CENDEKIAWAN, PARTAI POLITIK, DAN DEMOKRASI PRESPEKTIF SOSIOLOGI POLITIK
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kehadiran cendekiawan muslim yang muncul pada awal abad ke 20
memiliki tugas yang tidak ringan, selain menghadapi
kolonialisme disatu sisi juga diperhadapkan oleh kondisi umat Islam yang masih mengikuti
cara beragama yang bersifat dogmatik disisi lain. Cendekiawan generasi awal ini
mengembang tugas pemurnian agama dari segala bentuk penyimpangan seperti bid’ah
dan taklid dengan mengajak untuk kembali kepada Al-qur’an dan sunnah nabi dan
membebaskan ajaran Islam dari sikap pasif dengan menerima dogma – dogma agama
dari para ahli fiqh terdahulu. Sikap ini merupakan panggilan tugas sebagai
cendekiawan muslim untuk menggunakan akal pikiran guna memecahkan problem –
problem sosial politik yang dihadapi masyarakat, baik kolonialisme,
imperialisme dan kebodohan, serta keterbelakangan yang dialami umat Islam
sendiri.
Cendekiawan atau intelegensia dalam konteks Indonesia seringkali hadir
dengan corak dan watak yang secara umum dapat dikenali dengan kecenderungan
sikap – sikapnya terhadap persoalan kebangsaan, baik dalam kaitan dengan nilai
– nilai, norma–norma dan aturan hukum yang berlaku maupun dalam arti kebudayaan
secara luas. Sikap – sikap tersebut dibentuk oleh cara pandang mereka terhadap
nilai dan ideologi yang dianutnya. Sikap cendekiawan merefleksikan bangun
ideologi itu dimanifestasikan dalam berbagai kegiatan serta terus – menerus
memperjuangkan terbentuknya struktur sosial politik yang berkeadilan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang
masalah tersebut dapat disimpulkan beberapa masalah yang menjadi fokus
kajiannya ialah:
1. Bagaimana
konsep intelektual muslim di Indonesia ?
2. Bagaimana
histografi cendikiawan muslim di Indonesia ?
3. Bagaimana
Transmisi Cendikiawan Dalam Partai politik ?
4. Bagaimana
hubungan antara cendikiawan, Negara dan kekuasaan ?
C.
TUJUAN
Dalam penyusunan makalah ini ada
beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu :
1.
Mengetahui beberapa konsep intelektual
muslim
2.
Mengetahui histografi cendikiawan muslim di
Indonesia
3.
Mengetahui Transmisi Cendikiawan Dalam
Partai politik
4.
Untik mengetahui hubungan antara
cendikiawan, Negara dan kekuasaan.
D.MANFAAT
Dalam sebuah makalah
ada beberapa manfaat yang ingin didapat. Adapun beberapa manfaat dari hasil
sebuah makalah tersebut adalah sebagai berikuti intelektu
1.
Dapat memahami konsep-konsep dari
intelektual muslim yang ada di tanah air.
2.
Dapat mengetahuai dengan jelas
perjalanan atau histori para cendikiawan muslim di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
Sejarah telah menunjukkan bahwa sebuah bangsa yang
baerkembang menjadi bangsa yang maju tidak bisa dilepaskan dari peran serta
para pemikir dan intelegensia bangsa tersebut. Peran strategis sendekiawan
dalam pentas kehidupan sosial politik tidak dapat dinafikan, baik dalam rangka
merekonstruksi sistem sosial, sistem politik dan sistem ketatanegaraan suatu
bangsa. Dinamika masyarakat juga akan ditentukan oleh corak dan keragaman
cendekiaawan yang dimiliki suatu bangsa, kadang – kadang ada cendekiawan yang sangat
independen dan kadang – kadang pula ada cendekiawan yang secara eksplisit
menjadi sebagian dari struktur.
Bebera Konsep Cendekiawan Muslim
Studi tentang intelegensia,
intelektual, cendikiawan ataupun kaum terdidik di Indonesia sudah dilakukan
sejak sebelum Indonesia seperti yang dilakukan pasca Indonesia merdeka dan
telah melahirkan beberapa karya penting, karya mutakhir tentang hal ini ditulis
secara serius oleh Yudi Latif dengan judul Intelegensia Muslim dan Kuasa, studi
ini telah memberikan gambaran yang jelas mengenai konsep – konsep tersebut di
atas, menurut Yudi Latif beberap penulis tentang tema ini, acapkali
mencampurkan antara konsep cendekiawan, intelektual maupun intelegensia,
padahal menurutnya konsep – konsep itu memiliki makna yang tidak sama, Yudi
Latif menggunakan istilah intelegensia, meski istilah ini sendiri merupakan
bahan perdebatan. Intelegensia dimaknai sebagai kelompok orang yang memiliki
karakteristik sendiri, tidak berada dalam struktur sosial tertentu , baik
berupa sistem kelas maupun status tradisional.
Intelektual organik dalam hal ini
lebih berorientasi pada pemenuhan kepentingan kelompok dan kelas mereka sendiri
baik dalam kerangka menganalisis intelektual Indonesia yang lahir dari aliran –
aliran ideologi dan agama maupun dari proses sosial yang dilaluinya seperti
pendidikan, mereka sepenuhnya bekerja melakukan aktivitaas bagi pemenuhan
kepentingan aliran dan ideologinya. Disini intelektual lebih berorientasi pada
kekuasaan dan ekonomi, kendatipun menurut Max Weber bahwa wilayah ide dan
gagasan sesungguhnya merupakan sesuatu yang relatif otonom dari wilayah
ekonomi. Meski dalam makna substantifnya bahwa sikap para intelektual terhadap
ide – ide kurang begitu ditentukan oleh pertimbangan praktis. Dengan kata lain,
para intelektual lebih siap untuk mengabaikan kepentingan mereka sendiri demi
kepentingan ide – ide , artinya kepentingan ideal bagi intelektual adalah
menjalankan proses rasionalisasi yang bersifat imanen mengimbangi, dan
seringkali mendahului dan bahkan berkontradiksi dengan kepentingan material
mereka.
Cendekiawan
muslim yang muncul pada awal abad ke 20 memiliki tugas yang tidak ringan,
selain menghadapi kolonialisme disatu sisi juga diperhadapkan oleh kondisi umat
Islam yang masih mengikuti cara beragama yang bersifat dogmatik disisi lain.
Cendekiawan generasi awal ini mengembang tugas pemurnian agama dari segala
bentuk penyimpangan seperti bid’ah dan taklid dengan mengajak untuk kembali
kepada Al-qur’an dan sunnah nabi dan membebaskan ajaran Islam dari sikap pasif
dengan menerima dogma – dogma agama dari para ahli fiqh terdahulu. Sikap ini
merupakan panggilan tugas sebagai cendekiawan muslim untuk menggunakan akal
pikiran guna memecahkan problem – problem sosial politik yang dihadapi
masyarakat, baik kolonialisme, imperialisme dan kebodohan, serta
keterbelakangan yang dialami umat Islam sendiri.
Cendekiawan
atau intelegensia dalam konteks Indonesia seringkali hadir dengan corak dan
watak yang secara umum dapat dikenali dengan kecenderungan sikap – sikapnya
terhadap persoalan kebangsaan, baik dalam kaitan dengan nilai – nilai, norma –
norma dan aturan hukum yang berlaku maupun dalam arti kebudayaan secara luas.
Sikap – sikap tersebut dibentuk oleh cara pandang mereka terhadap nilai dan
ideologi yang dianutnya. Sikap cendekiawan merefleksikan bangun ideologi itu
dimanifestasikan dalam berbagai kegiatan serta terus – menerus memperjuangkan
terbentuknya struktur sosial politik yang berkeadilan. Ali Syariati memberi
kerangka memahami ideologi, menurutnya ideologi memiliki tiga tingkatan:
1.
Cara
kita memahami dan menerima alam semesta, kemaujudan dan manusia.
2.
Terdiri
atas cara tertentu kita dalam memahami dan mengevaluasi segala benda dan gagasan
yang membentuk lingkungan sosial dan lingkungan mental kita.
3.
Mendorong
usulan, metode, pendekatan dan ideal yang akan kita manfaatkan untuk mengubah
status quo yang tidak memuaskan kita. Cendekiawan akan menggunakan segala
alternatif metode dan strategi yang tepat untuk meperjuangkan cita – cita
sosial yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran.
Cendekiawan
akan menjadi “juru bicara” bagi “masa depan”mereka akan memperjuangkan nilai –
nilai kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, dan kejujuran. Visi sosial
cendekiawan terletak pada pemihakannya terhadap nilai – nilai ideal yang dapat
digunakan untuk membangun masyarakatnya. Sumber ideologi yang banyak dirujuk
dalam komunitas Islam adalah Nabi Muhammad dan risalahnya, kemudian mengubah
ideologi tersebut menjadi keyakinan serta menjadi pemimpin bagi rakyat, nabi
memimpin rakyat yang termasuk dalam katefori awam ( ummi) dan mencerahkan
mereka menajadi manusia cerdas dan terampil. Tugas cendekiawan aalah
mencerahkan , mendidik dan membebaskan rakyat dari penindas dan ketidak adilan,
baik dari dimensi sosial, politik, budaya maupun agama, tegasnya cendekiawan
mengembang tugas sebagai “wakil Tuhan” setelah nabi tiada dalam mengarahkan
mayarakat.
Kepentingan
cendikiawan bukan pada upaya untuk meraih kekuasaan atau hal – hal pragmatis
lainnya. Melainkan memperjuangkan kepentingan yang lebih luas yakni untuk
masyarakat secara keseluruhan. Kendati cendekiawan memiliki ideolgi tertentu,
tetapi ideologi itu tidak membawanya pada sikap dan perilaku subjektif atu
sektarian, karena misi cendekiawan tidak terkait dengan nilai – nilai
primordial dan sektarian, tetapi membawa nilai – nilai universal. Meski pada
akhirnya muncul berbagi dinamika yang berkenaan dengan kepentingan dan
perebutan pengaruh, mengakibatkan berbagai muncul fraksi – fraksi politik
pragmatis yang kemudian membangun aliansi dengan kelompok politik tertentu
diluar komunitas muslim.
Cendekiawan
Muslim Indonesia
Mohammad
Natsir
Nama
mohammad Nattsir dalam wacana pemikiran islam di Indonesia. Ia seorang negarawan
dan pelaku sejarah negara Indonesia modern. Selian pemikir ia juga pelaku
politik. Tokoh yang low profil pernah memimpin partai politik Islam Masyumi.
Sebagai negarawan ia pernah menjadi perdana menteri di zaman Soekarno. Namun
kegiatan terakhirnya adalah bergelut dibidang dakwah. Ia melopori berdirinya
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga menjadi jembatan hubungan yang luas
dengan dunia Islam Internsional
Nstsir
lahir dan dibesarkan di alahan panjang, solok sumatera barat pada 17 juli 1908.
Diusia 21 ia telah tampil dalam polemik dengan seorang pendeta, Ds Chirstoffel
di koran AID . tulisan – tulisan natsir itu kem udian diterbitkan sebagai buku
berjudul qran en Evangelie dan muhammad als Profeet
Pada
tahun 1938 ia mulai aktif dibidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi
anggota Partai Islam Indonesia cabang Bandung. Beliau mengajar ketua PII
bandung pada 1940 hingga 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai kepala biro
pendidikan kodya Bandung tahun 1945 dan merangkap sekretari Tinggi Islam di
Jakrata. Puncak karier politik Natsir aadlah ketua Partai Islam Masyumi dan
Perdana Menteri RI dimas Soekarno
Pada
masa awal – awal kemerdekaaan RI , natsir dipercaya sebagai anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tatkala perdana menteri Sutan Syahrir
memerlukan dukungan Islam untuk kabinetnya, ia diminta menjadi menteri
penerangan. Bekas wapres mohammad hatta memberi kesaksian bahwa bung Karno
selaku presiden tidak mau menandatangani suatu keterangan pemerintah jika bukan
Natsir yang menyusunnya. Tampilnya M. Natsir kepundcak pemrintahan itu tidak
terlepas dari langkah strategisnya dalam menggunakan “mosi integral Natsir”.
Mosi itulah yang memungkinkan Republik Indonesia yang telah terpecah belah
akibat koferensi Meja Bundar menjadi 17 negara bagian, kembali menjadi negara
kesatuan RI.
Pada
masa dmokrasi terpimpin 1958 natsir mengambil sikap mentang politik
pemerintahan. Keadaan ini mendoronnya bergabung dengan para penentang lainnya
dan membentuk Pemrintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) suatu
pemerintahnan tandingan dipedalam sumatera. Tokoh PPRI menyatakan bahwa
pemerintahan dibawah presiden Soekarno waktu itu secara garis besar telah
menyeleweng dari Undang –Undang dasar 1945. Sebagai akibat tindakan M. Natsir
dan tokoh PRRI lainnya yang didominasi anggota Masyumi, mereka ditangkap dan
dimasukkan kedalam penjara. Natsir dikirim kebatu, Malang Syafuddin
Prawiranegara dikirim ke Jawa Tengah, Burhanuddin Harahap dikirm ke Pati,
Sumitro Djojohadikusumo dapat lari keluar negeri. Dampaknya masyumi dibubarkan
pada 17 Agustus 1960. Natsir dibebaskan pada bulan Juli 1966 setelah
pemerintahan orde lama digantikan oleh orde baru.
Sejak
itu format perjuangan Natsir berubah dari politik ke dakwah. Ia mendirikan
Dewan Dakwah Islam Indonesia. Selain dipusatnya Jakarta. Ia juga membentuk DDII
perwakilan daerah.
Sampai
awal tahun 1980 Natsir berulang kali melawat keluar negeri, terutama kenegara
Islam, menghadiri konferensi atau seminar dakwah internasional. Sebagai wakil
Presiden Muktamar Alam Islami pada konferensi di Cyprus, Natsir menyampaikan
makalah berjudul
“ Dunia Islam Berhadapan dengan Dunia MODERN” disitu ia mengingatkan pemimpin islam tentang terjadinya pergeseran kekuatan dunia yang tidak lagi didominasi oleh blok barat atau blok timur.
“ Dunia Islam Berhadapan dengan Dunia MODERN” disitu ia mengingatkan pemimpin islam tentang terjadinya pergeseran kekuatan dunia yang tidak lagi didominasi oleh blok barat atau blok timur.
Sekalipun
aktif dalam dakwah, namun jiwa politik Natsir mesih melekat. Sikap kritis dan
korektifnya ia sampaikan kepada pemerintahan orde bau dibawah Soeharto.
Kritiknya menandatangani Petisi 50 bersama Ali Sadikin da kawan – kawan pada 5
Mei 1980. Konsekuensinya, ia dicekal keluar negeri tanpa proses pengadilan.
Natsir
wafat pada 6 Februari 1993 dalam usia 85 tahun. Ia meninggalkan 6 anak dari
pernikahannya dengan Nurnahar. Namun tak satu pun dari putranya yang mengikuti
jejak ayahnya yang pejuang dan pemikir umat.
Gagasan
pemikir Natsir
1.
Islam
dan Negara
Ide
tentang negara Islam merupakan isu utama yang brkembang pada awal Indonesia
merdeka. Netsir memiliki pandangan yang moderat soal Islam dan negara. Dalam
pandangannya tentang negara, Natsir mengatakan bahwa suatu negara akan bersifat
Islam bukan karena secara formal disebut “negara Islam” ataupun “berdasarkan
Islam”, melainkan negara itu disusun “sesuai dengan ajran – ajaran Islam”, baik
dalam teori maupun praktiknya. Dasar negara dapat dirumuskan dalam klausul –
klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak – kehendak Islam.
M. natsir berdalil untuk dasar negara, Indonesia hanya
mempunyai dua pilihan yaiotu sekularisme (la diniyah) atau paham agama (dini).
Pancasila menurut pendapatnya adalah la diniyah karena itu ia sekular, tidak
mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila adalah hasil dari penggalian
masyarakat. Sesuai dengan argumen yang diajukan. Natsir mengajak orang untuk
melihat bahwa Islam sbagai agama anutan mayoritas rakyat Indonesia , cukup
mempunyai akar dalam masyarakat, dan karenaya punya alasan yang kuat untuk
dijadikan dasar negara. Ajaran Islam mempunyai sift – sifat yang sempurna bagi
kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antar
berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi.
M.
Natsir menggunakan istilah modernisasi poltiik Islam yang mebgandung arti
sebagai sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajara dan nilai –
nilai kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung dalam Qur’an dan
sunnah nabi dan menyesuaikannya dengan perkembangan – perkembangan mutakhir
dalam sejarah perasdaban umat manusia. Dalam term politik seperti ini, natsir
mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam. Bagi
kita, menegakkan Islam itu tidak dapat dilepaskan dari menegakkan negara, dan
menegakkan kemerdekaan.
Natsir
berpendapat, negara tidak perlu disuruh untuk didirikan oleh Rasullullah.
Dengan atau tanpa Islam, negara bisa berdiri, dan memang sudah berdiri sebelum
dan sesudah Islam. Dimana saja ada segolongan manusia hidup bersama – sama
dalam suatu masyarakat. Dizaman onta dan pohon korma ada negara di zaman kapal
terbang ada negara. Negara dizaman onta berlaku sebagaimana yang munasabah
dengan masa itu dan dizaman kapal terbang berlaku sebagaimana yang munasabah
pada zaman kapal terbang, tentang ada negara yang teratur dan ada yang kurang
teratur adalah soal biasa. Tetapi bagaimanapun kedua – duanya adalah negara,
dengan atau tidak dengan Islam.
Mengenai
negara sebagai suatu institusi, natsir mengikuti pendapat – pendapat tentang
persyaratan negara modern. Negara harus memiliki
1.
Wilayah.
2.
Rakyat
3.
Pemerintah
4.
Kedaulatan
5.
Konstitusi
Atau sumber hukum
dan kekuaan lain yang tidak tertulis. Bila membandingkan antara masyarakat dan
negara, Natsir mengikuti pendapa Ibn Khaldun yaitu bahwa diantara keduanya
seperti hubungan antara benda dengan bentuknya, yang satu dan bergantung dengan
yang lain. Oleh sebab itu kata Natsir negara itu harus mempunyai akar yang
langsung tertanam dalam masyarakat. Sesuai dengan garis argumen yang
diajukannya, natsir mengajak orang untuk melihat bahwa Islam sebagai agama
anutan mayoritas rakyat Indonesia cukup punya akar dalam masyarakat, dan karena
itu punya alasan kuat untuk dijadikan dasar negara.
Dalam mengupas masalah hubungan
Islam dan negara, Natsir mendasarkan uraiannya kepada ayat – ayat Al- Qur’an
“dan kami tidak jadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah
kepada ku” “Qs. 27:26” dari ayat ini Natsir mengembangkan teorinya dengan
mengatakan “ seorang Islam hidup didunia ini dengan cita – cita kehidupan
supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba
Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat”. Dunia dan akhirat
ini sama sekali bagi kaum muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi
mereka. Selanjutnya didalilkan bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan
suatu yang mutlak bagi Al – Qur’an, sebab dengan hanya itulah aturan – aturan
dan ajaran – ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin
modernis ini, negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum – hukm
Allah demi keselamatan dan kesentosaan manusia. Sebagai alat, adanya negara
bersifat mutlak, karena itu Natsir membela prinsip persatuan agama dengan
negara.
Menurut analisis Ahmad Syafii
Maarif, tulisan – tulisan Natsir tidak otomatis menjadi jelas apa yang
dimasudkannya dengan hukum – hukum Allah, apakah hukum syari’ah, yang terdapat
dalam jurisprudensi Islam atau hanyalah perintah – perintah moral yang sifatnya
umum dari Al- Qur’an dan Sunnah mengenai tingkah laku manusia sebagai individu
atau sebagai anggota masyrakat. Natsir tampaknya lebih cenderung kepada yang
kedua, sebab jarang ia berbicara tentang syariah sebagaimana yang umum dipahami
oleh umat Islam. Seperti halnya penulis – penulis modernis lainnya di
Indonesia, natsir belum pernah mempersoalkan adanya ijtihad guna menjawab
tuntutan – tuntutan kontemporernya umat secara keseluruhan.
Bagaimana dengan kepala negara,
apakah harus memakai nama khalifah sebagaimana yang diwajibkan oleh teori
klasik dalam literatur Islam . dalam hal ini, Natsir jauh melampui seorang
Rasyid Ridha yang masih mewajibkan keturunan Quraisy untuk menjadi khalifah.
Bagi Natsir sebutan seorang kepala negara, khalifah, amirul mukmin, presiden,
semuanya boleh. Pokoknya apa saja boleh, asal sifat – sifat , hak dan
kewajibannya adalah seperti yang di kehendaki Islam.
Islam dan
Pancasila
Natsir
mengungkapkan pandangannya yang lebih moderat mengenai pancasila. Pada tahun
1954, beliau memberikan sebuah ceramah yang membahas hubungan Islam dengan
Pancasila . natsir lebih melihat soal pancasila itu adalah “soal penafsiran
saja”. Dia mengingatkan agar pihak – pihak lain janganlah membuat penafsiran –
penafsiran yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dia yakin bahwa
perumusan pancasila yang mayoritas adalah muslim tidak akan merumuskan sesuatu
yang bertentangan secara asasi dengan Islam ketika Pancasila mereka rundingkan
pada tahun 1945
Pancasila,
kata Natsir bukanlah sesuatu yang asing bagi Islam sejauh ia tafsirkan sesuai
dengan asas –asas keyakinan agama itu. sebaliknya ia akan menjadi asing jika
ditafsirkan dengan cara – cara yang tidak cocok. Namun, beliau mengingatkan
bahwa betapapun terdapat kesesuaian antara Pancasila dengan Islam, tidaklah
berarti bahwa Pancasila adalah Islam atau Islam adalah Pancasila, keduanya ttap
berbeda, Islam kata Natsir lebih luas dari pada lima sila didalam Pancasila
itu. lima sila itu hanyalah menggambarkan sebagian dari ajran Islam.
Karena
hal itu, pihak – pihak diluar Islam, menurut Natsir tidak perlu khawatir bila
Islam menjadi dasar negara “ seolah – olah Pancasila akan lenyap ditelan oleh
Islam”. Kelima sila itu tambah Natsir telah tercakup dalam Islam. Dengan
demikian, melaksanakan Islam berarti sekaligus melaksanakan sila – sila
Pancasila itu. natsir juga mengingatkan bahwa dalam pengakuan Islam, Pancasila
itu akan hidup subur. Sebaliknya akan lenyap dan hanya tinggal kerangka apabila
ia berada dibawah pengakuan orang – orang ateis dan orang – orang yang jiwanya
penuh dengan fobia dan sinisme terhadap agama. Dibawah pengakuan orang – orang
seperti ini kata Natsir dalam ayunan langkah yang pertama saja Pancasila itu
telah lumpuh. Pancasila tambah Natsir tidak sepatutnya dijadikan alat untuk
memperjuangkannya dengan cara – cara yang sah dan demokratis.
Nurcholis
Madjid
Nurcholis
Madjid adalah salah seorang cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia.
Pemikirannya menjadi pusat perbincangan banyak kalangan, baik didalm maupun
luar negeri. Ia dilahirkan di Jombang, jawa timur, 17 maret 1939. Riwayat
pendidikannya , pagi hari disekolah rakyat dan sorenya di madrasah milik
ayahnya. Pada usia 14 tahun, ia nyantridi pesantren Dalul Ulum, rejoso,
Jombang. Di pesantren ini, ia memperoleh prestasi – prestasi yang mengagumkan.
Tidak selesai di Darul Ulum, ayahnya memindahkannya ke Pondok Modern Gontor,
Ponorogo Jawatimur.
Gontor
memberikan pengaruh bagi perkembangan intelektual Madjid. Pada usia 21 tahun,
ia menyelesaikan studinya di Gontor, dan untuk beberapa tahun ia mengajar
dibekas almamaternya. Jika diukur masa sekarang, pendidikan Gontor ketika
Nurcholis nyantri di akhir tahun 50 an, dapat dianggap sebagai pendidikan yang
progresif. Jika dilihat dari ukuran saat itu, gaya pendidikan yang dipelopori
Gontor sangat Revolusioner. Kurikulum Gontor menghadirkan perpaduan yang
liberal yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat, yang diwujudkan
secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajaran. Setelah itu
dilanjutkan ke IAIN jakarta untuk mengambi bahasa Arab.
Setelah
gelar sarjana diperolehnya, ia melanjutkan ke university of Chicago, Amerika
Serikat. Disana ia berguru kepada pemikir modern kebangsaan Pakistan. Fazlur
Rahman tahun 1984 ia kembali ke Indonesia dengan menyandang gelar doktor bidang
filsafat Islam.
Tujuan Gagasan
Pembaruannya
Nurcholismenganggap
bahwa gagasan pembaharuannya adalah semacam daya gerak psikologis (psychological
strikes force). Ia berfikir kalau umat islam akan memilih kemapanan,
resikonya adalah terjadinya kejumudan berkepanjangan, sedangkan apabila memilih
pembaruan, resikonya adalah integrasi umat dikorbankan.
Pemikiran
pembaruan Nurcholis Madjid mendorongM karna hasan dari malaysia untuk melakukan
penelitian dalam studi disertasinya. Menurutnya banyak generasi muda muslim
yang sma – sama merasakan pentingnya pembaruan, tetapi perasaan itu pudar,
khusunya setelah Nurcholis tampil terlalu angkuh menggunakan istilah – istilah
“liberalisasi” kebebasan intelektual dan seterusnya yang mengandung konotasi –
konotasi yang terlalu radikal untuk dimaafkan.
Pemikiran –
Pemikiran Nurholis
1.
Sekularisasi
Nurcholis
madjid pertamkali melontarkan kata sekularisasi. Ide ini dicetuskannya pada
waktu memberikan ceramah tahun 70 an, menurut Nurcholis, dengan sekularisasi
tidaklah dimasukkan penerapan sekularisasi dan mengubah kaum muslimin menjasdi
kaum sekularis, tetapi dimakdukan menduniakan nilai – nilai yang sudah
semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dai kecenderungan untuk
mengkhrowikannya.
Menurut
Nurcholis, penerapan sekularisme dengan konsekuensinya penghapusan
kepercayaannya kepada adanya Tuhan. Jelas dilarang. Agama Islam, bila diteliti
benar – benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu. Justru ajaran
tauhid itu merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar – besaran.
2.
Neomodernisme
Beberapa
pengamat pemikiran memasukkan pemikiran Nurcholis kedalam aliran neomodernisme
Islam. Menurut Fachry Ali ada empat pola pemikiran Islam di Indonesia yaitu
modernisme, neomodernisme, sosialisme demokrasi dan unversalisme
Menurut
Fachry Ali dan Bahtiar Effendi, nemodernisme Islam adalah pola pemikiran yang
mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan –
pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin Islam akan menjadi Leadingisme
(ajaran – ajaran yang memimpin) dimasa depan. Tetapi pengejaran untuk mencapai
tujuan itu tidak mesti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan.
Neomodernisme
berusaha menggabungkan dua faktor penting modernisme dan tradisionalisme. Paham
ini mengakomodasikan ide – ide modernis yang paling maju sekalipun. Serta
tradisionalisme sekaligus. Tokoh yang menjadi inspirasinya adalah Fazlur
Rahman.
3.
Islam
dan ideologi
Menurut
Nurcholis , Islam tidak identik dengan ideologi. Ideologi Islam yang
berlangsung selama ini di dalam merelatifikasikan Islam sebagai ajaran yang
universal. Ideologi, kata Nurcholis sangat terikat dengan ruang dan waktu.
Dari
pernyataan itu juga Nurcholis ingin mengajak masyarakat Islam di Indonesia
untuk menilai kembali proses ideologisasi yang berlangsung di Indonesia, sejak
awal kemerdekaan sampai bangkitanya orde baru. disini Nurcholis berpendapat
bahwa diperlukan suatu tinjauan yang kritis terhadap sumber – sumber agama,
penghargaan yang lebih baik, namun tetap kritis terhadap warisan kultural umat,
dan pemahaman yang lebih tepat pada tuntuan zaman yang semakin berkembang.
Imbauan ini dikemukakan setelah ia menjelaskan munculnya sekelompok orang yang
terdidik dimasa lalu yang dimaksud adalah tokoh – tokoh Masyumi yang sangat
kritis terhadap pandangan Islam sebagai ideologi sosial dan mencoba menghayati
sebagai sumber yang lebih tinggi.
4.
Negara
islam sebagai Apologi
Nurcholis
juga tidak sependapat dengan gagasan negara Islam. Nahkan ia menilai, timbulnya
gagasan “negara Islam” adalah suatu bentuk kecenderungan apologetik. Sikap
apologetik itu lanjut Nurcholis tumbuh dari dua jurusan pertama apologi kepada
ideologi – ideologi Barat seperti demokrasi, sosialisasi, dan komunisme.
5.
Inklusivisme
dan Demokrasi
Nurcholis
madjid menyatakan bahwa karena pada hakikatnya Islam sejalan dengan semangat
kemanusiaan yang universal, sudah tentu bahwa pikiran yang dikehendaki oleh
Islam adalah suatu sistem yang menguntungkan semua orang termasuk mereka yang
nonmuslim. Dari segi inilah ia melihat hubungan antara umat Islam bukan
eksklusivisme, melainkan daya perekat yang cukup kuat untuk menjalin kerja sama
dengan masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Inklusivisme dan keuniversalan
Islam ini, dalam lontarannya ide yang lain, disebut fitir atau fitrah. Sengat
fitrah pada dasarnya mencemirkan pengertian bahwa pada diri manusia terdapat
potensi untuk benar dan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Saefudin, Didin, Pemikiran Modern
Dan Postmodern Islam, Grasindo, Jakarta, 2003.
Anwar, Syafii, Sosiologi
Pembaharuan Pemikiran Islam, Mizan, Bandung, 2004.
Natsir, Muhammad, Islam
Sebagai Dasar Negara, Masyumi, Bandung, 1957.
Natsir, Muhammad, Agama Dan
Negara Dalam Perspektif Islam, Penerbit Media Dakwah, Jakarta, 2002.
Madjid, Nurcholis, Khasanah
Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Madjid, Nurcholis, Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1990.
John, Lesponto, Masa Depan
Islam, Mizan, Bandung, 2010
Madjid, Nurcholis, Thariqat, Bulan
Bintang, Jakarta, 1984.
Jurdi, Syarifuddin, Sosiologi
Islam Dan Masyarakat Modern, Kencana, Jkarta, 2010.
Comments