Membangun Ketahanan Energi Nasional, Menciptakan Kedaulatan Energi di Negeri Sendiri


Paradigma ketahanan energi kini tidak hanya dipandang semata sebagai ketersediaan pasokan energi dalam jangka panjang. Namun merupakan kesatuan proses yang saling terkait dari sisi pasokan energi sampai permintaan. Ketahanan energi dapat direfleksikan dalam kehandalan sistem penyediaan energi di dalam negeri, akses terhadap sumber energi secara merata, serta efisiensi penggunaannya.
Sistem dan kebijakan penyediaan serta pemanfaatan energi di Indonesia kini masih tetap bergantung pada energi fosil, khususnya minyak bumi dan produk turunannya (seperti bensin, solar, dan minyak tanah). Sebagai jenis sumber energi yang menghasilkan emisi karbon sangat besar, penggunaan energi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global dan fenomena perubahan iklim global. Apalagi, kebutuhan energi di Indonesia sangat lah besar dan menunjukkan tren yang selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dan ekonomi.
Seiring dengan peningkatan kebutuhan dan menipisnya cadangan energi fosil dunia, energi telah menjadi komoditas yang mahal dan persaingan untuk mendapatkannya juga cukup tinggi. Hal ini tercermin dari fluktuasi harga minyak dunia yang terus meningkat, bahkan kini telah menembus angka 100 dolar AS per barel. Secara ekonomi impor minyak dan BBM yang semakin meningkat mempengaruhi kondisi keuangan negara. Mengingat, harganya di dalam negeri masih mendapat subsidi yang cukup besar dari pemerintah. Tekanan terhadap APBN dari porsi pengeluaran untuk subsidi energi yaitu BBM dan listrik juga sangat besar.
Kompleksitas ini pada akhirnya mempengaruhi kondisi ketahanan energi di Indonesia. Berbagai fenomena kelangkaan energi. Seperti antrean BBM dan pemadaman listrik yang seringkali terjadi pada sejumlah wilayah di Indonesia mengindikasikan bahwa pasokan energi sangat terbatas, sementara permintaan terhadap energi tersebut meningkat tanpa batas. Oleh sebab itu, pengelolaan energi tidak hanya bertumpu pada sisi penyediaan. Tapi juga penting untuk mengendalikan sisi permintaan melalui upaya konservasi energi.
Dalam memenuhi kebutuhan energi, berbagai upaya untuk meningkatkan pasokan energi telah dilakukan. Termasuk, pengembangan teknologi pemanfaatan sumber daya energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, mudah didapat, dan memiliki jumlah yang tidak terbatas maupun dapat diperbaharui. Diversifikasi penyediaan energi ini menjadi penting dilakukan untuk menjamin ketahanan energi nasional. Tentu saja perlu adanya prioritas dalam perencanaan pengembangannya. Dalam masa transisi menuju pemanfaatan energi alternatif secara optimal, upaya pengurangan ketergantungan terhadap minyak bumi perlu dilakukan.
Subsidi energi yang sangat besar di Indonesia merupakan salah satu indikasi kerentanan ketahanan energi dalam jangka panjang yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Dalam rangka mengurangi subsidi BBM sekaligus meningkatkan portofolio energi nasional, pemerintah mencanangkan program konversi minyak tanah ke gas yang dimulai sejak 2007 lalu. Bila ditinjau dari sisi ekonomi, program konversi ini mampu mengurangi beban subsidi minyak tanah yang jumlahnya mencapai Rp 50 triliun per tahun. Program konversi yang masih berjalan ini mampu menghemat anggaran hingga Rp30 triliun per tahun.
Bila dibandingkan dengan minyak tanah, elpiji lebih menguntungkan bagi masyarakat karena jauh lebih bersih, efisien dan praktis penggunaannya. Dan, dari sisi lingkungan, emisi karbon yang dihasilkan dari pemanfaatan energi ini lebih rendah dari minyak tanah. Dengan menyosialisasikan penggunaan elpiji di masyarakat, negara telah mengurangi ketergantungannya terhadap minyak dan meningkatkan portofolio energi nasional. Kehandalan pasokan energi bukan hanya sekedar memberikan energi ke masyarakat dalam jumlah cukup, namun juga kualitas energi tersebut perlu diperhatikan.
Pengawasan dan evaluasi program secara menyeluruh sangat diperlukan untuk menjamin keberlanjutan program ini, baik dari sisi ketersediaan gas maupun infrastruktur pendukungnya, dari tabung gas, kompor, dan regulator secara kualitas maupun kuantitas, termasuk harga jual gas, dan juga penerimaan masyarakat terhadap program ini. Unsur keamanan dan keselamatan pengguna menjadi salah satu bagian penting yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, sosialisasi program dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan elpiji secara bijak dan aman perlu dilakukan secara menyeluruh.

Kedaulatan Energi dan Kemakmuran Rakyat
Pengelolaan energi di tanah air sangat erat kaitannya dengan ketahanan energi nasional. Pengelolaan energi di bumi pertiwi ini juga sangat menentukan ketahanan ekonomi nasional. Namun, bahwa pengelolaan energi di tanah air sangat erat kaitannya dengan ‘pelanggaran’ amanat konstitusi UUD 1945. Keterkaitan yang pertama antara pengelolaan energi nasional dan amanat konstitusi UUD 1945 sebenarnya sudah cukup jelas tersirat dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3. Yaitu, bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak diamanatkan untuk dikuasai oleh negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga diamanatkan untuk dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemudian yang jadi pertanyaan adalah, apakah minyak dan gas bumi sudah untuk kemakmuran rakyat Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya kita memahami landasan konstitusional kita dimana Pasal 33 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut  :
(1)    Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
(2)    Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3)    Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4)    Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi  dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.
(5)    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Demikianlah bunyi lengkap Pasal 33 UUD 1945, dari beberapa ayat di atas  ayat 3 lebih menekankan yakni :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari ayat 3 di atas dapat kita tafsirkan:
1. Bahwa  Rakyat Indonesia memiliki Bumi dan air dan segala kekayaan alam yang  terkandung di  dalamnya yang masuk dalam wilayah Indonesia.
2. Bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya “dikuasai” oleh negara. Artinya tidak ada penguasa lain selain negara. Melalui Pemerintah Negara melakukan pengelolaan.
3. Bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang  terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Tidak ada maksud dan tujuan lain selain untuk kemakmuran rakyat. Negara menguasai segalanya dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat.  Bukan hanya untuk kepentingan penguasa,  bukan hanya untuk kepentingan Presiden, bukan hanya untuk para penyelenggara negara atau partai politik, bukan hanya untuk kepentingan  keuntungan pengusaha,  apalagi hanya untuk kepentingan asing.  Paling baik adalah semua kepentingan diakomodir sehingga menguntungkan segala pihak. Penguasa berhasil menjalankan tugasnya, Pengusaha dan investor mendapatkan keuntungan yang wajar, dan rakyat Indonesia menjadi makmur.
            Energi jelas merupakan salah satu cabang produksi yang paling penting dan berpengaruh secara politik ataupun ekonomi bagi negara dan rakyat Indonesia. Sumber energi juga jelas merupakan bagian dari kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia. Oleh karena itu, amanat konstitusi UUD 1945 terkait pengelolaan energi yang harus kita laksanakan bersama sebenarnya sudah sangat jelas, bahwa pengelolaan energi dan sumber energi harus dikuasai oleh negara Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Di sini, frase “dikuasai oleh negara” dan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” pada hakikatnya dapat dikatakan merupakan inti atau ruh dari amanat konstitusi UUD 1945 terkait pengelolaan energi tersebut. Pertanyaannya, apakah amanat itu sudah benar-benar dilaksanakan?
Terkait dengan amanat yang pertama, “dikuasai oleh negara”, tak terlalu sulit untuk menjawabnya. Fakta yang ada, khususnya untuk pengelolaan energi yang utama saat ini, yaitu minyak dan gas (migas) serta batu bara, menunjukkan bahwa pengelolaan energi dan sumber energi di tanah air sebenarnya secara de facto tidak dikuasai oleh negara Indonesia, tetapi oleh korporasi-korporasi besar, khususnya asing.
Dengan komposisi seperti itu, maka tak mengherankan jika sekitar 55% produksi gas kita juga dialokasikan untuk ekspor jangka panjang 20-30 tahun, sehingga menyisakan defisit gas di beberapa daerah di tanah air. Dari produksi minyak mentah yang tak sampai 1 juta barel per hari dan sudah tak cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik pun masih juga diekspor sekitar 30%-nya.
Hal itu terjadi karena karena memang tak ada instrumen yang riil untuk ‘memaksa’ kontraktor asing tersebut menjual produksinya ke dalam negeri. Akibatnya, kita ‘terpaksa’ mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal yang ujung-ujungnya membengkakkan biaya pengadaan dan subsidi BBM.
Konsekuensi yang harus kita tanggung bersama dari tidak dilaksanakannya amanat konstitusi yang pertama, yaitu penguasaaan sumber-sumber energi dan pengelolaan energi oleh negara, tidaklah sedikit. Bahkan dapat dikatakan amat sangat besar dan sulit diukur nilainya. Konsekuensi itu tak lain adalah tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Karena tak dikuasai oleh negara maka energi juga tak mampu memberi sebesar-besar kemakmuran untuk rakyat. Pada saat harga minyak di kisaran US$120 per barel saja, subsidi energi (BBM dan listrik) di APBN sudah mencapai Rp200 triliun lebih atau mendekati 25% dari total belanja negara. Sementara porsi-porsi besar APBN yang lain juga sudah teralokasikan untuk hal-hal yang cenderung tidak produktif dan tidak bersentuhan langsung dengan peningkatan kemakmuran rakyat seperti pengeluaran rutin yang mencapai 25% dari total belanja, pembayaran bunga utang yang berkisar 15% dari total belanja, dan pembayaran cicilan pokok utang yang mencapai 10% dari total belanja. Dengan komposisi pengelolaan belanja APBN seperti itu, maka praktis nyaris tak ada lagi yang tersisa untuk peningkatan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang sebenarnya seperti untuk pendidikan, penyediaan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Jadi, jelas, ada benang merah yang sangat tegas antara pengelolaan energi di tanah air dan pelanggaran amanat konstitusi UUD 1945. Bahwa pelanggaran amanat konstitusi secara de facto menyangkut pengelolaan dan penguasaan energi dan sumber-sumber energi oleh negara, menjadi pemicu atau penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran amanat konstitusi yang lain secara de facto pula. Tidak terpenuhinya anggaran pendidikan dan tidak tersedianya pekerjaan yang layak dan cukup bagi rakyat adalah beberapa di antaranya. Maka, mengembalikan kembali penguasaan sumber energi dan pengelolaan energi kepada negara dan rakyat Indonesia dalam arti yang sebenar-benarnya tampaknya sungguh merupakan sebuah agenda mendesak bagi bangsa kita dan tak bisa ditunda-tunda lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki