PERKEMBNGAN PSIKOLOGI AGAMA PADA LANSIA
BAB
I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk yang ekploratif dan potensial. Dikatakan makhluk ekfloratif,
karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik
maupun psikis. Manusia di sebut makhluk potensial karena pada manusia tesimpan
sejumlah kemampuan bawan yang dapat di kembangkan.
Selanjutnya,
manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena
untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan luar
dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan
dari lingkungannya. Bimbingan dan arahan yang di berikan dalam membantu
perkembangan tersebut pada hakikatnya di harapkan sejalan dengan kebutuhan
manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya. Karena
itu, bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak
negatife bagi perkembangan manusia.
Perkembangan
yang negatife tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang
menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terlihat dalam kaitannya
dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik dan
psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa
keagamaan perlu dilihat dulu kebutuhan-kebutuhan manusia secara
menyeluruh.Sebab, pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan
jasmani dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Dalam bukunya pengantar Psikologi kriminil Drs. Gerson W. Bawengan, SH.
Mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasrkan pembagian yang di kemukakan
oleh J.P. Guilford yaitu kebutuhan individual, kebutuhan social dan kebutuhan
manusia akan agama.[1]
Jiwa
keagamaan yang termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung dari
perkembangan aspek fisik dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sering
dikatakan bahwa kesehatan fisik akan berpengaruh pada kesehatan mental. Selain
itu perkembangan di tentukan oleh tingkat usia.
Para
ahli psikologi perkembangan membagi membagi perkembangan manusia manusia
berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau priode perkembangan. Secara
garis besarnya priode perkembngan itu di bagi menjadi: 1) Masa prenatal; 2) Masa
bayi; 3) Masa kanak-kanak ; 4) Masa pra pubertas ; 5) Masa
pubertas ; 6) Masa dewasa ; 7) Masa usia lanjut.setiap masa
perkembangan memiliki cir-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.
Sehubungn
dengan kebutuhan manusia dan priode perkembangan tersebut, maka dalam kaitannya
dengan perkembngan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik
antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari
tingkat usia.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas perkembngan psikologi agama pada lansia
(lanjut usia), dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini di masa yang
akan datang.
BAB
II
PEMBAHASAN
PERKEMBNGAN PSIKOLOGI AGAMA PADA
LANSIA
A. PENGERTIAN PERKEMBANGAN DAN
LANSIA
a.Pengertian perkembangan.
Perkembangan
adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan
pengalaman, seperti yang dikatakan oleh Van din diale perkembngan berarti
perubahan kualitatif ini berarti perkembangan
bukan sekedar perubahan beberapa centimeter tinggi badan seseorang atau
peningkatan kemampuan seseorang melainkan suatu proses integrasi dan banyak
stuktur dan fungsi yang komplek. [2]
Dalam
proses perkembangan perubahan- perubahan prilaku menurut tingkat usia sebagai
masalah antisiden (gejala yang mendahului dan konsekensinya). Pada dasarnya ada
dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara serampak
selama kehidupan, yaitu pertumbuhan dalam kemunduran keduanya mulai dari
kemunduran sampai dengan berakhir dengan kematian.
Dala
tahun-tahun pertama pertumbuhan berperan sekalipun perubahan-perubahan yang
bersifat kemunduran terjadi semenjak kehidupan janin pada bagian selanjutnya
kemunduran yang berperan sekalipun pertumbuhan tidak berhenti, rambut tumbuh
terus dan sel-sel terus berganti pada usia lanjut beberapa bagian tubuh dan
alam pikiran lebih banyak berubah dari pada yang lain.
Seringkali
pola perubahan itu mirip kurva berbentuk lonceng pada awalnya naik dengan
tiba-tiba mendatar selama usia pertengahan dan turun secara perlahan atau
mendadak pada usia lanjut,perlu di catat pola ini tidak pernah berbentuk garis
lurus walaupun dapat terjadi priode stabil yang singkat atau berkepanjangan
dalam kemampuan yang berbeda
b. pengertian lansia
lanjut usia
(lansia) menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pasal
1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun ke atas.
Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bah wa lanjut usia mempunyai hak
yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 6 ayat
1 menyatakan bahwa lanjut usia mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. [3]
Manusia usia
lanjut dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang tidak produktif lagi.
Kondisi fisik rata-rata sudah menurun sehingga dalam kondisi yang uzur ini
berbagai penyakit siap menggorogoti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini
terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka barada pada sisa-sisa umur
menunggu kematian
Dari ayat-ayat itu
jelas, lansia seperti halnya warga negara yang lain memiliki hak dan kewajiban
sama dengan warga negara lain yang belum memasuki usia lanjut.
Masa ini dimulai sekitar usia 60, ketika
seseorang mulai meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk
hidup lebih menyendiri. Sangat berbeda dengan rata-rata orang yang
ketakutan dengan datangnya usia tua, maka bagi Erikson ini adalah masa yang
sama pentingnya dengan fase-fase sebelumnya. Bahkan, masa ini mungkin
masa yang paling penting karena ini adalah masa terakhir di mana kita harus
bersiap untuk meninggalkan dunia ini[4]
B. SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA.
Untuk
menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai di pelajari memang agak
sulit. Baik dalam kitab suci, maupun dalam sejarah tentang agama-agama tidak
terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walupun secara tidak
lengkap, ternyata yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak di
jumpai baik melalui imformasi melalui kitab suci agama maupun sejarah agama.
Perjalanan
hidup sidarta gautama dari seorang putra raja kapila-wastu yang bersedia mengorbankan
kemegahan dan kemewahan hidup menjadi seorang petapa menunjukkan bagaimana
kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang di
anutnya. Proses purubahan keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman
keagamaan yang mempengaruhi dari tokoh agam budha. Dan proses itu kemudian
dalam psikologi agama disebut dengan konversi agama.
Sidarta
gautama yang putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana
yang serba mewah. Tetapi, ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat,
sidarta menyaksikan berbagai bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit
dan orang yang meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah di lihat
sidarta sebelumnya. Dari dialog dengan pengawalnya, sidarta berkesimpulan bahwa
kehidupan manusia penuh dengan penderitaan, mengalami usia lanjut dan
seturusnya mati.
Segala
yang di saksikan sidarta membatin dalam dirinya, hingga pada suatu malam ia
keluar dari istana dan meninggalkan segala kemewahan hidup. Selenjutnya sidrata
mengalami konversi agama dari pemeluk agama hindu kepada pendakwah agama baru yaitu agama budha.
Proses yang hampir
serupa juga di lukiskan dalam alqura’an tentang cara Ibrahim as. Memimpin
ummatnya untuk bertauhid kepada Allah. Ketika malam semkin gelap di melihat
sebuah bintang dan berkata:
“Inilah tuhanku”. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: “saya tidak suka kepada tuhan yang tenggelam.”
Kemudian, tatkala melihat bulan terbit, dia berkata: ”inilah tuhanku.”Tetapi
setelah bulan itu terbenam dia berkata: “sesungguhnya jika tuhanku memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”Kemudian,
tatkala melihat matahari terbit ia berkata: “inilah tuhanku.ini yang lebih
besar” maka tatkal mentari itu terbenam, dia berkata “hai kaumku, sesunguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan.” (QS 6:76-78).
Perumpamaan
ini melukiskan bagaimana proses konversi terjadi, walaupun dalam informasi kitab suci tersebut di kiaskan
kepada Ibrahim as. yang berusaha meyakinkan pengikutnya tentang kekeliruan
mereka menyembah benda-benda alam yang hakikatnya hanya ciptaan dan tidak layak
di sembah.
Terlalu
banyak contoh-contoh yang dapat di kemukakan tentang hubungan antara kesadaran
dan pengalaman agama dengan sikap dan tingkah laku para pengikut agama, yang
kemudian di jadikan objek kajian psikologi agama. Namun, kasus-kasus seperti
itu belum dipelajri secara ilmiah, hingga hanya di anggap sebagai peristiwa
keagamaan biasa.[5]
Barangkali, kenyataan yang serupa ini menimbulkan anggapan bahwa kelahiran
psikologi agama merujuk pada kalangan
pemula yang merujuk kepada ilmuan barat.
Berdasarkan
sumber barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian psikologi agama
mulai popoler pada abad ke-19. sekitar masa itu psikologi yang semakin
berkembang di gunakan sebagai alat untuk kajian keagamaan. Kajian semacam itu
dapat membantu pemahaman tentang cara bertingkah laku, berpikir dan
mengemukakan prasangka ke agamaan (Robert H. Thouless, 1992:1)
Menurut
Thouless, semenjak terbit buku The Varieties Of Religious Ekperience
tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah william james di empat
universitas di Skotlandia, maka langkah awal dari kajian psikologi agama mulai
di akui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu 30 tahun kemudian banyak
buku-buku lain di terbitkan sejalan dengan konsep yang serupa. Sejak saat itu,
kajian-kajian tentang psikologi agama tidak hanya terbatas pada masalah yang
menyangkut keagamaan secara umum melainkan masalah-masalah khusus.
Di
tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama di kenal sekiatar tahun
1970-an, yaitu oleh Prof zakiah daradjat ada sejumlah buku yang beliau tulis
untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Di luar itu,
kuliah mengenai psikologi agama juga sudah di berikan. Khususnya di Fakultas
Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. zakiah daradjat sendiri. Kedu
orang ini di kenal sebagai pelopor psikologi agama di Indonesia. Sumber- sumber
barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah dari karya Edwin
Diller dan Starbuck dan William james, sebaliknya di dunia timur, khususnya di
wilayah kekuasaan islam kajian-kajian yang tentang hal serupa belum sempat di
masukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar pada abad 7 masehi berjudul
Al-syiar wa al-Maghazi memuat berbagai fragumen dari biografi nabi
Muhammad Saw ataupun Risalah Hay Yaqzan Fi Asrar Al-Hikmat Al Masyriqiyyat
yang di tulis oleh Abu Bakr Muhammad Ibn Abd Al Malim Ibn Tufail juga memuat
masalah yang erat kaitannya dengan psikologi.
Ilmu Psikologi agama tergolong cabang
psikologi yang berusia muda berdasarkan informasi dari berbagai literature,
dapat di simpulkan bahwa kelahiran psikologi agama di dukung oleh para ahli
dari berbagai disiplin ilmu.
C. SIKAP KEBERAGAMAAN PADA
LANSIA
Perubahan terjadi pada manusia seiring
dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock
(1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi,
masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal,
masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut.
Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik
yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991)
ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti
terjadi dan tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, seiring dengan
bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua, yaitu periode penutup dalam
rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak jauh” dari periode
tertentu yang lebih menyenangkan. Pada tahap perkembangan ini, Erikson (dalam
Santrock, 1997) menyebutnya dengan sebutan ”Integrity versus Despair”.
Pada masa-masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa
yang telah mereka lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat
mengembangkan pandangan positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika
demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas (integrity), tetapi ada pula
yang memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga mereka memandang hidup
mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa (despair).
Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang
kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis
tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria
atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan penyesuaian diri
secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh
pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang
terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Salah
satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan dirinya merasa
tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu. Hal ini Lansia
dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang
paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas
mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan
dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan
agama tersebut dan menghadiri pelayanan agamamenyebabkan lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari
lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness,
perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan
membutuhlan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup
pada lansia menjadi menurun
Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi
pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi
beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh
para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (psychological
well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan psychological
well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa
dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan,
pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta
penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB menggambarkan
sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian
subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka
sendiri.
Dari beberapa tiori diatas
memgambarkan bahwa tujuan hidup berdasarkan nilai-nilai yang di jalani oleh
setiap manusia merupakan pondasi dasar
yang membuat manusia mencapai kesejahteraan hidup, kebahagian dunia dan akhirat,
agama merupakan nilai yang membawa manusia kepada kebahagian dunia dan akhiarat
Kehidupan keagaman pada usia lanjut menurut hasil
penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M.Argyle mengutip sejumlah
penelitian yang dilakukan ole Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel yang
berusia 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecendrungan untuk
menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini sedangkan
pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai dengan
seratus persen setelah usia 90 tahun [6]
Dalam banyak hal, tak jarang para ahli psikologi
menghubungkan kecendrungan peningkatan kehidupan keberagaman dengan penurunan
gairah seksual.Menurut pendukung pendapat ini manusia usia lanjut mengalami
frustasi di bidang seksual, sejalan dengan
penurunan kemampuan fisik dan frustasi semacam itu di nilai sebagai
satu-satunya faktor yang membentuk sikap keagamaan. Tetapi menurut Robet H Thoules pendapat tersebut terlalu berlebih
lebihan, sebab katanya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun kegiatan
seksual secara biologis boleh jadi tidak ada lagi pada usia lanjut, namun
kebutuhan mencintai dan di cintai tetap ada poda usia tua [7]
Menganalis hasil penelitian M. Argyle dan Elie A.
Cohen, Robert H Thouless cendrung berkesimpulan bahwa yang menentukan berbagai
sikap keberagaman di umur tua adalah depersonalisasi. Kecendrungan hilangnya
identifikasi diri dengan tubuh dan juga cepatnya akan datang kematian merupakan
salah satu faktor yang menentuakan sikap keberagaman.
Dalam buku psikologi agama jalaluddin menuliskan
beberapa ciri-ciri keberagaman manusia pada usia lanjut secara garis besarnya
adalah:
1. Kehidupan keberagaman pada usi lanjut
sudah mencapai tingkat kemantapan
2. Meningkatkan mulai munculnya pengakuan
terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh
3. Sikap kebragaman cendrung mengarah kepada
kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
4. Meningkatnya kecendrungan untuk menerima
pendapat keagamaan
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang
sejalan dengan pertambahan usia lanjut
6. Perasaan takut kepada kematian ini
berdampak pada peningkatan pembentukan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
abadi (akhirat)
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang
lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan
hidup, harga diri dan optimisme. Studi lain menyatakan bahwa praktisi
religius dan perasaan religius berhubungan dengan sense of well being, terutama
pada wanita dan individu berusia di atas 75 tahun (Koenig, Smiley, &
Gonzales, 1988 dalam Santrock, 2006). Studi lain di San Diego menyatakan hasil
bahwa lansia yang orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan
kesehatan yang lebih baik (Cupertino & Haan, 1999 dalam Santrock, 2006).
Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis
yang penting pada lansia dalam hal
menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan
pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua (Daaleman,
Perera &Studenski, 2004; Fry, 1999; Koenig & Larson, 1998 dalam
Santrock, 2006). Secara sosial, komunitas agama memainkan peranan
penting pada lansia, , seperti aktivitas sosial, dukungan sosial, dan
kesempatan untuk menyandang peran sebagai guru atau pemimpin. Hasil studi menyebutkan
bahwa aktivitas beribadah atau bermeditasi diasosiasikan dengan panjangnya usia
(McCullough & Others, 2000 dalam Santrock, 2006). Hasil studi lainnya yang
mendukung adalah dari Seybold&Hill (2001 dalam Papalia, 2003) yang
menyatakan bahwa ada asosiasi yang positif antara religiusitas atau
spiritualitas dengan well being, kepuasan pernikahan, dan keberfungsian
psikologis; serta asosiasi yang negatif dengan bunuh diri, penyimpangan, kriminalitas, dan penggunaan alkohol dan obat-obatan
terlarang. Hal ini mungkin terjadi karena dengan beribadah dapat mengurangi
stress dan menahan produksi hormon stres oleh tubuh, seperti adrenalin.
Pengurangan hormon stress ini dihubungkan dengan beberapa keuntungan pada aspek
kesehatan, termasuk sistem kekebalan tubuh yang semakin kuat (McCullough &
Others, 2000 dalam Santrock, 2006).
Lansia dengan komitmen
beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi
(Krase, 1995 dalam Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa
keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan
mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut
dan menghadiri pelayanan agama (Gallup & Bezilla, 1992 dalam Santrock
1999).
Dalam survey lain dapat
dilihat bahwa apabila dibandingkan dengan younger adults, dewasa di old
age lebih memiliki minat yang lebih kuat terhadap spiritualitas dan berdoa
(Gallup & Jones, 1989 dalam Santrock 1999).. Dalam suatu studi dikemukakan
bahwa self-esteem older adults lebih tinggi ketika mereka memiliki
komitmen religius yang kuat dan sebaliknya (Krause, 1995 dalam Santrock, 1999).
Dalam studi lain disebutkan bahwa komitmen beragama berkaitan dengan kesehatan
dan well-being pada young, middle-aged, dan older adult
berkebangsaan Afrika-Amerika (Levin, Chatters, & Taylor, 1995 dalam
Santrock 1999). Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada older
adults, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga sense
akan keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima kehilangan yang
tak terelakkan dari masa tua (Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock 1999).
Secara sosial. Komunitas
religius dapat menyediakan sejumlah fungsi untuk older adults, seperti
aktivias sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk mengajar dan peran
kepemimpinan. Agama dapat memainkan peran penting dalam kehidupan orang-orang
tua (Mcfadden, 1996).[8]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN DAN DAFTAR PUSTAKA
Manusia adalah
makhluk yang ekploratif dan potensial. Dikatakan makhluk ekfloratif, karena
manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun
psikis. Manusia di sebut makhluk potensial karena pada manusia tesimpan
sejumlah kemampuan bawaan yang dapat di
kembangkan.
.Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan
berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah
periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir
kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa
madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas
perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan
tersebut, Hurlock ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu
hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari.
Jiwa keagamaan yang termasuk aspek rohani (psikis)
akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik dan demikian pula
sebaliknya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kesehatan fisik akan
berpengaruh pada kesehatan mental. Selain itu perkembangan di tentukan oleh
tingkat usia.
Kehidupan keagaman pada usia lanjut menurut hasil
penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan ole Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel yang berusia 60-100
tahun. Temuan menunjukkan secara jelas kecendrungan untuk menerima pendapat
keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini sedangkan pengakuan
terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai dengan seratus
persen setelah usia 90 tahun.
Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis
yang penting pada lansia dalam hal
menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan
pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua.
Lansia dengan
komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling
tinggi. Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan
pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka
berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan
agama, kebutuhan akan agama merupakn hal yang tidak dapat di pisahkan dalam
kehidupan manusia.Agama merupakan pondasi dasar yang dapat menentukan
kebahagian dunia dan akhirat
DAFTAR PUSTAKA
- Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2004)
- Elizabeth B.hurlock, Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang hayat: (Erlangga ,1980)
- Partini Suardiman Kepala Pusat Studi Sumberdaya Lansia UNY
- Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2007)
- Robet H Thouless, An Introdaction to the psikologiy, (Chambridge Universiti Press, 1997)
- Psikology about. Com.
- Steve simajuntak.com
[1] H.
Jalaluddin, Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2004) hal 87
[2] Elizabeth
B.hurlock, Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang hayat: (Erlangga
,1980) hal 450
[4]
Steve simajuntak. Com.11.2007
[5] Jalaluddin,
Psikologi keagamaan: (PT raja grafindo persada, 2007) hal 29
[6] Ibid hal
103
[7] Robet H
Thouless, An Introdaction to the psikologiy, (Chambridge Universiti
Press, 1997) hal. 108.
[8] Psikology about. Com .11.2007
Comments