Kecerdasan Manusia
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalangan ilmuan menemukan tiga
bentuk kecerdasan dalam diri manusia, yaitu kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). IQ ialah kecerdasan
yang diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat di otak, EQ ialah
kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang berpusat di dalam
jiwa, dan SQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas rohani yang
mengambil lokus di sekitar wilayah roh.
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan
untuk meraih kesuksesan. Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal
meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena
didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan
kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat
dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga (SQ). SQ sulit sekali diperoleh tanpa
kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan
ini biasanya disebut multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan
pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk penyiapan SDM di masa depan,
internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk
kecerdasan ini tidak dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji
lebih mendalam beberapa kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat
kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad
yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang
membutuhkan SQ.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kecerdasan Menurut
al-Qur’an ?
2. Bagaimana Kecerdasan Menurut
Al-Ghazali ?
3. Bagaimana Tinjauan Psikologi
Mengenai Kecerdasan ?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan
Pengertian Kecedasaan Menurut al-Qur’an
2. Menjelaskan
Kecerdasan Menurut Al-Ghazali
3. Menjelaskan
Tinjauan Psikologi Mengenai Kecerdasaan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Potensi Kecerdasan dalam Pandangan al-Qur’an
Kecerdasan
(dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan bahasa Arab disebut al-dzaka’)
menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, atau kesempurnaan sesuatu.[1]
Intelek
(pikiran), dengan intelek orang dapat menimbang, menguraikan,
menghubung-hubungkan pengertian satu dengan yang lain dan menarik kesimpulan.
Inteligensi (kecerdasan pikiran), dengan inteligensi fungsi pikir dapat
digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi/untuk memecahkan
suatu masalah.[2]
Pada
mulanya, kecerdasan hanya berkaitan
dengan kemampuan struktur akal (intellect) dalam menangkap gejala sesuatu,
sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al
ma’arifi). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa kehidupan manusia
bukan semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat struktur qalbu
yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif
(al-majal al-infi’ali), seperti kehidupan emosional, moral, spiritual, dan
agama.[3]
أَفَلَمْ
يَسِيْرُوا فِيْ الأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُبُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ
أَذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِى فِى الصُّدُورِ
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan
itu mereka berakal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Kerena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada.”
Ayat
di atas selain menunjukkan kecerdasan qalbu, juga menunjukkan adanya potensi
qalbiah yang mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala,
sebab di dalamnya terdapat ‘ayn al-bashirah (mata batin).
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
يُؤْتِى
الْحِكْمَتةَ مَن يَشَٓاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا
كَشِيْرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلَّا أُوْلُوْا الأَلبَٰبِ
“Allah
menganugrahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugrahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”(QS. Al-Baqarah,
ayat:269)
Dalam
ayat tersebut kata ‘aql juga dapat dihubungkan
dengan predikat orang-orang yang mempunyai kecerdasan intelektual seperti
kata (orang-orang yang mempunyai pikiran).
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan
yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan,
dan menilai atau memprtimbangkan sesuatu atau kecerdasan yang berhubungan
dengan strategi pemecahan masalah dengan mengunakan logika. Menurut Thurstone, dengan teori multi faktornya
terdapat tujuh karekteristik dalam menentukan kecerdasan intelektual, yaitu; 1).
Mudah dalam mempergunakan bilangan; 2). Baik ingatan; 3). Mudah menangkap
hubungan-hubungan percakapan; 4). Tajam penglihatan; 5). Mudah menarik
kesimpulan data yang ada; 6). Cepat mengamati; dan 7). Cakap dalam memecahkan
berbagai problem.
Melalui
tes IQ (intelligence quotient), tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat
dibandingkan dengan orang lain.[4]
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
وَلَقَدْذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَشِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ والإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّيَفْقَهُونَ
بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَذَانٌ لاَيَسْمَعُونَ
بِهَا أُلَئِكَ كَالأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَفِلُونَ
“Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”( QS. Al-A’raf , ayat:
179)
Di dalam Al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional
seringkali dihubungkan dengan kalbu. Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di
dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci “kalbu” dan
tentu saja dengan istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti
jiwa, intuisi, dan beberapa istilah lainnya.
Jenis-jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam
Al-Qur’an dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Kalbu yang positif
1.
Kalbu yang damai (Q.S. al-Syura/26:89).
2.
Kalbu yang penuh rasa takut (Q.S.Qafl50:33)
3.
Kalbu yang tenang (Q.S. al-Nahl/16:6)
4.
Kalbu yang berfikir (Q.S.al-Haj/2:46)
5.
Kalbu yang mukmin (Q.S.al-Fath/48:4)
Kalbu yang
negatif:
1.
Kalbu yang sewenang-wenang (Q.S. Gafir/40:35)
2.
Kalbu yang sakit (Q.S. al-Ahdzab/33:32)
3.
Kalbu yang melampaui batas (Q.S.Yunus/10:74)
4.
Kalbu yang berdosa (Q.S.al-Hijr/15:12)
5.
Kalbu yang terkunci, tertutup (Q.S.al-Baqarah/2:7)
6.
Kalbu yang terpecah-pecah (Q.S.al-Hasyr/59:14)
Kalau kalbu (qalb) di atas dapat diartikan
sebagai emosi maka dapat difahami adanya emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi
yang cerdas dapat dilihat pada sifat-sifat emosi positif dan emosi yang tidak
cerdas pada sifat-sifat emosi negatif[5].
Di
dalam al-Qur’an, aktifitas
kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan qalbu. Qalbu
memiliki daya-daya emosi (al-Infi’aliy), yang menimbulkan daya rasa
(al-Syu’ur). Al-Thabathabai dalam al-Mizan Tafsir al-Qur’an mengemukakan bahwa
fungsi qalbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi (intuitif). Ma’an
Ziyadah lebih lajut menegaskan bahwa qalbu berfungsi sebagi alat untuk
menangkap hal-hal yang doktriner (al-I’tiqadiyah), memperoleh hidayah,
ketakwaan, dan rahmah, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu.[6]
Kecerdasan
emosional adalah kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan pengendalian
nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk
bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat
musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan.[7]
Emosi
juga merupakan reaksi kompleks yang mengkaitkan satu tingkat kegiatan dan
perubahan-perubahan secara mendalam serta dibarengi dengan perasaan (feeling)
yang kuat atau disertai keadaan efektif. Perasaan merupakan pengalaman disadari
yang diaktifkan baik oleh perangsangan eksternal maupun oleh bermacam-macam
keadaan jasmani.[8]
Daniel Golemen, dalam
bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan
bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar
20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang
berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ
mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan
berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa
mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan
bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif
dan bermanfaat.
- Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas batin
seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan sesorang untuk berbuat lebih manusiawi,
sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur.[9]
Dalam perspektif Islam mengenai spiritual
ini adalah merujuk kepada satu perkara yaitu ibadah. Al-Quran menyatakan bahwa dalam surah Adz-zaariyat ayat 56 sebagai
berikut,
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسِ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنُ
“Tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia itu melainkan beribadah
kepadaKu”.
Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa,
manusia dan jin adalah mutlak beribadah kepada Tuhan.
Kecerdasan
spiritual merupakan sebuah kesadaran yang menghubungkan manusia dengan Allah
SWT dengan hati nurani. Tingkat spiritual pada anak-anak tercermin pada
aktivitas kreatifnya. Arah dan tujuan hidup akan indah dengan kecerdasan
spiritual. Contohnya: bagaimana kita memandang alam, air, tumbuh–tumbuhan,
awan, bunga yang berwarna-warni, Fauna kupu-kupu, dan melihat keindahan isi
laut. Untuk mencapai ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT, maka Allah SWT
mengajak kita untuk mengenali alam (kecerdasan spiritual). Seperti misalnya
kita merasa takjub dengan keindahan alam dalam Surat ‘Abasa ayat 24-31 telah dijelaskan,
فَلْيَنْظُرِ
اْلإِنْسَٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِ. أَنَّا صَبَبْنَا الْمَٓاءَ صَبًّا. ثُمَّ
شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقَّا. فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا حَبًّا. وَعِنَبًا وَقَضْبًا.
وَزَيْتُوْنًا وَنَخْلًا. وَحَدَآ ئِقَ غُلْبًا. وَفَٰكِهَةً وَأَبًّا
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
sesungguhnya Kami benar-benar mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami
belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.
Anggur dan sayur-sayuran, Zaitun dan kurma, Kebun-kebun (yang) lebat,
Buah-buahan serta rumput-rumputan.”[10]
Kecerdasan spiritual mampu mengoptimalkan
kerja kecerdasan yang lain. Individu yang mempunyai kebermaknaan (SQ) yang
tinggi, mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh,
dari sana ketenangan hati akan muncul. Jika hati telah tenang (EQ) akan memberi
sinyal untuk menurunkan kerja simpatis menjadi para simpatis. Bila ia telah
tenang karena aliran darah telah teratur maka individu akan dapat berfikir
secara optimal (IQ), sehingga ia lebih tepat dalam mengambil keputusan.
Manajemen diri untuk mengolah hati dan potensi kamanusiaan tidak cukup hanya
denga IQ dan EQ, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang sangat berperan
dalam diri manusia sebagai pembimbing kecerdasan lain. Kini tidak cukup orang
dapat sukses berkarya hanya dengan kecerdasan rasional (yang bekerja dengan
rumus dan logika kerja), melainkan orang perlu kecerdasan emosional agar merasa
gembira, dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggung
jawab dan life skill lainnya. Perlunya mengembangkan kecerdasan
spiritual agar ia merasa bermakna, berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur
dan tanpa pamrih yang menjajahnya. Karena itu sesuai dengan pendapat Covey
diatas bahwa “SQ merupakan kunci utama kesadaran dan dapat membimbing
kecerdasan lainnya”.[11]
B.
Kecerdasan menurut Al-Ghazali
Kecerdasan dalam perspektif
Al-Ghazali ialah “kemampuan qalbu untuk menerima ilmu-ilmu Allah SWT.” Proses mendapatkan kecerdasan itu
ialah dengan cara memikirkan ilmu-ilmu Allah, mengendalikan emosi-emosi yang
mengajak kepada kerusakan, serta membersihkan qalbu dari motif-motif duniawi dan
kotoran-kotoran dari nafsu. Kata “menerima” dalam pengertian yang dibuat
Al-Ghazali, menunjukkan bahwa qalbu hanyalah alat untuk menerima, bukan alat
memproduksi pengetahuan sebagaimana pemahaman ilmuwan-ilmuwan barat.
Menurut
pendapat Al-Ghazali ilmu
Allah mencakup tiga hal, yakni;
1). Ilmu Allah yang diturunkan kepada
rasul-rasulNya, baik secara langsung (kitab-kitab suci) maupun melalui lisan
rasul-Nya (sunnah). Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada apa yang
dibawa olehnya merupakan dasar dari segala kecerdasan.
2). Ilmu Allah dalam wujud ciptaan-Nya
berupa alam semesta beserta isinya (al-Quran menyebut
ilmu yang kedua ini sebagai ayat-ayat Allah).
Allah menciptakan alam semesta
dengan keunikan dan keteraturannya, memiliki dua tujuan. Tujuan pertama agar
manusia bisa memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; kedua, agar
manusia merenungkannya sebagai jalan untuk mengetahui keagungan pencipta-Nya
yang berujung pada ketundukan dan kepasrahan kepada-Nya.
Al-Quran menyebut orang-orang yang
mau merenungkan atau mengambil hikmah dari kejadian-kejadian alam semesta
(manusia adalah bagian dari alam semesta) sebagai ulul albab, artinya
orang-orang yang berakal.
Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu
pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai, karena kepandaian itu dari
Allah Swt. Al-Gazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip Q.S.
Al-Baqarah/2:269:
“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang
dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).”
3). Ilmu Allah yang diberikan langsung ke
dalam qalbu (tidak melalui usaha)
orang-orang
Selain nabi,
ini dinamakan ilham atau ilmu ladunni. Mengenai ilham, adalah hak prerogatif Allah untuk
memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Orang-orang yang menerima
ilham, bisa jadi dari kalangan ulama yang dalam ilmunya, atau ahli ibadah yang
mencurahkan seluruh waktunya hanya untuk mengingat-Nya, orang-orang sholih yang
menyinari lingkungannya dengan amal-amalnya, atau dari kalangan orang-orang
biasa namun ikhlas dalam setiap perbuatannya dan memasrahkan seluruh hidupnya
kepada Allah.[12]
C. Tinjauan
Psikologi
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
Kecerdasan
ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah
kecerdasan yang memberikan kemampuan untuk berhitung, bernalogi, berimajinasi,
dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya diungkapkan oleh
para pakar psikologis dengan “What I Think”
2.
Kecerdasan Emosional (EQ)
Salovey
dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ
sebagai “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah
semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.”[13] Kecerdasan
emosional adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali, merasakan,
mengelola, dan memimpin perasaan orang lain serta mengaplikasiannya dalam
kehidupan pribadi dan sosial.
Kecerdasan emosional digambarkan
sebagai kemampuan untuk memahami suatu kondisi perasaan seseorang, terhadap
diri sendiri ataupun orang lain. Penelitian mengatakan bahwa
kecerdasan ini lebih menentukan kesuksesan seseorang dibandingkan dengan
kecerdasan sosial. Kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan dengan “What I feel”
Kecerdasan
emosional
sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tidak bersifat menetap atau berubah-ubah di setiap saat.
3.
Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual adalah fasilitas yang memungkinkan
otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan yang berada dibagian diri yang dalam, berhubungan
dengan kearifan di luar ego atau pikiran sadar.[14]
Orang
yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara
rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara
spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual, seperti teks-teks kitab Suci atau
wejangan orang-orang suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang
dihadapinya.
Kecerdasan inilah yang menurut para
pakar sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini menjawab berbagai
macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini menjawab dan
mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am“. Siapa saya? Untuk apa
saya diciptakan?
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kecerdasan
(dalam bahasa Inggris disebut intelligence dan bahasa Arab disebut al-dzaka’)
menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, atau kesempurnaan sesuatu.
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan
yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan,
dan menilai atau mempertimbangkan
sesuatu atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah
dengan mengunakan logika.
Menurut
Thurstone, dengan teori multi faktornya terdapat tujuh karekteristik dalam
menentukan kecerdasan intelektual, yaitu; 1). Mudah dalam mempergunakan
bilangan; 2). Baik ingatan; 3). Mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan;
4). Tajam penglihatan; 5). Mudah menarik kesimpulan data yang ada; 6). Cepat
mengamati; dan 7). Cakap dalam memecahkan berbagai problem.
Kecerdasan
emosional adalah kecerdasan qalbu yang berkaitan dengan pengendalian
nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk
bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat
musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan.
Kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan qalbu yang berhubungan dengan kualitas batin
seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan sesorang untuk berbuat lebih manusiawi,
sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur.
Kecerdasan
dalam perspektif Al-Ghazali ialah “kemampuan qalbu untuk menerima ilmu-ilmu Allah SWT.” Proses mendapatkan kecerdasan itu
ialah dengan cara memikirkan ilmu-ilmu Allah, mengendalikan emosi-emosi yang
mengajak kepada kerusakan, serta membersihkan qalbu dari motif-motif duniawi dan
kotoran-kotoran dari nafsu
DAFTAR
PUSTAKA
Mujid, Abdul, dkk. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Ahmadi, Abu. 2009.
Psikologi Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Http://www.facebook.com/topic,07/02/2011, 20:45
http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/hubungan-antar-sq-eq-dan-iq/, 01/06/2011, 08 :45
[1] Abdul Mujid, M.Ag, dkk. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2001). Hal.317
[2]. Drs. H. Abu Ahmadi. Psikologi Umum. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009). Hal.177
[3]. Ibid. Hal. 318-31
[4]. Abdul Mujid, M.Ag, dkk. Nuansa-nuansa Psikologi……… Hal.319
[7]. Ibid. Hal.328
[8]. Ibid. Hal.320-321
[9]. Ibid. Hal.329
[10]. Ibid. Hal.2
[11] http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/hubungan-antar-sq-eq-dan-iq/ diambil pada tanggal 1 juli 2011 08 :45
Comments