik perhatian banyak orang. Perusahaan yang telah dituduh pailit oleh Pengadilan Negeri kemudian karena merasa tidak bersalah dan harus memperjuangkan diri. TPI membawa kasus ini ke lembaga pengadilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung untuk menjalani kasasi. Ini tentunya bukan merupakan proses yang singkat, sehingga perlu kita cari tahu bagaimana proses peradilan masalah kepailitan dan pihak mana saja yang terlibat di dalamnya.
PERMASALAHAN
Meninjau dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil adalah :
Bagaimana kelanjutan kasus pailitnya TPI?
Mengapa TPI tidak jadi dinyatakan pailit?
TUJUAN
Tujuan penulisan ini adalah :
Tujuan Akademis
Untuk mengetahui bagaimana kelanjutan kasus pailitnya TPI
Untuk mengetahui sebab – sebab TPI tidak jadi dinyatakan pailit
Tujuan Praktis
Untuk menambah pengetahuan dan cara berpikir penulis dalam menyelesaikan masalah Hukum Bisnis, khususnya masalah kepailitan.
PEMBAHASAN
Kepailitan tidak pernah lepas dari masalah hutang piutang. Salah satu sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang – piutang sebelum tahun 1998 kepailitan diatur dalam Feillissement Verodening Stlb Tahun 1905 No. 217 Yo Sltb Tahun 1906 Nomor 348. Tetapi, sejak tahun 1998, kepailitan diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, kemudian ditetapkan dengan undang – undang Nomor 4 Tahun 1998, lalu diperbaharui lagi dengan Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sementara itu, undang – undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban ini didasarkan pada asas – asas antara lain adalah asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integerasi.
Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, sedangkan pihak lain dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
Asas Kelangsungan Usaha
Asas kelangsungan usaha adalah untuk terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
Asas Keadilan
Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang – wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tiap – tipa tagihan terhadap debitor dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya.
Asas Integerasi
Asas integrasi adalah sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan sistem hukum nasional.
Dengan demikian, undang – undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utamg merupakan perlindungan bagi kepentingan para kreditor umum / konkuren yang pelunasannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1131 Yo Pasal 1132 KUH Perdata, terdapat kelemahan dalam pelunasan utang – piutang. Diketahui bahwa dalam Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa seluruh harta benda seseorang baik bergerak maupun tidak bergerak menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan kebendaan menjadi jaminan bersama – sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda- benda itu dibagi – bagi menurut kerseimbangan besar kecilnya tiap – tiap piutang, kecuali apabila di antara para berpiutang itu, ada alasan yang sah untuk didahulukan.
Dengan adanya ketentuan kedua pasal tersebut di atas, memungkinkan kreditor –kreditor tidak akan mendapat pelunasan 100%, sehingga dengan adanya undang – undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang akan memberikan keadilan bagi kreditor – kreditor untuk memperoleh hak – haknya dalam pelunasan utang – piutangnya.
Landasan Teoritis
Pengertian Pailit
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang – undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat terbayar.
Definisi pailit atau bangkrut menurut Black’s Law Dictionary adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung mengelabui pihak kreditornya. Sementara itu, dalam Pasal 1 butir 1, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang ini. Pasal 1 butir 4, debitor pailit adalah debitor yang dinyatakan pailit dengan keputusan pengadilan.
Dalam hal ini, kurator merupakan Balai Harta Peninggalan (BHP) atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas yang sesuai dengan undang – undang ini.
Dalam pasal 1 butir 7 yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, timbul karena perjanjian atau undang- undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Peraturan Perundangan tentang Kepailitan
Sejarah perundang – undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissment en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staadblads 1906 No. 348 Fallissementverordening. Dalam tahun 1960an, 1970-an secara relatif masih banyak perkara kepailitan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Tahun 1997, krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang – undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998, pemerintah telah menetapkan Peraturan Perundangan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang – Undang tentang Kepailitan yang kemudian disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang – Undang, yaitu Undang – Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang – Undang tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135).
Undang – Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut bukanlah pengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Fallissements Verordening Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang – Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut, maka tiba – tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan – permohonan pernyataan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Tujuan Utama Kepailitan
Adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing – masing.
Lembaga Kepailitan
Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar / tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu :
- Kepailitan sebagai lembaga pemberi pinjaman kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang – hutangnya kepada semua kreditur.
- Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur – krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Para Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan
- Atas permohonan debitur sendiri
- Atas permintaan seorang atau lebih kreditur
- Oleh kejaksaan atas kepentingan umum
- Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
- Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Syarat Yuridis untuk Kepailitan :
Adanya hutang
Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
Adanya debitur
Adanya kreditur (lebih dari satu)
Permohonan pernyataan pailit
Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga
Pihak yang Dapat Melakukan Permintaan Kepailitan
Debitur
Kreditur
Kebijaksanaan demi kepentingan umum
Bank Indonesia
Badan Pengawas Pasar Modal
Langkah – Langkah yang Ada dalam Kepailitan
Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis di atas.
Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang – piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing – masing kreditur. Rapat verifikasi dipimpin oleh hakim pengawas dan dihadiri oleh : (a) Panitera sebagai pencatat, (b) Debitur ( tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus menjelaskan kalau terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah tagihan), (c) Kreditur atau kuasanya (jika berhalangan hadir tidak apa – apa, nantinya mengikuti hasil rapat), (d) Kurator (harus hadir karena merupakan pengelola asset).
Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses sebelumnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada beberapa perbedaan antara perdamaian yang terjadi dalam proses kepailitan dengan perdamaian yang biasa. Perdamaian dalam proses kepailitan meliputi : (a) mengikat semua kreditur kecuali kreditur separatis, karena kreditur separatis telah dijamin tersendiri dengan benda jaminan yang terpisah dengan harga pailit sebelumnya, (b) terikat formalitas, (c) ratifikasi dalam sidang homologasi, (d) jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi, (e) adanya kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian, pelaksanaannya dapat dilakukan secara paksa. Tahap – tahap dalam proses perdamaian antara lain : (a) pengajuan usul perdamaian, (b) pengumuman usulan perdamaian, (c) rapat pengambilan keputusan, (d) sidang homologasi, (e) upaya hukum kasasi, (f) rehabilitasi.
Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian diterima.
Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar – benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlah dengan hutangnya. Hal tentang insolvensi ini sangat menentukan nasib debitur, apakah ada eksekusi atau terjadi restrukturisasi hutang dengan damai. Saat terjadinya insolvensi (pasal 178 UUK) yaitu : (a) saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian, (b) penawaran perdamaian ditolak, (c) pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Dengan adanya insolvensi maka harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kepada para kreditur.
Pemberesan / likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepada kreditur konkuren, setelah dikurangi biaya – biaya.
Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada. Syarat rehabilitasi adalah : telah terjadi perdamaian, telah terjadi pembayaran utang secara penuh.
Kepailitan berakhir.
DATA
Kasus Dugaan Pailit PT. Citra Pendidikan Indonesia (TPI)
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari.
TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada.
Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang b`ik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an.
Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu. Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar.
Di tengah kondisi tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada Henry Tanoe untuk membayar sebagian utang-utang pribadinya. Sebagai catatan, Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan.
Akhirnya BMTR sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$ 55 juta dengan kompensasi akan mendapat 75% saham TPI. Oleh sebab itu, kedua belah pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003.
Crown Capital Global Limited (CCGL) memberikan tuduhan pailit kepada TPI. Tuduhan pailit oleh perusahaan Crown Capital Global Limited (CCGL) terhadap PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dikabulkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009. Putusan tersebut menuai banyak protes oleh para ahli hukum, DPR, Komisi Penyiaran Indonesia, pekerja TPI, dansemua konsumen siaran TPI di Indonesia. Hal ini disinyalir adanya campur tangan Markus (Makelar Kasus), sehingga kasus ini aneh sekali jika dikabulkan dengan mudahnya oleh Pengadilan Niaga.
Menurut Sang Nyoman, Direktur Utama TPI, keberadaan makelar kasus dalam perkara ini disinyalir sangat kuat mengingat sejumlah fakta hukum yang diajukan ke perseidangan tidak menjadi pertimbangan majelis hakim saat memutus perkara ini. Ketika didesak siapa makelar kasus yang dimaksud, Nyoman mengatakan bahwa ada pihak yang disebut – sebut mendapat tugas pemberesan sengketa ini dan mengakui sebagai pengusaha batu bara berinisial RB. Inisial ini pernah terungkap ketika diadakan rapat pertemuan antara hakim pengawas, tim kurator, dan direksi TPI di Jakarta Pusat pada Rabu tanggal 4 November 2009.
Hal tersebut dirasa aneh oleh pihak TPI sendiri karena pihak TPI tidak merasa memiliki utang yang belum terbayar kepada CCGL. Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD $ 53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :
Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD $ 53 juta. Utang dalam bentuk sub ordinated bond tersebut dibuat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx menjelaskan rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang – utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen – dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT. Cipta Marga Nusaphala Persada).
Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond jelas – jelas ilegal.
Hal ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan kasus yang melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan sanggup menggunakannya, sehingga penanganannya pun harus dikecualikan. Dalam putusan pailit ini, kerugian tidak hanya dialami perusahaan tersebut tetapi masyarakat luas juga turut dirugikan.
Pihak kuasa hukum PT. TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukti – bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD $50 juta. Atas instruksi pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond senilai USD 53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan di kantor akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL. Seharusnya utang – utang obligasi jangka panjang tercatat di dalam pembukuan. Bahkan, MNC sebagai pemilik saham 75% di TPI mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka (PT.MNC Tbk).
Menghadapi kejanggalan proses hukum ini, PT. TPI mengajukan kasus ini ke kasasi. Mereka berharap untuk bisa menyelesaikan masalah tuduhan ini dengan secepatnya. Karena setelah mendengar kata pailit, pekerja TPI mulai gelisah, takut di-PHK, dan hak – hak Serikat Pekerja tidak terurus dengan baik. Sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali.
Sungguh kabar yang membawa angin segar bagi TPI dan seluruh pihak yang telah mendukung TPI dalam usaha penolakan kasus pailit karena pada hari Selasa, 15 Desember 2009 Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi TPI yang diajukan oleh karyawan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Alhasil, putusan pailit atas TPI pun batal.
Pihak Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan permintaan TPI untuk mencabut kasus tuduhan pailit CCGL karena ikut serta dalam proses pengadilan kasasi salah satu hakim anggota yang majelis hakim mengabulkan permohonan dengan alasan permohonan pailit yang sudah diputus Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak sederhana. Karena sesuai UU Kepailitan, pembuktiannya harus sederhana. Sedangkan TPI perkaranya rumit dan ruwet, misalnya pembuktian laporan tahunan dan juga bukti - bukti lain yang sifatnya tidak sederhana.
Jadi kesimpulannya, TPI tidak jadi dipailitkan karena laporan dugaan oleh CCGL tidak terbukti benar, bukti – bukti belum jelas, dan karena pembukuan laporan tahunan yang tersedia sangat jauh dari kata sederhana, sementara peraturan tentang kepailitan jelas mengungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana. Akibat berita baik ini, keluarga besar PT. TPI yang sahamnya 75% dimiliki oleh PT. Media Nusantara Citra yang dimiliki oleh Henry Tanoe melakukan syukuran dan memantapkan hati dan langkah untuk mengibarkan sayapnya di udara.
MNC merupakan perusahaan media yang terbesar dan satu-satunya yang terintegrasi di Indonesia yang beroperasi pada stasiun penyiaran televisi, media cetak, jaringan radio, Value Added Services, media on-line, rumah produksi, agen periklanan, manajemen artis, produksi konten dan distribusi konten.
ANALISIS
Pemohon kasus : Crown Capital Global Limited (CCGL) menyampaikan tuduhan kepailitan terhadap Tertuduh : PT Citra Televisi Pendidikan Indonesia (PT TPI) kepada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tuduhan tersebut diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan TPI dijatuhi kasus kepailitan pada tanggal 14 Oktober.
Dasar penerimaan kasus ini oleh Pengadilan Negeri didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar hutang obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD 53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Padahal, pengacara PT. TPI, bukti – bukti yang diajukan penggugat untuk mempailitkan TPI tidak berdasar dan penuh rekayasa. Sementara di lain pihak, CCGL menduga ada rekayasa laporan keuangan PT. TPI mengenai hak tagih USD 53 juta, dimana uang sebesar itu adalah milik Santoro Corporation yang terafiliasi dengan PT Media Nusantara Citra (MNC).
Akibat putusan Pengadilan Negeri untuk mempailitkan PT. TPI yang bekerja di bidang penyiaran, timbullah pro dan kontra tersendiri dari sisi :
PT. TPI itu sendiri. Mereka merasa dan memiliki bukti otentik bahwa hutang USD 53 juta itu hanyalah rekayasa CCGL yang ingin merugikan TPI. Dikatakan bahwa surat berharga dalam rupa obligasi diterbitkan pada 24Desember 1996 dan jatuh tempo pada 24 Desember 2006. Tapi hingga tanggal jatuh tempo, TPI tak kunjung melunasi utang tersebut sehingga Crown pun mengajukan gugatan pailit. Sementara dalam laporan keuangan TPI, obligasi itu tidak tercatat karena obligasi sudah pindah tangan.
Komisi Penyiaran Indonesia. Menurut komisi ini, seharusnya ada perbedaan perlakuan hukum antara perusahaan media dengan perusahaan bisnis pada umumnya. Karena apapun yang berkaitan dengan media, selalu ada hubungannya dengan masyarakat luas yang menjadi pemirsa atau konsumen itu sendiri. Jangan sampai karena sengketa bisnis, kepentingan pemirsa terabaikan.
DPR. Menurut mereka, masalah intern TPI jangan dibiarkan berlarut – larut. DPR sangat memberi dukungan kepada TPI yang menjadi saluran informasi, pendidikan, dan hiburan untuk masyarakat luas. Kepailitan TPI akan berdampak sistemik karena berkaitan dengan tenaga kerja, saham, dan hilangnya akses informasi.
Merasa tidak bersalah, PT. TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas masalah ini. Sesuai prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Setelah melakukan tahap verifikasi (Pencocokan Piutang), ditemukan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu Maryana selaku ketua majelis hakim dengan dua anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin. Beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh Majelis Hakim terdahulu :
Ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari dua. Tapi dalam masalah ini, hanya ada satu kreditur, PT. Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai perusahaan “buatan” atau fiktif, yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori kreditur. Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit Cuma ada satu.
Menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD 53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana.
Dengan meninjau kekeliruan – kekeliruan tersebut, akhirnya Mahkamah Agung memutus kasus tersebut dan menyatakan TPI tidak pailit. Karena dalam hukum nasinnal, kedudukan Mahkamah Agung adalah kedudukan tertinggi, maka keputusan ini tidak dapat diganggu gugat dan PT. TPI resmi tidak pailit.
KESIMPULAN
Beberapa hal yang bisa diambil dari kesimpulannya mengenai proses hukum kepailitan di Indonesia dan inti sari dari hasil penyelesaian kasus kepailitan PT. Citra Televisi Indonesia, antara lain :
Kasus palitnya TPI gagal, karena mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas segala hutang – hutangnya, sedikitnya satu hutang yang telah jauh waktu dan dapat ditagih, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas debitor dan kreditor yang ditunjuk dari hakim pengadilan.
Sistem peradilan berjalan dengan lancar dan prosedural. Namun, sempat terjadi perseteruan di samping tentang penagih utang – piutang. Hal ini disebabkan karena CCGL tidak sepakat apabila tiga kurator yang diajukan PT. TPI menggantikan kurator lama yang sudah disediakan Pengadilan. Peninjauan kembali kasus pailit dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Keputusan MA tidak dapat diganggu gugat.
DAFTAR PUSTAKA
Sari Ela Kartika dan Advendi Simangunsong, SH, MM. 2008, Hukum dalam Ekonomi, Jakarta, Grasindo .
http://www.scribd.com/doc/30056518/ARTIKEL-KEPAILITAN
http://bisnistrategi.blogspot.com/2010/07/kronologi-sengketa-saham-tpi.html
Kepailitan merupakan suatu keadaan yang dialami oleh banyak perusahaan. Masalah kepailitan tentunya tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan hutang – piutang. Sebuah perusahaan dikatakan pailit apabila perusahaan tidak mampu membayar hutangnya terhadap perusahaan (kreditor) yang telah memberikan pinjaman kepada perusahaan yang pailit. Perusahaan yang pailit dinamakan debitor. Tentunya ada syarat- syarat khusus dalam mengajukan kasus kepailitan di dalam suatu perusahaan. Kasus pailitnya PT. Citra Televisi Indonesia atau yang lebih familiar disebut dengan TPI dengan slogan MIlik Kita Bersama ini adalah salah satu contoh dari begitu banyaknya perusahaan yang dinyatakan pailit oleh kreditornya. Berawal dari tuntutan Crown Capital Global Limited (CCGL), sebuah perseroan yang berkedudukan di British Virgin Island terhadap TPI dalam dokumen resmi yang diperoleh di pengadilan, permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Crown Capital melalui kuasa hukumnya, Ibrahim Senen, dengan perkara No. 31/PAILIT/2009/PN.NIAGA JKT PST, tertanggal 19 Juni 2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai kewajiban yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih US$ 53 juta (nilai pokok saja), di luar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Untuk terpenuhinya unsur – unsur pasal 2 (1) UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited dengan tagihan US$ 10.325 juta diluar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Pasal 2 (1) UU Kepailitan memuat ketentuan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas nama permohonan sediri maupun permohonan dari krediturnya.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk mempailitkan TPI pada 14 Oktober 2009. Namun, rupanya Pengadilan Niaga melakukan kesalahan ketika memutusakan untuk mempailitkan TPI. Pengadilan Niaga tidak melakukan proses verifikasi utang – piutang secara lebih jeli, sehingga akibatnya banyak pihak yang seakan – akan menyalahkan keputusan Pengadilan Niaga yang tidak memberi kesempatan TPI untuk membela diri.
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Dari kasus tersebut, diperlihatkan bagaimana proses peradilan Indonesia berjalan. Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai nampak. Sedikit demi sedikit bukti pembayaran tagihan utang oleh TPI dimunculkan dalam setiap persidangan kasasi. Dalam laporan keuangan tersebut diaktakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo
Pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar. Lagipula, ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat – surat utang itu. Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam urusan hukum. Dikatakan bahwa, persyaratan pengajuan kepailitan adalah apabila transaksi yang berjalan berlangsung dengan sederhana, bukan kompleks seperti masalah dugaan pailitnya TPI. Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan diakatakan bahwa harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh mengajukan kasus ini ke pengadilan.
Melihat dua kekeliruan dia tas, pada tanggal 15 Desember 2009 pada akhirnya diputuskan bahwa TPI tidak pailit. TPI masih produktif dalam memberikan informasi, pendidikan, inspirasi, dan hiburan kepada berjuta – juta pemirsa di seluruh Indonesia. Hal ini tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi TPI dan karyawan – karyawannya.
Kejadian ini menurut kami sebagai penulis cukup unik dan menarik perhatian banyak orang. Perusahaan yang telah dituduh pailit oleh Pengadilan Negeri kemudian karena merasa tidak bersalah dan harus memperjuangkan diri. TPI membawa kasus ini ke lembaga pengadilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung untuk menjalani kasasi. Ini tentunya bukan merupakan proses yang singkat, sehingga perlu kita cari tahu bagaimana proses peradilan masalah kepailitan dan pihak mana saja yang terlibat di dalamnya.
PERMASALAHAN
Meninjau dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil adalah :
Bagaimana kelanjutan kasus pailitnya TPI?
Mengapa TPI tidak jadi dinyatakan pailit?
TUJUAN
Tujuan penulisan ini adalah :
Tujuan Akademis
Untuk mengetahui bagaimana kelanjutan kasus pailitnya TPI
Untuk mengetahui sebab – sebab TPI tidak jadi dinyatakan pailit
Tujuan Praktis
Untuk menambah pengetahuan dan cara berpikir penulis dalam menyelesaikan masalah Hukum Bisnis, khususnya masalah kepailitan.
PEMBAHASAN
Kepailitan tidak pernah lepas dari masalah hutang piutang. Salah satu sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang – piutang sebelum tahun 1998 kepailitan diatur dalam Feillissement Verodening Stlb Tahun 1905 No. 217 Yo Sltb Tahun 1906 Nomor 348. Tetapi, sejak tahun 1998, kepailitan diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, kemudian ditetapkan dengan undang – undang Nomor 4 Tahun 1998, lalu diperbaharui lagi dengan Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sementara itu, undang – undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban ini didasarkan pada asas – asas antara lain adalah asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integerasi.
Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, sedangkan pihak lain dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
Asas Kelangsungan Usaha
Asas kelangsungan usaha adalah untuk terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
Asas Keadilan
Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang – wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tiap – tipa tagihan terhadap debitor dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya.
Asas Integerasi
Asas integrasi adalah sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan sistem hukum nasional.
Dengan demikian, undang – undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utamg merupakan perlindungan bagi kepentingan para kreditor umum / konkuren yang pelunasannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1131 Yo Pasal 1132 KUH Perdata, terdapat kelemahan dalam pelunasan utang – piutang. Diketahui bahwa dalam Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa seluruh harta benda seseorang baik bergerak maupun tidak bergerak menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan kebendaan menjadi jaminan bersama – sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda- benda itu dibagi – bagi menurut kerseimbangan besar kecilnya tiap – tiap piutang, kecuali apabila di antara para berpiutang itu, ada alasan yang sah untuk didahulukan.
Dengan adanya ketentuan kedua pasal tersebut di atas, memungkinkan kreditor –kreditor tidak akan mendapat pelunasan 100%, sehingga dengan adanya undang – undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang akan memberikan keadilan bagi kreditor – kreditor untuk memperoleh hak – haknya dalam pelunasan utang – piutangnya.
Landasan Teoritis
Pengertian Pailit
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang – undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat terbayar.
Definisi pailit atau bangkrut menurut Black’s Law Dictionary adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung mengelabui pihak kreditornya. Sementara itu, dalam Pasal 1 butir 1, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang ini. Pasal 1 butir 4, debitor pailit adalah debitor yang dinyatakan pailit dengan keputusan pengadilan.
Dalam hal ini, kurator merupakan Balai Harta Peninggalan (BHP) atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas yang sesuai dengan undang – undang ini.
Dalam pasal 1 butir 7 yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, timbul karena perjanjian atau undang- undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Peraturan Perundangan tentang Kepailitan
Sejarah perundang – undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissment en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staadblads 1906 No. 348 Fallissementverordening. Dalam tahun 1960an, 1970-an secara relatif masih banyak perkara kepailitan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Tahun 1997, krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang – undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998, pemerintah telah menetapkan Peraturan Perundangan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang – Undang tentang Kepailitan yang kemudian disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang – Undang, yaitu Undang – Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang – Undang tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135).
Undang – Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut bukanlah pengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Fallissements Verordening Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang – Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut, maka tiba – tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan – permohonan pernyataan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Tujuan Utama Kepailitan
Adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing – masing.
Lembaga Kepailitan
Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar / tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu :
- Kepailitan sebagai lembaga pemberi pinjaman kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang – hutangnya kepada semua kreditur.
- Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur – krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Para Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan
- Atas permohonan debitur sendiri
- Atas permintaan seorang atau lebih kreditur
- Oleh kejaksaan atas kepentingan umum
- Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
- Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Syarat Yuridis untuk Kepailitan :
Adanya hutang
Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
Adanya debitur
Adanya kreditur (lebih dari satu)
Permohonan pernyataan pailit
Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga
Pihak yang Dapat Melakukan Permintaan Kepailitan
Debitur
Kreditur
Kebijaksanaan demi kepentingan umum
Bank Indonesia
Badan Pengawas Pasar Modal
Langkah – Langkah yang Ada dalam Kepailitan
Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis di atas.
Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang – piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing – masing kreditur. Rapat verifikasi dipimpin oleh hakim pengawas dan dihadiri oleh : (a) Panitera sebagai pencatat, (b) Debitur ( tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus menjelaskan kalau terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah tagihan), (c) Kreditur atau kuasanya (jika berhalangan hadir tidak apa – apa, nantinya mengikuti hasil rapat), (d) Kurator (harus hadir karena merupakan pengelola asset).
Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses sebelumnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada beberapa perbedaan antara perdamaian yang terjadi dalam proses kepailitan dengan perdamaian yang biasa. Perdamaian dalam proses kepailitan meliputi : (a) mengikat semua kreditur kecuali kreditur separatis, karena kreditur separatis telah dijamin tersendiri dengan benda jaminan yang terpisah dengan harga pailit sebelumnya, (b) terikat formalitas, (c) ratifikasi dalam sidang homologasi, (d) jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi, (e) adanya kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian, pelaksanaannya dapat dilakukan secara paksa. Tahap – tahap dalam proses perdamaian antara lain : (a) pengajuan usul perdamaian, (b) pengumuman usulan perdamaian, (c) rapat pengambilan keputusan, (d) sidang homologasi, (e) upaya hukum kasasi, (f) rehabilitasi.
Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian diterima.
Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar – benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlah dengan hutangnya. Hal tentang insolvensi ini sangat menentukan nasib debitur, apakah ada eksekusi atau terjadi restrukturisasi hutang dengan damai. Saat terjadinya insolvensi (pasal 178 UUK) yaitu : (a) saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian, (b) penawaran perdamaian ditolak, (c) pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Dengan adanya insolvensi maka harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kepada para kreditur.
Pemberesan / likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepada kreditur konkuren, setelah dikurangi biaya – biaya.
Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada. Syarat rehabilitasi adalah : telah terjadi perdamaian, telah terjadi pembayaran utang secara penuh.
Kepailitan berakhir.
DATA
Kasus Dugaan Pailit PT. Citra Pendidikan Indonesia (TPI)
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari.
TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada.
Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang b`ik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an.
Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu. Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar.
Di tengah kondisi tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada Henry Tanoe untuk membayar sebagian utang-utang pribadinya. Sebagai catatan, Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan.
Akhirnya BMTR sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$ 55 juta dengan kompensasi akan mendapat 75% saham TPI. Oleh sebab itu, kedua belah pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003.
Crown Capital Global Limited (CCGL) memberikan tuduhan pailit kepada TPI. Tuduhan pailit oleh perusahaan Crown Capital Global Limited (CCGL) terhadap PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dikabulkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009. Putusan tersebut menuai banyak protes oleh para ahli hukum, DPR, Komisi Penyiaran Indonesia, pekerja TPI, dansemua konsumen siaran TPI di Indonesia. Hal ini disinyalir adanya campur tangan Markus (Makelar Kasus), sehingga kasus ini aneh sekali jika dikabulkan dengan mudahnya oleh Pengadilan Niaga.
Menurut Sang Nyoman, Direktur Utama TPI, keberadaan makelar kasus dalam perkara ini disinyalir sangat kuat mengingat sejumlah fakta hukum yang diajukan ke perseidangan tidak menjadi pertimbangan majelis hakim saat memutus perkara ini. Ketika didesak siapa makelar kasus yang dimaksud, Nyoman mengatakan bahwa ada pihak yang disebut – sebut mendapat tugas pemberesan sengketa ini dan mengakui sebagai pengusaha batu bara berinisial RB. Inisial ini pernah terungkap ketika diadakan rapat pertemuan antara hakim pengawas, tim kurator, dan direksi TPI di Jakarta Pusat pada Rabu tanggal 4 November 2009.
Hal tersebut dirasa aneh oleh pihak TPI sendiri karena pihak TPI tidak merasa memiliki utang yang belum terbayar kepada CCGL. Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD $ 53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :
Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD $ 53 juta. Utang dalam bentuk sub ordinated bond tersebut dibuat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx menjelaskan rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang – utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen – dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT. Cipta Marga Nusaphala Persada).
Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond jelas – jelas ilegal.
Hal ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan kasus yang melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan sanggup menggunakannya, sehingga penanganannya pun harus dikecualikan. Dalam putusan pailit ini, kerugian tidak hanya dialami perusahaan tersebut tetapi masyarakat luas juga turut dirugikan.
Pihak kuasa hukum PT. TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukti – bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD $50 juta. Atas instruksi pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond senilai USD 53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan di kantor akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL. Seharusnya utang – utang obligasi jangka panjang tercatat di dalam pembukuan. Bahkan, MNC sebagai pemilik saham 75% di TPI mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka (PT.MNC Tbk).
Menghadapi kejanggalan proses hukum ini, PT. TPI mengajukan kasus ini ke kasasi. Mereka berharap untuk bisa menyelesaikan masalah tuduhan ini dengan secepatnya. Karena setelah mendengar kata pailit, pekerja TPI mulai gelisah, takut di-PHK, dan hak – hak Serikat Pekerja tidak terurus dengan baik. Sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali.
Sungguh kabar yang membawa angin segar bagi TPI dan seluruh pihak yang telah mendukung TPI dalam usaha penolakan kasus pailit karena pada hari Selasa, 15 Desember 2009 Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi TPI yang diajukan oleh karyawan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Alhasil, putusan pailit atas TPI pun batal.
Pihak Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan permintaan TPI untuk mencabut kasus tuduhan pailit CCGL karena ikut serta dalam proses pengadilan kasasi salah satu hakim anggota yang majelis hakim mengabulkan permohonan dengan alasan permohonan pailit yang sudah diputus Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak sederhana. Karena sesuai UU Kepailitan, pembuktiannya harus sederhana. Sedangkan TPI perkaranya rumit dan ruwet, misalnya pembuktian laporan tahunan dan juga bukti - bukti lain yang sifatnya tidak sederhana.
Jadi kesimpulannya, TPI tidak jadi dipailitkan karena laporan dugaan oleh CCGL tidak terbukti benar, bukti – bukti belum jelas, dan karena pembukuan laporan tahunan yang tersedia sangat jauh dari kata sederhana, sementara peraturan tentang kepailitan jelas mengungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana. Akibat berita baik ini, keluarga besar PT. TPI yang sahamnya 75% dimiliki oleh PT. Media Nusantara Citra yang dimiliki oleh Henry Tanoe melakukan syukuran dan memantapkan hati dan langkah untuk mengibarkan sayapnya di udara.
MNC merupakan perusahaan media yang terbesar dan satu-satunya yang terintegrasi di Indonesia yang beroperasi pada stasiun penyiaran televisi, media cetak, jaringan radio, Value Added Services, media on-line, rumah produksi, agen periklanan, manajemen artis, produksi konten dan distribusi konten.
ANALISIS
Pemohon kasus : Crown Capital Global Limited (CCGL) menyampaikan tuduhan kepailitan terhadap Tertuduh : PT Citra Televisi Pendidikan Indonesia (PT TPI) kepada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tuduhan tersebut diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan TPI dijatuhi kasus kepailitan pada tanggal 14 Oktober.
Dasar penerimaan kasus ini oleh Pengadilan Negeri didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar hutang obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD 53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Padahal, pengacara PT. TPI, bukti – bukti yang diajukan penggugat untuk mempailitkan TPI tidak berdasar dan penuh rekayasa. Sementara di lain pihak, CCGL menduga ada rekayasa laporan keuangan PT. TPI mengenai hak tagih USD 53 juta, dimana uang sebesar itu adalah milik Santoro Corporation yang terafiliasi dengan PT Media Nusantara Citra (MNC).
Akibat putusan Pengadilan Negeri untuk mempailitkan PT. TPI yang bekerja di bidang penyiaran, timbullah pro dan kontra tersendiri dari sisi :
PT. TPI itu sendiri. Mereka merasa dan memiliki bukti otentik bahwa hutang USD 53 juta itu hanyalah rekayasa CCGL yang ingin merugikan TPI. Dikatakan bahwa surat berharga dalam rupa obligasi diterbitkan pada 24Desember 1996 dan jatuh tempo pada 24 Desember 2006. Tapi hingga tanggal jatuh tempo, TPI tak kunjung melunasi utang tersebut sehingga Crown pun mengajukan gugatan pailit. Sementara dalam laporan keuangan TPI, obligasi itu tidak tercatat karena obligasi sudah pindah tangan.
Komisi Penyiaran Indonesia. Menurut komisi ini, seharusnya ada perbedaan perlakuan hukum antara perusahaan media dengan perusahaan bisnis pada umumnya. Karena apapun yang berkaitan dengan media, selalu ada hubungannya dengan masyarakat luas yang menjadi pemirsa atau konsumen itu sendiri. Jangan sampai karena sengketa bisnis, kepentingan pemirsa terabaikan.
DPR. Menurut mereka, masalah intern TPI jangan dibiarkan berlarut – larut. DPR sangat memberi dukungan kepada TPI yang menjadi saluran informasi, pendidikan, dan hiburan untuk masyarakat luas. Kepailitan TPI akan berdampak sistemik karena berkaitan dengan tenaga kerja, saham, dan hilangnya akses informasi.
Merasa tidak bersalah, PT. TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas masalah ini. Sesuai prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Setelah melakukan tahap verifikasi (Pencocokan Piutang), ditemukan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu Maryana selaku ketua majelis hakim dengan dua anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin. Beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh Majelis Hakim terdahulu :
Ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari dua. Tapi dalam masalah ini, hanya ada satu kreditur, PT. Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai perusahaan “buatan” atau fiktif, yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori kreditur. Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit Cuma ada satu.
Menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD 53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana.
Dengan meninjau kekeliruan – kekeliruan tersebut, akhirnya Mahkamah Agung memutus kasus tersebut dan menyatakan TPI tidak pailit. Karena dalam hukum nasinnal, kedudukan Mahkamah Agung adalah kedudukan tertinggi, maka keputusan ini tidak dapat diganggu gugat dan PT. TPI resmi tidak pailit.
KESIMPULAN
Beberapa hal yang bisa diambil dari kesimpulannya mengenai proses hukum kepailitan di Indonesia dan inti sari dari hasil penyelesaian kasus kepailitan PT. Citra Televisi Indonesia, antara lain :
Kasus palitnya TPI gagal, karena mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas segala hutang – hutangnya, sedikitnya satu hutang yang telah jauh waktu dan dapat ditagih, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas debitor dan kreditor yang ditunjuk dari hakim pengadilan.
Sistem peradilan berjalan dengan lancar dan prosedural. Namun, sempat terjadi perseteruan di samping tentang penagih utang – piutang. Hal ini disebabkan karena CCGL tidak sepakat apabila tiga kurator yang diajukan PT. TPI menggantikan kurator lama yang sudah disediakan Pengadilan. Peninjauan kembali kasus pailit dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Keputusan MA tidak dapat diganggu gugat.
DAFTAR PUSTAKA
Sari Ela Kartika dan Advendi Simangunsong, SH, MM. 2008, Hukum dalam Ekonomi, Jakarta, Grasindo .
http://www.scribd.com/doc/30056518/ARTIKEL-KEPAILITAN
http://bisnistrategi.blogspot.com/2010/07/kronologi-sengketa-saham-tpi.html
Comments