Literasi Media Massa
A. ARTI
PENTING MEDIA MASSA
Komunikasi massa ialah komunikasi
yang melalui atau menggunakan media massa.[1]
Mengadakan kegiatan dengan menggunakan media massa maka pelaksanaanya akan
lebih sukar dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Disini komunikator harus
dapat menyajikan pesan bagi publiknya yang beraneka ragam dengan jumlah yang
besar. Selain itu, feedback yang terjadi adalah feedback tertunda (delayed
feedback). Disisi lain, terdapat keuntungan apabila kita berkomunikasi dengan
menggunakan media masaa, keuntungan tersebut antara lain adalah dapat
menjangkau audience yang sangat luas, namun kekurangannya adalah lebih menitik
beratkan pada penyebaran informasi. Sebab jika ingin lebih dari sekedar
menginformasikan tentang sesuatu, komunikasi massa tersebut harus diikuti lagi
dengan komunikasi tatap muka, agar tujuan komunikasi dapat berhasil.
Ada beberapa aspek dari media massa
yang membuat dirinya penting.[2]
Ø Pertama, daya jangkaunya (coverage)
yang amat luas dalam menyebarluaskan informasi yang mampu melewati batas
wilayah (geografis), kelompok umur, jenis kelamin, status sosial-ekonomi
(demografis), dan perbedaan paham dan orientasi (psikografis). Dengan demikian,
masalah politik yang dimediasikan menjadi perhatian bersama di berbagai tempat
dan kalangan.
Ø Kedua, kemampuan media untuk
melipatgandakan pesan (multiplier of message) yang luar biasa. Satu peristiwa
politik dapat dilipatgandakan pemberitaannya, sesuai jumlah eksemplar koran,
tabloid, dan majalah yang dicetak; serta pengulangan penyiarannya (di radio
atau televisi) sesuai kebutuhan. Pelipatgandaan ini menyebabkan dampak yang
sangat besar di tengah khalayak.
Ø Ketiga, setiap media massa dapat
mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing.
Kebijakan redaksional setiap media menentukan bentuk tampilan dan isi
beritanya. Karena kemampuan inilah, media banyak diincar oleh pihak-pihak yang
ingin memanfaatkannya.
Ø Keempat, dengan fungsi penetapan
agenda (agenda setting) yang dimilikinya, media massa memiliki kesempatan yang
luas untuk memberitakan sebuah peristiwa politik. Sesuai dengan kebijakan
masing-masing media, setiap peristiwa dapat disiarkan atau tidak disiarkan.
Yang jelas, belum tentu berita politik yang menjadi agenda media adalah juga
agenda publik.
Ø Kelima, pemberitaan peristiwa
politik oleh suatu media biasanya berkaitan dengan media lainnya, sehingga
membentuk rantai informasi (media as links in other chains). Hal ini akan
menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi politik dan dampaknya
terrhadap publik. Maka makin kuatlah peranan media dalam membentuk opini
publik.
Penyiaran melalui media massa
merupakan wahana komunikasi massa dasar yang telah terbukti efektifitasnya.
Tanpa media komunikasi, manusia tidak mungkin bisa mendistribusikan satu pesan
ke banyak penerima secara global. Tanpa perangkat seperti computer, microfilm
dan perangkat siar digital lainnya, manusia akan sangat terbatas dalam
menyampaikan dan menerima pesan.
Dengan demikian, media memperluas
komunikasi manusia dalam hal produksi dan distribusi pesan, serta menerima,
menyimpan dan menggunakan kembali informasi. Produksi meliputi penciptaan pesan
menggunakan media komunikasi, sedangkan distribusi meliputi transmisi, yakni
memindahkan pesan, reproduksi yang diikuti amplifikasi (penjelasan) pesan, dan
display yakni membuat pesan tampak secara fisik ketika sampai ke tujuan.[3]
B. KULTUR
DAN NILAI
Basis
kultural dari keberadaan media penyiaran public (media massa) sebagai institusi
public ditentukan oleh nilai bersama (shared value) yang menjadikan dasar
keberadaanya. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan Negara,
serta consensus yang tumbuh dilingkungan masyarakat tentang orientasi dan
fungsi social cultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran public (media
massa). Nilai bersama ini diharapkan dirumuskan oleh kaum profesional penyiaran
public sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional
kelembagaan.[4]
Kultur
(budaya) popular banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat
dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti pementasan mega
bintang, kendaraaan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh dan
semacamnya. Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu
umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya, dan budaya itu akan
memperoleh kekuatanya manakala media massa digunakan sebagai by pass penyebaran pengaruh di masyarakat.
Kultur
(budaya) juga memililki nilai yang
membedakan satu budaya dengan budaya lainnya. Budaya yang memiliki nilai tinggi
dibedakan dengan budaya yang memiliki nilai di bawahnya. Namun dalam budaya
popular “perangkat media massa” seperti pasar rakyat, film, buku, televisi dan
jurnalistik akan menuntun perkembangan budaya pada erosi nilai budaya.[5]
Peranan media
massa sebagai saluran modernisasi semestinya bisa mendorong masyarakat kedepan
kearah persepsi-persepsi dan berpola pikir yang rasional dan kongkrit melalui
program-program dan acara-caranya yang bermutan nilai-nilai dan norma-norma
yang edukatif . Dan bukan sebaliknya justru mendorong masyarakat kearah
persepsi-persepsi dan berpola pikir yang sifatnya irasional yang abstrak, penuh
spekuklasi berandai-andai dalam selimut kemalasannya yang semakin kronis. Jika
hal seperti ini makin terus tumbuh dan berkembang, maka kita tidak bisa
memperkirakan bagaimana nasib bangsa dan negara Indonesia kedepan. Untuk itu
maka posisikanlah berbagai media massa yang beroperasi di Indonesia supaya
setiap program dan acara tayangannya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai dan
norma-morma sosial bangsa Indonesia.
Ashadi
mengatakan bahwasanya civil society dapat diwujudkan antara lain dimulai dari
paradigma yang menggerakkan dinamika kehidupan public yang berbasis nilai
cultural. Nilai cultural ini merupakan pemaknaan atas setiap kegiatan dalam
ranah public. Untuk itu diperlukan ranah public yang secara relative memiliki
otonomi dan independensi yang didalamnya berlangsung kegiatan cultural dalam
berbagai aspek kehidupan fungsional.
Civil
society sebagai format baru kehidupan public diharapkan dapat menjadi visi
bersama penyelenggaraan media massa. Dari visi yang semacam itu, dapat
dibayangkan misi yang perlu dijalankan, sesuai dengan fungsi media penyiaran
dalam ranah public. Dalam konteka reformasi kekinian, mestinya terbuka peluang
untuk membangun format baru atas keberadaan media penyiaran pemerintah menjadi
institusi otonom dan independen yang menjalan fungsi cultural dalam ranah
public.[6]
C. PERPADUAN
TEKNOLOGI
Kemajuan
utama dalam teknologi media massa telah terjadi selama dasawarsa terakhir ini
yang menjanjikan perubahan bentuk dan kekuatan media massa.[7]
Yang pertama diantara terobosan ini
adalah televisi kabel. Hal ini memungkinkan komunikasi timbal balik antara
komunikator dengan khalayak dan satelit-satelit komunikasi. Televisi kabel
dilihat oleh sebagian orang dapat memecahkan ikatan yang membatasi siaran pada
beberapa saluran dan membuka pintu bagi berbagai macam pertunjukan,
menyesuaikan program dengan selera minoritas, program local dan kaidah kaidah
lainnya.
Selama
lebih dari 400 tahun yang lalu, media massa umumnya di dasarkan pada bahan
kayu. Media visual biasanya adalah karya padat kayu. Integrasi teknologi
fotografi telah mengubah media pada akhir 1800-an, mengubah secara dramatis
cara orang memandang dunia. Sekarang teknologi digital telah mengubah bentuk
media tradisional menjadi media yang baru.
a. Integrasi
teknologi cetak visual
Teknologi kimia yang
digunakan dalam fotografi tradisional ditemukan hamper 200 tahun yang lalu.
Pada 1727 para peneliti menyadari bahwa nitrat perak akan berubah gelap jika
terkena cahaya. Sebuah terobosan yang meleburkan teknologi cetak dengan
teknologi fotografi terjadi pada tahun 1878. Frederick Ives di Cornel
University membagi sebuah foto menjadi kisi-kisi mikroskopik, masing-masing
kotak yang kecil itu di isi dengan titik (dot) yang menyembur ke permukaan
untuk meregister tonal (skema warna) abu-abu yang terpisah dari sebuah foto.
Semakin besar titiknya, maka semakin
besar tinta yang akan di transfer ke kertas dan mempergelap warna abu-abu.
Kisi-kisi itu kemudian dipindah ke logam yang disebut halfton. Pada jarak baca
tetentu sekitar 14 inchi, mata manusia tidak bisa menangkap kisi-kisi itu
tetapi manusia dapat melihat gambar yang dibuat dari tingkatan warna abu-abu
yang berbeda.
b. Integrasi
Digital
Teknologi digital diciptakan pada
era 1950-an, pertama untuk memperbarui komunikasi telepon. Ketika Marc
Andreesen memperkenalkan browser internet netscape pada tahun 1993, jumlah
orang yang memiliki akses media digital dirumah bertambah banyak. Pada tahun
2000 gelembung dot-com membesar pada saat terjadi crash sebagian besar usaha
dot-com bangkrut. Tetapi potensi komunikasi massa yang baru ini masih amat
sangat jelas. Buku, majalah, Koran, radio dan perusaah televisi kini sudah
mempunyai situs online. Sementara itu teknologi digital mulai menutup akar
teknoogi media massa. Warisan Gutenburg, Ives, Edison, bukan lagi milik teknologi digital, akan
tetapi teknologi merekalah yang menumbuhkan model dan infrastruktur bisnis dan
membentik icon perusahaan dan kultur media massa modern.[8]
Milenium
ketiga adalah zaman keemasan teknologi informasi. Sebagai gelombang ketiga
peradaban umat manusia seperti yang diramalkan Alfin Toffler sebelumnya adalah
peradaban yang super cepat. Ruang dan waktu semakin dibuat cepat dan sempit,
seakan-akan dunia dibuat menjadi satu komunitas, di mana setiap penghuninya
bisa berinteraksi secara realtime tanpa halangan yang berarti. Berbagi
informasi antar benua dan negara di belahan dunia manapun semakin mudah. Puncak
dan titik acuan dari ini semua adalah konvergensi komputer dan telekomunikasi
30 tahun yang lalu. Jadilah teknologi internet yang kita kenal selama ini
seakan-akan tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Sebagai media
komunikasi, ia sama saja seperti kebutuhan manusia untuk berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain.
Komunikasi
adalah kebutuhan mendasar manusia. Dengan teknologi komunikasi yang baru telah
banyak meningkatkan komunikasi antar budaya. Orang-orang dapat berkomunikasi,
mengenal dan mengetahui berbagai macam budaya bangsa dengan mudah dan cepat.
Namun, merunut pada sejarah peradaban manusia yang lama berkutat dengan teknologi
komunikasi mulai dari mesin cetak dan telepon justru menimbulkan kekacauan
bahkan mengancam kehidupan normal kehidupan manusia.
Perkembangan
yang sedang berlangsung menyangkut teknologi media ini adalah bagaimana
menggabungkan siaran radio dan televisi dengan internet. Hingga orang-orang
dapat menikmati musik dan tayangan radio dan TV di internet sekaligus. Kemudian
di bidang publikasi juga kecipratan. Bisa saja buku yang selama ini kita kenal
tidak akan kita jumpai lagi di masa akan datang. Tebalnya ensiklopedia
digantikan dengan satu file saja. Isinya bisa kita lihat di e-book (buku
elektronik). Seperti sebuah komputer saku yang bisa dibawa ke mana-mana tanpa
kabel. Untuk mengakses buku yang lain, dengan mudah melalui internet, kita bisa
membelinya di toko virtual.
D. EKONOMI
MEDIA MASSA
Perkembangan
media massa modern menempatkan media tidak lagi dipahami dalam konteks
sebagai institusi sosial dan politik belaka melainkan juga harus dilihat
dalam konteks institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa media telah tumbuh
bukan saja sebagai alat sosial, politik dan budaya tapi juga sebagai perusahaan
yang menekankan keuntungan ekonomi. Institusi media harus dinilai sebagai dari
system ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik.
Dalam
diskursus ilmu komunikasi terdapat dua aliran besar ekonomi politik media
massa, yakni liberal dan kritikal.[9] Liberal political economy lebih melihat
perubahan social dan transformasi sejarah sebagai suatu doktrin dan seperangkat
prinsip untuk mengorganisasi dan menangani ekonomi pasar, guna tercapainya
suatu efisiensi yang maksimum, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu.
Isu dan fokusnya lebih terkonsentrasi
pada struktur dan mekanisme pasar yang membuat konsumen memilih antar
komoditas yang bersaing pada basis kegunaan dan kepuasan.
Sedangkan
critical political economy pada
awalnya lebih sebagai kritik terhadap liberal critical economy. Jika yang
pertama sangat concern pada isu-isu seperti free market, demi keberlangsungan
kebebasan individu dan karenanya menempatkan Negara sebagai manager maka yang
kedua melihat relasi antara agensi (individu dalam tema liberal) dan struktur
(pasar dan Negara) dengan lebih dinamis.[10]
Kita tidak
bisa memahami industri media tanpa memahami kekuatan yang mempengaruhi media
terlebih dahulu. Bagian-bagian dari sebuah institusi media tidak pernah bekerja
di luar konteks social yang luas, termasuk konteks ekonomi. Ekonomi media
mempelajari bagaimana industry media memanfaatkan sumber daya yang terbatas
untuk memproduksi konten dan mendistribusikannya kepada khalayak dengan tujuan
memenuhi beragam permintaan dan kebutuhan akan informasi dan hiburan.
Media massa
selain menjadi representasi ruang public yang penuh dengan dinamika social,
politik dan budaya juga menjadi kekuatan ekonomi yang mampu menghasilkan
surplus. Media menjadi medium iklan utama dan karenanya menjadi penghubung dan
konsumsi, antara produsen barang dan jasa dengan masyarakat.
Di Indonesia,
iklan dikenal sejak surat kabar beredar pertama di Indonesia sekitar lebih dari
100 tahun lalu, yang pada saat itu iklan dinamakan “pemberitahoean”. Contohnya
seperti iklan yang dimuat dalam surat kabar “Tjahaja Sijang” yang terbit di
Manado sejak 1869, atau surat kabar “De Locomotief” ytang terbit pada tahun
1864 dan beredar sampai ke Paris dan Amsterdam sehingga juga memuat iklan-iklan
penginapan di Paris. Perkembangan iklan di Indonesia mengikuti model sejarah
perkembangan iklan pada umumnya, yaitu seirama dengan perkembangan media massa.
Awal masyarakat Indonesia mengenal iklan modern dari surat kabar, karena
masyarakat modern baru mengenal surat kabar. Kemudian saat masyarakat Indonesia
mengenal radio, maka lahir iklan radio
dan kemudian saat masyarakat Indonesia mengenal televisi, maka lahirlah iklan
televisi.
Saat ini
begitu banyak media hahir di masyarakat dengan berbagai bentuk dan jenisnya,
sehingga iklan pun berkembang dengan pesat. Akhir-akhir ini iklan semakin tidak
dapat dibatasi penyebaranya karena begitu luas jangkauan suatu media. Sebagai
contoh kebiasaan masyarakat menggunakan internet untuk media periklanan.
Melalui internet ini seseorang atau perusahaan dapat beriklan tanpa dibatasi
wilayah oleh Negara atau Bangsa.[11]
E. KONGLOMERASI
MEDIA
Sejumlah
ahli media telah menyebutkan bahwa kepemilikan media menentukan control media,
yang pada gilirannya menentukan isi media, mungkin menjadi penyebab utama
pengaruh media. Kepemilikan media adalah factor penting bagi ahli komunikasi
dalam kaitannya dengan pengaruh media.[12]
Dalam isu kepemilikan dan pengawasan terdapat tiga bentuk kepemilikan. Bentuk
kepemilikan adalah sebagai berikut: perusahaan komersial, institusi nir-laba,
lembaga yang dikontrol publik. Dalam bentuk-bentuk kepemilikan inilah yang
nantinya akan mengarah pada masalah kebebasan. Kebebasan pers sendiri mendukung
hak kepemilikan untuk memutuskan isi media itu sendiri. Dengan demikian,
bentuk-bentuk kepemilikan mempunyai pengaruh pada pembentukan dan produksi isi
media. Oleh sebab itu, penggandaan dan peragaman sistem kepemilikan dan
persaingan bebas adalah cara atau hal yang perlu dipakai dalam pengembangan
media modern. Hal itu tentunya didasarkan pada sistem cek dan keseimbangan
informasi dalam sistem untuk membatasi pengaruh yang tidak diinginkan dari
pemilik media.
Kebebasan
pers ditandai dengan keluarnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers
dan Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang
penyiaran. Dua UU ini berhasil mendorong demokratisasi informasi
sekaligus membuka pasar media yang luas. Pers bebas ditandai dengan lepasnya
kontrol pemerintah terhadap kehidupan pers (selfregulatory system) dan
menguatnya organisasi jurnalis dan perusahaan media independen. Kebebasan pers
dan media mendorong pers sebagai pilar ke-4 demokrasi sekaligus menjadilembaga
penyebar informasi dan penyalur aspirasi publik yang efektif. Namun kebebasan
media juga memunculkan masalah pemusatan kepemilikan perusahaan media
(konglomerasi), yang mengubah wajah kebebasan media dan kebutuhan informasi publik
menjadi kebebasan menguasai pasar media.
Menurut
Karl Marx, kapitalisme adalah suatu system ekonomi yang memungkinkan beberapa
individu menguasai sumber daya produksi
vital yang mereka gunakan untuk mencari keuntungan maksimal.[13]
Marx menamakan mereka sebagai kaum borjuis. Walaupun Karl Marx melihat kaum
borjuis sebagai kelas yang melahirkan kapitalisme, namun jangan dikira kalau
Karl Marx membenci borjuis. Namun
sebaliknya, ia amat mengagumi prestasi-prestai borjuis.
Pada
wilayah internasional, ideology kapitalis terus berusaha memperluas pasar.
Mereka menggunakan media terutama televisi sebagai sarana rasionalisasi dan
ketergantungan masyarakat dimana saja serta pemupukan semangat konsumerisme
maupun hedonisme. Di Indonesia atau keadaan local lainnya, menguatnya
kapitalisme serta proteksi yang kuat dari Negara terhadap fasilitas-fasilitas
kapitalis, berupaya lewat aksesnya yang kuat terhadap media massa khususnya
televisi.
Stuart
Hall berpendapat, media massa merupakan sarana paling penting dari kapitalisme
abad ke-20, sebagaimana juga menyediakan kerangka berfikir bagi berkembangnya
budaya massa. Melalui dimana kelompok dominan terus menerus berusaha
mempertahankan, melembagakan, melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti,
melemahkan, dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasai.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
AW. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara, Jakarta, 1993
Harsono
Suwardi dalam Ibnu Hamad. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa.
Granit, Jakarta, 2004
Burhan
Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakarta, 2008
Werner
J. Severin – James W. Tankard, Teori Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2007
Muhammad
Mufid, Komunikasi Regulasi & Penyiaran, Kencana, Jakarta, 2005
John
Vivian, The Media of Mass Comunication 8th edition, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008
Jalaludin
Rakhmat, Sosiologi Komunikasi Massa
[1]
Drs. AW. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Bumi Aksara, Jakarta,
1993, hal.24.
[2]
Harsono Suwardi dalam Ibnu Hamad. Konstruksi Realitas Politik dalam Media
Massa. Granit, Jakarta, 2004
hal. xv-xvi.
[3] Muhammad
Mufid, Komunikasi Regulasi & Penyiaran, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 22
[4] Muhammad Mufid, Komunikasi Regulasi & Penyiaran, Kencana, Jakarta,
2005, hal. 81-82
[6] Muhammad
Mufid, Komunikasi Regulasi & Penyiaran, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 81
[7]Jalaludin
Rakhmat, Sosiologi Komunikasi Massa, hal 206
[8]
John
Vivian, The Media of Mass Comunication 8th edition, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008,
hal 15
[9]
Muhammad Mufid, Komunikasi Regulasi & Penyiaran, Kencana, Jakarta, 2005,
hal. 83
[10] Muhammad
Mufid, Komunikasi Regulasi & Penyiaran, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 83
[11] Burhan
Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakarta, 2008, hal.77
[12] Werner J. Severin – James W.
Tankard, Teori Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2007, hal.437
[13] Burhan
Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakarta, 2008, hal.30
[14] Burhan
Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana, Jakarta, 2008, hal.29
Comments