Kecerdasan Manusia



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Kalangan ilmuan menemukan tiga bentuk kecerdasan dalam diri manusia, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). IQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat di otak, EQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang berpusat di dalam jiwa, dan SQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas rohani yang mengambil lokus di sekitar wilayah roh.
            Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan. Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga (SQ). SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk penyiapan SDM di masa depan, internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
            Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SQ.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kecerdasan Menurut al-Qur’an ?
2. Bagaimana Kecerdasan Menurut Al-Ghazali ?
3. Bagaimana Tinjauan Psikologi Mengenai Kecerdasan ?


C.              Tujuan
1.  Menjelaskan Pengertian Kecedasaan Menurut al-Qur’an
2.  Menjelaskan Kecerdasan Menurut Al-Ghazali
3.  Menjelaskan Tinjauan Psikologi Mengenai Kecerdasaan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Potensi Kecerdasan dalam Pandangan al-Qur’an
            Kecerdasan (dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan bahasa Arab disebut al-dzaka’) menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, atau kesempurnaan sesuatu.[1]
            Intelek (pikiran), dengan intelek orang dapat menimbang, menguraikan, menghubung-hubungkan pengertian satu dengan yang lain dan menarik kesimpulan. Inteligensi (kecerdasan pikiran), dengan inteligensi fungsi pikir dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi/untuk memecahkan suatu masalah.[2]
            Pada mulanya,  kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal (intellect) dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al ma’arifi). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat struktur qalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal al-infi’ali), seperti kehidupan emosional, moral, spiritual, dan agama.[3]
أَفَلَمْ يَسِيْرُوا فِيْ الأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُبُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ أَذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِى فِى الصُّدُورِ
            “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka berakal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Kerena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
            Ayat di atas selain menunjukkan kecerdasan qalbu, juga menunjukkan adanya potensi qalbiah yang mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala, sebab di dalamnya terdapat ‘ayn al-bashirah (mata batin).
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
يُؤْتِى الْحِكْمَتةَ مَن يَشَٓاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَشِيْرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلَّا أُوْلُوْا الأَلبَٰبِ
                        “Allah menganugrahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugrahi hikmah, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”(QS. Al-Baqarah, ayat:269)
            Dalam ayat tersebut kata ‘aql juga dapat dihubungkan dengan predikat orang-orang yang mempunyai kecerdasan intelektual seperti kata  (orang-orang yang mempunyai pikiran).
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan, dan menilai atau memprtimbangkan sesuatu atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan mengunakan logika. Menurut Thurstone, dengan teori multi faktornya terdapat tujuh karekteristik dalam menentukan kecerdasan intelektual, yaitu; 1). Mudah dalam mempergunakan bilangan; 2). Baik ingatan; 3). Mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan; 4). Tajam penglihatan; 5). Mudah menarik kesimpulan data yang ada; 6). Cepat mengamati; dan 7). Cakap dalam memecahkan berbagai problem.
            Melalui tes IQ (intelligence quotient), tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat dibandingkan dengan orang lain.[4]
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
وَلَقَدْذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَشِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ والإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّيَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَذَانٌ لاَيَسْمَعُونَ بِهَا أُلَئِكَ كَالأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَفِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.( QS. Al-A’raf , ayat: 179)
Di dalam Al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan kalbu. Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci  “kalbu” dan tentu saja dengan istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa, intuisi, dan beberapa istilah lainnya.
Jenis-jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Kalbu yang positif
1.                  Kalbu yang damai (Q.S. al-Syura/26:89).
2.                  Kalbu yang penuh rasa takut (Q.S.Qafl50:33)
3.                  Kalbu yang tenang  (Q.S. al-Nahl/16:6)
4.                  Kalbu yang berfikir  (Q.S.al-Haj/2:46)
5.                  Kalbu yang mukmin (Q.S.al-Fath/48:4)
Kalbu yang negatif:
1.                  Kalbu yang sewenang-wenang (Q.S. Gafir/40:35)
2.                  Kalbu yang sakit  (Q.S. al-Ahdzab/33:32)
3.                  Kalbu yang melampaui batas  (Q.S.Yunus/10:74)
4.                  Kalbu yang berdosa (Q.S.al-Hijr/15:12)
5.                  Kalbu  yang terkunci, tertutup  (Q.S.al-Baqarah/2:7)
6.                  Kalbu yang terpecah-pecah (Q.S.al-Hasyr/59:14)
Kalau kalbu (qalb) di atas dapat diartikan sebagai emosi maka dapat difahami adanya emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi yang cerdas dapat dilihat pada sifat-sifat emosi positif dan emosi yang tidak cerdas pada sifat-sifat emosi negatif[5].
Di dalam al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan qalbu. Qalbu memiliki daya-daya emosi (al-Infi’aliy), yang menimbulkan daya rasa (al-Syu’ur). Al-Thabathabai dalam al-Mizan Tafsir al-Qur’an mengemukakan bahwa fungsi qalbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi (intuitif). Ma’an Ziyadah lebih lajut menegaskan bahwa qalbu berfungsi sebagi alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner (al-I’tiqadiyah), memperoleh hidayah, ketakwaan, dan rahmah, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu.[6]
Kecerdasan emosional adalah kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan.[7]
            Emosi juga merupakan reaksi kompleks yang mengkaitkan satu tingkat kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam serta dibarengi dengan perasaan (feeling) yang kuat atau disertai keadaan efektif. Perasaan merupakan pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsangan eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmani.[8]
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.


  1. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan sesorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur.[9]
            Dalam perspektif Islam mengenai spiritual ini adalah merujuk kepada satu perkara yaitu ibadah. Al-Quran menyatakan bahwa dalam surah Adz-zaariyat ayat 56 sebagai berikut,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسِ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنُ
“Tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia itu melainkan beribadah kepadaKu”.
Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa, manusia dan jin adalah mutlak beribadah kepada Tuhan. 
Kecerdasan spiritual merupakan sebuah kesadaran yang menghubungkan manusia dengan Allah SWT dengan hati nurani. Tingkat spiritual pada anak-anak tercermin pada aktivitas kreatifnya. Arah dan tujuan hidup akan indah dengan kecerdasan spiritual. Contohnya: bagaimana kita memandang alam, air, tumbuh–tumbuhan, awan, bunga yang berwarna-warni, Fauna kupu-kupu, dan melihat keindahan isi laut. Untuk mencapai ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT, maka Allah SWT mengajak kita untuk mengenali alam (kecerdasan spiritual). Seperti misalnya kita merasa takjub dengan keindahan alam dalam Surat ‘Abasa  ayat 24-31 telah dijelaskan,
فَلْيَنْظُرِ اْلإِنْسَٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِ. أَنَّا صَبَبْنَا الْمَٓاءَ صَبًّا. ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقَّا. فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا حَبًّا. وَعِنَبًا وَقَضْبًا. وَزَيْتُوْنًا وَنَخْلًا. وَحَدَآ ئِقَ غُلْبًا. وَفَٰكِهَةً وَأَبًّا
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. sesungguhnya Kami benar-benar mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu. Anggur dan sayur-sayuran, Zaitun dan kurma, Kebun-kebun (yang) lebat, Buah-buahan serta rumput-rumputan.”[10]
Kecerdasan spiritual mampu mengoptimalkan kerja kecerdasan yang lain. Individu yang mempunyai kebermaknaan (SQ) yang tinggi, mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh, dari sana ketenangan hati akan muncul. Jika hati telah tenang (EQ) akan memberi sinyal untuk menurunkan kerja simpatis menjadi para simpatis. Bila ia telah tenang karena aliran darah telah teratur maka individu akan dapat berfikir secara optimal (IQ), sehingga ia lebih tepat dalam mengambil keputusan. Manajemen diri untuk mengolah hati dan potensi kamanusiaan tidak cukup hanya denga IQ dan EQ, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang sangat berperan dalam diri manusia sebagai pembimbing kecerdasan lain. Kini tidak cukup orang dapat sukses berkarya hanya dengan kecerdasan rasional (yang bekerja dengan rumus dan logika kerja), melainkan orang perlu kecerdasan emosional agar merasa gembira, dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggung jawab dan life skill lainnya. Perlunya mengembangkan kecerdasan spiritual agar ia merasa bermakna, berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur dan tanpa pamrih yang menjajahnya. Karena itu sesuai dengan pendapat Covey diatas bahwa “SQ merupakan kunci utama kesadaran dan dapat membimbing kecerdasan lainnya”.[11]
B. Kecerdasan menurut Al-Ghazali
            Kecerdasan dalam perspektif Al-Ghazali ialah “kemampuan qalbu untuk menerima ilmu-ilmu Allah SWT.Proses mendapatkan kecerdasan itu ialah dengan cara memikirkan ilmu-ilmu Allah, mengendalikan emosi-emosi yang mengajak kepada kerusakan, serta membersihkan qalbu dari motif-motif duniawi dan kotoran-kotoran dari nafsu. Kata “menerima” dalam pengertian yang dibuat Al-Ghazali, menunjukkan bahwa qalbu hanyalah alat untuk menerima, bukan alat memproduksi pengetahuan sebagaimana pemahaman ilmuwan-ilmuwan barat.
Menurut pendapat Al-Ghazali ilmu Allah mencakup tiga hal, yakni;
1). Ilmu Allah yang diturunkan kepada rasul-rasulNya, baik secara langsung (kitab-kitab suci) maupun melalui lisan rasul-Nya (sunnah). Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada apa yang dibawa olehnya merupakan dasar dari segala kecerdasan.
2). Ilmu Allah dalam wujud ciptaan-Nya berupa alam semesta beserta isinya (al-Quran menyebut ilmu yang kedua ini sebagai ayat-ayat Allah). 
Allah menciptakan alam semesta dengan keunikan dan keteraturannya, memiliki dua tujuan. Tujuan pertama agar manusia bisa memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; kedua, agar manusia merenungkannya sebagai jalan untuk mengetahui keagungan pencipta-Nya yang berujung pada ketundukan dan kepasrahan kepada-Nya.
Al-Quran menyebut orang-orang yang mau merenungkan atau mengambil hikmah dari kejadian-kejadian alam semesta (manusia adalah bagian dari alam semesta) sebagai ulul albab, artinya orang-orang yang berakal.
Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai, karena kepandaian itu dari Allah Swt. Al-Gazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip Q.S. Al-Baqarah/2:269:
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

3). Ilmu Allah yang diberikan langsung ke dalam qalbu (tidak melalui usaha) orang-orang
Selain nabi, ini dinamakan ilham atau ilmu ladunni. Mengenai ilham, adalah hak prerogatif Allah untuk memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Orang-orang yang menerima ilham, bisa jadi dari kalangan ulama yang dalam ilmunya, atau ahli ibadah yang mencurahkan seluruh waktunya hanya untuk mengingat-Nya, orang-orang sholih yang menyinari lingkungannya dengan amal-amalnya, atau dari kalangan orang-orang biasa namun ikhlas dalam setiap perbuatannya dan memasrahkan seluruh hidupnya kepada Allah.[12]


C. Tinjauan Psikologi
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
Kecerdasan ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kemampuan untuk berhitung, bernalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan “What I Think”
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.”[13] Kecerdasan emosional adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali, merasakan, mengelola, dan memimpin perasaan orang lain serta mengaplikasiannya dalam kehidupan pribadi dan sosial.
      Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami suatu kondisi perasaan seseorang, terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Penelitian mengatakan bahwa kecerdasan ini lebih menentukan kesuksesan seseorang dibandingkan dengan kecerdasan sosial. Kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan dengan “What I feel”
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak bersifat menetap atau berubah-ubah di setiap saat.

3. Kecerdasan Spiritual (SQ)
            Kecerdasan spiritual adalah fasilitas yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berada dibagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan di luar ego atau pikiran sadar.[14]
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual, seperti teks-teks kitab Suci atau wejangan orang-orang suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya.
            Kecerdasan inilah yang menurut para pakar sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini menjawab berbagai macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini menjawab dan mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am“. Siapa saya? Untuk apa saya diciptakan?


BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Kecerdasan (dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan bahasa Arab disebut al-dzaka’) menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, atau kesempurnaan sesuatu.
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan, dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan mengunakan logika.
Menurut Thurstone, dengan teori multi faktornya terdapat tujuh karekteristik dalam menentukan kecerdasan intelektual, yaitu; 1). Mudah dalam mempergunakan bilangan; 2). Baik ingatan; 3). Mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan; 4). Tajam penglihatan; 5). Mudah menarik kesimpulan data yang ada; 6). Cepat mengamati; dan 7). Cakap dalam memecahkan berbagai problem.
Kecerdasan emosional adalah kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan sesorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur.
Kecerdasan dalam perspektif Al-Ghazali ialah “kemampuan qalbu untuk menerima ilmu-ilmu Allah SWT.Proses mendapatkan kecerdasan itu ialah dengan cara memikirkan ilmu-ilmu Allah, mengendalikan emosi-emosi yang mengajak kepada kerusakan, serta membersihkan qalbu dari motif-motif duniawi dan kotoran-kotoran dari nafsu
DAFTAR PUSTAKA
Mujid, Abdul, dkk. 2001.  Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Http://www.facebook.com/topic,07/02/2011, 20:45





[1] Abdul Mujid, M.Ag, dkk. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2001). Hal.317
[2]. Drs. H. Abu Ahmadi. Psikologi Umum. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009). Hal.177
[3]. Ibid. Hal. 318-31
[4]. Abdul Mujid, M.Ag, dkk. Nuansa-nuansa Psikologi……… Hal.319
[5] Abid Rohman, s. Ag., M. Pd.i,Diktat Tafsir Tematik Psikologi  hal.105-106
[6]. Abdul Mujid, M.Ag, dkk. Nuansa-nuansa Psikologi……. Hal.327
[7]. Ibid. Hal.328
[8]. Ibid. Hal.320-321
[9]. Ibid. Hal.329
[10]. Ibid. Hal.2
[12]. Http://www.facebook.com/topic, diakses pada tanggal 7 Mei 2011,  20.45
[13]. Drs. H. Abu Ahmadi. Psikologi Umum……….. Hal.172
[14]. Ibid. Hal.208

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki