Peranan Ilmu Politik dalam Penegakan Hukum di Indonesia
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang.
Seperti yang kita ketahui, semua Negara
pasti mempunyai peraturan-peraturan dan hukum, begitu juga Negara Indonesia.
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang mempunyai peraturan-peraturan hukum,
yang sifatnya memaksa seluruh masyarakat atau rakyat Indonesia harus patuh
terhadap peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan hukum di Indonesia. Dan
negarapun membentuk badan penegak hukum guna mempermudah dan mewujudkan Negara
yang adil dan makmur. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di Negara kita masih
banyak kesalahan dalam menegakkan hukum di Negara kita, dan masih banyak juga
ketidak adilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku. Pada saat kesejahteraan sudah merupakan fokus kebijaksanaan
nasional, mau tidak mau orang harus berpaling pada hubungan antara politik
dengan hukum, seperti halnya pemusatan perhatian kepada hubungan antara politik
dengan ekonomi di masa pembangunan ekonomi merupakan prioritas.
Dewasa ini, peningkatan perhatian terhadap permasalahan hubungan
politik dengan hukum bukan saja merupakan keperluan, lebih daripada itu karena
masih terbatasnya perhatian terhadap masalah ini.[1] Hubungan
antara politik dengan hukum memang berjalan dalam dua arah, sehingga ke dua
aspek kehidupan itu saling mempengaruhi. Namun karena perhatian kita adalah
aspek hukum dari kehidupan sebagai indikator pertumbuhan kesejahteraan
masyarakat, maka dalam rangka menelusuri faktor-faktor yang memungkinkan
tumbuhnya kekuatan hukum, politik dilihat sebagai variabel yang berpengaruh
terhadap hukum.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas
apa dan bagaimana penegakan hukum yang adil dan bagaimana upaya-upaya penegakan
hukum di Negara kita ini. Untuk memulihkan atau membentuk Negara yang memiliki
hukum yang tegas dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Apa yang dimaksudkan dengan hukum di sini adalah hukum positif yang
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan yang berlaku. Titik perhatian dalam
makalah ini ialah perkembangan atau pertumbuhan hukum di tengah masyarakat yang
dipengaruhi oleh politik.
1.2
Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
Ø Bagaimana sistem politik Indonesia?
Ø Bagaimana perkembangan hukum di Indonesia?
Ø Bagaimana hukum itu disebut sebagai produk
dari politik?
Ø Bagaimana subordinasi hukum dalam politik?
Ø Apa hubungan politik dengan hukum?
Ø Apakah pentingnya peran pemerintah dalam
penegakan hukum?
Ø Bagaimana keadaan-keadaan penegakan hukum
di Indonesia saat ini?
Ø Bagaimana cara menegakkan hukum di Negara
kita?
Ø Apakah
pengaruh politik dalam pembentukan hukum di Indonesia?
1.3
Tujuan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk membahas mengenai
sistem politik Indonesia, perkembangan hukum di Indonesia, serta peran
pemerintah dalam penegakan hukum di Negara kita. Agar kita mengetahui bagaimana
terjadinya hukum yang berkembang dalam
masyarakat sebagai produk politik, sekaligus . Makalah ini disusun dengan
tujuan agar dapat dijadikan sumber referensi untuk pembelajaran selanjutnya. Di
samping itu pula, untuk memenuhi tugas makalah individual mata kuliah pengantar
ilmu politik.
PEMBAHASAN
A. Sistem Politik Indonesia.
Ilmu Politik adalah ilmu yang membahas tentang proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat
yang antara lain berwujud pada proses
pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi
yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu
politik. Ilmu
Politik
adalah seni atau
ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional.
Secara formal, pengaturan sistem politik Indonesia tentu
mendasarkan diri pada konstitusi tertulis. Ada tiga konstitusi tertulis yang
pernah berlaku yaitu: UUD 1945, UUD RIS dan UUDS 1950.[2] Meskipun UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis yang mendasari sistem
politik indonesia telah dipersiapkan sebelum indonesia merdeka, namun dalam
praktek hukum dasar ini hanyalah nama belaka, pelaksanaan sistem politik
Indonesia semenjak merdeka hingga 1949 tidak lagi didasarkan pada hukum dasar
tersebut.[3]
Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di
Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik
mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara
dan bagaimana mekanissme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu
dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait
dengan pembentukan hukum.
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang
terkait adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip
konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan
saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan
pincangnya sistem politik ideal yang dianut.
Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu: pemisahan
kekuasaan-checks and balances-prinsip due process of law, jaminan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.
Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara
pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi
dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang
berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam
kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum
sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan, sebagaimana
yang dianut aliran positivisme, yang mengakomodir segala kepentingan dari berbagai
lapisan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh
masyarakat.
Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam
perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki
otoritas untuk itu. nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam
perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan
pemahaman atas suara rakyat.
B.
Hak Politik
Walaupun sejak tahun limapuluhan perhatian
dunia terhadap hak asasi sudah menekankan aspek ekonomi, sosial, dan
kebudayaan, namun sikap tersebut tidaklah perlu mengendorkan semangat kita
untuk memperhatikan dan memperjuangkan hak sipil dan politik.
Yang disebut sebagai hak sipil dan politik
adalah hak yang diperoleh warga Negara karena ditentukan oleh hukum, seperti
konstitusi dan undang-undang.[4]
Karena itu, hak-hak ini lazim diperjuangkan melalui pengadilan. Berbeda dengan
hak politik, hak sipil diberikan kepada setiap warga Negara. Bahkan sering pula
warga Negara asing memperoleh hak sipil di Negara yang tidak memberikan
kewarganegaraan kepada orang asing tersebut.
Hak politik tidak diberikan kepada semua
warga Negara. Ada beberapa persyaratan untuk dapat menikmati hak politik,
seperti umur (dewasa), tempat tinggal, bebas dari tindakan kriminil dan
sebagainya. Oleh karena itu, maka hak politik sering dikatakan bukan hak dalam
artian yang sesungguhnya.
Hak politik diciptakan melalui hukum dan
diberikan kepada siapa yang memenuhi persyaratan tertentu, bukan kepada setiap
penduduk. Termasuk ke dalam hak politik ialah hak memilih, hak berpartisipasi
di dalam proses poitik, dan hak untuk menduduki suatu jabatan Negara atau
pemerintah.[5]
Dalam UUD 1945 perbedaan antara hak sipil
dengan hak politik memang tidak dengan tegas dinyatakan. Paling jauh, ungkapan
tentang hak-hak politik yang dapat ditarik dari UUD 1945, berasal dari pasal 27
ayat 1 dan pasal 28. Sungguhpun demikian, haruslah disadari bahwa aktivitas
kehidupan yang dijamin dalam pasal tersebut mencakup keseluruhan aspek kehidupan.
Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa
hak-hak politik orang Indonesia yang dijamin oleh UUD dan UU ialah hak
membentuk dan memasuki organisasi politik ataupun organisasi yang dalam waktu
tertentu melibatkan diri ke dalam aktivitas politik. Semuanya itu
direalisasikan secara murni melalui partisipasi politik.Keseluruhan penggunaan
hak politik di Indonesia dibedakan atas dua kelompok kegiatan politik seperti
yang dilakukan oleh Ranney.[6]
C. Perkembangan hukum di indonesia.
Ilmu hukum adalah suatu sistem
aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.
Tampaknya gagasan pengembangan hukum di Indonesia diawali dengan
keinginan untuk mengkodifikasi hukum. Keputusan untuk melaksanakan kegiatan
tersebut diambil oleh pemerintah kolonial belanda dalam tahun 1848 dengan
mengambil alih hukum sipil dan hukum dagang yang telah dikembangkan di Negeri
Belanda sepuluh tahun sebelumnya.[7]
Cita-cita kodifikasi hukum di dalam pelaksanaannya amat berkaitan
dengan dengan pluralisme dan unifikasi hukum dalam artian bahwa di Indonesia
berlaku berbagai bentuk hukum yaitu hukum negara belanda yang diindonesiakan
hingga kemudian dikenal sebagai perwakilan hukum barat, hukum islam dan hukum
adat sebagai perwakilan hukum kaum pribumi, dan sebagainya.
Menghadapi kompleksitas masalah ini, terdapat dua aliran fikiran
yang menonjol yaitu, memperlakukan satu bentuk hukum terhadap semua penduduk di
Indonesia atau membedakan orang Indonesia dengan kelompok penduduk lainnya.
Permasalahan ini timbul karena kenyataan bahwa penduduk asli telah sejak lama
memanfaatkan hukum adat dan hukum islam.[8] Pertama, ialah hak politik yang dicerminkan oleh tingkah-laku
politik massa rakyat, berupa penggunaan hak pilih dalam pemilihan umum, seperti
demonstrasi dan huru-hara. Kedua,
yaitu hak politik yang tercermin dari tingkah-laku politik elit terutama elit
kekuasaan atau pengusaha.
D.
Hukum
Sebagai Produk Politik.
“hukum adalah produk politik” yang ditegaskan dalam UU No.5 Tahun
1974 itu lahir dari semangat politik yang tidak demokratis karena program
pembangunan yang berorientasi pada paradigma pertumbuhan sehingga undang-undang
tersebut tidak dapat menyembunyikan
watak sentralistiknya.
UU No.5 Tahun 1974 didesain untuk melayani atau sebagai refleksi dari
konfigurasi politik yang timbul dari logika
pembangunan ekonomi yang menhendaki sentralisasi kekuasaan untuk
menamankan program pembagunan ekonomi tersebut.
Oleh sebab itu, jika kita sepakat bahwa pada dewasa ini kita telah
berada pada era konfiguasi politik yang lebih demokratis di bawah masa
keterbukaan maka UU No.5 Tahun 1974 yang lahir dari konfigurasi politik yang
non demokratis itu dapat dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan
masyarakat dan karenanya perlu dilakukan revisi.[9]
Perlu ditekankan bahwa sebuah produk hukum itu bukanlah bangunan
yang statis melainkan dapat berubah-ubah sesuai dengan fungsinya untuk melayani
masyarakatnya (Satjipto Rahardjo; 1986;27).
Jika politik sebagai sub sistem kemasyarakatan berubah maka produk
hukumnya sebagai sub sistem kemasyarakatan yang lain harus pula berubah, sebab
sebagaimana yang dikatakan Hans Kelsen, hukum itu selalu berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya.
Inilah makna aksioma bahwa hukum itu merupakan produk politik yang
berarti bahwa karakter sebuah produk hukum akan selalu merefleksikan
konfigurasi politik yang melahirkannya.
E. Hukum dalam Subordinasi Politik
Adalah runtuhnya rezim otoriter
Soeharto dan keinginan untuk membangun kembali suatu tatanan masyarakat yang
demokratis yang memunculkan upaya-upaya peninjauan ulang, revisi dan amandemen
terhadap segala bentuk sistem dan perangkat hukum yang ada. Namun sejarah
mencatat bahwa proses lahirnya hukum memang tidak lepas dari sejarah kekuasaan
atau politik itu sendiri. Sejak masa Imperium Roma sampai dengan Hitler, Sejak
masa Sriwijaya hingga Megawati Sokarnoputri. Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru
sebenarnya sekadar menyempurnakan apa yang dikenal dengan “The Ducth Law of
The Sea”, suatu upaya kolonial Belanda untuk mengintervensi hukum adat yang
berlaku di nusantara. Prinsipnya hukum tersebut dugunakan sebagai instrumen
kepentingan penjajah di wilayah jajahannya dimana VOC misalnya
mendiskriminasikan pribumi sebagai warga kelas dua. Ada lima langkah yang dilakukan Orde
Baru untuk “menyempurnakan” hukum sebagai alat untuk menjinakkan masyarakat: Pertama,
melakukan kooptasi terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah
Agung (MA) sehingga menyebabkan MA kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua,
memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan adat atau kearifan lokal yang
selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga keseimbangan dalam lingkungan
adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan konflik yang
terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara
dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat,
membentuk instrumen-instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah
masyarakat. Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk
seakan-akan bekerja untuk keadilan, namun ternyata hanya pura-pura, tidak beres
dan tidak jelas. Dan kelima, persoalannya bukan hanya imparsialitas dan
independensi, namun juga masuknya praktek-praktek kolusi, korupsi dan
nepotisme.[10]
Dengan kata lain, hukum yang berada
dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek
politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Law
enforcement menjadi kehilangan ruang, sehingga Ronald Katz kemudian
menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law,
ada hukum tapi tidak berguna.
F.
Hubungan Politik dengan Hukum
Beberapa literatur mengungkapkan
bahwa hukum dianggap sebagai tujuan dari politik. Adalah maksud dari
politik agar ide-ide hukum atau rechtsidee seperti kebebasan,
keadilan, kepastian, dan sebagainya ditempatkan dalam hukum positif dan
pelaksanaan sebagian atau secara keseluruhan, dari ide hukum itu
merupakan tujuan dari proses politik. Kedua, bahwa hukum sekaligus
merupakan alat dari politik. Dalam hal ini politik mempergunakan hukum
positif (peraturan perundang-undangan) untuk mencapai tujuannya dalam arti
merealisasikan ide-ide hukum tersebut.
Dengan demikian, dengan peraturan
yang ada atau hukum positif, politik dapat mengarahkan dan membentuk
masyarakat kepada tujuan tertentu. Dalam hal ini, kita ingat sebutan bahwa
hukum adalah alat rekayasa sosial atau a tool of social engineering.
politik dan hukum mempunyai peranan serta tugas yang sama yaitu
memecahkan masalah kemasyarakatan di mana politik adalah aspek dinamis dan
hukum merupakan aspek yang statis.
Dari apa yang diuraikan itu, menjadi
jelas bahwa hubungan antara politik dan hukum adalah dasar dari politik hukum
dengan ketentuan bahwa pelaksanaan pengembangan politik hukum tidak
bisa dipisahkan dengan pelaksanaan pengembangan politik secara keseluruhan.
Atau, dapat dikatakan, prinsip dasar yang dipergunakan sebagai ketentuan
pengembangan politik akan juga berlaku bagi pelaksanaan politik hukum
yang diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan.
G. Politik Hukum
Tiada Negara tanpa politik hukum. Politik
hukum, ada yang bersifat tetap (permanen) dan ada yang temporer. Yang tetap,
berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan
pembentukan dan penegakan hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap,
antara lain:[11]
i.
Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia.
ii.
Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh
sendi-sendi pancasila dan UUD 1945.
iii.
Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warga Negara
tertentu berdasarkan suku, rasa atau agama.
iv.
Pembentukan hukum memperhatikan
kemajemukan masyarakat.
v.
Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem
hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan
masyarakat.
vi.
Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
vii.
Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial
bagi seluruh rakyat) terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan
mandiri serta terlaksanakannya Negara berdasarkan atas hukum dan berkonstitusi.
Politik hukum temporer adalah kebijaksanaan yang
ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Politik hukum tidak
terlepas dari kebijaksanaan di bidang lain. Penyusunan politik hukum harus diusahakan
selalu seiring dengan aspek-aspek kebijaksanaan di bidang ekonomi, politik,
social dan sebagainya.
Namun demikian, setidak-tidaknya ada dua lingkup utama politik hukum,
yaitu:
1) Politik pembentukan hukum; dan
2) Politik penegakan hukum.
Politik pembentukan hukum adalah
kebijaksanaan yang bersangkutan dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan
hukum. Politik pembentukan hukum mencakup:
Ø Kebijaksanaan (pembentukan)
perundang-undangan.
Ø Kebijaksanaan (pembentukan) hukum
yurisprudensi atau putusan hakim; dan
Ø Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak
tertulis lainnya.
Politik penegakan hukum adalah
kebijaksanaan yang yang bersangkutan dengan:
Ø Kebijaksanaan dibidang peradilan; dan
Ø Kebijaksanaan dibidang pelayanan hukum.
Antara kedua aspek politik hukum tersebut,
sekedar dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan karena:[12]
1) Keberhasilan suatu peraturan
perundang-undangan tergantung pada penerapannya. Apabila penegakan hukum tidak
dapat berfungsi dengan baik, peraturan perundang-undangan yang bagaimanapun
sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya.
2) Putusan-putusan dalam rangka penegakan
hukum merupakan instrumen control bagi ketepatan atau kekurangan suatu
peraturan perundang-undangan.
3) Penegakan hukum merupakan dinamisator
peraturan perundang-undangan melalui putusan dalam rangka penegakan hukum.
H.
Hubungan politik hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Peraturan Perundang-undangan
(legislation) merupakan bagaian dari hukum yang dibuat secara sengaja
oleh institusi negara. Ia muncul tidak tiba-tiba. Namun, dibuat dengan tujuan
dan alasan tertentu. Mengingat harus ada konsistensi dan korelasi antara apa yang
ditetapkan sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai
tujuan. politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang
menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan Perundang-undangan.
politik hukum dengan dimensi alasan dasar seperti ini menurut Hikmahanto
sebagai “kebijakan dasar” atau dalam bahasa inggris disebut “basic policy”.
Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang
muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan Perundang-undangan, yang kemudian
disebut sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam bahasa inggris disebut
sebagai “enactment policy”. Melalui “kebijakan Pemberlakuan” inilah dapat
dilakukan pengidentifikasian beragam kebijakan pemberlakuan undang-undang di
Indonesia.
I.
Peran Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan yang
baik akan membatasi, mengatur dan sekaligus memperkuat hak warga negara.
Pelaksanaan hukum yang transparan dan terbuka di satu sisi dapat menekan dampak
negatif yang dapat ditimbulkan oleh tindakan warga negara sekaligus juga
meningkatkan dampak positif dari aktivitas warga negara. Dengan demikian hukum
pada dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari kemanusiaan dan
menghambat aspek negative dari kemanusiaan. Penerapan hukum yang ditaati dan
diikuti akan menciptakan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi
masyarakat.
Permasalahan dalam penyelenggaraan
sistem dan politik hukum pada dasarnya meliputi substansi hukum, struktur
hukum, dan budaya hukum. Tumpang tindih dan inkonsistensi Peraturan
perundang-undangan, perumusan peraturan perundang-undangan yang kurang jelas
mengakibatkan sulitnya implementasi di lapangan selain yang diakibatkan oleh ketiadaan
peraturan pelaksanaan sebuah ketentuan peraturan perundang-undangan yang
memerlukan peraturan pelaksanaan.
Menyangkut
struktur hukum, kurangnya independensi kelembagaan hukum, akuntabilitas
kelembagaan hukum, sumber daya manusia di bidang hukum, sitem peradilan yang
tidak transparan yang mengakibatkan hukum belum sepenuhnya memihak pada
kebenaran dan keadilan karena tiadanya akses masyarakat untuk melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan. Timbulnya degradasi budaya hukum
di lingkungan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring
dengan menurunnya tingkat apresiasi masyarakat baik kepada substansi hukum
maupun kepada struktur hukum yang ada.
Di sisi inilah politik hukum
memainkan perannya untuk menciptakan sebuah peraturan perundang-undangan yang
mampu menciptakan sistem hukum yang transparan, independen dan tidak memihak,
karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan
“jembatan” antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik
hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
J. Peranan Politik hukum dalam pembentukan dan penegakan hukum dan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
Keanekaragamaan tujuan dan alasan
dibuatnya peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum
(legal policy). Menurut Hikmahanto Juwana, pembuatan peraturan
perundang-undangan, politik hukum sangat penting, paling penting, untuk
dua hal.[13]
Pertama sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan
kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena
keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan
“jembatan” antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan
politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan
perundang-undangan. Sedikit gambaran untuk mengetahui peranan politik hukum
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, dapat
digambarkan pada masa pemerintahan beberapa presiden Indonesia.[14]
a. Periode Soeharto
Pada
Periode Soeharto, walaupun secara relatif ada ketegasan dalam menegakkan hukum,
namun karena politik yang dijalankan Soeharto, selama 32 tahun, adalah
pemerintahan otoritarian yang birokratik, maka ada kecenderungan bahwa politik
hukum dirancukan serta dicampuradukkan pemahamannya dengan hukum politik. Atau,
Rechtspolitik dicampuradukkan dengan Politisches Recht sehingga yang terlaksana
adalah hukum dari yang punya kekuasaan atau law of the ruler, bukan rule
of just law.
Berbagai
perundang-undangan dibuat untuk kepentingan atau melindungi elite dan birokrasi
yang berkuasa termasuk Soeharto sendiri, bukan untuk kepentingan keadilan dan
kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini tampak antara dari Penpres No 11/1963 jo
UU No 11/PNPS/1963 tentang Subversidan berbagai undang-undang birokratik
lainnya, walaupun di sana sini kita juga menemukan undang- undang atau hukum
yang aspiratif seperti UU No 8/1981. Pada era ini terlihat bahwa peraturan
perundang-undangan hanya alat dari politik hukum untuk mewujudkan kepentingan
elite politik saja.
b. Periode Megawati
Bagaimana
politik hukum sewaktu Presiden Megawati. Karena didorong suasana reformasi,
pada waktu pemerintahan Megawati ini, dengan didahului Abdurrahman Wahid dan
sedikit banyak juga BJ Habibie, di bidang pembuatan undang-undang ada usaha
untuk menggantikan perundang-undangan atau hukumyang adil dan aspiratif untuk
kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, ada hubungan antara politik
yang demokratis yang menjadi dasar dari pemerintahan Megawati dengan politics
of law reform yang diwujudkan mulai dari reformasi konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945, Ketetapan MPR dan undang-undang. Semuanya, berkualifikasi tool of
social engineering demi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, sayangnya politik hukum yang positif itu tidak
terlaksana sepenuhnya atau mengalami hambatan yang disebabkan, tidak ada
kemauan politik yang disebabkan antara lain kepemimpinan Megawati yang lemah
atau weak leadership dengan disertai pemahaman-pemahaman yang keliru. Alhasil,
politik hukum yang positif itu menjadi impoten serta tidak efektif dan tidak
berdaya membuat masyarakat adil dan sejahtera. Sekali lagi politik hukum
memiliki peranan penting dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah yang diambil.
Suatu
contoh, kita sudah mempunyai UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang disertai berbagai peraturan pemerintah.
Namun, law enforcement -nya tidak jalan. Hal yang sama juga terjadi dalam
masalah HAM yang meski sudah tercantum dalam UUD 1945 dan UU lainnya tidak
terlaksana secara baik oleh pemerintahan Megawati karena berbagai motivasi.
c. Periode Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang dilantik sebagai presiden Republik Indonesia pada
tanggal 20 Oktober 2004 adalah Presiden pertama hasil pemilihan langsung
sebagai implementasi dari penerapan demokrasi langsung di Indonesia sebagai
keinginan mengoreksi demokrasi tidak langsung yang telah berlangsung berpuluhan
tahun sampai mengarah kepada pemberian kekuasaan yang tidak terbatas pada
beberapa orang bahkan seseorang. Presiden sekarang tidak lagi bekerja
berdasarkan GBHN yang dihasilkan oleh MPR dalam bentuk TAP MPR. Dengan kondisi
yang demikian itu politik hukum pun kemudian didasarkan kepada Peraturan
Presiden Republik Indonesia (perpres) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang ditetapkan pada
tanggal 19 Januari 2005. Dalam Lampiran Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, khusunya Bab 9
yang diberi judul Pembenahan Sistem dan Politik hukum yang telah diuraikan
dalam subbab sebelumnya.[15]
Dari
paparan diatas dapat disimpulkan dari segi teknis perundang-undangan segala
kehendak, aspirasi, dan kepentingan pemerintah pusat pasti akan menjadi politik
hukum dalam membuat peraturan perundang-undangan tersebut.
K. Peranan Pemerintah dalam Penegakan Hukum
Satu hal yang
harus dikemukakan adalah pentingnya ada upaya pemerintah, di samping dari lembaga
yudikatif sendiri, untuk melakukan hal ini. Setidaknya ada tiga alasan perlunya
ada kebijakan dari pemerintah dalam penegakan hukum.[16]
Pertama, pemerintah bertanggung
jawab penuh untuk mengelola wilayah dan rakyatnya untuk mencapai tujuan dalam
bernegara. Bagi Indonesia sendiri, pernyataan tujuan bernegara sudah dinyatakan
dengan tegas oleh para pendiri Negara dalam pembukaan UUD 1945, diantaranya:
“…melindungi bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.” Bukan hanya pernyataan
tujuan bernegara Indonesia, namun secara mendasarpun gagasan awal lahirnya
konsep Negara, pemerintah wajib menjamin hak asasi warga negaranya. Memang
dalam teori pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan Negara mengenai penegakan
hukum dipisahkan dalam lembaga yudikatif. Namun lembaga eksekutif tetap
mempunyai tanggung jawab karena adanya irisan kewenangan dengan yudikatif serta
legislatif dalam konteks checks and balances; dan kebutuhan pelaksanaan aturan
hukum dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan sehari-hari.
Kedua, tidak hanya tanggung jawab,
pemerintah pun mempunyai kepentingan langsung untuk menciptakan kondisi yang
kondusif dalam menjalankan pemerintahannya. Birokrasi dan pelayanan masyarakat
yang berjalan dengan baik, serta keamanan masyarakat. Dengan adanya penegakan
hukum yang baik, akan muncul pula stabilitas yang akan berdampak pada sector
politik dan ekonomi. Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihanbila
dikatakan penegakan hukum hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga
yudikatif.
Ketiga, sama sekali tidak dapat
dilupakan adanya dua institusi penegakan hukum lainnya yang berada di bawah
lembaga eksekutif, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Penegakan hukum bukanlah
wewenang Mahkamah Agung semata. Dalam konteks keamanan masyarakat dan
ketertiban umum, kejaksaan dan kepolisian justru menjadi ujung tombak penegakan
hukum yang penting karena ia langsung berhubungan langsung dengan masyarakat.
Sementara itu, dalam konteks legal
formal, hingga saat ini pemerintah masih mempunyai suara yang signifikan dalam
penegakan hukum. Sebab sampai pada September 2004, urusan administrative
peradilan masih dipegang oleh Departemen kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Karena itu, pemerintah masih berperan penting dalam mutasi dan promosi hakim,
serta administrasi peradilan.
Evolusi masyarakat hingga menjadi
organisasi Negara melahirkan konsep tentang adanya hukum untuk mengatur
institusi masyarakat. Karenanya ada asumsi dasar bahwa adanya kepastian dalam
penegakan hukum akan mengarah kepada stabilitas masyarakat. Dan memang selama hukum
masih punya nafas keadilan, walau terdengar utopis, kepastian hukum jadi hal
yang didambakan.
Sebab melalui kepastian inilah akan
tercipta rasa aman bagi rakyat. Kepastian bahwa kehidupan dijaga oleh Negara,
kepentingannya dihormati, dan kepemilikan yang diraihnya dilindungi. Tidak
berhenti disitu, bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan Cuma soal
mendorong perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus disadari bahwa
penegakan hukum justru merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Sebabnya, melalui
penegakan hukum ini, Indonesia dapat secara konsisten memberantas korupsi yang
sudah mengakar dengan kuat di berbagai sector, menjalankan aturan-aturan main
dalam bidang politik dan ekonomi secara konsisten. Dengan penegakan hukum yang
konsisten dan tegas, pemulihan ekonomi dan tatanan politik juga bisa didorong
percepatannya.
L. Adakah Visi Pemerintah dalam Penegakan
Hukum?
Lantas bagaimana dengan penegakan
hukum di Indonesia? Pertanyaan ini menjadi sulit dijawab karena pemerintah
sendiri hingga saat ini belum menunjukkan komitmennya yang jelas mengenai
penegakan hukum. Hingga belakangan ini, hukum seringkali tidak dilihat sebagai
sesuatu yang penting dalam proses demokratisasi. Ia sering dipandang sebagai
sektor yang menopang perbaikan di bidang lainnya seperti politik dan pemulihan
ekonomi.
Alhasil, pembaharuan hukum sering
diartikan sebagai pembuatan berbagai perundang-undangan yang dibutuhkan untuk
melaksanakan rencana-rencana perbaikan ekonomi dan politik daripada pembenahan
perangkat penegakan hukum itu sendiri.
M. Kebijakan yang Perlu Dilakukan Pemerintah
dalam Penegakan Hukum.
Ada beberapa hal yang perlu
dilakukan oleh pemerintah dalam penegakan hukum. Di dalam substansi hukum,
peraturan perundang-undangan, pemerintah perlu medorong pembentukan perangkat
peraturan yang terkait dengan penegakan hukum, misalnya saja, pembentukan
peraturan yang mewajibkan prosedur teknis dalam melaksanakan prinsip
transparansi dan akuntabilitas. Juga, pemerintah sebagai salah satu aparat
pembentuk undang-undang, perlu berinisiatif membentuk undang-undang yang
berkaitan dengan perbaikan institusi penegakan hukum: pengadilan, kejaksaan,
dan kepolisian.
Di tingkat aparat, perlu ada
kebijakan yang berkaitan dengan disiplin yang tinggi. Bukan hanya aparat
penegak hukum yang langsung berkaitan dengan pengadilan tetapi seluruh aparat
birokrasi pemerintah. Sebab penegakan hukum buakanlah hanya dilakukan di
pengadilan tapi juga soal bagaimana menjalankan peraturan perundang-undangan
secara konsisten, tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam konteks “kultur” hukum,
pemerintah perlu menjalankan kebijakan ke dua arah, yaitu kepada dirinya
sendiri, dalam hal ini aparat birokrasi, dan kepada rakyat pengguna jasa
penegakan hukum. Perlu juga dilakukan rangkaian kegiatan yang sistematis untuk
mensosialisasikan hak dan kewajiban warga Negara, agar muncul kesadarn politik
dan hukum.
Kebijakan yang mendesak dalam
jangka, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan pemeriintah untuk mendukung
penegakan hukum misalnya terkait dengan wewenang administrasi pengadilan yang
masih ada di tangan pemerintah. Di sini, pemerintah bisa memainkan peranan
penting dalam mendisiplinkan hakim-hakim yang diduga melakukan praktek korupsi
dan kolusi.Selain itu, perlu adanya dorongan dalam pembentukan undang-undang
yang berkaitan dengan pembenahan institusi pengadilan.
Satu hal yang
sama sekali tidak boleh dilupakan adalah peran pemerintah dalam perbaikan
institusi kejaksaan dan kepolisian yang jelas berada di bawah wewenang
pemerintah. Di sini perlu ada dorongan politik yang kuat agar dapat terlaksana
dengan baik.
N.
Pengaruh
Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia.
a.
Peranan
Struktur dan Infrastruktur Politik.
Menurut Daniel S.Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum
adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit
banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum adalah negara,
tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi
politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.[17]
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak
diidentikkan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prakteknya seringkali
proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama yakni, konsepsi
dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat
menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara
politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang
kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga
negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi
masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk
terbentuknya suatu produk hukum.
Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih
jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni; mencakup kata “process” dan
kata “institutions”, dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan
sebagai produk politik. Pengaruh iu akan semakin nampak pada produk
perundang-undangan oleh suatu institusi politik .
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik,
peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat
menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk
hukum, hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan
kewenangan untuk itu. Karena itu institusi politik hanya alat belaka dari
kelompok pemegang kekuasaan politik.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum
adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam
institusi negarayang diberikan otoritas untuk itu.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi
ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and
balances, seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) setelah
amandemen.
Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang
masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap
lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelengaraan
negara bagi setiap lebaga negara. Sistem yang demikian tersebut disebut sistem
“checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaanstiap lembaga negara oleh
Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya
sama diatur berdasarkan fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan memberikan
kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh
produk politik dari institusi politik pembentuk hukum mengajukan gugatan
terhadap institusi negara tersebut.
Dalam hal pelanggaran tersebut, dilakukan melalui pembentukan
Undang-Undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dan
dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya di bawah
undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
Sedikitnya ada tiga titik temu antara politik dengan hukum di dalam
kehidupan sehari-hari:[18]
1.
Pada
waktu penentuan pejabat hukum. Walaupun tidak semua proses penetapan pejabat
hukum melibatkan politik, akan tetapi proses itu terbuka bagi keterlibatan
politik.
2.
Proses
pembuatan hukum itu sendiri. Setiap proses pembuatan kebijaksanaan formal yang
hasilnya tertuang dalam bentuk hukum pada dasarnya adalah produk proses
politik.
3.
Proses
pelaksanaan hukum. Di mana pihak-pihak yang berkepentingan berusaha
mempengaruhi pelaksanaan kebijaksanaan yang sudah berbentuk hukum tersebut.
Secara sederhana, dapat dibedakan antara pengaruh elit dan massa
terhadap hukum atas sifanya yang mendorong dan menghambat pertumbuhan atau
perkembangan hukum. Baik pengaruh politik elit maupun pengaruh politik massa
terhadap hukum diamati melalui tingkah-laku ke dua kelompok masyarakat
tersebut. Walaupun begitu implikasi pengaruh politik masing-masing kelompok
tersebut adalah sama.
b.
Hubungan Ilmu Politik dengan Hukum.
Ilmu politik dan ilmu hukum positif,
yaitu ilmu hukum yang mempelajari hukum yang berlaku di dalam suatu masyarakat
tertentu pada suatu waktu yang tertentu pula.[19]
Hukum dibuat, dijalankan dan dipertahankan oleh suatu kekuasaan.
Dalam zaman ini suatu kekuasaan itu
ialah negara. Betapa besar peranan negara dalam pembentukan hukum, terutama
bagi negara-negara yang hukum positifnya didasarkan atas sistem kodifikasi.
Negara membentuk, menjalankan dan
mempertahankan hukum. Begitu besar peranan negara melalui pembentuk
undang-undangnya (badan legislatif) sehingga tedapat aphorisme bahwa pembentuk
undang-undang dapat melakukan semua dan segala-galanya.
Hans Kelsen merumuskan keadaan ini
dalam bahasa berlin yang diterjemahkan sebagai berikut: Prima Facie sudah
nampak hubungan antara ilmu politik dan ilmu hukum, yaitu dalam peranan negara
sebagai pembentuk hukum dan dalam obyek hukum itu sendiri. Ilmu politik juga
menyelidiki hukum tetapi tidak meletakkan titik berat pada segi-segi tehnis
dari pada hukum, melainkan terutama menitikberatkan pada hukum sebagai hasil
dari pertarungan tenaga-tenaga sosial.
Hukum adalah salah satu diantara
sekian banyak “alat-alat politik” (political instrument) dengan alat mana
penguasa masyarakat dan negara dapat mewujudkan kebijaksanaannya.[20]
Sherwood menyatakan bahwa sarjana politik terutama harus memperhatikan
kepentingan yang dilindungi oleh hukum, serta efektif atau tidakkah hukum itu
dalam menyelenggarakan tujuan-tujauannya.[21]
Maka dari itu, sarjana politik yang
menyelidiki hukum harus mengetahui faktor-faktor extra-legal, faktor-faktor
yang lazim disebut “riele machtsfactoren” (faktor-faktor kekuasaan yang riil)
yang turut mempengaruhi pembentukan hukum. Hal ini dapat juga disimpulkan bahwa
ilmu politik harus menyelidiki hukum sebagai gejala sosiologis.[22]
Tidak semua bagian hukum positif
mempunyai hubungan yang langsung dan dan sama eratnya dengan ilmu politik. ada
bagian-bagian hukum positif yang kurang atau sedikit sekali pertaliannya dengan
dengan ilmu politik. Semisal hukum perdata
dan hukum dan hukum dagang positif dapat dikatakan relatif irrelevant
bagi sarjana-sarjana ilmu politik.
Dari bagian hukum positif yang amat
erat hubungannya dengan ilmu politik adalah hukum publik, khususnya hukum
negara. Dan dari bagian hukum negara yang erat sangkkut pautnya dengan ilmu
politik adalah hukum konstitusi dan hukum tatausaha negara.
Analisa Data
Mungkin kita sudah sering mendengar
bahkan sudah bosan dengan berita-berita penegakan hukum yang terkesan hanya
dibuat ajang permainan bagi kaum penguasa, memang pada pemerintahan di Negara
tercinta kita ini eksistensi penegakan hukum masih terkontaminasi dengan
kepentingan-kepentingan perseorangan yang memakai kendaraan politik di
dalamnya, memang pada dasarnya setiap manusia mempunyai keinginan untuk
berkuasa, akan tetapi kursi pimpinan yang disediakan sangat terbatas disetiap
distrik wilayah, apa boleh buat mereka yang sama-sama ingin menjadi penguasa
harus bersaing didalamnya atau melakukan loby-loby pembagian kekuasan di
dalamnya.
Kursi
panas penguasa merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka yang berada di dunia
politik, tak jarang segala daya mereka kerahkan hanya untuk memperebutkan kursi
ini, dan ketika mereka sudah berada didalamnya maka hal pertama yang mereka
lakukan adalah bagaimana menjaga system dan regulasi agar selalu dibawah
control mereka, memang terlihat sangat kejam sekali akan tetapi itu merupakan
potret nyata kehidupan perpolitikan di Negara kita.
Dalam
kebersamaan manusia mencari sebuah penghidupan yang layak, wajib hukumnya jika
didalam suatu kelompok pemerintahan memiliki sebuah rule atau peraturan yang
bersifat mengikat atau memaksa bagi para rakyatnya, dan apabila mereka
melanggarnya maka dikenakan sebuah sangsi, hal ini dilakukan untuk
menghindarkan perbuatan-perbuatan seenaknya sendiri dari anggota kelompok.
Hukum merupakan sebuah tolak ukur penting yang bisa menggambarkan kestabilan
dalam suatu Negara, jika hukum disuatu Negara itu bisa ditegakkan maka regulasi
yang ada didalamnyapun akan berjalan dengan baik, sebaliknya jika hukum itu
lemah dari penegakkan maka akan ada sifat apatisme dalam mematuhi segala
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, hal ini akan berimbas besar ketika rakyat
sudah tidak percaya lagi terhadap pimpinannya maka anarkismelah yang muncul,
aksi-aksi demonstrasi penggulingan rezim kekuasaan di timur tengah misalnya
yang didalamnya dapat menggambarkan betapa kuatnya kekuasaan rakyat jika
regulasi pemerintahan yang dimunculkan tidak berpihak dengan mereka sama
sekali.
Tidak
jauh berbeda dengan Negara kita, hukum dan system perpolitikan belum menemukan
garis pemisah yang jelas diantara keduanya, apakah hukum tidak bisa ditegakkan
di ranah politik? Atau hukum sendiri yang selama ini terus menerus terpolitiki?
Jika kita melihat beberapa kasus pada akhir-akhir ini, maka kita akan sangat
kecewa sekali, betapa tidak hukum yang ada di Indonesia hanya terkesan membuka
suatu kasus dan tidak pernah menyelesaikannya, terutama kasus-kasus korupsi
yang menyangkut antek-antek penguasa, sudah menjadi rahasia umum jika siapapun
yang melakukan kesalahan asalkan dia dekat dengan penguasa maka hukumannya akan
sangat ringan bahkan bisa dibebaskan tanpa syarat apapun.
Kasus
bank century contohnya, berbulan-bulan panitia penyelidik melakukan investigasi
akan tetapi ketika semua itu terkuak maka kasus akan menguap begitu saja, apa
yang bisa diharapkan dari Negara ini jika hukum yang ada didalamnya selalu
memihak pada para penguasa sebagai legalitas resmi dari jabatan mereka, ironis
memang ketika banyak rakyat yang melakukan perbuatan salah kecil, bahkan hal
itu terkesan tidak disengaja bisa dihukum berat sampai 3 tahun yang mana
hukuman ini sama dengan gayuz yang telah memakan uang rakyat dan
membagi-bagikannya sejumlah ratusan milyar, akan tetapi inilah kenyatannya,
hukum dengan timbangan yang berat sebelah seperti ini masih bisa dijalankan di
Indonesia, yang harus dipertanyakan sekarang adalah apakah untuk merubah semua borok dan dosa turunan
Negara ini harus ada revolusi besar-besaran untuk mendeskontruksi pemerintahan
mulai awal lagi yang terjadi seperti di timur tengah? Itu merupakan pertanyaan
besar, akan tetapi jika pemerintahan kita terus menerus tidak dapat dibina maka
patut adanya dibinasakan sekalian, sehingga prinsip demokrasi akan berjalan
lagi bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dari rakyat oleh rakyat
dan untuk rakyat.
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi
pada essensinya seperti sifat dasar dari politik bahwa dalam proses mencapai
sebuah kekuasaan manusia butuh akan tata cara yang mengatur bagaimana
komunikasi politik itu berlangsung, yang mana akan menentukan sukses atau
tidaknya seseorang dalam mencapai kursi pemerintahan yang dia inginkan, dan
dalam wilayah control politik inilah letak sesungguhnya eksistensi dari hukum
positif yang berlaku, dikarenakan jika laju perpolitikan tidak diberi koridor
yang jelas maka akan menimbulkan situasi perpolitikan yang sangat tidak
kondusif, begitu pula sebaliknya hukum merupakan produk dari penguasa jika para
penguasa menginginkan kestabilan sosial maka dia harus benar-benar bisa
menciptakan hukum yang benar-benar adil dan tidak memihak.
DAFTAR PUSTAKA
·
Alfian. 1978. ”Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”.Jakarta:
Gramedia.
·
Nazaruddin
Syamsuddin, Padmo Wahjono.
1993. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta:
Rajawali Pers.
·
A. Johnson. 1971. Essential
of political science. N.Y.: Barron’s Educational Series, inc.
·
Austin Ranney. 1966. The Governing of man. N.Y.: Holt, Reinhard and Winston, inc.
·
R. Subekti. 1982.
Law in Indonesia. Jakarta:
CSIS.
·
S.H.,Zairin Harahap, S.H., Dahlan Thaib,
S.H., Martin H. Hutabarat, Hukum dan Politik Indonesia, cet I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
·
Bambang Widjajanto.
1996. Seandainya
Hukum Gagal dan Mengecewakan Masyarakat, dalam Lukas
Luwarso & Imran Hasibuan (ed.), Indonesia di Tengah Transisi .Jakarta:
Pro Patria, Grafindo.
·
Daniel S.Lev.1990.Hukum
dan Politik di Indonesia,kesinambungan dan perubahan,cet I.Jakarta: LP3S.
·
Drs.Arbi Sanit.
1985. Swadaya
Politik Masyarakat. Jakarta:Rajawali Pers.
·
Victor G. Rosenblum.
1961. Law as a
Concept of Political Instrument. New
york: random house.
·
F.E. Sherwood. Publik law as a concept of political science,
dalam R. Young(editor), Approaches to the
study of politics.
·
F. Isjwara, SH. LLM. 1999.
pengantar ilmu politik. Bandung:
putra bardin.
·
Jaya,
Nyoman.2007. Politik Hukum, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Program Studi
Magister Kenotariatan Undip, Semarang: serikat putra.
WEBSITE
http://www.bukumerah/sejarah.htm/
http://www.dahnilanzarsimanjuntak.blogspot.com/
http://www.detik.com/
http://www.majalahpeace.com/
http://www.pemantauperadilan.com/
[1] Alfian,”Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”(Jakarta: Gramedia,
1978), hal: 248-260.
[2] Padmo Wahjono, Nazarddin
Syamsuddin, Pengantar Ilmu Politik,(Jakarta: Rajawali Pers, 1993)hal: 588.
[3] Ibid, hal. 591.
[4] A. Johnson, Essential of political science,
N.Y.: Barron’s Educational Series, inc., 1971, hal: 70-71.
[6] Austin Ranney, The Governing of man. N.Y.:
Holt, Reinhard and Winston, inc., 1966, halaman: 158-159.
[7] R. Subekti, Law in Indonesia,
(Jakarta: CSIS, 1982) hal:1
[8] R. Subekti, ibid, hal:
2.
[9] Martin H. Hutabarat,
S.H.,Zairin Harahap, S.H., Dahlan Thaib, S.H., Hukum dan Politik Indonesia,
(Jakarta: Grafindo, 1996), hal: 156.
[10] Bambang Widjajanto,
Seandainya Hukum Gagal dan Mengecewakan Masyarakat, dalam Lukas Luwarso &
Imran Hasibuan (ed.), Indonesia di Tengah Transisi (Jakarta: Pro
Patria), 2000, hal: 87-88.
[11] Martin H. Hutabarat,
S.H.,Zairin Harahap, S.H., Dahlan Thaib, S.H., Hukum dan Politik Indonesia,
(Jakarta: Grafindo, 1996), hal:
144-145.
[12] Martin H. Hutabarat,
S.H.,Zairin Harahap, S.H., Dahlan Thaib, S.H., Hukum dan Politik Indonesia,
(Jakarta: Grafindo, 1996), hal: 144-145.
[17] Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia,
kesinambungan dan perubahan, cet I, (Jakarta: LP3S, 1990)
[19] Victor G. Rosenblum, Law as a
Concept of Political Instrument,(New york: random house,1961)
[20] Lihat pembahasan khusus dari
V.G. Rosenblum, law as a political instrument.
[21] F.E. Sherwood, Publik law as a
concept of political science, dalam R. Young(editor), Approaches to the study
of politics, hal: 98.
[22] F. Isjwara, SH. LLM, pengantar
ilmu politik,(Bandung: putra bardin,1999) hal:80.
Comments