Sistem Pemilihan Khilafah
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Dengan wafatnya Nabi, berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni hadirnya seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan berdasarkan wahyu Ilahi. Situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meningalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara sahabat yang harus mengantikan beliau sebagai pemimpin. Dalam Al-Qur’an maupun Hadist Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala Negara sepeningal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama mengapa pada empat Al-Khulafa Ar-Rasyidin ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.
2. RUMUSAN MASALAH
Agar lebih praktis maka dapatlah dirumuskan dengan masalah, sebagai berikut:
A. Pemilihan Imam (Khalifah)
B. Bagaimana Cara Pengangkatan Khulafaur-Rasyidin?
a) Cara Pembai’tan Abu Bakar
b) Cara Pembai’tan Umar
c) Cara Pembai’tan Usman
d) Cara Pembai’tan Ali
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pemilihan Imam (Khalifah)
Jika anggota ahlu al-aqdi wa al-hal (parlemen) mengadakan sidang untuk memilih imam (khalifah), mereka haru mempelajari data pribadi orang-orang yang memiliki kriteria-kriteria imamah (kepemimpinan), kemudian mereka memilih siapa diantara orang-orang tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling segera ditaati rakyat, dan mereka tidak menolak membaitnya. Jika diantara hadirin ada orang yang paling ahli berijtihad dan ia layak dipilih, ahlu al-aqdi wa al-hal (Parlemen) menawarkan jabatan imam (khalifah) kepadanya. Jika ia bersedia menjadi imam (khalifah), mereka segera mengangkatnya. Dengan pembaiatan mereka, ia secara resmi menjadi imam (khalifah) yang sah, kemudian seluruh ummat harus segera membaitnya dan taat kepadanya. Namun jika ia menolak dijadikan imam (khalifah), dan tidak memberi jawaban, ia tidak boleh dipaksa untuk menerima jabatan imam (khalifah), karena imamah (kepemimpinan) adalah akad atas adasar kerelaan, dan tidak boleh ada unsur paksaan di dalamnya. Untuk selanjutnya, jabatan imam (khalifah) diberikan kepada orang lain yang layak menerimanya.
Jika yang memenuhi kriteria ada dua orang, maka yang dipilih ialah orang yang lebih tua – kendati usia bukan termasuk kriteria sah juga kalau yang dipilih ialah calon yang paling muda diantara keduannya.
Jika calon pertama lebih pandai dan calon kedua lebih berani, maka yang dipilih adalah siapa yang paling tepat pada zaman tersebut. Jika pada zaman [1]
B. Bagaimana Cara Pengangkatan Khulafaur-Rasyidin
a) Cara Pembai’tan Abu Bakar
Setelah wafatnya Rasulullah, maka kaum Anshar berkumpul dalam gedung pertemuan (saqifah) Bani Sa’idah, mereka bertekad untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah menjadi khalifah.
Peristiwa ini diketahui oleh Umar dan diberitahukan kepada Abu Bakar dan Umar berangkat menuju Saqitah Bani Sa’idah. Dengan nada mempengaruhi, Abu Bakar berpidato kepada mereka, mereka meminta agar meminta Umar atau Abu Ubaidah menjadi Khalifah. Waktu itu, serentak Umar dan Abu Ubaidah berdiri dan berkata, “Demi Allah, kami tidak akan mendahului engkau dalam jabatan ini, karena engkau adalah Muhajirin istimewa dan khalifah Rasulullah dalam sembahyang. Ulurkan tanganmu, kami akan berbai’at untuk engkau.”
Tatkala kedua nya hendak membai’at Abu Bakar, maka Bashir bin Sa’ad dari kaum Anshar mendahului keduannya dengan bai’at, yang kemudian di ikuti oleh jema’ah manusia dari segenap pelosok.
Besoknya, barulah Abu Bakar dilantik dan diambil sumpah secara umum, dan setelah itu, beliaupun mengucapkan pidato pelantikan, seperti berikut:
“Wahai umat manusia, aku telah diangkat menjadi khalifah, padahal aku tidaklah lebik baik dari tuan-tuan. Kalau aku berbuat baik maka bantulah aku, dan kalau aku berbuat menyeleweng, luruskanlah jalanku!. Kebenaran adalah amanah, dan kedustaan adalah khianat. Orang yang tertindas diantara kamu, adalah kuat dalam pandanganku, sehingga akan kuserahkan kepadanya hak nya. Dan orang perkasa diantara kamu, adalah kuanggap lemah sehingga aku akan mengambil hak dari padannya insya Allah. Janganlah tuan-tuan meninggalkan jihad, sebab Allah menimpakan kehinaan kepada kaum yang tidak berjihad. Taatilah aku selama aku tetap mentaati Allah dan Rasulnya, kapan aku telah mendurhakai Allah, aku tidak usah kamu taati lagi. Tunaikanlah sembahyangmu, semoga Allah akan memberi rahmat kepadamu! ”
Inilah pembai’tan Abu Bakar, yang berlaku dengan pemilihan kaum Anshar serta cerdik pandai umat, dan dengan penerimaan dan pengakuan Abu Bakar terhadap pemilihan itu. Pemilihan Abu Bakar dengan cara ini, sesuai dengan firman Allah:
“Dan perkara mereka dimusyawarakan di antara mereka.” (as-shura)
b) Cara Pembai’tan Umar
Umar bin khathab, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar, mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahukunya. Pada tahun ketiga sejak menjabat khalifah, Abu Bakar jatuh sakit. Selama lima belas hari, dia tidak pergi ke masjid, dan meminta kepada Umar agar mewakilinya menjadi Imam shalat. Makin hari, sakit Abu Bakar makin parah dan timbul perasaan padanya bahwa ajalnya sudah dekat. Sementara itu, kenangan tentang pertentangan di Balai Saidah masih segar dalam ingatannya. Dia khawatir kalau tidak segera menunjuk pangganti dan ajalnya segera datang, akan timbul pertentangan di kalangan Umat Islam yang lebih hebat daripada ketika Nabi wafat dahulu. Bagi Abu Bakar, orang yang paling tepat menggantikanya tidak lain adalah Umar bin Khathab. Dia mulai mengadakan permusyawarahan tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan menengoknya di rumah. Di antra mereka adalah Abd Ar-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan dari kelompok Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok Anshar. Pada dasarnya, semua mendukung maksud Abu Bakar, meskipun ada beberapa diantara nya yang menyampaikan catatan. Abd Ar-Rahman misalnya, mengingatkan akan sifat “keras” Umar. Peringatan itu dijwab oleh Abu Bakar bahwa Umar yang bersikap keras selama ini karena melihat sifat Abu Bakar yang lunak, dan kelak kalau Umar Sudah menjadi pemimpin sendiri, dia akan berubah menjdai lebih lunak. Suatu hal yang cukup menarik ialah seusai musyawarah dengan Abd Ar-rahman bin Auf dan Utsman bin Affan, Abu Bakar berpesan kepada mereka berdua agar tidak menceritakan pembicaraan it kepada orang lain.
Abu Bakar memangil Utsman bin Affan, lalu mendiktekan pesannya. Baru saja setengah dari pesan itu diktekan, tiba-tiba Abu Bakar jatuh pingsan, tetapi Utsman terus saja menuliskannya. Ketika Abu Bakar sadar kembali, dia meminta kepada Utsman supaya membacakan apa yang telah dia tuiskan. Utsman membacanya, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Abu Bakar telah menunjuk Umar bin khathab supaya menjadi penggantinya (sepeninggal dia nanti). Seusai dibacakan pesan yang sebagian ditulis oleh Utsman sendiri itu, Abu Bakar menyatakan pula, bahwa tampaknya Utsman juga ikutan gusar terhadap kemungkinan perpecahan umat kalau pesan itu tidak segera disampaikan.
Sesuai dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khathab dikukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu bai’at umum dan terbuka di Masjid Nabawi.[2]
c) Cara Pembai’tan Usman
Setelah terjadi penikaman penikaman politik terhadap Umar, maka para cerdik pandai kaum muslimin meminta agar beliau dapat menunjukkan calon penggantinya. Dengan nada pasti, beliau waktu itu menjawab:
“Ingat, kalau aku menunjuk calon penggantiku, maka yang demikian telah dikerajakan oleh orang yang lebih baik daripadaku, (yang dimaksudkan Abu Bakar); dan kalu aku tidak menunjukkan calon penggantiku, maka orang yang lebih baik daripadaku pun tidak berbuat demikian (yang dimaksudkannya Rasulullah). Semoga Allah tidak akan mengabaikan agama-Nya”
Dengan kecewa para cerdik pandai keluar, dan kemudian masuk lagi dengan usul baru, yaitu agar umar menunjuk “waliyul-‘ahdi” (putera mahkota). Degan nada marah, umar menjawab, “Demi Allah, tidak akan kukerjakan pekerjaan itu, baik waktu aku masi hidup ataupun setelah aku mati. Hanya kamu boleh mempertimbangkan sekelompok orang pilihan yang telah dijanjikan oleh Nabi akan menjadi penghuni Surga, yaitu: Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqas, Az-Zubair Ibnul-‘awwam dan Talhah bin Ubaidillah. Pilihlah salah seorang di antara mereka telah dipilih menjadi Khalifah, bantulah dia dengan sebaik-baiknya.[3]
“Umar tengah bersama mereka seorang dari Anshar (seorang sahabat), ”kata Abdurrahman Qari,” ketika ia yakin bahwa orang-orang yang hadir adalah para kawan terdekatnya, dia bertanya kepadanya tentang pendapat publik mengenai penerusnya. Dia menyebutkan nama Ali. Umar keberatan dan berkata mengapa bukan Abu Hasan?Jika ia berkuasa, dia akan membimbing manusia kepada kebenaran.”
Mughirah bin syu’bah berkata, “umar bertanya kepadaku tentang siapayang pantas menjadi penerus dan aku menjawab, ‘Usman!’
Dia mengkritik Usman. Dan aku juga menyebutkan lima nama dewan, dan pada mereka masing-masing, ia menyebutkan ketidak sempurnaan, dan ia menuduh Imam gemar bercanda. Walaupun ia berkata, ‘Jika ia berkuasa, dia akan membimbing semua orang menuju kebenaran.”
Umar berkata kepada Ka’b Ahbar (yang dipercayai Umar memiliki hubungan-keahlian-dengan Kitab-kitab suci) tentang penerusnya, dia menjawab, “Ali tidak cocok untuk jabatan ini,” dan sebagaimana yang telah ia temukan di dalam kitab-kitab, mereka yang pernah berdebat dengan Nabi saw bisa menjadi khalifah. Nampaknya, yang dia maksud tak lain adalah Bani Umayah, dan yang terdepan diantara mereka adalah Usman. Usman memiliki pengaruh yang sangat besar selama masa Abu Bakar dan Umar.
Ia pernah bertanya kepada Hudzaifah, “Menurut pendapatmu, siapa yang dikenal sebagai teman terdekat Nabi, yang akan diterima penduduk sebagai pemimpin setelah Aku?”
Hudzaifah menjawab,”Kukira penduduk akan menyerahkan diri mereka kepada Usman bin Affan. Persepsi Hudzaifah memang benar, karena kaum Quraisy itu semuanya adalah pendukung Usman.[4]
d) Cara Pembai’tan Ali
Ali bin Abi Thalib, dua belas tahun kemudian, diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan, yang menyelenggarannya jauh dari sempurna. Setelah para pemberontak membunuh Usman bin Affan. Wafatnya khalifah Usman sebagai akibat pembunuhan politik, maka para sahabt yang terdiri dari kaum muhajirin dan anshar datang kerumah Ali meminta kesediaan beliau untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah. Dengan nada pasti Ali menjaawab, “Saya tidak memerlukan Jabatan Khalifah tuan-tuan itu.
Mereka kecewa! Mereka tahu benar bahwa Ali adalah karakter dan berwatak keras. Berulang kali mereka mengajak Ali agar mau menerima pencalonan untuk menjadi khalifah. Akhirnya beliau menjawab, “kalau begitu, baiklah! Tetapi mari kita bicarakan dalam Masjid.”
Berkumpulah para sahabat tadi dan jamaah umat dalam masjid, dimana dilakukan upacara pembai’atan Ali sebagai Khalifah.
Peristiwa pengangkatan Ali, memang berbeda daripada Khalifah sebelumnya. Ali dilantik dan diambil sumpah dalam suasana perang saudara yang masih berkobar; di mana-mana darah masih mengalir dan pedang masih belum kembali ke sarungnya
Sungguhpun demikian, prosedur pemilihan dan pengangkatan Ali telah dijalankan sesuai dengan perinsip shura dalam Islam. Apa yang telah dikerjakan dalam suasana seperti pada saat itu adalah usaha yang paling maksimal. Karena itu, tidak heran kalau banyak para pemuka di luar Madinah yang tidak mengangkat Ali. Memang, tidak mungkin waktu itu menunggu semua para cerdik pandai dari segala kota berkumpul di Madinah.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa terdapat perbedaan antara pemilihan terhadap Ali dan terhadap pemilihan Abu Bakar dan Usman. Dalam dua pemilihan yang pemilihan yang terdahulu meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon-calon itu terpilih dan diputuskan menjadi kahlifah, orang-orang tersebut menerimannya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya, termasuk Ali, baik terhadap Abu Bakar maupun terhadap Usman lain halnya dalam pemilihan terhadap Ali. Penetapannya sebagai khalifah ditolak antara Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur di suria yang keluarga Usman, dengan alasan: pertama, Ali harus mempertanggungjawabkan tentang terbunuhnya Usman; dan kedua, berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru itu, maka hal untuk menentukan pengisian jabatan khilafah tidak lagi merupakan hak mereka yang berada di Madinah saja. Sikap Mu’awiyah, yang di dukung juga oleh sejumlah sahabat di Madinah dan yang kemudian bergabung dengan dia di Suria, selanjutnya sangat mewarnai sejarah ketanegaraan Islam[5].
Tidak mungkin menangguhkan pemilihan dan pengisian kekosongan jabatan Khalifah. Suasana sangat gawat, umat islam harus segera ada khalifahnya. Walau bagaimana pun, pengangkatan dan pembai’atan Ali telah ditempuh jalan musyawarah, telah dilaksanakan prinsip-prinsip demokrasi Islam.
BAB III
ANALISIS TENTANG SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH
A. Analisi terhadap sistem pemilihan khalifah
Pemerintahan Khulafaur Rasyidin, terutama zaman nya Abu Bakar dan Umar, adalah pemerintahan idaman, demikian kata para ahli sejarah. Betapa tidak! Bukankah dalam zaman yang indah itu telah berlaku dalam kenyataan perinsip-perinsip negara seperti yang ditentukan Al-Qur’an?
Perinsip Musyawarah dalam pemilihan khalifah telah berjalan dengan baik. Perinsip Ukhuwah Islamiyah, musawah tammah dan shura telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, sistem penggantian khalifah didasarkan pada kesepakatan umat, bukan semata-semata penunjukkan atau warisan keluarga. Sebelum wafat, Rasul tidak menunjuk siapa penggantinya dalam kedudukan sebagai kepala negara, namun beliau meninggalkan wasiat agar mukmin tetap berpegang pada Al-Qur’an dan as-sunnah. Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah melalui pemilihan dan didalamnya terdapat proses-proses yang terbuka; naiknya Umar ibn al-khatab sebagai khalifah melalui isyarat Abu Bakar yang kemudian segera disepakati melalui bulat oleh semua pihak; demikian pula tampilanya Utsman sebagai pengganti Umar melalui 6 orang formatur; dan juga Ali, meskipun ada persoalan, tetapi pada akhirnya tetap melalui pemba’iatan masyarakat luas (Muir, 1984:1-7)[6]
1. Siapa yang berhak dan bagaimana cara memilih khalifah
Salah satu tugas umat islam yang terpenting, yaitu memilih Kepala Negara (khalifah) dengan musyawarah, sesuai dengan ajaran Allah. Kapan saja kosong jabatan khilafah, maka wajib atas umat Islam untuk memilih penggatinya, dan jabatan kepemimpinan negara tidak boleh kosong dalam keadaan bagaimana pun.
Menurut prinsip syariat Islam, bahwa pemilihan khalifah haruslah dengan musyawarah, seperti friman Allah:
“Urusan Negara haruslah dimusyawarahkan sesama mereka” (As-shura: 38)
“Bermusyawahlah kamu dengan mereka dalam urusan.” (Ali Imran: 159)
Mengenai dengan shura dan ahli shura (ahlul hilli wal’aqdi) telah diuraikan secara luas dalam bab “Poliik Islam Dalam Bidang Pemerintahan.”
Pada permulaan Islam, cukup dengan mengambil pikiran ahli shura yang bermukim di ibu kota Negara saja, karena masih terdapat para sahabat Rasulullah di kota Madinah, demikian pula para calon khalifah.
Keadaan berubah setelah para sahabat-sahabat Nabi berpencar-pencar ke berbagai penjuru negara. Waktu itu cara pemilihan di lakukan mula-mula dengan mengambil pikiran ahl shura yang bermukim di Ibu kota Negara, bukan karena adanya hak istimewa bagi mereka, tetapi karena merekalah yang mula-mula kekosongan jabatan Khalifah dan karena pengambilan suara mereka memungkinkan terlebih dahulu sebelum mereka yang bermukim di wilayah-wilayah negara yang jauh. Apabila mereka telah memilih dan mengangkat khalifah, barulah diambil bai’at untuk khalifah dari ahli shura yang bermukim di kota-kota lain, di mana mereka mengikuti jejak peduduk Ibu kota.
Pemilihan yang dilakukan mula-mula oleh ahli shura Ibu kota, adalah kebiasaan saja, bukan ketentuan syarak, sedangakan ahli shura di kota-kota lain pada hakikatnya adalah pengikut, buka pemilih.
Soalnya, karena sulit mengumpukan ahli shura dari segala kota pada satu tempat da sukar pula mengetahui pikiran mereka dalam satu waktu. Mengenai dengan cara-cara pemilihan khalifah, seorang sarjana Sejarah Islam, abdul wahab An- Najjar, menulis sebagai berikut:
Tidaklah tercantum dalam Al-Qur’an sesuatu peraturan tegas yang mengatur cara-cara pemilihan khalifah kecuali perintah yang bersifat umum, yang menyentuh maslah khalifah dan masalah lainnya, seperti mensifati pekerjaan kaum Muslimin harus dengan musyawarah. Juga rasulullah tidak meninggalkan satu peraturan pun yang dapat diapaki oleh kaum muslimin waktu memilih khalifah mereka.
Berat dugaan saya, bahwa Rasulullah tidak bermaksud menetapkan sesuatu peraturan yang sifat nya hanya berlaku untuk satu zaman. Rasulullah tidak bermaksud membebankan kaum muslimin dengan perintah yang akan menyulitkan mereka dari waktu ke waktu. Menjadi kebijaksanaan Nabi, untuk menyerahkan hal itu kepada kecakapan umat dan kecerdasan mereka,yang akan mengatur masalah pemilihan itu sesuai dengan zaman dan tempatnya masing-masing. Ada pun jalan yang telah mereka tempuh pada zaman yang lalu ada tiga yaitu:
1. pemilihan yang bersifat perundingan tanpa adanya calon, seperti pemilihan dan pengangkatan khalifah Abu Bakar.
2. Cara penunjuka hanya seorang calon dari khalifah terdahulu untuk dibandingkan, seperti pemilihan dan pengangkatan Khalifah Umar.
3. Cara penunjukan beberapa orang calon oleh khalifah terdahulu untuk dipilih salah seorang di antara mereka, seperti pemilihan dan pengangkatan khalifah Usman.
Siapa yang memperhatikan cara pemilihan Khalifah seperti tersebut tiga macam itu, tidak akan mendapatkan satu peraturan yang mencukupi.
2. Cara Pengangkatan Khalifah
Cara pengangkatan khalifah yang telah terjadi dalam sejarah politik Islam, pada garis besarnya ada tiga jalan yaitu:
1. Pemilihan oleh mereka yang berhak memilih.
2. Penyerahan oleh khalifah terdahulu kepada puterannya atau seseorang familinya yang lazim disebut “waliyatul’ahdi” (keputera-mahkotaan)
3. Perebutan jabatan khilafah oleh seseorang dengan kekerasan.
Ini adalah cara-cara yang telah terjadi sepanjang perjalanan sejarah Islam, sedangkan cara sepanjang ajaran Islam, yaitu Jabatan Khalifah itu adalah haknya semua orang Islam. Karena itu, kaum muslimin yang berhak memilih khalifahnya, sesuai dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan perinsip ini.
Al-Mawardi yang lebih menitik-beratkan pendapatnya pada kejadian sejarah, menulis sebagai berikut:
jabatan Imamah terisi dengan dua jalan:
1. Dengan pemilihan “ahlul hilli wal ‘aqdi” (orang cerdik pandai yang ditetapkan)
2. Dengan janji penyerahan dari Imam sebelumnya (sistem wilayatul ‘ahdi atau keputera-mahkotaan).
Tentang pengisian lowongan jabatan Imamah dengan cara pemilihan “ahlul hilli wal ‘aqdi” para ulama terpecah dalam beberapa mazhab tentang jumlah para cerdik pandai itu.
Satu golongan ulama berpendapat, tidak akan sah pengisian lowongan jabatan Imamah itu, kecuali dengan pemilihan oleh jumhur cerdik pandai dari semua penjuru Negara, supaya persetujuan itu merata serta pengangkatannya dengan ijma’. Penfdapat ini terletak dalam pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah dengan pemilihan orang-orang yang hadir saja dengan tidak menunggu kedatangan orang-orang dari jauh.
Golongan ulama yang lain berpendapat, bahwa sekurang-kurang nya jumlah cerdik pandai yang berhak mengangkat Imam, yaitu lima orang, dimana mereka berkumpul untuk mengangkaatnya atau diangkat oleh salah seorang mereka dengan persetujuan empat orang temannya yang lain.
Mereka ini berdalihkan dua peristiwa, yaitu:
1. Bahwa bai’at Abu Bakar berlaku dengan hanya lima orang yang mengangkatnya, kemudian baru diikuti oleh jamaah manusia. Mereka yang lima itu, yaitu Umar Ibnul khattab, Abu Ubaidah Ibnul-Jarrah, Usaid bin hadhir, Bashar bin sa’ad dan salim, budak abu Huzaifah.
2. Bahwa Umar menjadikan Musyawarah antara enam orang, agar diangkat salah seoarang diantara mereka dengan persetujuan lima yang lain. Pendapt ini adalah pendapat kebanyakan Fuqaha dan mutakallimin (ahli hukum dan failasuf) dari penduduk basrah.
B. Analisis Hukum Sistem Pemilihan Khilafah
Bagi kaum muslimin, dasar khilafah adalah kembali pada pemilihan ahl al-‘aqd wa al-hall karena imamah merupakan akad yang menghasilkan baiat dari ahl al-‘aqd wa al-hall wa al-aqd terhadap seseorang yang dipilih sebagai pemimpin umat setelah adanya musyawarah di antara mereka.
Hal tersebut terkadang diartikan bahwa di kalangan kaum Muslimin penetapan khilafah di dasarkan pada baiat melalui proses pemilihan dan tergantung pada kekuasaan dan persetujuan ahl al-‘aqd wa al-hall wa al-aqd. Mungkin ini bisa di terima akal adanya khilafah di dunia ini yang di pilih melalui garis seperti yang telah di sebutkan. Hanya saja kita merujuk pada realitas kita akan mellihat bahwa khilafah dalam Islam tidak berpusat pada asas kekuatan.[7]
1. Menurut Ahl As-Sunnah
Ahl as-sunnah menetapkan pemimpin melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiar). Sementara itu, Syi’ah menetapkan pemimpin lewat keterangan agama (nash) dan petunjukan (ta’yin). Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya’la dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, “kepemimpiman ditetapkan dengan dua cara: Pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa al-‘Aqd; dan kedua, penunjukan imam sebelumnya” (Perlu dicatat di sini bahwa penulis-penulis di atas adalah utama as-sunnah, tetapi anehnya menyebut kepemimpinan dengan istilah imamah).
Ahl as-sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan kepemimpiman dan menunjuk Qs. Asy-Syura 38 dan Ali Imran: 146 sebagai dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura, pemimpin tidak perlu ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki (ikhtiar) pemimpin yang disepakatinnya (ittifaq). Dalam kenyataan, Ahl as-Sunnah tidak mempunyah konsepsi yang jelas tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang memilih, dan berapa jumlah orang yang sepakat.
2. Menurut Al-Mawardi
Menurut al-mawardi, syura boleh dilakukan dalam jumlah terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang. Pengangkatan Abu Bakar dipilih oleh Umar Bin Khattab, Abu Ubaidah bin Al-Jarah, Usaid Bin Hudair, Basyir bin sa’ad, dan salim mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula umar mempercayakan Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu diantaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah. Menurut fuqaha kufah, syura cukup tiga orang dan satu diantara mereka disepekati oleh dua orang yang lain. Bukankah aqad nikah sah dengan dua saksi dan satu wali?kata kelompok yang lain, syura dan ittifaq cukup dilakukan oleh seorang saja, seperti ketika Abbas mendatangi Ali untuk membai’atnya. (Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam as-sulthaniyah 6-7; dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147)
Akhirnya, menurut Ahl As-Sunnah, pemimpin bahkan dapat disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewat Al-Ghalabah (kemenangan Perang). Empat Imam madzhab Ahl As-Sunnah sepakat bahawa pemimpin sah dengan salah satu di antara cara (Al-Yahfufi, 1406:234-256), yaitu:
1. sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu
Bakar)
2. Sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar)
3. Sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah sebelumnya (seperti pegangkatan utsman bin Affan)
4. Sistem Al-Ghalabah bin as-saif (Penaklukan dengan kekuatan militer seperti dilakukan Mu’awiyah)
Syiah berpendapat bahwa imamah sah bila ditegaskan dalam nash. Mereka meyakinkan bahwa Rasulullah saw. Menunjuk pengganti-pengganti sesudahnya untuk memimpin umat Islam “sejak pertama kali ia mengajak orang pada Islam.[8]
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dan dianalisis, maka dalam makalah ini dihasilkan beberapa kesimpulan yang menjadi jawaban atas beberapa permasalahan yang telah dirumuskan. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Wafatnya Nabi Muhammad saw yang tidak memberikan wasiat tentang siapa yang harus meneruskan tampuk pimpinan Negara membuat para sahabat harus berfikir ekstra untuk menentukan metode apa yang akan di pakai untuk memilih Calon Imam dalam hal Ibadah dan Imam dalam pemerintahan karena di AL-Qur’an dan Hadis Nabi tidak terdapat petunjuk nya. Tapi para cendekiawan pada saat itu memutus kan cara pemilihan dengan Musyawarah dan cara pengangkatan nya menggunakan cara bai’at.
2. Dari ke empat khulafaur Rasyidin mempunyai perbedaan dalam hal pengangkatan mereka menjadi seorang khalifah, berikut adalah uraian singkatnya :
1. pemilihan yang bersifat perundingan tanpa adanya calon, seperti pemilihan dan pengangkatan khalifah Abu Bakar. Karena pada waktu pemilihan Abu Bakar calon yang memang pantas dan banyak disetujui oleh para sahabat Nabi adalah Abu Bakar karena semasa hidup Nabi orang yang mengantikan posisi Nabi sebagai Imam Sholat di Masjid adalah Abu Bakar.
2. Cara penunjuka hanya seorang calon dari khalifah terdahulu untuk dibandingkan, seperti pemilihan dan pengangkatan Khalifah Umar. Pemilihan khalifah Umar berbeda dengan masa Abu Bakar karena sebelum Abu Bakar wafat dia telah menulis surat wasiat yang isi nya orang yang akan meneruskan kursi pimpinan Khalifah adalah Umar
3. Cara penunjukan beberapa orang calon oleh khalifah terdahulu untuk dipilih salah seorang di antara mereka, seperti pemilihan dan pengangkatan khalifah Usman di mana ada enam orang bakal calon khalifah yaitu: Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqas, Az-Zubair Ibnul-‘awwam dan Talhah bin Ubaidillah. Dari ke emnam bakal calon Usman bin Affan lah yang terpilih menjadi Khalifah.
4. Cara pemilihan khalifah Ali bin Tidak mungkin menangguhkan pemilihan dan pengisian kekosongan jabatan Khalifah. Suasana sangat gawat, umat islam harus segera ada khalifahnya. Walau bagaimana pun, pengangkatan dan pembai’atan Ali telah ditempuh jalan musyawarah, telah dilaksanakan prinsip-prinsip demokrasi Islam
3. Dalam sejarah empat khulafa al-Rasyidin tidak juga terdapat petunjuk atau contoh tentang cara bagaimana mengakhiri masa jabatan seorang kepala Negara. Mereka berempat semuannya mengakhiri masa tugasnya karena wafat. Abu Bakar meninggal setelah hampir dua setengah tahun memerintah, sedangkan Umar, Usman dan Ali berakhir kekhalifahannya karena mati terbunuh setelah masing-masing memerintah selama sepuluh tahun.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Hukum-hukum penyelenggaraan Negara Dalam Syari’a Islam, Jakarta: PT. Darul Falah, 2006
2. Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007
3. A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1995
4. Rasul Jafariyah, Sejarah Khilafah 11-35H, Jakarta: Al-Huda, 2006
5. Moh. Nur hakim, Islam Responsif, Agama di Tengah Pergulatan Ideologi Politik Budaya Global, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2005
6. Nurcholish Madjid, dkk, Islam Universal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
7. Sjadzali, Munawar, Islam dan Tata Negara, UI-Press: Jakarta, 1990
8. Ali Abd ar-Raziq, Islam Dan Dasar-Dasar Pemerintahan, Yogyakarta: Jendela, 2002
[1] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Hukum-hukum penyelenggaraan Negara Dalam Syari’a Islam, (Jakarta: PT. Darul Falah, 2006), hal 6
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal 215-216
[3] A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal 187
[4] Rasul Jafariyah, Sejarah Khilafah 11-35H, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal 177-178
[5] Sjadzali, Munawar, Islam dan Tata Negara, (UI-Press: Jakarta, 1990), hal 27-28
[6] Moh. Nur hakim, Islam Responsif, Agama di Tengah Pergulatan Ideologi Politik Budaya Global, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2005) hal 4-5
[7] Ali Abd ar-Raziq, Islam Dan Dasar-Dasar Pemerintahan, (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal 30
[8] Nurcholish Madjid, dkk, Islam Universal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal216-217
Comments