Pengaruh Agama Terhadap Kebudayaan
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil
cipta (serta akal budi) manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah
keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan
untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya.
Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan
hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada.
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil
atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring
dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan;
kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya,
jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya,
bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan
nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia
pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan
turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya;
namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas
yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam
komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan
(misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi
formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan
kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan
pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan
adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam
masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat
berdampak pada perubahan kebudayaan.
Kecenderungan tersebut menghasilkan dikotomi
hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Dikotomi tersebut memunculkan konfrontasi
(bukan hubungan saling mengisi dan membangun) antara agama dan praktek
budaya, karena dianggap sarat dengan spiritisme, dinamisme, animisme, dan
totemnisme. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan,
yaitu:
- Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama atau/dan Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
- Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
- Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
- Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitas sosio-kulturalnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama
dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan –
pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai
hal tersebut tidak mudah.
FUNGSI
AGAMA TERHADAP PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN BUDAYA
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional
antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang rasional dan
humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut sebagai suatu
historical force yang turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama
mampu menjadi katalisator pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat.
Dan lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan
membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan
segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan
kemiskinan. Sosiolog Peter L Berger (1991) mengemukakan hal yang sama, bahwa
agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia
yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif
tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu
bersifat kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari
kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks
manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden.
Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden.
Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger
dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama
untuk berfungsi menjadi
pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan
corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif
bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan
juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem social.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga
mengakui agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara efektif.
Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun, merupakan sistem integrasi
yang menyeluruh. Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk
mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat.
Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan
dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis
memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama
merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
Comments