METODE ETNOGRAFI DALAM PENELITIAN KONSELING
A.
Pendahuluan
Dalam
tradisi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, etnografi dikenal
sebagai salah satu tradisi kualitatif selain penelitian biografi[1],
fenomenologi[2], grounded research[3], dan studi kasus[4].
Penelitian etnografi diidentikan dengan kerja antropologi, dengan dasar selain
sebagai founding father, penentu cikal bakal lahirnya antropologi, juga karena
karakter penelitian etnografi yang mengkaji secara alamiah individu dan
masyarakat yang hidup dalam situasi budaya tertentu. Karena itupula etnografi
dikenal sebagai naturalistic inquiry
(Lincoln & Guba, 1995).
Istilah Etnografi berasal dari bahasa Yunani
yaitu ethnos (bangsa) yang berarti
orang atau folk. Sementara Graphein (menguraikan) berarti
penggambaran sesuatu (Neuman, 2000). Etnografi secara harfiah dapat dipahami
sebagai upaya penggambaran
(mendeskripsikan) suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam sebuah
komunitas tertetu, atau menurut Atkinson (1992) diartikan sebagai penulisan
budaya, deskripsi tertulis mengenai sebuah budaya berdasarkan temuan-temuan di
lapangan. Secara khusus etnografi dapat dipahami sebagai usaha memahami tingkah
laku manusia ketika mereka berinteraksi dengan sesamanya di suatu komunitas.
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu
budaya atau system kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan
mempelajari pola perilaku, kebiasaan dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah
proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai sebuah proses, etnografi
melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, sehingga
peneliti memahami betul bagaimana kehidupan keseharian subjek penelitian
tersebut (Participant observation, life history), yang kemudian diperdalam dengan
indepth interview terhadap
masing-masing individu dalam kelompok tersebut. Dengan demikian penelitian
etnografi menghendaki etnografer /peneliti : (1) mempelajari arti atau makna
dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok dalam situasi
budaya tertentu, (2) memahami budaya
atau aspek budaya dengan memaksimalkan observasi dan interpretasi perilaku
manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya, (3) menangkap secara penuh
makna realitas budaya berdasarkan perspektif subjek penelitian ketika
menggunakan symbol-simbol tertentu dalam konteks budaya yang spesifik.
B.
Etnografi sebagai Metode Penelitian
Untuk
memahami etnografi sebagai salah satu metode penelitian sosial yang mengkaji
persoala budaya individu atau masyarakat,
maka dapat ditelusuri dari beberapa pemaparan sebagai berikut :
1.
Dasar pijak, karakter dan asumsi dasar
Sebagai
metode penelitian, etnografi memiliki beberapa teori dasar yang dapat dijadikan
pijakan untuk memperkuat posisi etnografis secara metodis. Teori-teori dimaksud
adalah teori interaksionisme simbolik[5]
dan teori fenomenologi, termasuk konstruksi sosial dan etnometodologi.
Keberadaan teori tersebut dapat dijadikan penopang etnografi karena
perhatiannya pada aspek budaya dalam kehidupan individu dan masyarakat. Teori
interaksionisme simbolik misalnya, lebih melihat budaya sebagai system simbolik
dimana makna tidak berada dalam benak manusia, tapi makna dan symbol itu
terbagai actor sosial di antara, bukan di dalam dan mereka adalah umum tidak
mempribadi. Budaya merupakan lambang-lambang makna yang terbagi secara bersama.
Budaya juga merupakan pengetahuan yang didapat seseorang untuk
menginterpretasikan pengalaman dan menyimpulkan prilaku sosial (Spradley, 1979)
Untuk
memberikan penguatan secara metodis selama di lapangan, dan memberikan kekuatan
dalam memaknai realitas atau prilaku individu dan masyarakat dalam budaya
tertentu, maka “sentuhan” fenomenologi menjadi begitu penting, minimal
memberikan arah bagi etnografer untuk tidak sekedar melihat realitas yang
terjadi di lapangan begitu saja, melainkan memandu etnografer untuk lebih jeli
dan memelihat dibalik setiap realitas yang terjadi. Untuk penelitian etnografi
yang menggunakan pola pikir konstruksi sosial, lebih diarahkan pada upaya
“pelacakan” etnografer terhadap proses bagaimana individu dan masyarakat mengkonstruksi
pola pikirnya melalui tiga proses, yaitu internalisasi, objektivasi dan
eksternalisasi. Dalam konteks inipula, dapat dipahami bahwa budaya yang ada
dalam masyarakat bukan lahir dengan sendirinya, namun lahir dari sebuah proses
konstruksi sosial yang dilakukan individu didalam dan bersama masyarakat. Sementara etnometodologi adalah kajian
terhadap proses yang dilakukan individu-individu manusia untuk membangun dan
memahami kehidupan mereka sehari-hari (Bogdan dan Biklen, 1982).
Melalui
dasar pijak teoretis tersebut, menjadikan etnografi sebagai metode penelitian
memiliki nilai kekhasan yang berbeda dengan metode penelitian sosial lainnya.
Kekhasan metode penelitian etnografi menurut Emzir (2012) dapat dilihat dari
karakternya, sebagai berikut :
a.
Perilaku manusia
dikaji dalam konteks sehari-hari, bukan dibawah kondisi eksperimental yang
diciptakan oleh peneliti.
b.
Data dikumpulkan
dari suatu rentangan sumber, tetapi observasi dan percakapan yang relative
informal biasanya lebih diutamakan.
c.
Pendekatan untuk
pengumpulan data tidak terstruktur dalam arti tidak melibatkan penggunaan suatu
set rencana terperinci yang disusun sebelumnya, juga tidak menggunakan kategori
yang telah ditetapkan sebelumnya untuk penginterpretasian apa yang dikatakan
atau dilakukan orang. Ini tidak berarti bahwa penelitian tidak sistematis,
hanya pada awalnya data dikumpulkan sebagai suatu format mentah, dan sebisa
mungkin sebagai medan yang luas.
d.
Fokus penelitian
biasanya merupakan suatu latar tunggal atau kelompok dari skala yang relative
kecil. Dalam penelitian sejarah kehidupan focus penelitian dapat berupa
individu tunggal.
e.
Analisis data
melibatkan interpretasi arti dan fungsi tindakan manusia dan sebagian besar
mengambil format deskripsi verbal dan penjelasan, dengan kualifikasi dan
analisis statistic yang kebanyakan memainkan peranan subordinat.
f.
Etnografi
merupakan suatu pernyataan teoretis tentang orang-orang yang diteliti, sebuah
teori sebuah budaya
g.
Etnografi
dirancang untuk menjadi bagian dari kumpulan pengetahuan komparatif mengenai
hubungan masyarakat.
Karakter khas dari metode etnografi semakin
menjadi jelas, ketika asumsi-asumsi yang dibangun dan dimiliki etnografi
mengarah pada pemahaman terhadap keberadaan/peran/makna budaya dalam sebuah
masyarakat. Asumsi-asumsi itu menurut menurut Emzir (2012) dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Etnografi mengasumsikan kepentingan penelitian
yang prinsip terutama dipengaruhi oleh pemahaman cultural masyarakat.
Metodologi secara sungguh-sungguh menjamin bahwa pemahaman cultural umum akan
diidentifikasi untuk kepentingan peneliti di tangan. Interpretasi tepat
menempatkan tekanan besar pada kepentingan kausal dari pemahaman kultual
seperti itu. Terdapat suatu kemungkinan bahwa focus etnografi akan
mempertiimbangkan secara berlebihan peran persepsi budaya dan tidak
mempertimbangkan peran kausal kekuatan-kekuatan objektif.
b. Etnografi mengasumsikan suatu kemampuan
mengidentifikasi masyarakat secara relevan dari kepentingan. Dalam banyak
latar, ini mungkin menjadi sulit. Masyarakat, organisasi formal, kelompok non
formal dan persepsi tingkat local semuanya mungkin memainkan peran dalam banyak
subjek yang diteliti, dan kepentingan ini mungkin bervariasi menurut waktu,
tempat dan masalah. Terdapat suatu kemungkinan bahwa focus etnografi mungkin
secara berlebihan memandang peran budaya masyarakat dan tidak memberikan
pandangan pada peran kausal dari kekuatan psikologis individual atau bagian
masyarakat.
c. Etnografi mengasumsikan peneliti mampu
memahami kelebihan cultural dari masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa
atau jargon teknis dari kebudayaan tersebut, dan memiliki temuan yang
didasarkan pada pengetahuan komprehensif dari budaya tersebut. Terdapat suatu
bahasa bahwa peneliti mungkin memasukkan bias terhadap pandangan budayanya
sendiri.
d. Sementara tidak inheren bagi metode,
penelitian etnografi lintas budaya yang menghindari risiko asumsi yang keliru
bahwa pengukuran yang ada memiliki makna yang sama lintas budaya.
2.
Jenis dan Prinsip Metodologis Penelitian
Etnografi
Sebagai sebuah
metode penelitian yang lahir dari pemahaman terhadap budaya sebuah masyarakat,
etnografi mengalami perkembangan, dalam metode ini berdasarkan perkembangan
waktu berdasarkan pemikiran Spradley mengalami perubahan dan perkembangan dari
sisi pola kerja hingga pada pola analisis yang digunakan. Berikut ini adalah
perjalanan metode etnografi sebagaimana yang disusun oleh Spradley.
a. Etnografi
awal (akhir abad ke-19).
Etnografi awal dimaksudkan untuk membangun tingkat-tingkat
perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai muncul di permukaan
bumi sampai ke masa terkini. Seperti layaknya analisis wacana, para ilmuwan
pada saat itu melakukan kajian etnografi melalui tulisan-tulisan dan referensi
dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke lapangan. Pola kerja seperti
bisa dikatakan dengan pola kerja yang dilakukan ilmuwan
sejarah/arkeologi/antropologi yang hanya terfokus pada pemahaman mereka
terhadap budaya manusia melalui naskah-naskah yang tersimpan dalam sebuah
perpustakaan. Namun, akhir abad ke-19, pola kerja dan legalitas penelitian ini
mulai dipertanyakan, mengingat tidak ada fakta yang dapat dijadikan pendukung
peneliti dalam mengintepretasikan data, kecuali hanya menginterpretasikan
naskah yang dibaca tanpa pernah tahu dan mengerti realitas budaya manusia yang
terjadi sesungguhnya. Dengan kata lain, muncul pemikiran baru yang mengharuskan
peneliti terjun ke lapangan langsung untuk mengetahui dan memahami budaya
kelompok masyarakat dengan menjadi anggota masyarakat secara langsung.
b.
Etnografi Modern
(1915-1925).
Dipelopori oleh antropolog sosial Inggris, Radclifffe-Brown dan
B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi mula-mula
berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu mamandang hal-ikhwal yang
berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat (Spradley,
1997). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu
tentang the way of life masayarakat tersebut. Menurut pandangan dua
antropolog ini tujuan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun
struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Untuk itu peneliti tidak cukup
hanya melakukan wawancara, namun hendaknya berada bersama informan sambil
melakukan observasi.
c.
Ethnografi Baru Generasi Pertama
(1960-an).
Berakar dari ranah cognitive
anthropology, “etnografi baru” memusatkan usahanya untuk menemukan
bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan
kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Analisis dalam penelitian
ini tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan
susunan pikiran dari anggota masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti.
Karena tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran
dari suatu masyarakat, maka pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat
penting dalam metode penelitian ini. “Pengumpulan riwayat hidup atau suatu
strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam proses penelitian
ini.
Etnografi baru jenis ini dikenal dengan nama ethnoscience yang muncul tahun awal 1960-an dan semakin
popular ditahun 1970-an. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) menyatakan bahwa
ethnoscience berasal dari kata ethno yang berarti suku bangsa, dan science yang
berarti ilmu pengetahuan. Sehingga ethnoscience dapat dimaknai sebagai
perangkat pengetahuan dari suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa,
mengenai berbagai macam hal yang ada dalam lingkungan dan kehidupan mereka.
Pengetahuan ini berupa cirri, sifat, keadaan, kategorisasi-kategorisasi,
aturan-aturan, nilai-nilai dan atau petunjuk-petunjuk untuk mewujudkan tindakan
tertentu. Perangkat pengetahuan inilah yang membimbing manusia mewujudkan
perilakunya dalam situasi dan kondisi lingkungan tertentu. Dengan demikian,
pemahaman mengenai pola-pola perilaku suatu pendukung kebudayaan akan dapat diperoleh
manakala seseorag mengetahui dengan baik perangkat pengetahuan yang mendasari
pola-pola perilaku tersebut.
d.
Ethnografi Baru Generasi
Kedua.
Inilah metode penelitian hasil sintesis pemikiran Spardley yang
dipaparkan dalam buku “Metode Etnografi” ini. Secara lebih spesifik, Spardley
mendefinisikan budaya – sebagai yang diamati dalam etnografi – sebagai proses
belajar yang mereka gunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling mereka dan
menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya ini,
Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti “Other
culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita sendiri,
masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini kemudian dia
rangkum dalam “Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima ,prinsip,
yakni: Peneliti dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data;
mengenali langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut., misalnya 12 langkah
pokok dalam wawancara etnografi dari Spardley.; setiap langkah pokok dijalankan
secara berurutan; praktik dan latihan harus selalu dilakukan;
memberikan problem solving sebagia tanggung jawab sosialnya, bukan
lagi ilmu untuk ilmu.
Inti
dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna tindakan
dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan
mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya
manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara
orang bertidak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan.
Sementara itu,
etnografi sebagai metode penelitian menunjukkan perkembangan cukup berarti pada
dua dasawarsa terakhir. Kondisi itu dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin akseleratif dan budaya manusia sendiri yang semakin
kompleks yang mengarah pada budaya cyber (cyberculture). Ada dua model baru
dalam metode etnografi, yaitu etnografi baru generasi ketiga, dan etnografi
virtual yang bersentuhan dengan teknologi internet.
e.
Etnografi
Baru Generasi Ketiga.
Etnografi baru generasi
ketiga lahir sekitar tahun 2003 yang dipelopori peneliti berkebangsaan Jepang,
Paula Saokko. Etnografi jenis lebih lebih dipengaruhi oleh displin keilmuan
cultural studies. Karena itu yang menjadi landasan dalam etnografi ini adalah
hermeneutika dan poststrukturalisme. Istilah etnografi baru dimunculkan, karena
rasa frustasinya terhadap kerja metodologi penelitian yang tidak pernah
mengungkap realitas sosial secara objektif, selalu berpihak kepada informan
yang memiliki otoritas, sementara informan yang tak memiliki otoritas
terabaikan. Dalam benak Paula Saokko, penelitian itu harus adil, tidak ada
keberpihakan. Karenna informan atau subjek penelitian harus juga memperhatikan
individu yang termarginalkan, karena bisa jadi apa yang mereka sampaikan
merupakan kebenaran sesungguhnya. Jadi, adil dalam konteks Paula Saokko adala
keberimbangan informan yang dipilih peneliti ketika menggali data.
Sebagai etnografi baru,
Paula Saokko menolak cara kerja etnografi konvensional yang dinilai sangat
esensialis. Karena itu, selain wawancara mendalam, observasi partisipan, dan
dokumentasi sebagai teknik pengumpulan datanya, maka perspektif emik-etikpun
digunakan secara bersamaan. Dalam arti, seorang etnografer jenis ini harus
menggunakan perspektif emik dalam meneliti, sehingga ia mengerti betul apa
subjek penelitiannya, dan pada saat yang sama dia harus menggunakan perspektif
etik, yaitu segera keluar dari lingkungan subjek penelitian, untuk melakukan
refleksi terhadap apa yang selama ini dilakukan. Apakah yang etnografer
tangkap, maknai, pahami telah benar-benar objektif, atau hanya emosional karena
terlalu larut menjadi orang dalam subjek penelitian.[6]
f.
Etnografi
Virtual
Munculnya etnografi jenis ini berawal dari sebuah pemikiran
tentang aktivitas komunikasi manusia
ketika menggunakan teknologi internet (new
media, media online). Hadirnya media baru tersebut telah memberikan
keleluasaan bagi penggunanya dalam mentransmisi
dan menerima pesan tanpa terikat oleh aturan kelembagaan sebagaimana media darkomunikasi
konvensional. Tema yang dibicarakan menjadi sangat beragam, mulai dari
persoalan kekuasaan, ketidaksetaraan, gender, integrasi sosial, identitas,
perubahan sosial, pembangunan hingga persoalan-persoalan yang sifatya sepele (waste of informations). Ketika manusia
semakin “terbenam dan larut” dalam kebiasaan menggunakan media baru, maka tanpa
disadari telah melahirkan sebuah budaya baru bagi manusia. Budaya baru inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah cyberculture.
Lahirnya budaya baru sebagai konsekuensi dari pola prilaku manusia dalam
menggunakan teknologi, telah menarik beberapa pakar untuk mengkajinya. Salah
satunya adalah Christine Hine. Menjadi persoalan besar bagi Christine Hine
ketika ingin mengetahui dan memahami budaya baru tersebut, karena metodologi
penelitian yang ada (etnografi konvensional) tidak memungkinkan untuk
digunakan. Hal ini disebabkan oleh dua persoalan, yaitu (a) posisi peneliti dan
subjek penelitian yang tidak asimetris, padahal dalam penelitian
kualitatif, atau etnografis syarat posisi peneliti dan subjek penelitian harus simetris,
yaitu peneliti dan subjek
penelitian harus bertatap muka (face to face). (b) keontentikan data. Mengingat
posisi peneliti dan subjek penelitian tidak asimetris, maka bisa jadi keontentikan
data yang diberikan subjek penelitian ketika melakukan wawancara virtual,
validatasnya tidak bisa terjaga, apalagi identitas subjek penelitian ketika
online dan offline tidak sama (disamarkan). Untuk menghadapi dua persoalan itu
Christine Hine menyaratkan keterlibatan etnografe virtual harus terlibat secara
online dan offline, melakukan wawancara juga dilakukan secara online dan
offline. Semuanya ini dilakukan untuk mengklarifikasi dan menjaga validitas
data[7].
Dari berbagai jenis atau model metode
etnografi tersebut, maka pilihan diserahkan sepenuhnya kepada peneliti. Bukan
berarti beberapa jenis model yang ditampilkan dalam tulisan ini menunjukkan
hirarkhi kualitas, atau menunjukkan bahwa etnografi yang satu lebih baik
daripada model yang lain. Namun lebih tertuju pada bagaimana perkembangan
metode etnografi dari waktu ke waktu, yang semuanya itu disesuaikan dengan
perkembangan saat ini.
Meski model metode etnografi cukup banyak
ragamnya, namun secara prinsip metodologis, menurut Hammersley (1990) dan
Genzuk (2005) etnografi memiliki kesamaan, yaitu :
Naturalisme, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa tujuan
dari penelitian sosial adalah untuk menangkap karakter perilaku manusia yang
muncul secara alami, dan bahwa tujuan ini hanya dapat diperoleh melalui kontak
langsung dengannya, bukan melalui inferensi dari apa yang dilakukan orang dalam
latar buatan seperti eksperimen atau dari apa yang mereka katakana alam
wawancara tentang apa yang mereka lakukan. Ini adalah alasan bahwa ahli
etnografi melakukan penelitian mereka dalam latar “alami”, latar yang ada
kebebasan proses penelitiab, bukan dalam latar yang secara spesifik dibuat
untuk tujuan penelitian. Implikasi penting lainnya dari naturalism adalah bahwa
penelitian dengan latar alami, peneliti harus berusaha meminimalkan pengaruh
mereka terhadap perilaku orang-orang yang akan mereka teliti. Di samping itu
naturalism menghendaki proses dan peristiwa sosial harus dijelaskan hubungannya
dengan konteks tempat munculnya.
Pemahaman (verstehen), tindakan manusia berbeda dengan perilaku
objek fisik, bahkan dari makhluk lainnya. Tindakan tersebut tidak hanya berisi
tanggapan stimulus, tetapi meliputi interpretasi terhadap stimulus dan
konstruksi tanggapan. Kadang-kadang tanggapan ini mencerminkan penolakan yang
lengkap terhadap konsep kausalitas sebagai tidak dapat diterapkan dalam dunia
sosial, dan desakan tegas atas karakter yang dibangun secara bebas dar tindakan
manusia dan institusi. Dari sudut pandang ini, peneliti harus mampu menjelaskan
tindakan manusia secara efektif, dengan cara ini peneliti akan memperoleh
pemahaman tentang perspektif cultural yang mendasarinya.
Penemuan (invention), salah satu prinsip penting dari penelitian
etnografi adalah mendasarkan pada proses penelitian yang berjalan secara
induktif atau berdasarkan temuan daripada dibatasi oleh pengujian hipotesis
secara eksplisit. Dengan posisi ini, penelitian akan berjalan secara alamiah
tanpa rekayasa. Karena alamiah, bisa jadi dalam proses penelitian focus
persoalan menjadi dipertajam, dibatasi bahkan mungkin menjadi berubah secara
subtantif layaknya sebuah proses sosial yang terjadi pada manusia.
3.
Alur Penelitian Etnografi
Secara procedural, alur penelitian etnorafi
cukup beragam, namun alur penelitian etnografi yang cukup baik disampaikan oleh
Spradley. Alur ini dikenal dengan nama siklus penelitian etnografi.
Pertama, pemilihan suatu proyek etnografi. Siklus ini dimulai dengan memilih suatu
proyek penelitian etnografi dengan mempertimbangkan ruang lingkup penelitian.
Ruang lingkup penelitian dapat berjarak sepanjang satu kontinum dari etnografi
makro ke etnografi mikro. Makro
etnografi dalam konteks ini dapat berupa : kompleksitas masyarakat, multipleksitas
komunitas, studi komunitas tunggal, multipleksitas institusi-institusi sosial,
institusi sosial tunggal, dan multipleksitas situasi sosial. Sementara mikro
etnografi berupa situasi sosial tunggal. Penelitian makro etnografi biasanya
memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan banyak etnografer. Sementara
etnografi mikro bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Untuk memandu
bagaimana pemilihan suatu focus proyek etnografi, Hymes mengidentifikasi tiga
model penelitian etnografi, yaitu (1) Etnografi koprehensif, mencari dokumen
suatu jalan total kehidupan. Peneliti melakukan penelitian sebuah desa yang
diinginkan melalui observasi partisipan, dan mencoba mendeskripsikan rentangan
luas tentang adat istiadat. (2) etnografi berorientasi topic, peneliti
mempersempit focus pada satu atau lebih aspek kehidupan yang diketahui ada
dalam suatu masyarakat, misalnya hubungan keluarga, perilaku peminum dan
lain-lain, (3) etnografi berorientasi hipotesis, ditujukan untuk menggali
pengaruh budaya pada kehidupan manusia.
Kedua, pengajuan pertanyaan etnografi. Mengajukan pertanyaan etnografi menunjukkann
bukti yang cukup referensial ketika hendak melakukan wawancara, termasuk ketika
etnografer sedang melakukan observasi dan membuat catatan lapangan. Dalam penelitian etngrafir, peneliti dapat
mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan (1) suatu diskripsi tentang
konteks, (2) analisis tentang tema-tema utama, (3) interpretasi perilaku
cultural.
Ketiga, pengumpulan data etnografi. Tahap berikutnya dari siklus penelitian
etnografi adalah mengumpulkan data lapangan. Melalui observasi partisipan,
peneliti akan mengamati aktivitas oranf, karakteristik fisik situasi sosial dan
apa yang akan menjadi bagian dari tempat kejadian. Singkatnya semua data
tentang kehidupan sehari-hari subjek penelitian perlu digali dan dipahami oleh
seorang peneliti melalui instrument penggali data.
Keempat, pembuatan rekaman etnografi. Tahap ini memberikan penekanan kepada
kemampuan peneliti untuk mencatat dan merekam semua kegiatan penelitian yang
sedang dan telah dilakukan. Mulai dari mencatat hasil wawancara dan observasi,
mengambil gambar/foto, membuat peta situasi. Ini semua dilakukan agar tidak
terjadi gap antara hasil observasi dengan analisis.
Kelima, analisis data etnografi. Dalam penelitian etnografi, analisis data
tidak dilakukan diakhir pekerjaan, tapi dilakukan pada saat melakukan
pekerjaan. Karena analisis data tidak perlu menunggu data terkumpul banyak.
Analisis data yang diilakukan pada saat penelitian akan memperkaya peneliti
untuk menemukan pertanyaan baru terkait data yang diperoleh, sehingga dengan
munculnya pertanyaann baru ini, akan memperkaya dan memperdalam penelitian yang
dilakukan.
Keenam, penulisan sebuah etngrafi. Sebagai akhir dari pekerjaan etnografi,
menjadi kewajiban peneliti menyampaikan atau memaparkan hasil penelitiannya.
Mengingat sifat etnografi yang natural, maka pemaparan yang dilakukan harus
dilakukan secara natural, seperti layaknya proses alami yang dialami seorang
manusia ketika berada dalam sebuah lingkungan budaya.
4.
Instrumen Pengumpul dan Paparan Data Etnografi
Sebagaimana layaknya penelitian kualitatf yang
mengedepankan naturalitik dalam mendapatkan data yang sifat deskriptif, maka
penelitian etnografi juga memafaatkan teknik pengumpulan data yang digunakan
penelitian kualitatif pada umumnya, namun ada beberapa teknik yang khas. Adapun
instrumenn pengumpul data pada penelitian etnografi sebagai berikut :
Pertama,
wawancara mendalam (indepth interview)
merupakan serangkaian pertanyaan yang diajukan peneliti kepada subjek
penelitian. Mengingat karakter etnografi yang naturalistic, maka bentuk
pertanyaan atau wawancara yang dilakukan merupakan pertanyaan terbuka dan
sifatnya mengalir, meski demikian untuk menjaga focus penelitian ada baiknya
seorang peneliti memiliki panduan wawancara yang sifatnya fleksibel. Setiap
wawancara yang dilakukan, peneliti harus memperdalamnya dengan cara membuat
catatan hasil wawancara dan observasi. Karena itu, kegiatan wawancara akan
selalu menghasilkan pertanyaan baru yang sifatnya memperdalam apa yang telah
diterima dari subjek penelitan. Dalam konteks memperdalam data, proses
wawancara dapat dilakukan secara spontan maupun terencana.
Kedua,
Observasi partisipan (participant observation). Untuk mengetahui secara detail langsung
bagaimana budaya yang dimiliki individu atau sekelompok masyarakat maka seorang
peneliti eetnografi harus menjadi “orang dalam”. Menjadi “orang dalam” akan
memberi keuntungan peneliti dalam menghasilkan data yang sifatnya natural.
Peneliti akan mengetahui dan memahami apa saja yang dilakukan subjek
penelitian, prilaku keseharian, kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan
keseharian, hingga pada pemahaman terhadap symbol-simbol kehidupan subjek
penelitian dalam keseharian yang bisa jadi orang lain tidak memahami apa
sebenarnya symbol itu. Menjadi orang dalam memberikan akses yang luar biasa
bagi peneliti untuk “menguak”semua hal tanpa sedikitpun halangan, karena subjek
penelitian akan merasa kehadiran peneliti tak ubahnya sebagai bagian dari
keluarganya, sehingga tidak ada keraguan dan hambatan bagi subjek untuk
berperilaku alami, sebagaimana layaknya dia hidup dalam keseharian. Namun
demikian, menjadi orang dalam melalui kegiatan observasi partisipan tidak
menjadikan peneliti larut hingga tidak bisa membedakan dirinya dengan diri
subjek penelitian. Posisi inilah yang harus benar-benar dijaga dalam melakukan
riset etnografi.
Ketiga,
Diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion), merupakan kegiatan diskusi bersama antara
peneliti dengan subjek penelitian secara terarah. Dalam konteks ini sebenarnya
kemampuan peneliti untuk menyajikan isu atau tema utama, mengemasnya dan
kemudian mendiskusikan serta mengelola diskusi itu menjadi terarah dalam arti
proses diskusi tetap berada dalam wilayah tema dan tidak terlalu melebar
apalagi sampai menyertakan emosi subjek secara berlebihan menjadi kata kunci
dari proses FGD yang baik. Diskusi kelompok terarah ini bisa diawali dengan
pemilihan anggota diskusi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti,
ataupun dapat saja dilakukan dengan secara acak, namun tetap memperhatikan
“kekuatan” masing-masing peserta diskusi, mulai dari tingkat pendidikan,
intelektualitas, pengalaman bahkan keseimbangan gender. Dengan penetapan ini,
merupakan langkah untuk menghindari ketimpangan atau dominannya satu kelompok
atau individu dalam sebuah diskusi. Kemudian, dilanjutkan dengan tema yang akan
diusung peneliti, dan diskusikan secara bersama. Proses inilah yang kemudian
oleh peneliti dicatat secara rinci untuk kemudian dijadikan dasar pijak untuk
memperdalam dan memperkaya data etnografi.
Keempat,
Sejarah hidup (Life history),
merupakan catatan panjang dan rinci sejarah hidup subjek penelitian. Melalui
catatan sejarah hidup ini peneliti etnografi akan memahami secara detail apa
saja yang menjadi kehidupan subjek penelitian dan factor-faktor yang
mempengaruhinya termasuk budaya yang ada di lingkungannya. Catatan sejarah
hidup, menghendaki kemampuan peneliti untuk jeli dalam melihat setiap detail
kehidupan seseorang, sehingga tergambar dengan jelas bagaimana “jalan”
kehidupan subjek penelitian dari lahir hingga dewasa sehingga terketemukan
peristiwa-peristiwa penting yang menjadi titik balik (turning point) dalam sejarah kehidupan subjek penelitian. Meski
hampir sama dengan pola autobiografi, namun terdapat perbedaan terutama pada
upaya yang lebih kuat dalam penulisan untuk menghindari subjektivitass penulis.
Kelima,
analisis dokumen (Document analysis).
Analisis dokumen diperlukan untuk menjawab pertanyaan menjadi terarah,
disamping menambah pemahaman dan informasi penelitian. Mengingat dilokasi
penelitian tidak semua memiliki dokumen yang tersedia, maka ada baiknya seorang
peneliti mengajukan pertanyaan tentang informan-informan yang dapat membantu
untuk memutuskan apa jenis dokumen yang mungkin tersedia. Dengan kata lain
kebutuhan dokumen bergantung peneliti, namun peneliti harus menyadari
keterbatasan dokumen, dan bisa jadi peneliti mencoba memahami dokumen yang
tersedia, yang mungkin dapat membantu pemahaman.
Berbagai teknik pengumpulan data yang terpapar
tersebut bisa digunakan peneliti secara bersamaan atau dipilih peneliti
berdasarkan kebutuhan dan juga bergantung peneliti dalam memaksimalkan instrument
tersebut. Yang jelas, bagaimana upaya peneliti dalam mendapatkan dan
menghasilkan data etnografi yang rinci dan utuh.
Setelah melakukan proses penggalian data dan
menganalisisnya, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan peneliti adalah
membuat laporan etnografi. Ada enam bentuk laporan etnografi yang dapat
disajikan peneliti, yaitu : (1) ethnocentric descriptions adalah studi
yang dibentuk dengan tidak menggunakan bahasa asli dan mengabaikan makna yang
ada. Masyarakat dan cara berperilaku dikarakteristikkan secara stereotipe; (2) social
science descriptions digunakan untuk studi yang terfokus secara
teoritis pada uji hipotesis; (3)standard ethnographies menggambarkan variasi
luas yang ada pada penutur asli dan menjelaskan konsep asli. Studi ini juga
menyesuaikan kategori analitisnya pada budaya lain; (4) monolingual
ethnographies, seorang anggota
masyarakat yang dibudayakan menulis etnografi dalam bahasa aslinya. Etnografer secara
hati-hati membawa sistem semantis bahasanya dan menterjemahkan ke dalam
bahasanya; (5) life histories adalah salah satu bentuk deskripsi yang
menawarkan pemahaman terhadap budaya lain. Mereka yang melakukan studi ini akan
mengamati secara mendetail kehidupan seseorang dan proses yang menunjukkan
bagian penting dari budaya tersebut. Semua dicatat dalam bahasa asli, kemudian
diterjemahkan dan disajikan dalam bentuk yang sama sesuai dengan pencatatan; serta (6) ethnographicnovels.
C.
Metode Etnografi Dalam Penelitian Konseling
Etnografi bukanlah penelitian yang semata-mata
pekerjaan lapangan, etnografi juga bukan semata-mata sebuah deskripsi kisah
atau laporan tertulis mengenai individu atau satu kelompok masyarakat yang
dihasilkan oleh peneliti yang melewatkan periode waktu cukup panjang, guna
membenamkan diri dalam konteks individu dan kelompok atau komunitas yang
diteliti, dengan tujuan menggambarkan realitas sosial dan buddaya individu dan
kelompok sehingga dapat dipahami oleh pembaca etnografi.
Dalam konteks penelitian konseling, metode
etnografi dapat diterapkan terutama untuk melihat pola-pola konseling yang
dilakukan terhadap individu dan kelompok sosial dalam suatu budaya tertentu. Argumen ini didasarkan pada pemahaman bahwa
konseling atau hubungan konseling (helping
relationship) bukanlah semata-mata terjadi di laboratorium bimbingan dan
konseling saja, akan tetapi terjadi di seluruh bidang kehidupan di mana terjadi
hubungan atau interaksi antar manusia dengan manusia lainnya. Hubungan atau
interaksi yang terjadi ini diharapkan menjadi hubungan yang saling membantu,
dimana peran dan pengaruh budaya yang dianut (cultural background) menjadi begitu diperhitungkan.
Ada beberapa asumsi dasar yang dapat dijadikan
pijakan metode etnografi dapat digunakan dalam penelitian konseling. Pertama, bahwa klien dan konselor adalah
seorang manusia. Karena manusia, maka ia tidak dapat melepaskan diri dan
terikat serta dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibangun dalam sebuah budaya
tertentu. Kedua, para anggota budaya
(klien dan konselor) akan menciptakan makna yang digunakan bersama. Mereka
menggunakan kode-kode yang memiliki derajat pemahaman yang sama. Dalam arti
dalam hal “penanganan” terhadap seorang atau sekelompok orang seorang atau
sekelompok konselor akan menggunakan kode-kode yang memiliki derajat pemahaman
yang sama, sehingga keduanya dapat berinteraksi secara baik. Posisi inilah yang
memungkinkan etnografer menggali kode-kode dimaksud secara cultural. Ketiga, para konselor dalam sebuah
komunitass budaya harus mengkoordinasikan tindakan-tindakannya. Oleh karena
itu, dalam komunitas itu akan terdapat aturan atau system nilai yang dianut. Keempat , makna dan tindakan bersifat
spesifik dalam sebuah komunitas, sehingga antara komunitas yang satu dan
lainnya atau konselor yang satu dengan lainnya ataupun klien yang satu dengan lainnya
akan memiliki perbedaan dalam hal maka dan tindakan tersebut, termasuk
perbedaaan dalam memahami kode-kode makna dan tindakan. Kelima, dari aspek kepribadian,
sebenarnya manusia dapat berkembang
secara optimal melalui interaksi yang sehat antara organisme yang sedang dalam
perkembangan tersebut dengan lingkungan atau budaya. Kekuatan sosial budaya
tersebut diketahui secara jelas sebagai sesuatu yang sangat berpengaruh sangat
kuat terhadap individu dan perkembangannya.
Kelima asumsi tersebut seakan menemukan
kekuatannya ketika terdapat orientasi baru dalam konseling sebagaimana
dijelaskan Sofyan S Wilis (2011), yang dapat ditabelkan sebagai berikut :
Konseling
(orientasi baru)
|
Konseling
(orientasi lama)
|
·
Bersifat
pedagogis
·
Melihat
potensi klien bukan kelemahan
·
Beorientasi
pengembangan potensi positif klien
·
Menggembirakan
klien
·
Dialog
konselor menyentuh klien ; klien terbuka
·
Bersifat
humanistic – religious
·
Klien
sebagai subjek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
·
Konselor
hanya membantu dan memberikan alternative-alternatif (fasilitator dan
motivator)
|
·
Bersifat
klinis
·
Melihat
kelemahan klien
·
Berorientasi
pemecahan masalah klien
·
Konselor
serius
·
Dialog
menekan perasaan klien
·
Bersifat
humanistic – religious
·
Klien
sebagai objek
|
Dengan mengacu pada kelima asumsi dasar dan
orientasi baru tersebut dapat digunakan oleh peneliti etnografi konseling untuk
membandingkan budaya-budaya yang berbeda, karena adanya perbedaan dalam
pemahaman budaya dari individu dengan individu lainnya, dari klien dengan konselor
ataupun dari komunitas yang satu dengan komunitas lainnya. Pembandingan budaya
berbeda tersebut dalam konteks konseling dapat dilihat dari aspek (1) ways of
counseling, dalam kategori ini peneliti dapat melihat pola-pola konseling yang
dilakukan, (2) ideal of the fluent counselor/client. Sesuatu yang menunjukkan
hal-hal yang pantas dicontoh atau dilakukan oleh seorang konselor / klien, (3)
counseling community, komunitas konseling berikut batas-batasnya, (4)
counseling and speech situation. Situasi kettika sebuah proses konseling atau
bentuk ujaran ketika proses konseling dipandang sesuai dengan komunitas atau
budayanya. (5) counseling event, peristiwa-peristiwa konseling yang
dipertimbangkan merupakan bentuk konseling yang layak bagi individu dalam sebuah
komunitas budaya. (6) counseling act, seperangkat perilaku khusus yang dianggap
aktivitas dalam sebuah peristiwa konseling. (7) component of counseling acts.
Komponen tindak konseling, (8) the rules of spaking in the community.
Garis-garis pedoman yang menjadi sasaran perilaku konseling, (9) the function
of counseling in the community. Fungsi konseling dalam sebuah komunitas. Dalam
kerangka ini, menyangkut kepercayaan bahwa sebuah tindakan konseling dapat
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam komunitas budaya.
Adapun unit analisis utama adalah interpretasi
dari para pelaku konseling, tindakan dan interaksinya. Tekniknya adalah teknik
kualitatif melalui tahap-tahap pengkajian data, mereduksi data dan memeriksa
keabsahan dara. Setelah data dikumpulkan, dianalisis, kemudian dilakukan
interpretasi data. Tujuan interpretasi data adalah mendeskripsikan fakta yang
ada, mendeskripsikan data secara analitik dan menyusun teori subtantif atau
teori yang disusun dari dasar atau dari data (moleong, 1994).
Penerapan etnografi dalam penelitian konseling
selain dapat digunakan untuk melihat variabilitas konseling, juga dapat
mengungkap (1) identitas yang digunakan individu dan sekompok orang (klien dan
konselor). Identitas ini sebenarnya perasaan klien dan konselor tentang diri
mereka sebagai bagian dari anggota budaya. (2) mengungkap makna kinerja yang
digunakan dalam proses konseling, (3) mengungkap kontradiksi atau
paradox-paradok yang terdapat dalam sebuah komunitas budaya atau sebuah proses
konseling. Untuk mengungkap data tentang ketiganya, maka dapat diajukan
pertanyaan tentang norma, yaitu menyangkut cara-cara yang digunakan konselor
atau proses konseling digunakan untuk memantapkan seperangkat patokan dan
gagasan tentang benar dan salah yang mempengaruhi pola konseling. Pertanyaan
berikutnya menyangkut bentuk yang terkait dengan jenis dan teknik yang
digunakan dalam proses konseling, yang menyangkut suatu perilaku dan
pengorganisasaian perilaku yang dapat dikategorikan sebagai proses konseling.
Terakhir diajukan pertanyaan tentang kode-kode budaya yang memberikan perhatian
pada makna symbol dan perilaku yang digunakan sebagai konseling dalam bingkai
budaya.
Apabila peneliti etnografi konseling akan
meneliti perilaku manusia, baik perilaku klien atau perilaku konselor dalam
melakukan aktivitas konseling, maka dapat menggunakan dua perspektif, yaitu
perspektif emik dan etik. Perspektif emik merupakan usaha untuk mengungkapkan
dan menguraikan pola konseling atau kebudayaan tertentu dari cara unsure-unsur
kebudayaan itu berkaitan satu dengan lainnya dalam melakukan fungsi sesuai
dengan pola tersebut. Penggunaan perspektif emik memberikan kesempatan kepada
peniliti untuk berasumsi bahwa perilaku manusia (klien dan konselor) terpola
dalam system pola itu sendiri. Jadi bkan terdiri dari tindakan analis untuk
mencapai konstruk yang dapat diterapkan pada data itu. Dengan demikian, tujuan
perspektif ini addalah mengungkapkan dan menguraikan system perilaku bersama
satuan strukturnya dan kelompok struktur satuan-satuan itu.
Sementara itu perspektif etik, lebih mengarah
pada pencermatan peneliti terhadap teori yang relevan dengan focus
penelitiannya dan membuat sintesis (menyatukan) berbagai teori menjadi kerangka
teori, yang menurut Moleong (1994) dilakukan dengan empat langkah, yaitu (1)
mengelompokkan secara sistematis seluruh data yang dapat diperbandingkan,
seluruh kebudayaan dunia ke dalam system tunggal, (2) menyediakan seperangkat
criteria untuk mengklasifikasikan setiap unsure data, 93) mengorganisasikan
data baru yang ditemukan dalam tipe-tipe, (4) mempelari, menemukan dan
menguraikan setiap baru ke dalam kerangka system yang telah dibuatnya sebelum
mempelajari kebudayaan dari data yang ditemukan. Kedua perspektif ini dalam
kenyataannya seringkali digunakan secara bersamaan.
D.
Penutup
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa sebenarnya penelitian etnografi digunakan untuk
mengkaji cara hidup individu atau suatu kelompok (budaya, komunitas tertentu
atau organisasi. Dalam konteks penelitian konseling, penelitian etnografi dapat
diarahkan untuk mengkaji bagaimana proses konseling yang terikat dengan budaya
pelakuknya, atau cara hidup klien/konselor sehari-hari, cara beraktivitas
klien/konselor yang ada kaitannya dengan proses konseling, di mana factor
budaya menjadi instrument yang mempengaruhi pelaku konseling. Dibutuhkan waktu
yang cukup panjang, melalui serangkaian instrument penelitian etnografis untuk
menghasilkan laporan etnografi yang dapat dibaca dengan baik.
Bahan Bacaan
Christine
Hine, Virtual Ethnography. London :
Sage Publication, 2001
Emzir.
Metodologi penelitian pendidikan ; kuantitatif fan kualitatif. Jakarta :
rajawali Press,2012
George Ritzer dan Douglass H Goodman, Teori sosiologi modern. Jakarta :
Prenada Media Group, 2010
James
P. Spradley. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006
Lexi
Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001
Misbah
Zulfa Elizabeth. Cina Muslim ; Studi Etnoscience Keberagamaan Cina Muslim.
Semarang : Walisongo Press, 2009
Paula Saokko, Doing Reseach in
Cultural Studies ; An Introduction to
Classical and New Methodological Approaches. London : Sage Publication,
2003
Sofyan
S Wilis, Konseling Individual ; teori dan praktek. Bandung : Alfabeta, 2011
Tohirin.
Metode Penelitian Kualitatif Dalam pendidikan dan Bimbingan Konseling. Depok :
Raja Grafindo Persada, 2012
[1] Penelitian biografi adalah studi
tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan
dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point
moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau
mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek
tersebut memposisikan dirinya sendiri
[2]
Penelitian
fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena
pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu.
Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan
dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54),
Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai
ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu).
Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi
peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan
mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang
dikatakan oleh responden.
[3]
Walaupun
suatu studi pendekatan menekankan arti dari suatu pengalaman untuk sejumlah
individu, tujuan pendekatan grounded theory adalah untuk menghasilkan atau
menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu . Situasi di
mana individu saling berhubungan, bertindak, atau terlibat dalam suatu proses
sebagai respon terhadap suatu peristiwa. Inti dari pendekatan grounded theory
adalah pengembangan suatu teori yang berhubungan erat kepada konteks peristiwa
dipelajari.
[4]
Penelitian
studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan
terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai
sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang
dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.
[5]Interaksionisme
simbolik dikembangkan di universitas Chicago tahun 1920-an dari pertemuan
pengaruh pragmatism (John Dewey), behaviorisme (John B. Watson) dan pengaruh
sosiologi (Simmel). Teori terpenting dari interaksionisme simbolik adalah yang
dikemukakan oleh George Herbert Mead yang menyetujui keunggulan dan keutamaan
dunia., artinya dari dunia sosial itulah muncul kesadaran, pikiran dan
seterusnya. Secara ringkas prinsip teori interaksionisme simbolik adalah (a)
tidak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir, (b) Kemampuan
berpikir dibentuk oleh interaksi sosial, (c) Dalam interaksi sosial, manusia
mempelajari makna dan symbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan
berpikir mereka yang khusus itu, (d) Makna dan symbol memungkinkan manusia
melakukan tindakan khusus an berinteraksi, (e) Manusia mampu mengubah arti dan
symbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran
mereka terhadap situasi, (f) Manusia mampu memodifikasi dan mengubah, sebagian
karena kemampuan merea beriteraksi dengan diri mereka sendiri, yang
memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan
dan kerugian relatifnya dan kemudian memilih satu diantara serangkaian peluang
tindakan itu, (g) Pola aksi dan intrekasi yang saling berkelindan akan membentuk
kelompok dan masyarakat. Untuk lebih lengkap lihat George Ritzer dan Douglass H
Goodman, Teori sosiologi modern.
Jakarta : Prenada Media Group, 2010
[6]
Etnografi baru jenis ini cukup menarik. Karena menjadi alternative dari
cultural studies yang ingin mengetahui dan membongkar budaya masyarakat. Untuk
lebih lengkapnya silahkan baca Paula Saokko, Doing Reseach in Cultural Studies ;
An Introduction to Classical and New Methodological Approaches.
London : Sage Publication, 2003
[7]
Untuk melengkapi jawaban terhadap persoalan metodologis tersebut, Christine
Hine (2001) menyodorkan beberapa prinsip, yaitu
1.
Etnografi virtual mempertanyakan asumsi yang sudah berlaku secara
umum tentang internet. Oleh karena itu peneliti hendaknya menginterpretasikan
sekaligus reinterpretasi internet sebagai sebuah cara sekaligus medium yang
digunakan untuk berkomunikasi.
2.
Berbeda dengan kehidupan nyata dan fenomena yang muncul dari
interaksi face-to-face, internet merupakan lapangan yang sangat kompleks dan
relasi yang terjadi berdasarkan pada konteks apa yang digunakan termasuk
terhadap penggunaan teknologi. Sehingga ketika meneliti internet, maka
semestinya menempatkan internet sebagai sebuah kultur dan artefak cultural.
3.
Internet mengubah pemahaman tentang ’lokasi’ penelitian. Internet
adalah tempat yang interaktif dan selalu bergerak sehingga lebih tepat dalam
pendekatan etnografi untuk melihat bagaimana tempat virtual di internet itu
dibuat dan dibuat kembali
4.
Kosekuensi dari gagasan tentang ’lokasi’ tersebut memunculkan
pertanyaan yang serius. Sebab, dalam etnografi kultur serta komunitas bisa
diidentifikasikan dalam lapangan atau lokasi yang nyata. Hine menawarkan solusi
bahwa penelitian dilepas pisahkan dari pemahamam umum terhadap lokasi dan
batas-batas, melainkan memfokuskan diri pada arus dan koneksitas antar-user di
internet
5.
Etnografi virtual pada dasarnya juga mengangkat persoalan
batas-batas, akan tetapi konteks tersebut untuk melihat kenyataan antara yang
’real’ dengan ’virtual’
6.
Etnografi virtual merupakan persinggahan sementara. Kehidupan
pengguna di internet tidak terjadi dalam 24 jam yang sesungghunya, netter atau
pengguna internet tidak dapat dipastikan kapan mereka “berada” di internet
7.
Dalam etnografi virtual fenomena yang
diangkat merupakan kepingan-kepingan semata, tidak menggambarkan bagaimana
sesungguhnya (kehidupan di) internet itu berlangsung. Bagi Hine, ada kerumitan
dalam hal menjangkau informan, lokasi dan bahkan kultur itu sendiri secara
seutuhnya.
8.
Etnografer hendaknya mereka yang juga
menjadi bagian dalam cyberspace. Hubungan antara etnografer dengan subjek atau
objek penelitian yang menggunakan teknologi merupakan bagian dari pengalaman
pribadi etnografer ketika bersentuhan dengan (teknologi) internet dan menjadi
bagian dalam cyberspace harus diabaikan demi menjaga objektivitas dalam melihat
fenomena.
9.
Etnografer maupun informan
(penelitian) harus dirasakan kehadiran antar keduanya. Etnografi virtual
dijelaskan sebagai “ethnography in, of and trough the virtual” sehingga
interaksi tatap muka atau face to face tidak diperlukan10.
Beberapa terminologi, prinsip, maupun aturan yang selama ini
dipahami dalam etnografi, pada dasarnya tidak bisa diterapkan dalam etnografi
virtual. Bahkan ketika membahas kata ’virtual’ pun defenisi ini menemukan
bentuk dan keluaran yang tidak terduga. Oleh karena itu, ketika meneliti
cyberculture maka konteks yang digunakan sebisa mungkin merupakan kondisi yang
mendekati ’apa yang terjadi’ di cyberspace dan bisa digunakan dalam tataran
praktis untuk mengeksplorasi relasi yang terjadi melalui media internet yang
ditemui oleh etnografer. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca Christine Hine, Virtual Ethnography. London : Sage
Publication, 2001
Comments