Laporan Observasi Psikodiagnostik 2 (Observasi)
A.
PENDAHULUAN
Pada awal sejarah diagnosis gangguan dalam belajar, kesulitan dalam
pelajaran berhitung tidak banyak diberi perhatian. Tetapi kini diakui bahwa
gangguan belajar juga bisa terjadi di bidang matematika. Murid dengan gngguan
belajar di bidang matematika dapat jadi selalu membuat banyak kesalahan dalam
berhitung atau menggunakan cara yang tidak efisien untuk memecahkan soal-soal
matematika.
Gangguan belajar cenderung menjadi gangguan kronis
yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan sampai masa dewasa. Anak-anak dengan
gangguan belajar cenderung berprestasi buruk di sekolah. Mereka sering dinilai
gagal oleh guru dan keluarga mereka. Tidak mengherankan bahwa sebagian besar
dari mereka mengembangkan ekspektasi yang rendah dan bermasalah dengan self-esteem.[1]
Dibagian ini
kami mendeskripsikan tentang gangguan belajar (learning disorder) lebih tepatnya padagangguan penghitungan matematika
yang ditandai oleh performa yang secara
substansial lebih rendah dibanding performa yang diharapkan untuk orang dengan
usia, IQ, dan pendidikan yang setara dengannya.
Untuk itu, kami melakukan
observasi atau pengamatan mengenai gangguan belajar yang dialami oleh sebagian
anak terutama anak usia sekolah. Dengan harapan dapat memberikan bantuan berupa
rekomendasi atau usulan yang berguna bagi anak tersebut terutama bagi orang tua
yang secara penuh mengetahui apa yang dialami oleh anaknya tersebut. Untuk
pengamatan kami kali ini mengambil judul “Observasi
Gangguan Menghitung/Matematika (Diskalkulia)
Pada Siswa Kelas V MI Tanwirul Qulub Gresik”.
B.
LANDASAN
TEORI
1. Pengertian
Gangguan Belajar (learning disorder)
Gangguan
belajar meliputi kemampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan
keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekurangan
perhatian, ingatan, atau pertimbangan dan mempengaruhi performa akademik. Gangguan belajar sangat
berbeda dari keterlambatan mental dan terjadi dengan normal atau bahkan fungsi
intelektual tinggi. Gangguan belajar hanya mempengaruhi fungsi tertentu,
sedangkan pada anak dengan keterlambatan mental, kesulitan mempengaruhi fungsi
kognitif secara luas. Terdapat tiga jenis gangguan belajar : gangguan membaca,
gangguan menuliskan ekspresi, dan gangguan matematik. Dengan demikian, seorang
anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan memahami dan mempelajari
matematika yang signifikan, tetapi tidak memiliki kesulitan untuk membaca,
menulis, dan melakukan dengan baik pada subjek yang lain. Diseleksia adalah
gangguan belajar yang paling dikenal. Gangguan belajar tidak termasuk masalah
belajar yang disebabkan terutama masalah penglihatan, pendengaran, koordinasi,
atau gangguan emosional.[2]
Gangguan belajar sulit didiagnosis (Bos & Vaughn, 2002). Ketidak
mampuan untuk belajar sering kali mencakup kondisi yang bisa jadi berupa adanya
problem mendengar, berkonsentrasi, berbicara, membaca, menulis, menalar,
berhitung, atau problem interaksi sosial. Jadi, anak yang memiliki gangguan
belajar boleh jadi memiliki profil yang berbeda-beda (Henley, Ramsey &
Algozzine, 1999). Gangguan belajar juga terjadi bersama dengan gangguan
lainnya, seperti gangguan komunikasi dan gangguan perilaku emosional (Poloway
dkk, 1997).
Kendati tingkat gangguan belajar ini bervariasi, dampak dari
ketidakmampuan belajar ini terlihat jelas dan relatif menetap (Bender, 1998).
Kebanyakan problem gangguan belajar ini bertahan lama bahkan seumur hidup. Dibandingkan
dengan anak yang tidak memiliki masalah dalam belajar, anak yang mengalami
gangguan belajar lebih mungkin berprestasi buruk, drop out, nilainya di sekolah buruk, dan memperoleh pekerjaan
rendahan (Wagner & Blackorby, 1996). Anak yang mengalami gangguan belajar
yang diajar di kelas regular tanoa dukungan ekstensif jarang yang mencapai
level kompetensi yang setara dengan anak yang tidak punya masalah gangguan belajar.
Akan tetapi, walaupun mereka memiliki problem ini, banyak anak yang menderita
gangguan belajar tumbuh dan menjalani hidup normal dan melakukan pekerjaan yang
produktif.
2. Penyebab
Gangguan Belajar (learning disorder)
Faktor-faktor psikologis dan motivasional yang diperkuat oleh orang lain
tampaknya berperan penting pada hasil akhir yang dicapai oleh penderita
gangguan belajar. Faktor-faktor seperti sosial-ekonomi, ekspektansi kultural,
interaktasi dan ekspentasi orang itu, dan pratek manajemen anak, bersama-sama
dengan berbagai maca, defisit neurologis dan jenis dukungan yang diberikan di
sekolah tanpaknya menentukan hasilnya.[3]
Meskipun
penyebab gangguan belajar tidak sepenuhnya dimengerti. Mereka termasuk kelainan
pada proses dasar yang berhubungan dalam memahami atau menggunakan ucapan atau
penulisan bahasa atau numerik dan pertimbangan ruang. Diperkirakan 3 sampai 15%
anak bersekolah di Amerika Serikat memerlukan pelayanan pendidikan khusus untuk
menggantikan gangguan belajar. Anak laki-laki dengan gangguan belajar bisa
melebihi anak gadis lima banding satu, meskipun anak perempuan seringkali tidak
dikenali atau terdiagnosa mengalami gangguan belajar. Kebanyakan anak dengan
masalah tingkah laku tampak kurang baik di sekolah dan diperiksa dengan psikologis
pendidikan untuk gangguan belajar. Meskipun begitu, beberapa anak dengan jenis
gangguan belajar tertentu menyembunyikan gangguan mereka dengan baik,
menghindari diagnosa, dan oleh karena itu pengobatan, perlu waktu yang lama.
3. Tipe-tipe
Gangguan Belajar
Tipe gangguan belajar meliputi gangguan membaca (disleksia), gangguan menulis
(disgrafia) dan gangguan
matematika (diskalkulia).
1. Gangguan Membaca (disleksia)
Gangguan membaca diderita pada anak-anak yang memiliki
perkembangan keterampilan yang buruk dalam mengenali kata-kata dan memahami
bacaan. Disleksia diperkirakan mempengaruhi 4% dari anak-anak usia sekolah
(APA, 2000). Anak-anak yang menderita disleksia membaca dengan lambat dan
kesulitan, dan mereka mengubah, menghilangkan, atau mengganti kata-kata ketika
membaca dengan keras. Mereka memiliki kesulitan menguraikan huruf-huruf dan
kombinasinya serta mengalami kesulitan menerjemahkannya menjadi suara yang
tepat (Miller-Medzon, 2000). Mereka mungkin salah juga mempersepsikan
huuf-huruf seperti jungkir balik (contoh, bingung antara w dan m) atau melihatnya
secara terbalik (b untuk d). Disleksia biasanya tanpak pada usia
7 tahun, bersamaan dengan kelas 2 SD, walaupun kadang-kadang sudah dikenali
pada usia 6 tahun. Anak-anak dan remaja dengan disleksia cenderung lebih rentan
terhadap depresi, memiliki self-worth
yang rendah, merasa tidak kompeten secara akademik, dan menunjukkan tanda-tanda
ADHD (Boetsetch, Green, & Pennington, 1996).
2. Gangguan Menulis (disgrafia)
Gangguan menulis biasanya diderita pada anak-anak
dengan keterbatasan kemampuan menulis. Keterbatasan dapat muncul dalam bentuk
kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam bentuk kalimat
dan paragraph. Kesulitan menulis yang parah umumnya tanpak pada usia 7 tahun
(kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus lebih ringan mungkin tidak dikenali sampai
usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau setelahnya.[4]
3. Gangguan Matematika (diskalkulia)
Menurut
Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia
dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan
pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara
kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting)
dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan
kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai
dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka
ataupun simbol matematis.[5]
C.
ALAT OBSERVASI
A.
Definisi operasional
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari
Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math
difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara
matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi
bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak
yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses
matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan
mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.
Kesulitan belajar matematika disebut juga
diskalkulia (dyscalculia). Kesulitan belajar matematika merupakan salah satu jenis kesulitan
belajar yang spesifik dengan prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah
rata-rata, tidak ada gangguan penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan
emosional primer, atau lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi
yaitu sulit melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang
disebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan.
Anak berkesulitan belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi
mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Matematika
sering menjadi pelajaran yang paling ditakuti di sekolah. Anak dengan gangguan
diskalkulia disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca, imajinasi,
mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami soal-soal
cerita. Anak-anak diskalkulia tidak bisa mencerna sebuah fenomena yang masih
abstrak. Biasanya sesuatu yang abstrak itu harus divisualisasikan atau dibuat
konkret, baru mereka bisa mencerna. selain itu anak berkesulitan belajar
matematika dikarenakan pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan
motivasi belajar siswa, metode pembelajaran yang cenderung menggunakan cara
konvesional, ceramah dan tugas. Guru kurang mampu memotivasi anak didiknya.
Ketidaktepatan dalam memberikan pendekatan
atau strategi pembelajaran.
Deteksi diskalkulia bisa dilakukan sejak
kecil, tapi juga disesuaikan dengan perkembangan usia. Anak usia 4-5 tahun
biasanya belum diwajibkan mengenal konsep jumlah, hanya konsep hitungan.
Sementara anak usia 6 tahun ke atas umumnya sudah mulai dikenalkan dengan
konsep jumlah yang menggunakan simbol seperti penambahan (+) dan pengurangan
(-). Jika pada usia 6 tahun anak sulit mengenali konsep jumlah, maka
kemungkinan nantinya dia akan mengalami kesulitan berhitung. Proses berhitung
melibatkan pola pikir serta kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah.
Faktor genetik mungkin berperan pada kasus diskalkulia, tapi faktor lingkungan
dan simulasi juga bisa ikut menentukan. Alat peraga juga sangat bagus untuk
digunakan, karena dalam matematika menggunakan simbol-simbol yang bersifat
abstrak. Jadi, supaya lebih konkret digunakan alat peraga sehingga anak lebih
mudah mengenal konsep matematika itu sendiri.
Penyebab diskalkulia
dikarenakan adanya kelemahan proses penglihatan atau visualisasi, misalnya anak
sulit fokus pada pelajaran atau permainan. Matematika membutuhkan prosedur
penyelesaian yang berurut mengikuti pola-pola tertentu, anak diskalkulia sulit
mengikuti prosedur tersebut. Bisa jadi anak fobia matematika, adanya keyakinan
bahwa dia tidak bisa matematika. Mungkin disebabkan karena trauma dari
pelajaran matematika, bisa dari sistem pengajaran di sekolah atau di rumah.
Adapun gejala lain yang
timbul pada anak yang mengalami diskalkulia, antara lain:
·
Sulit
melakukan hitungan matematis, misalnya menghitung jumlah uang kembalian. Lambat
laun anak akan takut memegang uang atau menghindari transaksi.
·
Kesulitan
menggunakan konsep waktu, anak bingung mengurutkan masa lampau dan masa
sekarang.
·
Ketika
pelajaran olahraga, anak sulit menghitung skor pertandingan.
·
Kekeliruan
umum yang dilakukan oleh anak berkesulitan belajar matematika
Agar dapat membantu anak
berkesulitan belajar matematika, kita perlu mengenal kesalahan umum yang
dilakukan oleh anak dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam bidang studi
matematika. Beberapa kekeliruan umum tersebut menurut Lerner (1981) adalah
kekurang pahaman anak tentang :
·
Simbol Anak
diskalkulia akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal-soal seperti 4 +
…= 7, daripada soal seperti 4 + 3 = … Kesulitan semacam ini umumnya karena anak
tidak memahami simbol-simbol (=), (≠), (+), (-).
·
Nilai
tempat Anak yang diskalkulia belum memahami nilai tempat seperti satuan,
puluhan, ratusan, dst.
·
Penggunaan
proses yang keliru Kekeliruan dalam penggunaan proses perhitungan dapat dilihat
pada cuntoh berikut: 6 15 2 x 3 - 8 18
·
Perhitungan,
Jika anak belum mengenal dengan baik konsep perkalian, tetapi
mencoba menghafal perkalian tersebut.
·
Tulisan
yang tidak dapat dibaca Anak yang tidak bisa membaca tulisannya sendiri
karena bentuk-bentuk hurufnya tidak tepat atau tidak lurus mengikuti garis.
Biasanya anak-anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (termasuk
diskalkulia) akan dites dengan standard progressive matrices (SPM) yang
merupakan suatu tes inteligensi bagi anak-anak usia 7-12 tahun (siswa Kelas 2
dan 3 SD), atau tes coloured progressive matrices (CPM) untuk siswa Kelas 1 SD.
Jika hasil diagnosis, tes dan assesment menyatakan anak menderita diskalkulia,
maka harus ada treatment dan metode penyampaian khusus yang bisa membuat dia
lebih paham.
B.
Indikator Gangguan Belajar Diskalkulia
Anak yang mengalami kesulitan belajar matematika perlu ditentukan
kesulitan yang dialami oleh anak. apakah kesulitan yang dialami dalam proses
menghitung, konsep matematika karena masalah bahasa, gangguan persepsi
visual-spasial, kesulitan menulis, kesulitan orientasi kanan-kiri, kesulitan
menunjukkan arah, masalah urutan, gangguan memori, dan cara menyelesaikan soal
matematika. Tidak semua anak diskalkulia berkesulitan dalam proses menghitung.
Jadi, guru harus benar-benar memahami kemampuan dan sifat dasar
ketidakmampuannya.
Inilah beberapa hal yang bisa dijadikan pegangan untuk mengetahui
anak diskalkulia:
1. Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah
seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis.
2. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia
sulit menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang.
Seringkali anak tersebut jadi takut memegang uang, menghindari transaksi, atau
apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang.
3. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah,
mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau
urutan.
4. Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan
arah. Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak
mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
5. Mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu.
Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang.
6. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan
angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret
hitung serta deret ukur.
7. Mengalami hambatan dalam mempelajari musik, terutama karena sulit
memahami notasi, urutan nada, dan sebagainya.
8. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas olahraga karena
bingung mengikuti aturan main yang berhubungan sistem skor.
C. Lembar
observasi
LAMPIRAN
LEMBAR OBSERVASI
Gangguan Belajar Matematika
(Dyscalculia)
Indikator
|
Penilaian
|
Catatan
|
||||
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
|||
Sulit melakukan hitungan matematis.
|
√
|
sering kebingungan ketika diajak berhitung
|
||||
Mampu berbicara dengan baik, malah seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam
merekam kata-kata tertulis
|
√
|
tidak ada kendala dalam berbicara. Lancar dan bisa
diajak beranalogi menjelaskan hubungan sebab akibat
|
||||
sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan.
|
√
|
selalu salah menempatkan angka 7 dan 8
|
||||
Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi,
membagi, mengali
|
√
|
Hanya faham tentang penjumlahan dan pengurangan.
Sering bingung dengan pembagian dan perkalian
|
||||
Tidak
mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah
|
√
|
Tidak pernah membuka buku atlas
|
||||
Si anak bingung
saat ditanya jam berapa sekarang
|
√
|
Tahu waktu hanya jika ada yang memberitahu secara
lisan. Tidak paham maksud jam analog.
|
||||
Mengalami hambatan dalam menggunakan
konsep abstrak tentang waktu
|
|
√
|
|
|
Ketika ada seseorang bertanya tentang kapan
terjadinya sesuatu tertentu, dia sering bingung
|
|
Sering melakukan kesalahan ketika
melakukan perhitungan angka-angka
|
√
|
Banyak dialami ketika disuruh membeli rokok dan
tidak tahu berapa kembaliannya. Padahal sudah tahu harganya.
|
||||
Mengalami hambatan dalam mempelajari
musik dan notasi
|
|
|
|
|
Belum diketahui karena media yang diperlukan tidak
ada
|
|
kesulitan dalam bermain dan berolahraga karena
bingung mengikuti aturan main yang berhubungan sistem skor.
|
|
√
|
|
|
Meskipun sering bermain sepak bola, tapi sering
melanggar beberapa aturan yang tidak disengaja.
|
Berikan tanda contreng (√ )
pada salah satu alternatif jawaban
Keterangan : SS = sangat sesuai ; S = sesuai ; KS =
kurang sesuai ; TS = tidak sesuai
D.
SUBYEK/KLIEN
1.
Data Klien
Muhammad Shobirin,
seorang anak berusia 11 tahun dari pasangan suami istri
bernama Munajid dan Suriyati. Dia merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Adiknya bernama Vivi Noviyanti (4 tahun). Ia
lahir pada tanggal 24 September
2000. Dia tinggal
bersama kakeknya Marjun di desa Wonokerto Dukun Gresik. Saat ini dia sudah kelas 5 MI Maarif Tanwirul Qulub.
2.
Riwayat Kasus
Subyek
tidak
mengalami masalah kesehatan pada saat
dilahirkan. Tubuhnya agak pendek dari teman-teman sekelasnya. Dia selalu
bermain bersama teman-temannya meski sering diejek
karena postur tubuhnya yang pendek.
Tidak
hanya postur tubuhnya yang menjadi bahan pembicaraan teman-temannya, tetapi ada
hal lain yang sering dipermasalahkan. yaitu pada saat pelajaran matematika, dia
paling benci dengan dua pelajaran, yaitu matematika dan Pendidikan kesehatan. karena
nilainya selalu jeblok. Memang karena dia tidak pernah tepat saat ditanya
tentang perhitungan matematika dan aturan-aturan dalam permainan volley, basket
ball, dsb. Bahkan si subyek langsung pulang sambil menangis karena ditertawakan
teman-temannya.
Menurut
pernyataan temannya yang bernama Farihin, dia sering tidak masuk ketika
pelajaran matematika. kadang-kadang minta ijin ke toilet dan tidak kembali
lagi, ternyata pulang ke rumah. Setiap ada kata matematika pada obrolan
temannya, dia selalu melengos dan cuek.
Beberapa
kali subyek tidak naik kelas karena tidak bisa berhitung. Tapi karena kebijakan
pihak sekolah, akhirnya dia bisa naik sampai kelas lima. kakeknya pernah
mengeluh gara-gara disuruh membelikan rokok dengan uang dua puluh ribu, tidak
tahu berapa kembaliannya, padahal harganya sudah dikasih tahu.
Dia
juga sering salah dalam menghitung urut angka dari 1-10. yaitu selalu salah
dalam menempatkan angka 8. Dia mendahulukannya dari angka 7.
3.
Riwayat Perkembangan
Subyek lahir dengan sempurna tanpa ada masalah dalam perkembangannya
sampai sekarang. Secara kognitif, psikomotor, dan afektifnya berkembang dan
berfungsi secara normal. Saat dalam kandungan diberi gizi yang seimbang.
Sejak usia 3 tahun sampai sekarang, dia tinggal bersama kakek dan
neneknya di rumah, karena ditinggal orang tuanya merantau ke luar negeri
(Malaysia). Tetapi setiap dua tahun sekali orang tuanya selalu pulang.
Dia termasuk anak keluarga yang mampu, punya dua rumah dan tergolong
bagus. Tidak ada kendala dalam hal finansial. Tetapi sayangnya, waktu belajar
yang digunakannya tidak banyak dan sering dia gunakan di luar rumah, bermain
bersama teman-temannya. Tidak jarang kakek dan neneknya merasa jengkel, tidak
berhenti melerai cucunya tersebut agar berhenti bermain sejenak, membuka buku
pelajaran dan mengerjakan PRnya. Akan tetapi sering tidak dihiraukan.
Pernah dua kali tidak naik kelas karena nilai yang didapatkannya sangat
tidak memenuhi standar. Beberapa kali orang tuanya dipanggil menghadap kepala
sekolah, tetapi kebiasaan yang dilakukan tidak semakin baik. Dia mau belajar
asal tidak ada perhitungan huruf yang membingungkan.
E.
DIAGNOSA
Berdasarkan
hasil observasi yang telah kami lakukan, kami dapat mendiagnosa bahwa klien
kami benar-benar telah mengalami gangguan belajar dalam hal mengkalkulasikan
bilangan aritmatika (diskalkulia). Hal ini didasarkan pada beberapa
indikator-indikator yang ada. Diantara indikator tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Sulit
melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi, membagi,
mengali.
2.
Sulit
melakukan hitungan matematis.
3.
Sering
melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka.
4.
Tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
5.
Bingung saat ditanya jam berapa sekarang.
6.
sulit
memahami konsep hitungan angka atau urutan.
7.
kesulitan
dalam bermain dan berolahraga karena bingung mengikuti aturan main yang berhubungan sistem
skor.
Menurut
beberapa tokoh psikologi, bahwa apabila seseorang sudah mengalami gejala-gejala
suatu ketidaknormalan paling sediktinya tiga gejala maka orang tersebut sudah
bisa dikatakan telah mengalami ketidaknormalan.[6]
F.
PEMBAHASAN
Selama tiga hari kami
melakukan observasi pada klien, kami mempunyai cukup rekaman hasil observasi
sesuai dengan indikator yang telah dibuat. Percobaan-percobaan yang kami buat
bisa dipahami bahwa klien rata-rata sesuai dengan yang ada dalam indikator
tersebut. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa klien termasuk mengalami gangguan belajar diskalkulia yaitu kesulitan
menghitung bilangan aritmatika.
Kesulitan belajar matematika (dyscalculia) merupakan salah satu jenis kesulitan
belajar yang spesifik dengan prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah
rata-rata, tidak ada gangguan penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan
emosional primer, atau lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi
yaitu sulit melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang
disebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan.
Anak berkesulitan belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi
mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Matematika
sering menjadi pelajaran yang paling ditakuti di sekolah. Anak dengan gangguan
diskalkulia disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca, imajinasi,
mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami soal-soal
cerita.
Pada kesehariannya, cara
bicara dan berkomunikasi lancar dan tampak normal seperti kebanyakan anak lain. Tidak ada keluhan lain
yang diderita oleh klien. Artinya klien tidak mengalami gangguan belajar yang
lain, seperti gangguan membaca atau menulis. Meski bisa membaca dan menulis,
klien sering tidak memahami apa yang dimaksud pada suatu teks tertentu.
Belum diketahui apa yang
menjadi sebab klien mengalami gangguan belajar dyscalculia. Kemungkinan besar
terjadi karena faktor keluarganya. Karena sejak kecil klien kurang mendapat
bimbingan belajar yang intensif dari keluarga. Keluarganya juga tidak banyak
memahami kesulitan yang diderita klien. Yang paling tampak adalah dia tidak
menyisihkan banyak waktu untuk belajar lebih keras lagi.
G. REKOMENDASI/USULAN
PENANGANAN
Diagnosa diskalkulia
harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya berdasarkan
serangkaian tes dan observasi yang valid dan terpercaya. Bentuk terapi atau
treatment yang akan diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan
dan tingkat hambatan anak secara detail dan menyeluruh.
Model medis saat ini menjadi
terbatas karena kurangnya bukti bahwa defesiensi yang mendasari gangguan
belajar dapat dikoreksi atau perbaikan pada aspek tersebut akan meningkatkan
keterampilan akademik (Hinshaw, 1992). Kurangnya
bukti juga terdapat pada pendekatan psikoedukasi (Brady, 1986). Walaupun
pendekatan neuropsikologis belum diuji secara lengkap, intervensi yang
ditujukan untuk mengubah strategi-strategi belajar anak dengan tujuan untuk
menghindari defisit neuropsikologis sampai sejauh ini gagal memperlihatkan
peningkatan berarti pada anak-anak dengan gangguan belajar yang parah. Sampai
saat ini intervensi yang paling tanpak menjanjikan adalah yang memberikan
intruksi-intruksi langsung pada tugas-tugas akademik dimana anak mengalami
defisiensi, misalnya keterampilan bahasa lisan dan tulisan. Model behavioral juga menunjukkan hasil-hasil
yang menjanjikan dalam meningkatkan prestasi anak yang memiliki defisiensi
dalam keterampilan membaca dan aritmatika. Masih belum jelas apakah peningkatan
akibat pelatihan behavioral dapat
digeneralisasikan pada prestasi di kelas. Pendekatan linguistik telah
memperoleh sejumlah dukungan, tetapi belum cukup untuk dianjurkan secara luas
dalam menangani anak-anak yang memiliki defisiensi membaca dan mengeja. Model
kognitif juga telah menerima sejumlah dukungan, tetapi banyak anak dengan
gangguan belajar belum mengembangkan pengetahuan dasar yang cukup mengenai
area-area permasalahan mereka dan menggunakannya untuk memikirkan
masalah-masalah tersebut lebih dalam.
Anak-anak dengan
gangguan belajar banyak yang ditempatkan dalam program-program edukasi atau
kelas-kelas khusus. Namun program untuk anak-anak dengan kesulitan belajar
sangat bervariasi dalam kualitas dan kita masih kekurangan bukti yang pasti
mengenai efektivitas jangka panjangnya.[7]
Bagaimanapun, kesulitan ini
besar kemungkinan terkait dengan kesulitan dalam aspek-aspek lainnya, seperti
disleksia. Perbedaan derajat hambatan akan membedakan tingkat treatment dan
strategi yang diterapkan. Selain penanganan yang dilakukan ahli, orang tua pun
disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat mengurangi gangguan belajar,
yaitu:
1. Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang sulit dimengerti,
dengan menggunakan gambar ataupun cara lain untuk menjembatani langkah-langkah
atau urutan dari proses keseluruhannya.
2. Bisa juga dengan menyuarakan konsep matematis yang sulit
dimengerti dan minta si anak mendengarkan secara cermat. Biasanya anak
diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam memahami konsep secara verbal.
3.
Tuangkan
konsep matematis ataupun angka-angka secara tertulis di atas kertas agar anak
mudah melihatnya dan tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan urutan
angka-angka itu untuk membantu anak memahami konsep setiap angka sesuai dengan
urutannya.
4.
Tuangkan
konsep-konsep matematis dalam praktek serta aktivitas sederhana sehari-hari.
Misalnya, berapa sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa potong
pakaian seragam sekolahnya dalam seminggu, berapa jumlah kursi makan yang
diperlukan jika disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan sebagainya.
5. Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan secara kreatif,
entah dengan cara menyanyikan angka-angka, atau cara lain yang mempermudah
menampilkan ingatannya tentang angka.
6. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan usaha yang
dilakukan oleh anak.
7.
Lakukan
proses asosiasi antara konsep yang sedang diajarkan dengan kehidupan nyata
sehari-hari, sehingga anak mudah memahaminya.
8.
Harus ada
kerja sama terpadu antara guru dan orang tua untuk menentukan strategi belajar
di kelas, memonitor perkembangan dan kesulitan anak, serta melakukan
tindakan-tindakan yang perlu untuk memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru
memberi saran tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di rumah,
buku-buku bacaan, serta latihan yang disarankan.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Azwar,
Drs. Saifuddin. 1999, Penyusunan Skala Psikologi, PT.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ü Durand, V. Mark. 2007, Psikologi Abnormal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ü Nevid,
Jeffrey S. 2003, Psikologi Abnormal, Erlangga, Jakarta.
ü Supratiknya,
Dr. A. 2000, Mengenal Perilaku Abnormal, Kanisius, Yogyakarta.
Comments