Budaya Kapitalis (budaya konsumsi, budaya selebritis) dan perlawanan Budaya

Dalam konteks kapitalisme, istilah budaya di sini berkaitan dengan produk ideology, produk seni, sastra, gaya hidup, kebiasaan, pola pikir, dan lain-lain, yang lahir dari masyarakat kapitalis.

Menurut Frederich Jameson (1984), budaya mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat kapitalisme, karena budaya merupakan bagian atau unsur yang tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat konsumen.

Di era kapitalis, dengan semakin majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketika manusia mulai menghitung segalanya dengan untung rugi, produk adalah segala sesuatu dari kreativitas manusia, baik itu barang maupun jasa, dewasa ini tidak semata-mata hanya karena sebagai suatu kreativitas, melainkan demi sesuatu yang lain, untuk dijual dan dipertukarkan secara ekonomis dengan prinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Seperti apa yang dikatakan oleh Karl Marx, bahwa manusia berkreativitas, membuat, memproduksi, dan menciptakan produk, namun manusia tidak memiliki dan tidak menikmati jerih payahnya sendiri.

Dengan mengikuti perkembangan kapitalisme, ketika berkualitas atau tidaknya suatu barang ditentukan oleh mahal atau tidaknya suatu barang itu, bukan nilai produk tersebut yang menentukan, melainkan nilai uanglah yang menentukan, karena uang adalah simbol kapitalisme.

Saat ini, pengalaman subyektif dalam kehidupan sehari-hari dan rasa identitas telah berubah secara signifikan. Pandangan bahwa masyarakat kapitalis atau industri telah mencapai tingkat yang baru dan penting dalam perkembangannya. Pergeseran modernisme ke posmodernisme ditandai dengan munculnya kebudayaan konsumen, yang mana budaya kapitalisme sangat erat kaitannya dengan budaya konsumerisme, yang merupakan isu sentral dalam masyarakat kapitalis.

Selain itu, masyarakat kapitalis atau industri menjadi konsumen dari berbagai komoditas yang ditawarkan secara massif oleh berbagai perusahaan melalui media. Tak terasa masyarakat membeli barang-barang yang seolah-olah seperti keputusan sendiri secara otonom yang sebenarnya terpaan atau konstruksi oleh berbagai iklan produk yang bersifat merayu dan menggiurkan (seductive).

Dalam konteks ini, Antonio Gramsci menyebut masyarakat konsumen telah terkena hegemoni yang bersifat seductive dari penguasa ekonomi. Kebudayaan konsumen yang bersifat konsumeris atau suka berbelanja menjadi karakteristik yang khas pada masyarakat akhir-akhir ini. Kebudayaan konsumen didefinisikan sebagai rasa perilaku konsumen yang berubah setiap hari. Kultur konsumen mengacu kepada kultur konsumsi dan produksi massa atas dasar ekonomi dan membentuk persepsi, nilai, hasrat, dan identitas personal. Perkembangan ekonomi, trend demografi, dan teknologi baru mempengaruhi cakupan dan skala kebudayaan konsumen. Semua aspek meliputi kelas sosial, gender, etnisitas, wilayah, dan umur berpengaruh terhadap definisi identitas dan sikap konsumen terhadap legitimasi gaya hidup konsumen.

Maka, budaya konsumen dikaitkan dengan meningkatnya kebutuhan manusia untuk mengonsumsi yang bukan disebabkan semata-mata karena fungsi dan manfaat barang (produk), melainkan ada aspek lain yakni emosi dan larutnya individu dalam budaya massa dan popular yang dipicu oleh iklan dan rayuan untuk membeli komoditas yang dilakukan dengan massif. Jadi, budaya konsumen adalah jenis dari “budaya materi”, hal ini dikarenakan watak universal manusia yang berusaha mencukupi kebutuhan materialnya.

Sementara itu, pendiri cultural studies Inggris, Raymond Williams (1976) mengartikan bahwa “mengonsumsi” adalah merusak (to destroy), memakai (to use up), membuang-buang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust). Dalam artian konsumsi sebagai suatu pembuang-buangan, perbuatan yang berlebihan.

Hal itu menyebabkan efek dari budaya konsumen mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan. Dilihat dari sisi agama, budaya konsumen ini sangat destruktif, yang mana berkaitan dengan hedonisme, mengejar kesenangan, penanaman gaya ekspresif, peningkatan kepribadian egoistic, sehingga dengan adanya budaya konsumen ini mengakibatkan kemiskinan spiritual, dan hedonistik dengan filsafatnya “nikmati sekarang, bayar belakang (live now, pay later)”.

Selain itu, efek yang ditimbulkan dari budaya konsumen adalah pengaruhnya terhadap anak-anak dan remaja, di mana semua ingin sesuatu yang praktis atau instan, misalnya saja di kalangan mahasiswa sekarang ini budaya copy paste mulai menjadi candu, banyak remaja yang kecanduan dengan budaya popular (contohnya kegilaan remaja saat ini pada K.pop, para remaja mengidentifikasikan dirinya seperti idolanya, mulai dari busana, aksesoris, sampai pada life style), ini juga dikarenakan impact dari globalisasi. Sehingga hal tersebut dapat merusak mental dari anak-anak dan remaja dan menimbulkan krisis identitas. Jadi, pada kenyataanya tidak sedikit pendapat dan keuntungan yang diperoleh pemilik modal dengan memanfaatkan anak-anak dan remaja.

Menurut Theodore Adorno dan Max Horkheimer (1972), bahwa trend hidup selebritis memiliki mekanisme sosial untuk menurunkan level semua orang yang menonjolkan diri dengan cara apapun. Dalam artian kehidupan kita terlalu banyak diintervensi oleh kaum selebritis, yang mana mereka menularkan ideology, gaya hidup dan cara berpikir, membuat penggemarnya terhipnotis sehingga harus mengidentifikasikan dirinya layaknya idolanya. Semisal orang yang mengidolakan artis syahrini, ia secara tidak langsung akan meniru gaya ala syahrini, mulai dari gaya rambut ‘jambul’nya sampai pada gaya bicaranya yang ‘cetar membahana’ dan ‘sesuatu banget’.

Namun sebenarnya, kebanyakan artis atau selebritis bukanlah penguasa alat-alat produksi dan bukanlah kapitalis yang mengorganisasi proses produksi untuk menghasilkan suatu produk yang dimassalkan. Mereka hanya orang yang bekerja dalam “industry budaya”. mereka bukan majikan (kapitalis), namun mereka adalah pekerja yang digaji, industry budaya yang paling nyata adalah rumah produksi, yang mana di dalamnya, yang menjadi kapitalisnya adalah produser, dan dialah yang menggaji para artis dan selebritis.

Namun dilihat dari sisi yang lain, tidak sedikit artis-selebritis yang mau berbuat untuk kemanusiaan, mereka memperjuangkan kemanusiaan dengan cara menulis buku, bahkan ada juga yang bersedia untuk turun ke jalan. Contohnya artis Indonesia “Rieke Dyah Pitaloka”, ia sering turun ke jalan untuk membela rakyat miskin, kaum perempuan, dan buruh migrant, selain itu ia mendapat lebel ‘intelek’ karena menulis puisi. Dan banyak lagi artis-artis Indonesia seperti dewi hughes, dian sastro, juga dewi lestari yang membuat heboh dunia sastra melalui supernovanya.

Bentuk keterlibatan artis-selebritis yang turun ke jalan, membela rakyat miskin yang teraniaya, memberikan sikap tentang masalah kemanusiaan, serta memproduksi karya seni budaya atau pun terlibat dalam setiap kegiatan budaya yang sifatnya kritis terhadap budaya dominan, juga disebut sebagai perlawanan budaya.

Gejala perlawanan budaya (budaya tanding) muncul akibat krisis kapitalisme global yang memarginalkan kaum perempuan dan masyarakat miskin, dan melahirkan cara berpikir dan ideology yang menyimpang dan terbelakang.

Menurut Yinger, bahwa budaya tanding memadukan tiga bentuk protes yaitu, penentangan terhadap nilai dominan, penentangan terhadap struktur kekuasaan, dan penentangan terhadap pola-pola komunikasi yang terperangkap dalam nilai-nilai dominan tersebut. Kemunculan perlawanan budaya, biasanya ditandai dengan munculnya budaya dan gaya hidup baru yang berlawanan dengan generasi sebelumnya. Contohnya menurunnya penyanyi-penyanyi solois, yang digantikan dengan eksistensi girlband dan boyband.

Namun, hal semacam itu juga mengidentifikasikan bahwa budaya tanding tampaknya mulai terkikis karena dominasi budaya kapitalis yang luar biasa sekarang ini, yang menyebabkan budaya tanding pun berubah menjadi budaya pop (budaya komersial), hingga jangan heran jika banyak penyanyi solois yang bergabung dengan girlband atau boyband.

Yang paling penting dalam hal ini, kita tak seharusnya apatis terhadap budaya yang ditampilkan oleh para seniman-selebritis karena efek yang dibawanya tidak diterima mentah-mentah dan diterima begitu saja. Sebagian pengamat budaya mengatakan bahwa sebagai konsumen budaya harus kritis, bisa selektif memilih referensi gaya hidup dan budaya untuk mendefinisikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki