VIRTUAL ETHNOGRAPHY ; Sebuah Tawaran Metodologi Kajian Media Berbasis Virtual
A. Pendahaluan
Diakui atau tidak kehadiran teknologi
informasi dan komunikasi telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia.
Mulai cara berpikir, cara merasa dan cara berperilaku sangat terasa sekali
“sentuhan” teknologi. Hingga manusiapun tak tersadarkan, bahwa apa yang selama
ini ia kreasikan telah berbalik menyanderanya (technology determinism). Kondisi ini tidak lain disebabkan kuatnya
pengaruh dan peran teknologi. Meski diakui ada sedikit kesalahan subtansi dalam
memahami teknologi, yang hanya dibatasi pada sesuatu yang sifatnya mekanis.
Padahal, teknologi yang berasal dari kata texere,
lebih dimaknai sebagai effort to built of
knowledge, yang artinya upaya manusia membangun kemampuan berfikirnya.
Dalam konteks ini, harusnya penggunaan teknologi (ICT) diarahkan untuk
menumbuhkembangkan kemampuan berfikir substansi manusia dalam memecahkan berbagai problema melalui alat
(mesin) yang diciptakannya, dan menemukan berbagai solusi alternative berbasis teknologi.
Terlepas dari itu persoalan tersebut,
kehadiran teknologi informasi dan komunikasi telah mampu mendinamisasi
kehidupan manusia. Penggunaannya semakin meningkat dari waktu ke waktu,
terlebih dengan hadirnya media baru[1]
yang mampu mengumpulkan, memproses dan mempertukarkan informasi secara
cepat. Ini berarti kemampuan
menginteraksikan manusia satu dengan manusia lainnya melalui instrument yang
bernama teknologi informasi dan komunikasi (media
baru, red) telah mengubah pola
berkomunikasi manusia secara fundamental (mass
self communications). Perubahan pola
komunikasi itu, jelas tak bisa
dilepaskan dari sifat “alamiah” teknologi informasi dan komunikasi. Ketika ia
hadir , ketika itu pula, ia akan mengubah pola kehidupan manusia, termasuk pola
berkomunikasinya[2].
Gambaran perubahan dimaksud memberikan sinyal
kuat tentang perluasan dan perubahan keseluruhan spectrum dari
kemungkinan-kemungkinan sosio teknologi terhadap proses komunikasi yang
dilakukan manusia, termasuk teori dan riset komunikasi yang dihasilkan.
Perubahan-perubahan itulah yang menurut McQuail (2010) perlu dicermati. Satu
sisi dapat memberikan gambaran bagaimana fenomena baru manusia dalam
berkomunikasi, di sisi lain kondisi itu memberikan ruang gerak bahkan lapangan baru
bagi peneliti komunikasi, untuk lebih jeli dalam melakukan riset dan
menghasilkan sebuah teori yang tidak tertinggal dan kehilangan konteks. Perubahan
– perubahan tersebut oleh McQuail dicatat sebagai berikut :
1. Digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari
media.
2. Interaktivitas dan koneksivitas jejaring yang
meningkat
3. Mobilitas dan delokassi pengiriman dan
penerimaan
4. Adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak
5. Munculnya beragam bentuk baru dari media
“gateway” yaitu pintu masuk untuk mengakses informasi melalui web atau untuk
mengakses web itu sendiri
6. Fragmentasi dan kaburnya “institusi media”
Digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari
media hingga fragmentassi dan kaburnya institussi media sebagaimana dinyatakan
McQual merupakan penanda awal dari lahirnya media baru. Sebuah media yang lebih
mengedepankan penguasaan teknologi (internet,
red) dalam melakukan interaksi dan komunikasi (virtual). Karena itu Terry Flew (2005) menyebut new media sebagai as those form that combine
the three Cs ; computing and informations technology (IT), communication
network, digitized media and information content. Sementara Little John (2008) menyebutnya sebagai the second media atau a new period in which
interactive technologies and network communications, particularly the internet,
would transform society.
B.
Media Baru Dalam Tradisi Penelitian Komunikasi
Kajian terhadap media baru sebenarnya dapat
dilacak dari Medium Theory, Media Ecology
Theory dan New Media Theory. Teori – teori tersebut hadir untuk membincang
bagaimana peran media dan pengaruh yang ditimbulkannya. Pada medium theory. Marshall McLuhan misalnya
mengajukan tesis tentang bagaimana media itu, terlepas dari apapun isi yang
disampaikan, akan berdampak terhadap individu-individu dan masyarakat. Ini
memberikan sinyal bahwa media begitu powerfull
dalam memberikan pengaruh dan perubahan bagi kehidupan masyarakat. Ketika media
berubah (menjadi canggih) maka perubahan masyarakat menjadi tidak bisa
dielakkan.
Untuk memperkuat medium theory, Marshal Mcluhan mengajukan tesis berikutnya yang
terangkum dalam media ecology theory . Dalam teori ini, ia
menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat telah berevolousi, begitu juga dengan
teknologi. Kita telah dipengaruhi oleh dan mempengaruhi media (the medium is the message). Masyarakat tidak dapat melarikan diri dari
pengaruh teknologi dan bahwa teknologi akan tetap menjadi pusat bagi semua
bidang profesi dan kehidupan. Tesis kedua yang diajukan Marshall McLuhan ini
memberikan bingkai terhadap asumsi yang ia sampaikan, yaitu: (1) media
melingkupi setiap tindakan dalam masyarakat, (2) media memperbaiki persepsi
kita dan mengorganisasikan pengalaman kita, (3) media mengikat dunia
bersama-sama.
Sementara itu perkembangan teknologi yang
begitu akeseleratif telah memicu lahirnya teori baru yang dikenal dengan nama
the new media theory Sebuah teori yang melihat kekuatan teknologi dalam
mempengaruhi masyarakat, dengan seperangkat alat yang semakin menginteraksikan
masyarakat dengan jejaring komunikasinya. Lahirnya the media theory sebenarnya
telah disampaikan oleh little john, yang menyatakan bahwa saat ini telah terjadi
perubahan-perubahan mendasar dalam teori media seiring dengan perubahan
teknologi. Little jhonpun mengajukan tiga hal terkait dengan perubahan teori
media, antara lain : (1) hilangnya konsep “media” dari komunikasi massa menuju
beragam media yang berjenjang dari sangat luas ke media personal. (2) konsep
tersebut mengarahkan perhatian kita kepada bentuk-bentuk media baru yang dapat
berjenjang dari informasi dan pengetahuan individual hingga interaksi, (3)
tesis dari the second media age[3]
membawa medium theory yang relative tidak dikenal pada tahun 1960-an menuju
popularitas yang dibarukan pada tahun 1990an.
The new media
theory lebih menekankan pada jejaring (network) yang sifatnya lebih interaktif
dengan pola komunikasi yang lebih privasi. Penggunapun menjadi lebih leluasa
dalam mentransmisi dan menerima pesan tanpa terikat oleh aturan kelembagaan
sebagaimana media komunikasi konvensional. Tema yang dibicarakan menjadi sangat
beragam, mulai dari persoalan kekuasaan, ketidaksetaraan, gender, integrasi
sosial, identitas, perubahan sosial, pembangunan hingga persoalan-persoalan
yang sifatya sepele (waste of informations).
Beragamnya persoalan yang diangkat dan
kekhasan dari karakter new media ini, mengharuskan peneliti menggunakan metode penelitian
pendukung (baru, red) untuk “menguak” berbagai fenomena yang hadir dan
dihadirkan dalam new media tersebut. Dalam konteks ini, little John dan Foss
sebagaimana dikutip Turnomo Raharjo (2011) mencatat, ada dua metode yang dapat
digunakan yaitu
1. Cues – Filtered – Out – Approach (CFOA)
Penelitian
tentang pengguna (users) diarahkan pada cara komunikasi yang diperluas dengan
computer (computer-extended communication) memediasi bentuk-bentuk komunikasi
tatap muka. Tatap muka menjadi sebuah analog dan patokan untuk mengukur
‘keberhasilan” computer mediated communication (CMC) yang dipahami sebagai
pengganti tatap muka. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji tanda-tanda
(cues) komunikasi non verbal yang hilang dalam suatu peristiwa komunikasi dan
bagaimana isyarat-isyarat non verbal itu ditempatkan lagi (back in). Pendekatan
CFOA ini menghasilkan dua kajian utama, pertama, emoticons ; lambang-lambang
yang digunakan dalam email untuk memaknai ekspresi wajah. Kedua, netiquette,
yaitu cara-cara yang dipersyaratkan dalam dunia maya (cyberspace) dalam bentuk
etiket dan praktek yang sopan
2. Avatar Research
Pendekatan
ini lebih menegaskan bahwa identitas-identitas online atau avatars menikmati
sebuah ruang interaksi yang netral. Karena tidak ada tanda-tanda yang dapat
secara spontan mengindikasikan penampakan, gender, kelas dan etnisitas darti
interlocutor, maka avatars berkomunikasi pada basis setara tanpa ada
diskriminasi sosial yang menyertai kategori-kategori tersebut.
C.
Metode Etnografi Virtual
Apa yang ditawarkan Little John dan Foss (2010)
dalam mengkaji new media terutama
penggunanya (users) dengan pendekatan
CFOA atau Avatars menyisakan persoalan secara metodologis. Pertama, posisi peneliti dengan subjek penelitian yang asimetris
terlebih ketika proses penelitian dilakukan secara online[4]. Posisi
asimetris ini sangat beresiko terhadap validitas data yang dihasilkan, karena
antara peneliti dan subjek penelitian tidak dalam kondisi berhadapan (face to
face), mungkin juga tidak saling kenal. Posisi ini mengharuskan peneliti
berhati-hati dan waspada terhadap data yang disampaikan subjek penelitian.
Karena itu, para peneliti lapangan sangat mengharuskan posisi ini. Idealnya
posisi peneliti dan subjek diharapkan (harus) simetris, yaitu antara
peneliti dan subjek berada dalam pola komunikasi yang sama, memiliki pemahaman
yang sama, keduanya saling bertatap muka, mengenal dan memperkenalkan diri,
data yang dihasilkan juga berdasarkan konteks yang dipahami antara keduanya. Posisi asimetris inilah yang kemudian
disoroti Christine Hine (2001) sebagai salah satu persoalan, mengapa
penelitian-penelitian terhadap media baru, atau penggunanya (users) tidak bisa
menggunakan metode penelitian yang konvensional, karena secara legal normative,
“jarak” antara peneliti dan subjek dalam penelitian lapangan tidak begitu
dibenarkan.
Kedua,
keotentikan identitas dan data yang disampaikan subjek penelitian. Apakah
subjek penelitian secara benar-benar jujur menyampaikan data yang disampaikan,
apakah subjek penelitian benar-benar jujur dalam menyampaikan identitasnya.
Bisa jadi subjek penelitian melakukan kebohongan, manipulasi, menyampaikan data
tidak sebenarnya dibalik media online, dan secara fisik peneliti tidak dapat
“merabanya” dari komunikasi non verbalnya (prilaku, mimic, gesture, dan
sebagainya). Untuk mengatasinya, peneliti diwajibkan tidak hanya mengandalkan
data secara online, tapi juga offline. Ini artinya peneliti harus melakukan
“jumpa darat” dengan subjek penelitian untuk bertemu dan melakukan klarifikasi
data online dengan offline.
Kedua persoalan itu menjadi catatan bagi peneliti-peneliti media
berbasis virtual. Agar tidak larut dalam dunia virtual[5] yang
membiaskan, Christine Hine (2001) menyodorkan beberapa prinsip, yaitu :
1. Etnografi
virtual mempertanyakan asumsi yang sudah berlaku secara umum tentang internet.
Oleh karena itu peneliti hendaknya menginterpretasikan sekaligus reinterpretasi
internet sebagai sebuah cara sekaligus medium yang digunakan untuk
berkomunikasi.
2. Berbeda
dengan kehidupan nyata dan fenomena yang muncul dari interaksi
face-to-face, internet merupakan lapangan yang sangat kompleks dan relasi yang
terjadi berdasarkan pada konteks apa yang digunakan termasuk terhadap
penggunaan teknologi. Sehingga ketika meneliti internet, maka semestinya
menempatkan internet sebagai sebuah kultur dan artefak cultural.
3. Internet
mengubah pemahaman tentang ’lokasi’ penelitian. Internet adalah tempat yang
interaktif dan selalu bergerak sehingga lebih tepat dalam pendekatan etnografi
untuk melihat bagaimana tempat virtual di internet itu dibuat dan dibuat
kembali
4. Kosekuensi
dari gagasan tentang ’lokasi’ tersebut memunculkan pertanyaan yang serius.
Sebab, dalam etnografi kultur serta komunitas bisa diidentifikasikan dalam lapangan
atau lokasi yang nyata. Hine menawarkan solusi bahwa penelitian dilepas
pisahkan dari pemahamam umum terhadap lokasi dan batas-batas, melainkan
memfokuskan diri pada arus dan koneksitas antar-user di internet
5. Etnografi
virtual pada dasarnya juga mengangkat persoalan batas-batas, akan tetapi
konteks tersebut untuk melihat kenyataan antara yang ’real’ dengan ’virtual’
6. Etnografi
virtual merupakan persinggahan sementara. Kehidupan pengguna di internet tidak
terjadi dalam 24 jam yang sesungghunya, netter atau pengguna internet tidak
dapat dipastikan kapan mereka “berada” di internet
7. Dalam etnografi virtual fenomena yang diangkat
merupakan kepingan-kepingan semata, tidak menggambarkan bagaimana sesungguhnya
(kehidupan di) internet itu berlangsung. Bagi Hine, ada kerumitan dalam hal
menjangkau informan, lokasi dan bahkan kultur itu sendiri secara seutuhnya.
8. Etnografer hendaknya mereka yang juga menjadi
bagian dalam cyberspace. Hubungan antara etnografer dengan subjek atau objek
penelitian yang menggunakan teknologi merupakan bagian dari pengalaman pribadi
etnografer ketika bersentuhan dengan (teknologi) internet dan menjadi bagian
dalam cyberspace harus diabaikan demi menjaga objektivitas dalam melihat
fenomena.
9. Etnografer maupun informan (penelitian) harus
dirasakan kehadiran antar keduanya. Etnografi virtual dijelaskan sebagai
“ethnography in, of and trough the virtual” sehingga interaksi tatap muka atau
face to face tidak diperlukan
10. Beberapa
terminologi, prinsip, maupun aturan yang selama ini dipahami dalam etnografi,
pada dasarnya tidak bisa diterapkan dalam etnografi virtual. Bahkan ketika
membahas kata ’virtual’ pun defenisi ini menemukan bentuk dan keluaran yang
tidak terduga. Oleh karena itu, ketika meneliti cyberculture maka konteks yang
digunakan sebisa mungkin merupakan kondisi yang mendekati ’apa yang terjadi’ di
cyberspace dan bisa digunakan dalam tataran praktis untuk mengeksplorasi relasi
yang terjadi melalui media internet yang ditemui oleh etnografer
Secara
aplikatif, metode etnografi virtual tidak begitu berbeda jauh dengan
penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan atau metode etnografi pada
umumnya. Mulai dari teknik pengumpulan data hingga analisis yang digunakan,
semuanya bergantung kebutuhan dan persoalan yang menjadi interest peneliti,
namun demikian ada yang membedakan, terutama pada beberapa hal, yaitu
a. Teknik
Wawancara dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan secara online
dengan subjek tentang apa saja yang menjadi focus dari masalah penelitian.
Tahap kedua, dilakukan secara offline, untuk memperdalam wawancara online
ataupun juga melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap wawancara yang telah
dilakukan secara online. Pola wawancara online dan offline ini merupakan pola yang
harus dilakukan peneliti etnografi virtual, untuk mencegah bias informasi dan
ketidakpastian validasi data.
b. Teknik
obeservasi partisipan. Teknik observasi partisipan dalam metode etnografi
virtual dilakukan dengan dua cara, yaitu online dan offline. Secara online,
minimal seorang peneliti etnografi virtual diharuskan ikut bergabung dalam
komunitas dunia maya, dan aktif ikut dalam dinamika komunitas virtual. Ada dua
maksud yang dapat disampaikan dalam observasi partisipan secara online ini,
yaitu ; pertama, mengamati secara langsung perkembangan komunitas atau kelompok
yang diteliti secara online, termasuk juga dinamika atau isu, tema yang
dibicarakan. Kedua, mengamati dan mencermati bahasa verbal dan non verbal yang
digunakan dalam percakapan secara online. Bukan tidak mungkin dalam satu
komunitas virtual, memiliki karakter
atau kekhasan dan menyampaikan symbol-simbol komunikasi virtual yang orang atau
komunitas lain tidak mengerti. Dengan pola pengamatan seperti ini, maka status
peneliti menjadi orang dalam (emic perspective) yang mecoba belajar dan
mengerti tentang semua hal (kehidupan) seseorang atau kelompok di dunia
virtual. Secara offline, pengamatan partisipan, digunakan peneliti untuk lebih
memahami karakter individu / kelompok ketika berada di dunia nyata, apakah
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan didunia maya memiliki kaitan atau
mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di dunia online atau
sebaliknya. Dengan demikian,dibutuhkan kecermatan dan waktu yang tidak singkat
bagi peneliti etnografi untuk mengamati berbagai perubahan yang terjadi pada
diri subjek ketika online dan offline.
c. Focus Group Discussion
Teknik
pengumpulan data melalui diskusi kelompok terarah dapat dilakukan peneliti,
dengan maksud mendapatkan diskripsi data yang lebih variatif yang dihasilkan
dari diskusi
d. Document
Analysis
D.
Penutup
Sebagai sebuah tawaran metode penelitian, maka
kehadiran metode etnografi virtual menjadi salah satu jawaban atas keresahan
metodologis para peneliti kajian media, yang selama ini mencari “wadah” ataupun
legalitas terhadap data yang dihasilkan dari aktivitas virtual. Kalaupun ini
terbantahkan atau dibantah karena dianggap kurang dan tidak valid, paling tidak
metode ini, menjadi penguat dan pendukung serta penggerak dalam mengkaji
fenomena masyarakat baru yang tersentuh media baru berbasis virtual.
Mengingat persoalan dunia virtual sangat
beragam dan kompleks, ada baiknya para peneliti media baru tidak hanya terpaku
pada metode ini saja, namun perlu melakukan kombinasi metodologis (combine of
methods) untuk menghasilkan data dan jawaban penelitian yang lebih komprehensif
dan utuh. Meski hanya sekedar update status di facebook, twiter, flicker dan
lainnya bukan tidak mungkin content of new media tersebut menyangkut persoalan
– persoalan kuasa media, ketidakadilan, underpressure for audiences,
ketidakseteraan gender, etnisitas, marginalisai kelompok grassroot melalui
media online, konstruksi identitas dan sebagainya yang membutuhkan “sentuhan”
disiplin ilmu lain, atau analisis lain yang menunjang metode etnografi virtual
secara aplikatif.
Daftar
Bacaan,
Hine, Christine.
(2001) Virtual Ethnography. London :
Sage Publication Ltd.
Junaedi, Fajar
(2011). Komunikasi 2.0 ; Teoretisasi dan
Implikasi. Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu ASPIKOM)
Littlejohn,Stephen
W and Karen A Foss (2008). Theories of
Human Communication. Belmont California : Thomson Wadsworth.
McQuail, Denis
(2010) Mass Communication Theory.
London : Sage Publications Ltd
Mann, Chris and
Fiona, Steward (2002). Internet
Communication and Qualitative Research ; Handbook Researcing Online. London
: Sage Publication ltd.
Shield, Rob
(2003). The Virtual. London and New
York : Routledge
Stokes, Jane
(2003). How To Do Media and Cultural
Studies. London : Sage Publication Ltd
West, Richard and
Lynn H Turner (2007). Introducing
Communication Theory ; Analysis and Aplication. New York : The McGraw Hill
Companies Inc.
Word, Andrew F
and Smit, Matthew J. (2005) Online
Communication ; Linking technology, identity and Culture. London : Lawrence
Elbaum Associate Publisher.
[1] Rogers (1986) mengidentifikasi tiga
karakter utama yang menandai hadirnya teknologi informasi dan komunikasi baru tersebut.
Tiga karakter tersebut adalah : (1) interactivity, yaitu kemampuan media
dalam menginteraksikan penggunanya layaknya ia berinteraksi (berkomunikasi)
secara face to face. Dengan kemampuan
ini, interaksi dan komunikasi yang dilakukan manusia semakin efektif dan
efisien, sehingga manusia tidak perlu repot mendatangi lawan bicara, apalagi
jika teknologi media baru tersebut didukung dengan seperangkat kamera yang
dapat melihat penggunannya secara interaktif. (2) de-massfication, yaitu kebalikan dari system pengelolaan media
massa yang mengedepankan sentralisasi produk pesan. De-massification mengharuskan dan memberikan konsekuensi pada
desentralisasi produk pesan yang tidak lagi ditangan media massa, tapi ditangan
konsumen, pengguna media. Dengan demikian, konsumenlah yang bertanggung jawab
penuh dalam mengontrol dan mendistribusikan pesan secara missal.(3) Asynchronous, yaitu lebih mengarah pada
kehendak pengguna dalam mengirimkan dan menerima pesan dari manapun. Ini
berarti, manajemen waktu dalam mengirimkan dan menerima pesan bergantung
“selera” pengguna, kapan ia mau, kapan ia enggan, sehingga penerimaan dan
penolakan serta distribusi pesan tidak mengenal waktu, kecuali atas kehendak si
pengguna media.
[2] Pola berkomunikasi pengguna di dunia maya merupakan bagian dari kontruksi
presentasi dirinya dihadapan pengguna lainnya. Ini tercermin dari update status
ataupun melalui pesan atau symbol yang diunggahnya. Dalam kaitan ini Jones (1999) melihat ada lima strategi atau
tujuan yaitu (1) ingratiation ; keinginan untuk disukai, yang tercermin dari
apresiasi yang dilakukan pengguna lain, (2) Competence ; keinginan agar
dianggap terampil dan berkualitas yang tercermin dari keinginan untk tampil
terbaik melalui pikiran atau karya yang ditampilkan, (3) Intimidation ;
keinginan untuk memperoleh kekuasaan, yang tercermin dari ekspresi
ketidaksukaan atau kesukaannya terhadap sesuatu dengan menggunakan kata-kata
tertentu, (4) Exemplifacation ; keinginan untuk dianggap lebih unggul secara
moralitas yang tercermin dari penggunaan kata/kalimat yang menunjukkan dirinya
seorang moralis, dengan menyampaikan kritik ataupun himbauan, (5) supplication
; upaya menampilkan diri sebagai sosok yang perlu dikasihani. Tercermin dari
penggunaan kata/kalimat yang cenderung “berkeluh kesah”, (6)
[3]
Karakter the second media age yaitu (1) desentralisasi, pesan tidak lagi
tertuju dan terfokus pada sekelompok orang atau lembaga media massa, namun
siapapun dapat memerankan diri sebagai komunikator yang mentransmisi pesan
melalui media internet dan orang akan dengan mudah mengaksesnya (2)pola
komunikasi berlangsung dua arah bahkan cenderung dialogis, (3) tidak dalam
kondisi mengendalikan, artinya pesan yang ditransmisi ke khalayak luas tidak
mengalami proses sensor, edit sebagaimana layaknya proses di komunikasi massa
yang setiap ditentukan oleh gatekeeper dan kepentingan pemilik media. Di new
media, penggguna adalah “pemegang kekuasaan” terhadap semua pesan yang ia
sampaikan, sehingga tidak ada satu pihak yang mengendalikan bagaimana pesan itu
seharusnya, kecuali pemilik pesan sendiri (4) mempromosikan kesadaran
individual. Seringkali pesan-pesan yang tersaji diarahkan pada sebuah upaya
menumbuhkan kesadaran individu, dengan cara mencermati dinamika kehidupan yang
terjadi di masyarakat. Bentuknya beragam, mulai dari kritik, respon, mengulas
hingga curhat (5) berorientasi secara individual. Mengingat si pembuat pesan
adalah individu, dan tidak terikat secara kelembagaan, maka sebenarnya
pesan-pesan yang tersaji di new media lebih berorientasi individual.
[4] Dalam posisi asimetris ini sebenarnya hubungan atau interaksi
antara peneliti dan subjek penelitian tidak dilakukan secara offline atau
berjumpa layaknya penelitian lapangan lainnya, di mana peneliti dan subjek
saling memperkenalkan diri atau saling kenal, kemudian berkomunikasi untuk
saling memahami apa yang menjadi pokok pembicaraan dalam berkomunikasi. Posisi
asimetris menuntut peneliti lebih jeli dan “waspada” terhadap apa yang
disampaikan subjek penelitian, mengingat pola komunikasi face to face yang dilakukan
melalui computer mediated communication (CMC) sarat dengan bias atau keontitkan
data yang disampaikan.
[5] Sebagai metode penelitian yang menguak bagaimana individu /
kelompok budaya memahami kehidupan virtualnya, maka cirri utama yang tak bisa
dilepaskan adalah realitas virtualnya yang menjadi bagian dari objek penelitian
yang perlu dipahami seorang peneliti etnografi. Realitas virtual dalam konteks
ini tidak dapat dipahami sama dengan realitas yang ada dalam bingkai penelitian etnografi lapangan (positivistic).
Realitas virtual dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah representasi tata
ruang dari domain digital dan data
dimana pengguna terlibat satu sama lain, terutama berinteraksi dengan data dan
pesan. (Rob Shields, 2003). Dimulai dengan penggunaan obrolan langsung (real
time chatting) secara luas, rasa kedekatan yang mungkin terjadi karena kedua
pengguna melihat pesan masing-masing, ketika mengetikkan pesan. Karena itulah
realitas virtual oleh Sheridan (1992) memiliki tiga unsure kunci, yaitu (1)
informasi sensoris, (2) control hubungan sensor ke lingkungan (contoh,
kemampuan bergerak) (3) kemampuan untuk memodifikasi lingkungan yang diciptakan
komputer
Comments