Kodifikasi Hadist


PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran islam ke dua setelah al-qur’an, yang setiap muslim wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran ajaran-ajaran yang terdapat di  dalamnya. Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh manusia.
B.     Rumusan masalah
1.      Membahas tentang definisi kodifikasi hadis.
2.      Menerangkan sejarah kodifikasi khadis.
3.      Membahas tentang faktor-faktor pendorong kodifikasi hadis.
C.     Tujuan penulisan.
1.      Memahami apa itu definisi kodifikasi hadis.
2.      Mengungkap sejarah kodifikasi khadis.
3.      Menjelaskan tentang faktor-faktor pendorong kodifikasi hadis.


PEMBAHASAN
A.    Pengertian definisi kodifikasi hadis.
Kata kodifikasi dalam bahasa arab di kenal dengan al-tadwin yang berarti codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun.[1] Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadis nabi secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang di lakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.[2] dengan kata lain, ta’win al-hadis (kodifikasi hadis)adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadis nabi atas perintah resmi dari penguasa Negara (khalifah)bukan di lakukan atas inisiatif perorangan atau untuk keperluan pribadi.
Kodifikasi yang di maksudkan di sini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadis-hadis nabi yang di lakukan berdasar perintah resmi khalifah Umar ibn Abd al-aziz (99-101H/717-720M), khalifah kedelapan Bani Umayah, yang kemudian kebijakannya itu di tindaklanjuti oleh para ulama’ di berbagai daerah hingga pada masa-masa berikutnya hadis-hadis terbukukan dalam kitab-kitab hadis.
B.     Sejarah kodifikasi hadis.
Ide penghimpunan hadis nabi secara tertulis pertama kali di kemukakan oleh Umar ibn Khatab (w.23 H/644 M). untuk merealisasikan idenya itu, Umar bermusyawaroh dengan para sahabat Nabi dan beristikharah. Para sahabat menyetujui idenya itu, tetapi setelah sekian lama istikharah, Umar sampai pada kesimpulan bahwa ia tidak akan melakukan penghimpunan dan kodifikasi hadis, karena khawatir umat islam akan terpaling dari al-qur’an.[3]
Dengan demikian, kodifikasi hadis secara resmi terjadi pada masa Umar ibn ‘Abd al-aziz, salah seorang khalifah beni umayah. Proses kodifikasi hadis yang baru di lakukan pada masa ini di mulai dengan dengan khalifah mengirim surat keseluruh pejabat dan ulama’ di berbagai daerah pada akhir tahun 100 Hyang berisi perintah agar seluruh hadis nabi di masing- masing daerah segera di himpun. Umar yang di dampingi Muhammad ibn Muslim ibn syihab al-zuhri(w.124H/742M), seorang ulama’ besar di negeri hijas dan syam, menggalang agar para ulama’ hadis mengumpulkan hadis di masing-masing daerah mereka,[4] untuk bahan penghimpunan hadis selanjudnya. Dan juga Umar memerintahkan Abu Bakar Muhammad ibn Hazm (w.117H.) untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada Amrah binti Abd al-Rahman ( murid kepercayaan Asiyah ) dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq.
C.     Abad-Abad kodifikasi hadis.
1)      Kodifikasi hadis Abad II Hijriyah.
Pada abad kedua, para ulama’ dalam aktifitas kodifikasi hadis, tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadis- hadis saja, tapi fatwa sahabat dan tabi’in juga di masukkan ke dalam kitab-kitab mereka.
Pada abad kedua ini ulama’ yang berhasilmenyusun kitab tadwin dan sampai pada kita adalah Malik ibn Anas (93-179 H) yang menyusun kitab al-Muwaththa’.kitab ini di susun sejak tahun 143 H. pada masa khalifah al-Manshur, salah seorang khalifah Bani Abbasiyah. Kitab ini tidak hanya memuat hadis rasul saja, tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat malik sendiri atau praktik ulama’ dan masyarakat madinah.[5] Setelah itu, muncul para ulama’ sesudahnya seperti Al-awza’i (150 H)yang menyusun kitab Al-Mushannaf, Muhammad Ibnu Ishaq (w.151 H)yang menyusun kitab Al-Maqhazi Wa al-syiar,syu’bah Ibn al Hajjaj (w.160 H)yang menyusun kita Al- Mushannaf, Al-Laits Ibn sa’ad(w.175 H)yang juga menyusun kitab Al-Mushannaf, Sufyan Ibn Uyayna (w.198 H)dengan kitabnya Al-Mushannaf, dan Al-humaydi (w.219 H) juga menyusun kitab Al-Mushannaf. Pada abab ini juga disusun kitab Musnad karya Zayd Ibn Ali dan Imam Al- Syafi’I,(w.204 H). Al- Syafi’I juga menyusun kitab Mukhtalif Al- hadist. Kitab-Kitab tersebut banyak menjadi perhatian dan rujukan dalam kajian-kajian hadist dan sirah.
Abad kedua ini juga diwarnai dengan meluasnya pemalsuan hadist yang telah ada semenjak masa khalifah Ali ibn Abi Thalib (w.41 H) dan menyebabkan sebagian ulama’ pada abad ini tergugah mempelajari keadaan para periwayat hadist,disamping pada waktu itu memang banyak periwayat yang lemah ,meskipun tidak berarti pada abad pertama tidak ada perhatian sama sekali, terhadab keberadaan periwayat hadist.
2)      Kodifikasi hadist abad III Hijriah
Berbeda dengan abad sebelumnya, abad ketiga hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dan fatwa Sahabat dan Tabi’in[6].Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman bani Abbasyiyah,yakni pada masa makmun sampai Al- Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa Tadwin belum bias dipisahkan antara hadist marfhu’,mawquf,dan maqthu’,hadist yang dha’if dari yang sahih ataupun hadist yang maudhu’ masih tercanpur dengan yang sahih.Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah suatu hadist itu sahih atau dha’if. Para periwayat hadist tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran,kekuatan hafalan,dan lain sebagainya.Materi kodifikasi yang dibukukan pada abad ini dipisahkan antara hadist Nabi, pendapat Sahabat dan Tabi’in, meskipun hadist-hadist yang dihimpun tidak diterangkan antara yang sahih, hasan,dan dha’if. mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadis-hadis nabi lengkap dengan sanatnya , yang kemudian kitab-kitab hadis hasil karya mereka di sebut dengan istilah musnad.
banyak kitab-kitab musnad yang ditulis pada penhujung abad kedua dan awal abad tiga hijriyah,diantara kitab-kitab yang ditulis oleh Abu Daud Sulayman Ibn Jarud Al-Thayalisi (w.204 H),Abu Bakr ‘Abd Allah Ibn Zubayr Al- Humaydi (w.219 H),As’ad Ibn Musa Al- Umawi (w.212H),Ubayd Allah Ibn Musa Al-Abbasi (w.213 H) Musaddad Al-Bashri (w.228 H) Ahmad Ibn Hanbal (w.241 H/885 M),Ishaq Ibn Rawayh (w.161/238 H) dan Usman ibn Syaybah (w.156/239 H).diantara musnad –musnad itu musnad karya Ibn Hanbal yang terlengkap dan paling luas cakupannya.[7]
Meskipun di lakukan penyeleksian hadis-hadis yang di susun dalam kitab-kitab musnad diatas masih tercampur antara hadis yang sahih, hasan dan dhaif. karena itu, kemudian bangkitlah ulama’-ulama’ hadis pada pertengahan abad III hijriah untuk memilih hadis-hadis yang sahih saja. Aktifitas ini di mulai oleh ishaq ibn Rawayh yang berusaha memisahkan hadis-hadis yang sahih dengan yang tidak. Kemudian pekerjaan yang mulia ini di sempurnakan oleh al-imam Abu Abd Allah Muhammad ibn Ismail al-Bukhori (194-256H/810-870M) dengan menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-jami’al-sahih atau kitab sahih al-bukhori. Kemudian usaha al-bokhori ini diikuti oleh muridnya Muslim ibn al-hajjaj al-Qusyayri (204-261H/817-875M) dengan kitabnya sahih muslim. Pada saat yang hamper bersamaan Abu Daud Sulayman ibn al-Asy’ats al-sijistani (202-275H/819-888M) Menyusun kitab sunan Abi Daud. Di lanjudkan oleh Abu Isa Muhammad ibn Isa’ ibn Surah al-Turmudzi (824-892M) dengan karyanya sunan al-Turmudzi, Ahmad ibn Syu’aib al-khurasani al-Nasa’i (215-303H/830-915M) dengan kitabnya sunan al-Nasa’i, kemudian Abd Allah ibn Muhammad ibn Yazid ibn Abd Allah al-Qazwini yang di kenal dengan Ibn Majah (207-273H/824-887M)dengan hasil karyanya sunan  Ibn Majah. Keenam kitab di atas oleh ulama’ hadis disebut dengan al-kutub al-sittah, meskipun sebagian ulama’ ada yang tida memasukan sunan  Ibn Majah kedalam kelompok kitab enam tersebut karena derajad kitab sunan ini di mulai lebih rendah dari kitab–kitab hadis yang lima. menurut mereka kitab poko yang nomer emam adalah al-Muwaththa’ karya imam malik. Dari sekian banyak kitab di atas yang menempati peringkat utama dan pertama adalah sahih al-bukhori kemudian sahih muslim.
3)      Kodifikasi hadis abad IV-VII Hijriah
Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadis berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, yang sistem pengumpulan hadisnya di dasarkan pada usaha pencarian sendiriuntuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya di gunakan metode yang berlainan. Demikian pula ulama’ yang terlibat pada sebelum abad ke empat di sebut nama ulama’ mutaqaddimun dan ulama’ yang terlibat dalam kodifikasi hadis pada abad ke empat dan seterusnya di sebut ulama’ mutaakhirun.
Pembukuan hadis pada priode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan vareasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab hadis yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al-kutub al-sittah, al-muwathta’ Imam Malik ibn Anas, dan al-musnad Ahmad ibn Hanbal, para ulama’ mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk jawami, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadis untuk topic-topik tertentu.
Pertama kitab-kitab yang termasuk  dalam katagori jamawi antara lain : al-jamawi bayn al-shahihayn oleh ismail ibn ahmad yang di kenal dengan sebutan ibn al-furrat (w.414H) dan Muhammad ibn Allah al-jawzaqa,al-jami’ (yang mengumpulkan hadis-hadis dalam al-kutub  al-sittah) karya Abd al-Haqq ibn Abd al-Rahman al-Syabliyang di kenal dengan ibn al-khurrath, Mashabib al-sunah (kumpulan hadis beberapa kitab ) ditulis oleh al-imam Husayn ibn Mas’ud al-Baqhawi(w.516H)yang kemudian di seleksi oleh al-Thabrizi dengan kitabnya Misykah al-Mashabih, dan Muntaqa al-Akhbar (berisi hadis-hadis hokum) di susun oleh ibn Taymiyah, yang kemudian di syarah oleh al-Syawkani dengan kitabnya Nayl al-Awthar.[8]
Kedua, kitab-kitab yang di susun dengan tipe al- Athraf antara lain :
Ø  Athraf al-Shahihayn karya Ibrahim al-Dimasyqi (w.400H)
Ø  Athraf al-Kutub al-Sittah oleh Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi (w.507H)
Ø  Athraf al-Sunan al-Arba’ah karya ibn Asakir al-Dimasiqi(w.571H) yang di beri judul al-isyraf ala Ma’rifah al-Athraf.
Ketiga kitab-kitab yang men-takhrij dari kitab-kitab hadis tertentu kemudian meriwatannya dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab-kitab tersebut antara lain Mustakhraj Sahih muslim oleh al-Hafizh Abu Awanah (w.316H)dan mustakhraj shahih al-Bukhari karya al-Hafizh ibn Mardawayh (w.416H)[9]
Dengan demikian, usaha-usaha ulama’ hadis pada abad-abad ini meliputi beberapa hal berikut:
1.      Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan muslim dalam sebuah kitab .
2.      Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab.
3.      Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab kedalam satu kitab.
4.      Mengumpulkan hadis-hadis hokum dalam satu kitab hadis.
5.      Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal) hadis yang terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari dan shahih Muslim sebagai petunjuk materi hadis secara keseluruhan.
6.      Men-takhrij dari kitab-kitab hadis tertentu , kemudian meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab-kitab tertentu.
4)      Kodifikasi hadis abad ketujuh hijriah sampai sekarang
Kodifikasi hadis yang di lakukan pada abad ke tujuh dilakukan dengan cara menerbitkan isi kitab-kitab hadis, penyaringan, dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hokum, men-takhrij  hadis-hadis yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf,mengumpulkan hadis-hadis di sertai dengan menerangkan derajadnya, mengumpulkan hadis-hadis dalam sahih al-Bukhari da sahih Muslim, men-tashhih sejumlah hadis yang belum di tashih oleh ulama’ sebelumnya, mengumpulkan hadis-hadis tertentu sesuai topic, dan mengumpulkan hadis dalam jumlah tertentu.
Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya ketika muncul kitab-kitab hadis yang model penyusunannya hamper sama seperti penyusunan kitab-kitab jami’, kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali penelisan dan pembukuan hadis- hadis yang tidak terdapat dalam kitab hadis sebelumnya dalam sebuah kitab yang di kenal dengan istilah kitab zawahid.
Kitab-kitab jawami’umum yang mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab kedalam sebuah kitab tertentu antara lain: jami’ al-Musanid wa sunan al-Hadi ila Qawam al-sunan karya al-Hafish Ibn Katsir (w.3774H). dalam kitab ini di kumpulkan hadis-hadis yang sebelas yang di susun oleh al-Hafish al-Suyuti (911H).  kitab ini banyak mengandung hadis-hadis dhaif dan bahkan mawdhu’. Kemudian di terbitkan oleh Alauddin al-Hindi(975H) dalam kitabnya Kanz al-Ummah fi sunan al-Aqwal wa al-Af’al yang selanjudnya di ringkas dalam kitab Muntakh Abu Kanz al-Ummah.[10]
Kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hokum antara lain :al-Imam fi Ahadits al-Ahkam karya ibn Daqiq al-Id, Taqrib al-Asanid wa Tartib al-Masanid oleh Zayn al-Din al-Iraqi, dan Bulugh al-Maram min Ahadits al-Ahkam oleh al-Hafizh   ibn Hajar al-Asqalani (w.8532H)

Kitab- kitab athraf yang juga di susun pada priode ini antara lain: Ithraf al-Maharah bi Athraf al-Asyarah oleh ibn hajar al-Asqalani, Athraf al-Musnad al-Mu’tali bi Athraf al- Musnad al-Hanbali oleh ibn Hajar al-Asqalani, Athraf al- hadits al-Mukhtarah oleh ibn hajar al-Asqalani, Athraf sahih ibn Hibban oleh al-Iraq, dan Athraf al-Masanid al-Asyarah oleh Syihab al-Bushiri.
Tidak hanya pada abad keempat, pada abat ketujuh di susun pula kitab jami’ yaitu : al-Jami’ Bayn al-Shahihayn karya Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, yang dikenal dengan ibn Hujjah(w.642H). kitab hadis hokum juga juga di susun pada priode ini yaitu Muntaqa al-Akhbarfi Ahadits al-Ahkam oleh Maj al-Din Abu al-Barakah Abd al-Salam ibn Abd Allah ibn Abi al-Qasim al-Harani(w.652) demikian pula kitab al-Muktarah karya Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Maqdisi(w.643H)kitab ini men-tashhih –kan sejumlah hadis yang belum di tashhih oleh ulama’ sebelumnya. Kitab Riyadh al-Shalihin dan al-Arba’in atau Arba’in al-nawawi, yang sekarang banyak di kaji di pondok –pondok pesantren, di susun pada masa ini oleh  al-Nawawi.
Kitab-kitab yang juga di tulis pada preode ini adalah Subul al-salam oleh Muhammad ibn Ismail al-Shan’ani(w.1182H), fath al-Allam karya Shiddiq hasan Khan (w.1307H), al-Jami’ al-Shaghir min Ahadits al-basyir al-Nadzir oleh al-Suyuthi. Al-Suyuthi  juga menyusun kitab lubab al-hadits yang kemudian di beri syarah oleh al-Nawawi dengan judul kitabnya Tanqih al-Qawl al-Ahadits.
D.    Faktor-faktor pendorong kodifikaasi hadis
Kodifikasi hadis pada masa Umar ibn Abd al-Aziz (99-101H), menurut Muhammad al-Zafzaf, di latar belakangi oleh dua factor , yaitu :
Pertama,  para ulama’ hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus di perkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadis.
Kedua, banyak berita yang di ada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah,dan lain-lain.[11] yang berupa hadis palsu (mawdhu’).
Fakto-faktor penyebab di lakukannya kodifikasi hadis tersebut dapat di klasifikasikan menjadi dua:
v  Factor internal berupa:
1.      Pentingnya menjaga autentisitas dan eksitensi hadis, karena hadis di samping sebagai sumber agama islam yang ke dua setelah al-qur’an,juga merupakan panduan bagi umat islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
2.      Semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan nabi y6ang sangat berharga karena nabi memang pernah bersabda bahwa beliau meninggalkan dua hal yang jika uamat islam perpegang keduannyamereka tidak akan tersesat selamanya, yaitu al-qur’an dan hadis Nabi.(HR.al-Hakim al-Naysaburi).
3.      Semangat keilmuan yang tertanam di kalangan umat islam saat itu termasuk di dalamnya aktifitas tulis menulis dan periwayatan hadis.
4.      Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis  pada saat itu.
5.      Para penghafal dan priwayat hadis semakin berkurang karena meninggal dunia baik di sebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya.
6.      Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan kemudian Meriwatkannya.
v  Factor ekternal berupa:
1.      Penyebaran islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
2.      Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang di sebabkan antara lain oleh perbedaan politikdan aliran.[12]
Tidak sedikit hadis yang mereka buat dapat meluluhlantakkan fondasi-fondasi islam, sehingga bila tidak di lakukan klasifikasi dan koleksi, dapat berakibat pada kehancuran ajaran islam pada umumnya.


PENUTUP
Demikian makalah yang seadanya ini saya buat dengan kemampuan yang sangat minim sekali untuk memenuhi tugas mata kuliah,yang sudah barang tentu banyak kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalamnya,kritik dan saran merupakan bahan evaluasi yang saya harapkan,agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bias lebih baik.
Walaupun demikian ,mudah-mudahan dengan adanya makalah ini,dapat  memberikan wawasan yang baru terhadap kita semuamengenai Kodifikasi Hadist.



DAFTAR PUSTAKA
Studi Hadist, Dr Idri M.ag Fajar Inter Pratam Offset.2010
Usul Al-Hadist,Dr Muhammad ajaj Al-Khotib, Gaya media pratama.1998

 

[1] Dr. Idri. M.ag, studi hadis.(Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010), hal 93
[2] Utang Ranuwijaya, ilmu hadis, (Jakarta: gaya media pratama, 2001), hal66
[3] Ibid, hal94
[4] Ahmad bin ‘ Ali bin hajar al-Asqalani, fath al-bari, jus 1, hal.195 juga Muhammad Abu Zahw, al-hadis, hal.128
[5] Tim Redaksi, Ensiklopedi Tematis,hal225
[6] Muhammad Abd Al-Aziz Al-Khawli,Miftah,hlm 22
[7] Dr. Idri. M.ag, studi hadis.(Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010), hal 97
[8] Hasbi ash-Shiddieqy, sejarah,hal120
[9] Ibid.hal127
[10] Ibid.hal102
[11] Muhammad al-Zafzaf, al-Ta’rif fi al-qur’an wa al-Hadist,(kuwatir:maktabah al-falah, 1979) hal210
[12] Muhammad Ajjaj al-Khotib,Usul Al-Hadist,Hal 177

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki