AKSIOLOGI; ETIKA DALAM KOMUNIKASI
I.
Latar Belakang
Komunikasi merupakan
sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator terhadap komunikan baik secara
langsung tidak langsung, bermedia, aktif maupun pasif, personal atau juga
interperonal. Yang jelas komunikasi merupakan sebuah proses akan menjadi bukan
langsung jadi.
Sebuah proses dapat
terjadi karena adanya suatu interaksi, baik dalam komunikasi antar pribadi
ataupun komunikasi interpersonal sekalipun. Interaksi-interaksi tersebutlah
yang melahirkan sebuah nilai-nilai, norma-norma, atau yang juga bisa disebut
sebagai etika.
Secara garis besar kita
sering kali mendengar istilah etika didalam kehidupan sehari-hari. Baik hidup
secara bermasyarakat ataupun hidup sebagai individu yang utuh, manusia tidak
akan terlepas dari adanya sebuah interaksi, interaksi merupakan sebuah proses
tukar informasi yang saling terkait satu sama lainnya. Dari sanalah muncul
sebuah nilai-nilai, norma-norma, serta etika dalam komunikasi. Kemudian kami
disini selaku pemakalah akan mencoba menerangkan tentang etika serta
pembagiannya yang tidak akan terlepas dari filsafat moral.
II.
Pembahasan
A. Pengertian
Etika
Etika merupakan
pemikiran sistematis tentang moralitas yang menghasilkan suatu pengertian yang
lebih mendasar dan kritis. Etika bukanlah mengenai norma atau nilai baik dan
buruk dalam kehidupan sosial. Karena etika merupakan orientasi manusia untuk
mengerti baik dan buruk dalam kehidupan sosial itu sendiri.
Alasan-alasan pentingnya sebuah etika :
1.
Kita hidup dalam
masyarakat yang semakin pluralistik. Setiap hari kita sering bertemu dengan
masayarakat dari suku yang berbeda-beda serta agama yang berbeda pula.
2.
Kita hidup dalam masa
transformasi masyarakat. Artinya semakin maraknya hantaman gelombang modernisasi
juga sangat berpengaruh terhadap etika dalam masyarakat. Baik dari segi ekonomi
budaya, sosial dan intelektual.
3.
Etika sebagai filter
kritis dari maraknya ideologi-ideologi yang ditawarkan dimasa kini, sehingga
kita dapat memilah baik dan kurangnya sebuah ideologi, sehingga kita tidak
mudah atau cepat memeluk pandangan baru, tidak naif atau ekstrim dalam
menyikapi persoalan ideologi.
B. Aliran
– Aliran Filsafat Moral
Ukuran baik-buruk perbuatan
tentunya berbeda-beda dalam berbagai sudut pandang. Ukuran kelakuan manusia
dibicarakan dalam aliran-aliran filsafat moral. Filsafat moral dapat disebut
dengan etika. Beberapa diantaranya sebagai berikut :
1.
Idealism
Aliran yang menilai baik buruknya
perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab – musabab lahir, tetapi haruslah
dedasarkan atas prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
2.
Hedonism
Dalam bahasa yunani ‘hedone’
yaitu Kenikmatan dan kelezatan. Namun
hedonism tidak sekedar menetapkan kenyataan kejiwaan ini, melainkan juga
berpendapat bahwa kenikmatan benar-benar merupakan kebaikan yang paling
berharga atau yang tertinngi bagi manusia, sehingga dengan demikian adalah baik
baginya apabila mengusahakan kenikmatan. Maksudnya Hedonisme yaitu menganjurkan manusia untuk mencapai
kebahagiaan yang didasarkan pada kenikmatan, kesenangan ( pleasure ). kebaikan
yang paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari kesenangan sebagai
tujuan hidupnya.
Hedonisme secara paling jelas
menyingkapkan sifatnya ketika mengajarkan bahwa kenikmatan itu sendiri adalah
berharga. Setelah menyadari hal tersebut, maka paham ini mengajarkan bahwaorang
harus bijak dalam menikmati sesuatu. Oleh karena itu hendaknya mengorbankan
kenikmatan manakala dapat diketahui bahwa akibatnya akan beruparasa sakit yang
lebih besar, dan hendaknya bersedia untuk menderita rasa sakit yang lebih
besar,dan hendaknya bersedia untuk menderita rasa sakit sementara, agar
nantinya dapat merasakan kenikmatan yang lebah besar.
Keberatan yang paling besar
terhadap hedonism ialah keberatan yang bersifat etik, keberatan – keberatan ini
tidak dapat ditangkis, karena seperti telah dikatakan hedonism menjadi tujuan
hidup tergantung pada keadaan lahiriah, sedangkan kesusilaan berarti penentuan
diri sendiri.
3.
Eudonism
Pada Kata
‘eudemonisme’ berasal dari kata yunani’eudaimonia’ yang secara harafiah berarti
: mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, artinya mujur dan beruntung. Kata
ini menggambarkan perasaan senang terhadap diri sendiri maupun terhadap
lingkungan, sebagai akibat pengetahuanmengenai penyelarasan diri. Orang yang
telah mencapai tingkatan ‘eudemonia’mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang
sempurna tidak hanya jasmani, melainkan juga secara rohani. Pemahaman ini
terjelma dalam sistem - sistem yang telah lanjut perkembangannya, namun juga
sebagai keyakinan bahwa manusia hidup di dunia untuk berbahagia. Mereka mencari
tujuan hidup pada keadaan - keadaan yang terdapat dalam dirinya sendiri, yang
tidak ia kuasai atau hanya sebagian kecil yang dikuasainya.
4.
Utilitarianisme
Aliran yang menilai
baik dan buruknya perbuatan manusia ditinjau dari kecil dan besarnya manfaat
bagi manusia (utility = manusia). Dalam utilitarianisme Mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan
ialah manfaat suatu perbuatan, suatu dikatakan baik jika membawa manfaat,
dikatakan buruk jika menimbulkan mudarat. Paha m ini mengatakan bahwa orang
baik ialah orang yang membawa manfaat, dan yang dimaksudkannya ialah agar
setiap orang menjadikan dirinya membawa manfaat sebesar-besarnya.
Dengan
demikian titik tolak utilisme tidak menguntungkan, karena masih sedikit atau
tidak sama sekali tidakmengatakan bilamanakah perbuatan yang baik ditinjau dari
segi kesusilaan disebut perbuatan yang bermanfaat. Yang demikian ini sudah
tampak ketikautilisme pertama kali tampil sebagai system yang telah berkembang,
yaitu pada ajaran seorang tokoh inggris bernama Jeremy Bentham (1742-1832).
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa sesuatu hal dikatakan bermanfaat, jika
memberikankebaikan kepada kita atau yang menghindarkan kita dari keburukan.
5. Deontologi
Di
dalam pandangan ini, maka perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi
pada hasil suatu perbuatan dan tidak menyoroti tujuanyang dipilih dari
perbuatan itu, melaikan dari wajib dan tidaknya perbuatan dankeputusan moral
tersebut.deontologi sendiri berasal dari bahasa yunani, deon,yang berarti apa
yang harus dilakukan ; kewajiban (Bertens, 1995:254). Menurut aliran ini
perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu perbuatan
dan tidak lagi menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu,melainkan berdasarkan
maksud dan dari wajib atau tidaknya perbuatan moral itu.Peletak dasar aliran
ini adalah Filsuf besar dari Jerman Immanuel Kant(1724-1804).
Menurutnya
hanya ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, yaitu kehendak baik. Kehendak
baik yaitu kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni
demi kewajiban itu sendiri apa yang membuat kehendak menjadi baik. Kehendak
menjadi baik karena “kewajiban”,Perbuatan yang dilakukan dengan maksud lain,
tidak dapat dikatakan baik. Bertindak sesuai kewajiban menurut Kant disebut
“legalitas”.Dengan legalitas berarti memenuhi norma hukum.
Perbuatan
baru memasuki taraf moralitas, apabila dilakukan semata-mata karena
kewajiban.Suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena
hormat untuk hukum moral. Hakekat kebajikan menurut Kant adalah kesediaan
melakukan apa yang menjadi kewajibannya. Hidup bermoral ada hubungan dengan
kewajiban, terlepas apakah hal itu membahagiakan ataukah tidak. Kant Pemikiran
ditafsirkan dalam arti subyektivistik. Dengan hidup menurut hukum moral,
manusia tidak menyerahkan diri kepada sesuatu yang asing baginya (heteronom),
melainkan mengikuti hukumnya sendiri. Otonomi kehendak pada dasarnya sama
dengan kebebasan manusia, sebab kebebasan adalah kesanggupan untuk bertindak
terlepas dari penguasaan oleh sebab-sebab asing. Kebebasan tidak berarti bebas
dari segalaikatan melainkan manusia itu bebas dengan mentaati hukum moral.
6.
Teologi
Aliran yang berkeyakinan bahwa
ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai atau tidak
sesuainya dengan perintah Tuhan (Theos = Tuhan).
C.
Akar tindakan manusia adalah falsafah
hidup
Kesatuan nilai-nilai
yang menurut manusia memiliki derajat teragung yang jika terwujud ia yakin akan
bahagia. Aksiologi ilmu komunikasi kemudian mempertanyakan untuk tujuan apa
praktisi komunikasi menggunakan ilmunya tergantung pada pokok jawaban atas
pertanyaan pokok falsafah hidup individu manusianya: apakah ilmunya akan
digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat, atau sebaliknya? Demikian pula
halnya dengan ilmuwan komunikasi, falsafah hidupnya akan menentukan dalam
memilih obyek penelitian, cara melakukan penelitian, dan menggunakan produk
hasil penelitiannya.
1. Nilai/Kelayakan komunikasi sebagai ilmu
Dalam menentukan apakah Komunikasi layak
menjadi ilmu maka terlebih dahulu harus dikaitkan dengan pemenuhan
syarat-syarat ilmu. Syarat ilmu antara lain menyatakan bahwa ia harus memiliki
objek kajian, dimana objek kajian tersebut harus terdiri satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya. Secara ontologis obyek material ilmu komunikasi
hanya mengkaji penyampaian pesan antar manusia. Penyampaian pesan kepada yang
bukan manusia berada di luar obyek kajiannya.
Pesan adalah segala
hasil penggunaan akal budi manusia yang disampaikan untuk mewujudkan motif
komunikasi, tanpa motif maka sesuatu tidak dinilai sebagai pesan, karenanya
tidak berada dalam kajian ilmu komunikasi. Syarat ilmu yang kedua menyatakan
bahwa ilmu harus sistematis, dimana obyeknya itu tersusun dalam satu rangkaian sebab
akibat yang tersusun secara sistematis.
Dalam komunikasi sistem
ini telah terjawab dan digambarkan sebagai:
1) mengapa manusia menyampaikan pesan? karena
terdorong oleh motif komunikasi.
2) Dari mana datangnya motif komunikasi?
karena adanya konsepsi kebahagiaan yang lahir dari naluri manusia sebagai
paduan arah bertindak.
3) Dari mana konsepsi kebahagiaan?
diturunkan dari falsafah hidupnya.
4) Dari mana datangnya falsafah hidup?
Diturunkan dari peralatan rohaniahnya yang bekerja secara simultan yaitu: hati
nurani, akal, budi, dan seperangkat naluri.
5) Dari mana datangnya peralatan rohaniah
yang bekerja secara simultan? Dari manusia
Syarat ketiga ilmu
adalah adalah metodologis, dimana harus tersedia cara tertentu untuk membangun
suatu ilmu, dan metode ini berdasarkan metode ilmiah. Sesuai dengan latar
filsafat ilmunya, ilmu komunikasi mengenal dua macam metode penelitian, yaitu
kuantitatif-positivist dan kualitatif anti-positivist. Kedua metode penelitian
dengan dasar filsafat masing-masing menurunkan cara membangun ilmu yang berbeda
dengan tujuan yang berbeda pula.
Ilmu komunikasi dengan
latar postivisme mencari generalisasi dan obyektifitas universal, dimana
hasilnya bebas nilai. Sebaliknya ilmu komunikasi berlatar antipositivisme
mencari intersubyektifitas guna membangun ilmu secara ideografik, dan hasil
penelitiannya justru terkait nilai.
Syarat ilmu yang
keempat adalah universalitas, hal ini berlaku untuk ilmu komunikasi bagi
kuantitatif-positivis untuk membangun generalisasi universal. Kuantitatif
positivis yang berlatar ilmu alam, system sebab-akibat cenderung mekanistis:
setiap sebab menimbulkan akibat yang pasti, terduga, dan teramalkan.
Menggunakan pemaparan
persyaratan ilmu, maka disimpulkan bahwa komunikasi merupakan ilmu karena
memenuhi syarat-syarat ilmu pada umumnya. Pengandaian ini membuat komunikasi
meredefinisikan empat persyaratan ilmu dengan mencabangkan syarat yang keempat,
dimana universalitas tidak diharuskan. Namun hal ini diperlukan agar ilmu
komunikasi bisa berkembang dan menjadi otonom, karena persyaratan mekanistis
tidak bisa diterapkan pada manusia seutuhnya. Hal ini dikarenakan otak manusia
yang terus berkembang. Perkembangan ini mengakibatkan perubahan perilaku
manusia dalam upayanya beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
D.
Teori Bebas
Nilai
Merupakan
salah satu tema yang terus diperdebatkan dalam filsafat ilmu. Bila diawal
perkembangannya, terdapat hubungan yang erat antara teori dan praxis (mempertautkan
pengetahuan dan kepentingan), paham ini kemudian secara perlahan mulai
tergeser, dengan munculnya kajian-kajian dari perspektif filsafat yang
mendasarkan dirinya pada rasionalitas dan empirisme.
Madzhab
positvistik yang dipandang sebagai motor penggerak gerakan baru ini, berupaya
membangun pemurnian ilmu pengetahuan melalui proses kontemplasi
bebas-kepentingan (sikap teoritis murni), dengan cara memisahkan secara tegas
antara teori dengan praxis (pengetahuan dengan kepentingan).
Perkembangan
madzhab positivisme ini, pada akhirnya tidak dapat secara terus menerus
mempertahankan hegemoninya. Gugatan-gugatan terhadap eksistensi madzhab
positivisme pun mulai terdengar dari para pemikir yang berasal madzhab
Frankfurt (yang kemudian lebih dikenal sebagai pemikiran dari aliran ilmu-ilmu
kritis/ teori kritis) yang mengehendaki agar teori tidak dipisahkan dari praxis
sehari-hari.
Paradigma Ilmu Bebas Nilai
Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut
dengan value free, yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah
bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali
dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan
ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur
tangan faktro eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya
ada 3 faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
a.
Ilmu harus
bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus
bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural,
dan social.
b. Diperlukan adanya kebebasan usaha
ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di sini menyangkut kemungkinan yang
tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari
pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai
etis sendiri itu bersifat universal.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam
tanpa batas dapat dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu
sendiri, yang terkdang hal tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk
hal ini adalah teknologi air condition, yang ternyata berpengaruh pada
pemansan global dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat
pendingin ruangan ini semata untuk pengembangan teknologi itu dengan tanpa
memperdulikan dampak yang ditimbulakan pada lingkungan sekitar. Setidaknya, ada
problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut, tetapi ilmu bebas nilai menganggap
nilai ekologis tersebut menghambat perkembangan ilmu. Dalam ilmu bebas nilai
tujuan dari ilmu itu untuk ilmu juga.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Rajagrafindo, Persada, 2007
Tebba, Sudirman. Filsafat dan Etika Komunikasi. Banten
: Pustaka IrVan 2008
Praja,
Juhaya S. Aliran Aliran Filsafat dan
Etika. Jakarta : Prenada Media 2003
Sudarsono.
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Jakarta : Rineka Cipta 1993
Surajiyo.
Ilmu Suatu Pengantar. Jakarta : Bumi
Aksara 2005
Suriasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, cet. XIII. Jakarta : Sinar Harapan, 1984
Vardiansyah,
Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar.
Jakarta : Indeks 2008
Comments
salam kenal yah:D