Agama Sebagai Kebutuhan, Berdakwah di Era Globalisasi
Agama Sebagai Kebutuhan
I. Pengertian
Agama adalah salah satu istilah dalam bahasa
Indonesia yang berasal dari bahasa sanskerta. Istilah ini terambil dari dua
kata yaitu a
dan gam. A diartikan
kesini,
tidak dan Gam diartikan Gaan,
go, gehen, berjalan-jalan. jadi tidak pergi, tetap ditempat,
diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Sehingga
secara istilah Agama bisa disimpulkan sebagai Peraturan-peraturan Tradisional,
ajaran-ajaran, dan kumpulan hukum-hukum. Pendeknya, apasaja yang turun temurun
dan ditentukan oleh adat Istiadat.
Dalam Masyarakat Indonesia selain dari kata
agama, dikenal juga kata Din dalam bahasa arab, dan Religi
dalam Bahasa Eropa. Kata Dîn dalam bahasa Al-Quran,
seringkali dipersamakan dengan kata agama. Kata tersebut terdiri dari
tiga huruf hija’iyah
yaitu dâl, yâ’, dan nûn. Bagaimanapun cara anda
membacanya, maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang satu
lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Seperti dain yang berarti utang, atau
dîn yang
berarti balasan dan
kepatuhan, serta hubungan
antara manusia di tempat rendah dengan Allah Yang Maha Tinggi. Dalam
bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum.
Adapun kata religi berasal dari bahasa latin
menurut satu pendapat demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi
adalah relegre
yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga
sejarah dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada
Tuhan yang berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut
pendapat lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti mengikat
ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia dengan Tuhan.
Para pakar mendefinisikan agama dalam berbagai
macam pengertian sebut saja John Locke ( 1632-1704 M.), yang menyatakan bahwa
“Agama bersifat khusus, pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi yang
lain dariku, memberi aku petunjuk, jika jiwaku sendiri enggan menerima petunjuk
itu.”
Memang, sebagian pakar telah berusaha menggambarkannya.
“Agama adalah pengetahuan tentang Tuhan dan upaya
meneladani-Nya,” kata Seneque (2-66 M). “Agama adalah pengabdian kemanusiaan,”
kata Auguste Comte (1798-1857 M). “Agama adalah sekumpulan petunjuk
Ilahi yang disampaikan melalui nabi/rasul untuk menjadi pedoman hidup bagi
manusia dan mengantar penganutnya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat,”
demikian tulis Mahmud Syaltut ( 1960 M). “Beragama adalah
menjadikan semua kewajiban kita adalah perintah-perintah Tuhan yang suci dan
harus dilaksanakan,” begitu menurut Immanuel Kant (1724-1804 M).
Dari berbagai macam pengertian diatas maka,
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa agama adalah adalah hubungan yang dirasakan
antara jiwa manusia dan satu kekuatan yang Maha Dahsyat, dengan
sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna, dan mendorong jiwa itu untuk
mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pengabdian itu dilakukan baik karena
takut maupun karena berharap memperoleh kasih-Nya yang khusus, atau bisa juga
karena dorongan kagum dan cinta. Jika demikian, untuk bisa disebut “beragama”,
maka paling tidak ada tiga hal yang harus terpenuhi.
Pertama:
Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha
Agung, Yang mencipta dan mengatur alam raya. Kehadiran-Nya itu bersifat
sinambung, bukan saja pada saat seseorang berada di tempat suci, tetapi
setiap saat, baik ketika manusia sadar, maupun saat ia terlena atau tidur; saat
ia hidup di dunia ini, maupun setelah kematiannya.
Kedua:
Lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan tersebut,
suatu hubungan yang terpantul dalam ketaatan melaksanakan apa yang diyakini
sebagai perintah atau kehendak-Nya, serta menjauhi larangan-Nya.
Ketiga: Meyakini
bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan memberi balasan dan
ganjaran sempurna pada waktu yang ditentukan-Nya. Dengan kata lain, keyakinan
ini merupakan cerminan kepercayaan tentang adanya hari pembalasan, hari
kemudian.
II. Kebutuhan Manusia terhadap Agama
1. Agama Sebagai Fitrah
Dalam pandangan Islam,
keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat
pada diri manusia
dan terbawa sejak kelahirannya) Demikian dipahami dari
firman Allah SWT dalam surat Al-Rum (30): 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak
asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus,
dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:
“Dan (ingatlah) ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku
ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menyaksikan’” (QS Al-A’raf [7]: 172).
Ini berarti manusia tidak dapat
melepaskan diri dari agama. Pada hakikatnya pula, Manusia
tidak secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama.
Hal ini sejalan pula dalam Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap
anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nashrani atu Majusi.
Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya.
Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama
–boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya,
sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu .
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang
memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan
antropologis. Manusia Primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi
mengenal tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya tuhan sekalipun terbatas
daya khayalnya. Selanjutnya, keyakinan-keyakinan tersebut dikenal dengan
istilah Dinamisme, Animisme, dan Politeisme ini semua membuktikan bahwa manusia
mempunyai potensi bertuhan.
Lebih lanjut, Murthada Muthahhari menyebutkan
bahwa setidaknya ada 5 Hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama pada
manusia. Yaitu Agama produk rasa takut, Agama adalah produk kebodohan, agama
sebagai motivasi keterikatan manusia dan pendambaannya kepada keadilandan
keteraturan, dan Marxisme.
Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya
manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi
untuk beragama. Potensi yang beragama ini memerlukan pembiasaan, pengarahan,
pengambangan dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya. Dalam
keadaan demikian, Islam mengenal adanya nabi dan rasul yang diutus kepada umat
manusia untuk menginformasikan bahwa tuhan yang mereka cari itu adalah Allah,
yakni Tuhan yang menciptakan dan wajib disembah. Dengan demikian sebutan Allah
bagi tuhan bukanlah khayalan bagi manusia.
2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia.
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia
memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan
juga memiliki kekurangan. Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang
terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di alam ini, akan tetapi
mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan karena terbatasnya kemampuan
tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa manusia menjadi lemah karena di dalam
dirinya ada hawa nafsu yang lebih cenderung mengajak kepada kejahatan,
sesudah itu ada lagi iblis yang selalu berusaha menyesatkan manusia dari
kebenaran dan kebaikan. Manusia hanya dapat melawan musuh-musuh ini hanya
dengan senjata agama.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa
manusia itu telah diciptakan-nya dengan batas-batas tertentu dan dalam keadaan
lemah. Dalam QS. Al-Qomar : 49.
“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk
manusia) telah kami ciptakan dengan ukuran (batas) tertentu”
Dalam literatur Teologi Islam kita jumpai
pandangan kaum mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak mendahuluka pendapat
akal dalam memperkuat argumentasinya dari pada wahyu. Namun demikian mereka
sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang mengetahui
yang baik dan yang buruk tetapi tidak semua yang baik dan yang buruk dapat
diketahui oleh akal. Dalam hubungan inilah,kaum mu’tazilah mewajibkan
pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang
dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang
dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang
bahwa manusia memerlukan wahyu.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya
yaitu keluar dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali
melalui petunjuk wahyu dan agama.
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan
agama adalah karena manusia adalah karena manusia adalah dalam kehidupan
senantiasa menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar.
Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan bisikan syetan
sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang
dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia dari
Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang
dimanipestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang didalamnya mengandung
misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya,
berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat
dengan sengaja. Untuk itu upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia
adalah dengan mengejar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan
hidup demikian itu saat ini semakin meningkat sehingga upaya mengamankan
masyarakat menjadi penting.
Berdakwah di Era Globalisasi
I. Pengertian
Kalau kita sejenak melacak akar-akar pemikiran
dan kelembagaan gerakan Islam sejak dibawakan Nabi Muhammad Rasulullah kemudian
dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan diikuti dengan lahirnya Dinasti Umayah
dan Abasiyah dengan ujung kekhalifahan tahun 1927 di Turki, maka kita akan
mendapat gambaran yang lebih besar tentang upaya umat Islam untuk menegakkan
nilai-nilai yang diyakininya.
Dalam lampiran pertama kita bisa
menginterpretasikan sebuah kerangka perjalanan umat Islam bahwa gerakan-gerakan
pembaruan dan penyegaran Islam itu lahir karena krisis sosial, ekonomi atau
mungkin politik. Ketidakpuasan terhadap lingkungan yang berkembang baik dalam
penafsiran, penerapan atau aplikasi nilai Islam dalam kehidupan telah
melahirkan berbagai respon dari kalangan umat Islam. Respon itu ada yang
berbentu sebuah gerakan dakwah yang kemudian terlembagakan dalam bentukan unit
politik yang disebut negara.
Namun ada pula yang meniupkan kebangkitan Islam
untuk lepas dari kebodohan, kemiskinan dan penindasan penjajah dari Barat. Dari
tabel itu terlihat bahwa upaya umat Islam untuk bangkit tidak hanya muncul di
Indonesia. Gerakan itu sudah muncul di berbagai wilayah di muka bumi yang
dihuni umat Islam.
Dengan kata lain, gerakan Islam itu bukan
eksklusif pertama kali di Indonesia, bukan pula hanya di Indonesia dan umat di
tempat lain tidak pernah melakukan hal yang diinginkan seperti umat di Tanah
Air. Apalagi kalau rentang waktu dibentangkan sejak Nabi Muhammad membawa obor
yang jadi Rahmat Seluruh Alam, maka kita akan menyaksikan betapa gerakan dakwah
yang ada di Indonesia itu hanyalah satu titik dari rangkaian seluruh perjuangan
umat Islam untuk menyelamatkan umat manusia. Jika gerakan di Indonesia itu
diletakkan dalam kerangka waktu sejarah umat manusia sejak Nabi Adam, maka
tiadalah artinya. Titiknya bahkan tidak terlihat lagi karena Indonesia sebagai
sebuah negara nasional atau unit politik modern yang mengikuti pola Barat baru
lahir tahun 1945. Jika kita meneropong sebuah peta pemikiran yang
teraktualisasikan dalam lembaga-lembaga dakwah modern maka kita juga bisa
menyaksikan berbagai tipologi respon umat terhadap tantangan jaman.
Respon itu ada yang berbentuk kultural sosial
dan ada pula yang berbentuk struktural sebagai sebuah pendekatan untuk
menegakkan citra Islam di masyarakatnya. Kembali kita lihat bahwa sesungguhnya
respon terhadap lingkungan itu menjadi sebuah makna apabila pimpinan gerakan
dan elit di sekitarnya mampu menterjemahkan nilai-nilai normatif itu menjadi
sebuah petunjuk praktis untuk menyelesaikan persoalan hidup zamannya.
Persoalan hidup pada era globalisasi sekarang
telah melahirkan banyak tantangan bagi gerakan dakwah namun masih kurang
tersentuh karena sebagian belum menemukan format yang tepat dengan perubahan
lingkungan yang merupakan ayat-ayat yang seharusnya dipikirkan dengan akal budi
manusia.
II. Revitalisasi
Dari kenyataan sejarah itu timbul pertanyaan
apakah kita akan menafikan gerakan dakwah yang muncul di berbagai kawasan dan
di kurun waktu yang berbeda untuk menekankan pemilikan sejarah kita ? Atau kita
akan terjatuh dalam pengkultusan sejarah kurun waktu tertentu dan menghapus
sejarah perjuangan umat Islam lainnya ? Atau mungkin kita hanya berasyik masyuk
dengan persoalan sepele tetapi melupakan asas yang sebenarnya tentang dakwah
yang membawa rahmat bagi seluruh alam ?
Jika kita kaji secara lebih dalam dan dengan
semangat mencari kebenaran dan serta sadar akan keterbatasan dalam mencari
kebenaran itu, maka kita akan melihat sesungguhnya penerimaan terhadap
struktur, pemikiran dan sejarah sebuah lembaga dakwah seyogyanya ditempatkan
dalam kerangka gerakan dakwah dunia. Artinya keterlibatan dalam lembaga dakwah
itu bukan soal menerima setengah, sepenuhnya tau menolak setengah dan
sepenuhnya melainkan keterlibatan spiritual terhadap misi yang dibawa para Nabi
dan Rasul sejak Nabi Adam sampai Rasullah SAW. Mahkamah sejarah nanti akan
menyaksikan bahwa keterlibatan itu tidak didasari sebuah pandangan yang menolak
eksistensi dan kiprah gerakan dakwah yang muncul di mancanegara dalam kurun
waktu yang berbeda-beda.
Namun sebuah penghayatan yang kemudian
menimbulkan kekaguman, takjub dan tasbih kepada Sang Maha Pencipta bahwa
seluruh proses penegakan itu memang hasil perjuangan umat Islam dari generasi
ke generasi sampai akhir jaman.Aktualisasi dalam bentuk budaya organisasi atau
budaya bernegara itu hanyalah bagian dari manifestasi kebudayaan manusia, bukan
sesuatu yang abadi. Dari jaman ke jaman bentuk komunitas sosial, politik,
ekonomi dan budaya mengalami perubahan.
Oleh sebab itu kita akan melihat karya-karya
manusia – sehebat dan sebesar apapun, kecuali karya para Nabi dan Rasul – tetap
tidak lepas dari konteks sejarah. Karena pada dasarnya manusia itu tidak lepas
dari kesempurnaan perjalanan waktu, maka karya-karya dan monumen umat Islam itu
harus dimekarkan dan dikembangkan bukan untuk dibawa-bawa sampai lupa bahwa
alat organisasi yang berkonteks budaya dan sejarah itu bukan tujuan akhir, tapi
sasaran antara.Lalu bagaimana kita menempatkan sebuah pemikiran dan
aktualisasinya berupa organisasi ? Kembali kepada pesan Qur’ani untuk membawa
Rahmat Bagi Seluruh Alam dalam rangka memakmurkan bumi Ilahi ini maka
penghayatan terhadap organisasi itu tetap berada dalam pagar-pagar Islami.
Artinya tidak ada yang mutlak selain penafsiran
yang dikeluarkan oleh Allah SWT dan para Rasul Penafsiran manusia sesuci apapun
tetap terkurung waktu dan jaman sehingga berkembangnya pemikiran itu adalah
sesuatu yang wajar.Jika kita terjemahkan lebih jauh lagi, bermain
mutlak-mutlakan apalagi disertai dengan judgement yang kakuakan melahirkan
perpecahan dan friksi yang tanpa henti. Perbedaan tidak menjadi rahmat
melainkan malapetaka. Hal itu mungkin berakar dari penempatan akal dan
pemikirannya dalam menafsirkan nilai-nilai abadi itu secara harga mati.Yang
lebih esensial dari perdebatan itu sebenarnya apakah proses dialog itu
melahirkan sebuah karya dan aksi yang akan membawa kepada manifestasi
nilai-nilai Ilahiah dalam diri, kelompok, masyarakat lokal dan desa global.
Jika pencarian ijtihad itu berhenti dan nilai
mutlak ditetapkan sebagai final dari seluruh perjalanan umat, maka kita seperti
mengingkari Sunatullah dimana manusia silih berganti mengisi gerakan dakwah
itu.Komitmen terhadap misi dasar yang sudah dijalankan dari sejak awal oleh
para pendakwah mungkin akan memudahkan dalam mencairkan kebekuan pemikiran baik
terhadap sesuatu yang sudah diangkat sakral dalam sejarah atau respon terhadap
peristiwa kontemporer seperti friksi dalam lembaga dakwah atau persoalan sosial
dan ekonomi yang timbul akibat gaya berorganisasi dan gaya berdakwah.
Comments