Pengantar Ilmu Politik
A. Pengertian Ilmu Politik
Asal mula kata politik
berasal dari kata “polis“ yang
berarti “negara kota“ yang di dalamnya terdapat hubungan khusus antar sesama
manusia untuk hidup bersama dengan melibatkan aturan, kewenangan, dan
kekuasaan. Secara sederhana, politik dapat juga diartikan “cerdik“ atau
“bijaksana“. Sementara itu, dalam perbincangan sehari-hari, seringkali
kebanyakan orang menerjemahkan politik sebagai “suatu cara yang dipakai untuk
mewujudkan tujuan“. Padahal sebenarnya, para ahli ilmu politik sendiri mengakui
bahwa sangat sulit untuk memberikan pengertian tentang ilmu politik yang
disepakati oleh hampir semua pakar ilmu politik. Mengingat begitu luasnya
jangkauan ilmu politik, sehingga bisa memiliki beragam pengertian sesuai dengan
kontekstualisasinya. Beragam pengertian mengenai ilmu politik tersebut,
misalnya dikemukakan oleh beberapa pakar ilmu politik dari negara Barat,
diantaranya: Wilbur White, Gilchrist, dan Adolf Grabowsky. White berpendapat
bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang asal mula, bentuk, dan
proses negara serta pemerintahan. Sedangkan Gilchrist mengemukakan bahwa ilmu
politik merupakan ilmu tentang negara dan pemerintahan. Sementara Grabowsky,
menyatakan bahwa ilmu politik pada dasarnya merupakan ilmu yang mengkaji tentang
negara dalam keadaan bergerak.
Meskipun terdapat beragam pengertian tentang ilmu politik
yang dikemukakan oleh para pakar ilmu politik (sebagaimana tergambar di atas), tetapi
pada hakikatnya politik berada dalam ruang lingkup negara. Dengan kata lain,
membicarakan politik pada dasarnya membicarakan tentang negara, karena teori
politik sebenarnya diorientasikan untuk meneropong negara sebagai sebuah
lembaga politik yang memiliki pengaruh sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Bukan hanya itu, politik juga mengkaji tentang ide-ide, asas-asas, sejarah
terbentuknya negara, hakikat negara, serta bentuk dan tujuan negara, disamping
menyoroti pula tentang pressure group
(kelompok oposisi), interest group
(kelompok pendukung pemerintah), elit politik, pendapat umum (public opinion), peranan partai politik,
dan pemilihan umum.
B. Objek Kajian dan Metodologi Kajian Politik
1.
Objek Kajian Ilmu
Politik
Politik telah lama
diakui sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan sosial yang berdiri sendiri,
karena politik dinilai telah memenuhi kriteria sebagai sebuah disiplin ilmu.
Perlu digaris bawahi bahwa salah satu syarat untuk bisa dikatakan sebagai
sebuah disiplin ilmu adalah adanya objek. Sementara itu, objek adalah sesuatu
yang menjadi pokok pembicaraan. Dengan kata lain, objek merupakan apa yang akan
diamati, diteliti, dipelajari, dan dibahas. Dalam penjabarannya, objek itu
sendiri terdiri dari objek materi dan
objek formal. Setiap objek materi
dari sebuah disiplin ilmu bisa saja sama
dengan objek materi disiplin ilmu lainnya, karena bersifat umum dan merupakan
topik yang dibahas secara global tentang pokok persoalan (subject matter). Sedangkan objek formal lebih bersifat khusus dan
spesifik, karena merupakan pusat perhatian (focus
of interest) suatu disiplin ilmu pengetahuan. Objek formal berbeda pada
masing-masing disiplin ilmu karena perbedaan sudut pandang, yaitu meninjau
sasarannya hanya dari suatu sudut pandang dengan caranya yang khas dan khusus.
Jadi, yang membedakan suatu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya adalah
objek formalnya, walaupun objek materinya sama. Berikut ini ilustrasi adanya
titik persamaan dan perbedaan antara ilmu politik dengan ilmu-ilmu kenegaraan
lainnya dari perspektif objek materi dan objek formalnya.
Objek Materi dan Objek
Formal Ilmu-ilmu Kenegaraan
No.
|
Nama Disiplin
Ilmu Pengetahuan
|
Objek Materi
|
Objek Formal
|
1.
|
Ilmu Politik
|
Negara
|
Kekuasaan, pressure group (kelompok oposisi), interest group (kelompok pendukung
pemerintah), elit politik, pendapat umum (public
opinion), partai politik, dan pemilihan umum
|
2.
|
Ilmu Pemerintahan
|
Negara
|
Hubungan-hubungan pemerintahan,
geja-la-gejala pemerintahan, peristiwa-peristi-wa pemerintahan
|
3.
|
Ilmu Negara
|
Negara
|
Pertumbuhan dan
perkembangan negara, sifat dan hakikat negara, bentuk dan teori negara
|
4.
|
Ilmu Hukum Tata
Negara
|
Negara
|
Peraturan-peraturan,
undang-undang, konvensi, konstitusi, yurisprudensi, traktat-traktat,
keputusan-keputusan, serta hukum-hukum lainnya
|
5.
|
Ilmu Administrasi
Negara
|
Negara
|
Administrasi,
ketatausahaan, pelayanan, manajemen, pengelolaan, pengawasan, dan koordinasi
|
2.
Metodologi Kajian Ilmu
Politik
Metodologi merupakan ilmu pengetahuan tentang cara untuk
mengerjakan sesuatu agar diperoleh pengertian ilmiah terhadap suatu pengetahuan
yang benar. Prof. Noeng Muhadjir mengatakan bahwa metodologi membahas
konsep-konsep teoretis berbagai cara, dengan membicarakan berbagai kelebihan
dan kekurangannya. Terkait dengan metodologi kajian ilmu politik, ada berbagai
metode yang dapat digunakan untuk mengkaji ilmu politik, antara lain:
a.
Metode Induksi
Yaitu suatu metode
yang menarik kesimpulan dari data dan fakta yang diperoleh. Misalnya sebelum mengambil
sebuah kesimpulan terkait dengan permasalahan politik, maka terlebih dahulu kita
harus mengumpulkan seperangkat fakta dan data tentang pengaruh sebuah kekuasaan,
sehingga kita dapat menentukan akan dibawa kemana suatu negara.
b.
Metode Deduksi
Yaitu suatu metode
yang menganalisis fakta dan data yang diperoleh dengan cara menguraikannya. Oleh
karena itu, cara penganalisisan fakta dan data dimaksimalkan potensi akal agar
tercipta kerasionalan. Dengan demikian akan dapat ditentukan apakah kita
membutuhkan pemerintahan yang demokratik atau tirani dalam mengatur suatu
negara.
c.
Metode Dialektis
Yaitu suatu metode
tanya jawab untuk mencari pengertian. Jadi, dalam cara yang memakai teknis
komunikasi ini diperoleh hubungan horizontal antara semua pihak, misalnya
antara pemerintah dengan yang diperintah atau antar lembaga negara, sehingga
dengan demikian tidak terjadi ketimpangan. Sebaliknya diharapkan tercipta saling
pengenalan diri, keterbukaan dan akseptabilitas.
d.
Metode Filosofis
Yaitu suatu metode
yang mengkaji sedalam-dalamnya segala sesuatu, sehingga sampai pada inti
hakikatnya. Misalnya cara pengkajian kebenaran ilmu politik, maka segala
sesuatu yang berkenaan dengan keberadaan suatu partai harus ditelusuri sampai
pada substansinya, yang sub-komponennya meliputi: kualitas, kuantitas, kedudukan,
wujud, ruang, waktu, aksi, dan relasi suatu negara.
e.
Metode Perbandingan
Yaitu suatu metode
yang mengukur sesuatu berdasarkan perbedaan dan persamaan sesuatu tersebut dengan
sesuatu yang lain yang sejenis. Misalnya dengan cara membuat kriteria
pengukuran suatu kelompok kepentingan untuk menentukan berbagai sudut pandang.
f.
Metode Sejarah
Yaitu suatu metode
yang menganalisis kenyataan perjalanan waktu. Misalnya dengan cara mengkaji
ulang setiap bagian yang menjadi sifat dan hakikat suatu negara, lalu membandingkannya
antara sistem sekarang yang kita lalui dengan sistem politik yang pernah ada di
waktu yang lampau, atau suatu sistem dikaji perubahannya dari waktu ke waktu
pertumbuhan dan perkembangannya.
g.
Metode Fungsional
Yaitu suatu metode
yang dalam proses penyelidikannya membahas tentang objek dan gejala, dalam hal
ini objek atau subjek politik. Misalnya tentang fungsi dan pengaruh suatu
kelompok, baik yang negatif maupun positif terhadap penyelenggaraan roda
politik pemerintahan.
h.
Metode Sistematis
Yaitu suatu metode
yang berangkat dari perhimpunan bahan-bahan secara teratur, berkesinambungan,
saling terkait satu sama lain, serta memiliki kesatuan arah tujuan. Jadi dapat
dilukiskan keseluruhan uraian-uraian, mulai dari nilai-nilai luhur pendirian
suatu negara yang pada dasarnya untuk memakmurkan warga negaranya, sampai pada
evaluasi keberadaan negara tersebut ditinjau dari aspek etika, estetika, dan
logika politik.
i.
Metode Hukum
Yaitu suatu metode
yang menitikberatkan pada segi yuridis. Penggunaan cara ini mengandalkan
keserasian dalam negara, sehingga melahirkan kewajiban antara pemerintah dengan
rakyatnya, yang berupa aturan yang harus diikuti, baik dalam bentuk norma
kesusilaan maupun aturan tingkah laku lainnya yang pada gilirannya nanti akan
semakin mengikat keberadaannya dalam kehidupan bernegara.
j.
Metode Sinkretis
Yaitu suatu metode
yang menggabungkan berbagai faktor. Dengan cara ini, berbagai faktor seperti:
data, aliran, keilmuan, budaya, dan sistem disatukan untuk melahirkan pemikiran
yang objektif. Misalnya usaha penolakan keras terhadap sekularisme, yaitu
ilmu-ilmu kerohanian di satu pihak, digabung pemakaiannya dengan ilmu-ilmu
kenegaraan di lain pihak.
Paradigma Fungsional Struktural; Sistem Politik
Salah satu paradigma
(cara pandang) yang biasa digunakan dalam ilmu politik adalah paradigma fungsional struktural. Paradigma struktural
fungsional telah lama menjadi kerangka yang begitu penting untuk penelitian
sosiologi, sebelum ia dipergunakan dalam ilmu politik. Meskipun kemudian tidak
dipergunakan lagi dalam sosiologi di akhir tahun 1950-an dan awal tahun
1960-an. Paradigma ini betul-betul digunakan secara sungguh-sungguh dalam ilmu
politik. Paradigma struktural fungsional pada prinsipnya berkisar pada beberapa
konsep, dan yang paling penting adalah konsep fungsi dan struktur. Berangkat
dari hal ini, maka ada tiga pertanyaan yang mengemuka: (a) fungsi dasar apa yang harus dipenuhi dalam setiap sistem, (b) oleh struktur yang bagaimana, dan (c) dibawah
keadaan apa. Suatu fungsi secara umum
didefinisikan sebagai hasil yang dituju
dari suatu pola tindakan, yang diarahkan bagi kepentingan sistem (dalam hal ini
sistem politik). Jadi pada akhirnya suatu fungsi selalu berurusan dengan
akibat-akibat dari suatu pola tindakan yang ditujukan bagi suatu sistem. Penting bagi kita
untuk membedakan antara fungsi (yang
digambarkan sebagai eu-functions oleh
Marion J. Levy Jr) dengan dys-functions
(penyelewengan fungsi). Menurut Robert K. Merton, fungsi adalah akibat yang tampak, yang ditujukan bagi kepentingan
adaptasi dan “penyetelan” (adjustments)
dari suatu sistem tertentu, dan dys-functions
adalah akibat-akibat yang tampak, yang mengurangi daya adaptasi dan
“penyetelan” (adjustments) dari suatu
sistem. Hal ini bukan berarti bahwa akibat-akibat yang bersifat fungsional dan
disfungsional selalu dihasilkan oleh pola-pola tindakan yang berbeda, atau
pola-pola ini selalu bekerja dalam tingkat sistem yang sama. Bisa saja terjadi,
pola-pola tindakan yang fungsional bagi seluruh sistem sosial, disfungsional
bagi individu atau kelompok, demikian juga sebaliknya. Merton membuat suatu
perbedaan yang sangat bermanfaat, antara fungsi
nyata (manifest) dengan fungsi yang bersifat (latent). Fungsi yang nyata
bersangkut-paut dengan pola-pola tindakan yang konsekuensinya benar-benar
diharapkan dan dikenal oleh para pesertanya. Sedangkan fungsi laten berurusan
dengan pola-pola tindakan yang konsekuensinya tidak diharapkan dan tidak
dikenal oleh para pesertanya. Bisa juga terdapat pola menengah, yaitu tidak
diharapkan tapi dikenal atau diharapkan tapi tidak dikenal. Lebih penting bagi
para peneliti untuk mengenal fungsi yang bersifat laten (yang sangat kompleks
dan sukar mengenalinya) dari pada fungsi yang nyata (yang begitu jelas dan
mudah dikenal).
Selain
konsep tentang fungsi, konsep lain
yang penting dalam paradigma struktural
fungsional adalah “struktur“. Sementara
fungsi berurusan dengan akibat-akibat atau konsekuensi-konsekuensi yang
melibatkan tujuan-tujuan serta proses-proses dari suatu pola tindakan, struktur menunjuk kepada susunan-susunan
dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Tidak seperti para ahli antropologi,
Merton tidak mempercayai adanya persesuaian satu persatu antara fungsi dan struktur. Suatu fungsi tunggal bisa saja dipenuhi oleh kombinasi
yang kompleks dari berbagai struktur, sebagaimana halnya suatu susunan struktur
tertentu dapat melakukan berbagai fungsi, yang mungkin mempunyai berbagai jenis
akibat yang berbeda terhadap struktur tersebut. Merton telah berusaha menentang
pemikiran kuno tentang suatu “keharusan“ (indispensability),
yaitu bahwa setiap pola tindakan atau struktur harus memenuhi suatu fungsi
vital tertentu. Ia telah mengembangkan suatu pemikiran bahwa suatu fungsi
tertentu dapat dipenuhi oleh banyak susunan struktur yang berbeda-beda.
Paradigma Radikal; Masyarakat Vs Negara
1. Paradigma Radikal
Paradigma radikal
adalah ................
Paradigma radikal
memiliki enam karakteristik, antara lain:
1.
Paradigma radikal bersifat holistik dalam interpretasi
dan analisisnya.
2.
Paradigma radikal menghubungkan politik dengan konsepsi
negara yang menghadapi perseteruan satu hirarki para pemberi suara dengan
kelompok-kelompok massa dalam masyarakat.
3.
Paradigma radikal memberikan sebuah analisis kelas dalam
masyarakat. Kelas-kelas dan konflik diantara mereka ditentukan oleh hubungan
mereka dengan mode dan kekuatan-kekuatan produksi.
4.
Paradigma radikal menekankan sentralisasi kewenangan dengan
suatu basis yang umum dan luas.
5.
Paradigma radikal memandang bahwa penguasa bersifat
dominan, terkonsentrasi secara sosial, dan dipersatukan dalam
kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi.
6.
Paradigma radikal memahami perkembangan yang bersifat
revolusioner dan multilinier, serta memperhatikan seluruh kebutuhan semua
orang.
2. Masyarakat
Masyarakat merupakan keseluruhan
antara hubungan-hubungan antar manusia. Sementara itu, Robert
M. Mclver, mengatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem hubungan-hubungan
yang ditata (society means a system of
ordered relations).
Biasanya anggota-anggota masyarakat menghuni suatu wilayah geografis
yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan
3. Negara
Referensi:
Syafi’ie, Inu Kencana. 2000. Ilmu Politik. Jakarta : Rineka Cipta.
Rudy, Teuku May. 1993. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya. Bandung :
Eresco.
Comments