Asbab al-Wuruud

BAB 1

PENDAHULUAN


Latar Belakang

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwasannya hampir di setiap ibadah yang kita lakukan selalu tercantum yang namanya niat. Yang paling mendasar adalah rukun agama kita, rukun islam. Dari 5, ada 4 yang menjadikan niat sebagai rukun pelaksanaannya. Shalat, puasa, zakat, dan yang terakhir ibadah haji, masing-masing mereka tidak akan sah pelaksanaannya jika tanpa niat.

Begitu pentingnya niat sehingga Allah menjanjikan 10 hasanat bagi seseorang yang berniat melakukan kebaikan dan mengerjakannya. Sedangkan bagi orang yang berniat melakukan kebaikan namun tidak dilaksanakan, maka 1 hasanat bagi orang tersebut.

Yang lebih istimewa lagi, bagi orang yang berniat melakukan kejahatan dan tidak dikerjakan maka Allah mencatat 1 hasanat baginya. Namun jika niat jahatnya itu dikerjakan maka Allah hanya mencatat 1 sayyiat bagi orang tersebut. Subhaanallah !!

Dewasa ini banyak diantara kita yang menyepelekan masalah niat ikhlas dalam melakukan amal perbuatan ini. Bahkan ada yang melakukan kebaikan demi pujian dari orang lain, atau mungkin agar supaya tidak mendapat kemarahan dari orang tua. Sebagai contoh dalam keseharian kita, mengaji agar tidak dimarahi orang tua. Mengaji adalah amal ibadah yang baik, namun jika kita melakukannya bukan karena mengharap ridha Allah maka akan percuma saja.

Ringkasnya, jangan sekali-kali sampai salah niat, sehingga terkena tipuan perasaan diri sendiri serta keburukan-keburukan dan bahaya-bahayanya. Karena semua itu akan ditanya dan diperhitungkan. Ingatlah bahwa Allah Ta’ala itu senantiasa meneliti dan memeriksa semua perbuatan kita. Maka dari alasan-alasan di atas, penyusun merasa perlu untuk mengadakan makalah ini.
Tujuan
Agar mahasiswa tahu tentang hadits-hadits yang berkenaan dan niat ikhlas
Agar para mahasiswa dapat memahami tentang betapa pentingnya arti sebuah niat dalam aspek kehidupan.
Agar mahasiswa dapat memahami tentang urgensi keikhlasan dalam sebuah amal dan dapat memotivasi diri agar beramal dengan ikhlas.



BAB 2

PEMBAHASAN


Hadits tentang niat ikhlas melakukan amal perbuatan

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله

(( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ، وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )) [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري و ابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]


Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb t, dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits)[1]


Asbab al-Wuruud

Asbaabul-wuruud (kronologi atau sesab-sebab diucapakannya) “Hadits niat” ini adalah beberapa kejadian menjelang hijrah ke Madinah. Ketika Rasulullah SAW mengumumkan untuk berhijrah ke Madinah maka kaum muslimin menyambut pengumuman ini dengan senang hati, walaupun perjalanan dari Makkah ke Madinah pada saat itu bukanlah perjalanan yang ringan, melainkan mereka harus menempuh perjalanan panjang yang melelahkan selama kurang lebih seminggu, mereka harus menghadapi alam gurun yang berdebu, sengatan panas di siang hari dan dingin menusuk di malam hari, apalagi mereka harus membawa semua keluarga dari anak kecil sampai ibu tua, membawa banyak keperluan sebagai bekal di perjalanan. Sunnguh perjalanan yang amat meletihkan.

Namun diantara kaum muslimin ada yang justru menyambut pengumuman hijrah ini dengan senang hati karena alasan yang kurang tulus, bukan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan lebih karena hal-hal yang bersifat duniawi. Diantara mereka ada yang merasa senang hijrah ke Madinah karena di sana tanahnya subur sehingga lebih mudah mencari nafkah, sementara di Makkah yang gersang ia susah mencari nafkah. Diantara mereka ada yang belum kawin atau ingin kawin lagi sehingga merasa senang untuk ikut berhijrah karena di Madinah mas kawin lebih murah. Bahkan diantara mereka ada seseorang yang mau berhijrah karena mengejar seorang wanita yang ikut berhijrah.

Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dari Shahabat Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “Diantara kami (yang ikut berhijrah ke Madinah) ada seseorang yang melamar seorang wanita, wanita itu bernama Ummu Qais, kemudian wanita itu menolak lamaran itu kecuali si pelamar mau ikut berhijrah bersamanya, maka orang itupun mau berhijrah dan kemudian menikahi Ummu Qais. Kamipun menjuluki orang itu dengan ‘Muhajir Ummi Qais’ (yang berhijrah pada Ummu Qais).”

Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :



مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلٌُ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ



”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”. (HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al (16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).[2]

Maka Allah SWT mengarahkan hati dan kebijakan Rasulullah SAW untuk memperhatikan masalah ini, sehingga dengan bahasa yang indah beliaupun menegur dan mendidik para Shahabat untuk menjadi orang yang tulus karena Allah didalam melaksanakan semua amal, yaitu dengan menyabdakan “Hadits niat” yang sedang kita bicarakan ini.[3]


Makna Kata


1. أَبِيْ حَفْصٍ  :

Bermakna Al-Asad (singa), sedang Abu Hafsh adalah julukan bagi ‘Umar bin Khathab.


2. إِنَّمَا  :

(hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya.


3. اْلأَعْمَالُ  :

Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).


4. لنِّيَّاتِ ا  :

Merupakan jama’ dari kata niyat. Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak


5. امْرِئٍ  :

Artinya adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan


6. هِجْرَتُهُ  :

Secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah dan untuk menegakkan agama. Adapun hijrah dalam hadits ini adalah Hijrah dari Mekkah ke Madinah.


7. إِلَى اللهِ  :

Maksudnya adalah menuju keridhaan Allah, baik dalam niat atupun tujuan.


8. لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا  :

Artinya adalah demi tujuan duniawi yang ingin dicapainya.



Pandangan Ulama’

Demikian pentingnya perkara niat itu, sehingga para ulama’ meletakkan niat itu sebagai rukun pertama dalam semua ibadat. Selain itu niat juga sebagai pembeda antara amalan ibadah dan kebiasaan. Ketika suatu kebiasaan diniatkan untuk mendapat ridha Allah swt. maka kebiasaan tersebut bernilai ibadah yang berpahala. Sebagai contoh mandi dapat dilakukan untuk menghilangkan hadats, tetapi mandi juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan.

Para ulama’ memperinci niat pada lima macam : hakikat, tempat, hukum, masa, dan syarat.[4]

Hakikat niat : ialah sengaja mengerjakan sesuatu bersamaan dengan perbuatan.

Hukum niat : wajib atau sunnah

Maksudnya ialah Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan. (sunnah)

Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya. (wajib)

Tempat niat : dalam hati

Masa niat : pada permulaan melakukan perbuatan

Syarat niat : untuk tujuan amal kebaikan

Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:

1) Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.

2) Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas

Ya’kub Makkuf berkata : ,.Orang yang berikhlas ialah orang yang suka menyimpan kebaikan-kebaikannya sebagaimana ia suka menyimpan keburukan-keburukannya.,[5] atau yang kita tahu pada umumnya ialah kata-kata “kalau tangan kanan beramal, tangan kiri jangan sampai tahu”.

Sangat penting sekali niat ikhlas dalam melakukan amal perbuatan. Karena apa yang kita lakukan di dunia ini kelak akan ditimbang oleh Allah swt. kemudian itu yang menentukan kita masuk surga ataukah neraka. Sebagaimana ucapan sahabat Ali r.a. berikut ini : “Janganlah kamu prihatin karena sedikitnya amalan, tetapi yang harus diperhatikan itu ialah apakah amalan itu dapat di terima oleh Allah ta’ala”.[6]


Intisari Hadits
1) Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).

2) Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.

3) Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.

4) Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.

5) Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) atau kebiasaan jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.

6) Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.

7) Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan

BAB 3

PENUTUP



Kesimpulan

a. Semua perbuatan tergantung pada niatnya

b. Niat mampu membedakan adat(kebiasaan) dengan ibadah

c. Niat disertai keikhlasan akan semakin menyempurnakan amal ibadah



DAFTAR PUSTAKA

Bahreisj, Salim ,Tarjamah Riadus Shalihin cet. IX, PT al ma’arif : Bandung,1986

Imam al-Ghozali, Ihya’ulumuddin, C.V. Diponegoro:Bandung, 1989

http://aliazmatkhan.blogsome.com/category/kajian-hadits-hadits-niat/

http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2011/03/makalah-hadits-tentang-niat-ikhlas-dan.html



[1] Tarjamah Riadus Shalihin cet. IX, H. Salim Bahreisj, PT al ma’arif : Bandung,1986,hlm.11


[2] http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2011/03/makalah-hadits-tentang-niat-ikhlas-dan.html, diakses tanggal 23 september 2012 jam 14.00


[3] http://aliazmatkhan.blogsome.com/category/kajian-hadits-hadits-niat/, diakses pada tanggal 25 September 2012, diunggah pada 18 Maret 2006.


[4] Tarjamah Riadus Shalihin cet. IX, H. Salim Bahreisj, PT al ma’arif : Bandung,1986,hlm.11


[5] Ihya’ulumuddin, Imam al-Ghozali, C.V. Diponegoro:Bandung, 1989, hlm.977


[6] Ibid,.hlm.976

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki