Masalah Pada Anak Autis
Wing ( 1974) menuliskan 2 kelompok besar yang menjadi masalah pada anak autis yaitu:
1. Masalah dalam
memahami lingkungan ( problem in understanding the world)
a.
Respon terhadap suara yang tidak biasa (unussualy sound). Anak
autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan suara yang sangat
keras dan tidak tergerak sekalipun ada yang menjatuhkan benda disampingnya.
Anak autis dapat juga tertarik pada beberapa suara benda seperti suara bel,
tetapi ada anak autis yang terganggu oleh suara-suara tertentu, sehingga ia
akan menutup telinganya.
b.
Sulit dalam memahami
pembicaraan (difficulties in understanding speech). Anak autis tampak tidak
menyadari bahwa pembicaran memiliki makna, tidak dapat mengikuti instruksi verbal, mendengar
peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi (scolded). Menjelang usia 5
tahun banyak auitis yang mengalami
keterbatasan dalam memahami pembicaraan.
c.
Kesulitan ketika
bercakap-cakap (difficulties when talking). Beberapa anak autis tidak pernah
berbicara, beberapa anak autis belajar untuk mengatakan sedikit kata-kata, biasanya
mereka mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain, mereka mengalami
kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat menggunakan kata – kata
secara fleksibel atau mengungkapkan ide.
d.
Lemah dalam pengucapan dan
control suara (poor pronunciation and voice control). Beberapa anak autis
memiliki kesulitan dalam membedakan suara tertentu yang mereka dengar. Mereka
kebingungan dengan kat-kata yag hamper sam,
memiliki kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka
biasanya mengalami kesulitan dalam mengontrol kekerasan ( loudness) suara.
e.
Masalah dalam memahami benda yang dilihat ( problem in
understanding things that are seen). Beberapa anak autis sangat sensitive terhadap
cahaya yang sangat terang, seperti cahaya lampu kamera ( blitz), anak autis
mengenali orang atau benda dengan gambara mereka yang umum tanpa melihat detil
yang tampak. Masalah dalam pemahaman gerak isyarat ( problem in understanding
gesture). Anak autis memiliki masalah dengan menggunakan bahasa komunikasi,
seperti gerak isarat, gerakan tubuh , ekspresi wajah.
f.
Indra peraba, perasa dan pembau ( the senses of touch, taste and
smell). Anak-anak auti mnjelajahi lingkungannya dengan indra peraba, perasa dan pembau mereka.
Beberapa anak autis tidak sensitive terhadap dingin dan sakit.
g.
Gerakan tubuh yang tidak
biasa (unusually body movement). Ada gerakan-gerakan anak autis yang tidak
biasa dilakukan oleh anak-anak normal seperti ,mengepak-ngepakkkan tangannya,
meloncat-loncat, dan menyeringai.
h.
Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled
movements). Beberapa anak autis ketika berjalan Nampak anggun, mampu memanjat
dan seimbang seperti kucing, namun yang lainnya lebih kaku dan berkjalan seperti
memiliki beberapa kesulitan dalam keseimbangan dbiasanya mereka tidak menikmati
memanjat. Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan dan berlari atau
sebaliknya.
2. Masalah gangguan perilaku dan emosi ( difficult behaviour and
emotional problems).
a.
Sikap menyendiri dan menarik diri (aloofness and withdrawal).
Banyak anak autis yang berprilaku seolah-olah orang lain tidak ada. Anak autis
tidak merespon ketika dipanggil atau seperti tidak mendengar ketika ada orang yang
berbicara padanya, ekspresi mukanya kosong.
b.
Menentang perubahan (resistance to change). Banyak anak autis yang
menuntu pengulangan rtinitas yang sama. Beberapa anak autis memiliki rutinitas mereka sendiri, seperti
mengetuk-ngetuk kursi sebelum duduk, atau menempatkan objek dalam garis yang
panjang.
c.
Ketakutan khusus (special fears). Anak-anak autis tidak menyadari
bahaya yang sebenarnya, mungkin karena mereka tidak memahami kemungkinan
konsekuensinya.
d.
Perilaku yang memalukan
secara social (socially embarrassing
behavior). Pemahaman anak-anak autis terhadap kata-kata terbatas dan secara
umum tidak matang, mereka sering berperilaku dalam cara yang kurang dapat
diterima secara social. Anak-anak autis tidak malu untuk berteriak ditempat
umum atau berteriak dengan keras di sepanjang jalan.
e.
Ketidakmampuan untuk bermain ( inability to play). Banyak anak
bermain dengan air , pasir atau lumpur
selama berjam-jam. Mereka tidak dapatbermain pura-pura. Anak-anak autis krang
dalam bahasa dan imajinasi, mereka tidak dapat bersama-sama dalam permainan
dengan anak-anak yang lain. Mencermati perkembangan teknologi dan komunikasi
yang makin cepat membutuhkan gerak yang serba instant, sebab memiliki
efek yang mempengaruhi gaya hidup manusia yang gampang, praktis, ekonomis dan
sebagainya. Kadang kita lupa bahwa tidak semua yang praktis dan ekonomis itu
baik untuk kesehatan tubuh manusia dan tanpa disadari perkembangan penyakit
juga semakin banyak dan salah satunya adalah penyakit autism dimana
penyakit yang menyebabkan anak memiliki perilaku tidak peduli dengan lingkungan
sosialnya sehingga dapat mempengaruhi perkembangan dalam komunikasinya.
Anak autis termasuk termasuk salah satu anak
yang mengalami gangguan perkembangan kompleks yang berdampak pada perkembangan
social, komunikasi perilaku dan emosi yang tidak berkembang secara optimal.
Akibat gangguan perkembangan ini anak
menjadi kurang memperhatikan lingkungannya dan asyik dengan dunianya
sendiri gangguan tersebut bersumber pada gangguan otak bagian interaksi dan
komunikasi sehingga para penyandang autism mengalami kesulitan pada komunikasi
verbal dan non verbal, interaksi social, aktivitas bermain. Kesulitan ini
menyebabkan anak kesulitan melakikan interaksi dengan orang lain dan dunia
luar.
Kondisi anak autis tidak hanya mempengaruhi
kehidupan anak itu sendiri namun juga berdampak pada orang tua dan anggota
keluarganya serta lingkungan social dimana anak itu berada. Permasalahan yang
utama yaitu ketidak mampuan anak untuk memahami informasi dan komunikasi.
Komunikasi adalah kemampuan untuk membiarkan
orang lain mengetahui apa yang diinginkan individu, menjelaskan tentang suatu
kejadian kepada orang lain, untuk menggambarkan tindakan dan untuk mengakui
keberadaan atau kehadiran orang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal
dan non verbal. Komunikasi dapat dijalin melalui gerakan tubuh, melalui isyarat
atau dengan menunjukkan gambar atau kata-kata. Secara tidak langsung komunikasi
menyatakan suatu situasi social anatara
dua individu atau lebih.Dalam komunikasi orang yang membawa pesan disebut
pemrakarsa (initiator) sedangkan orang yang mendengarkan pesan disebut penerima
pesan. Pesan bergantian antara pemrakarsa dan penerima pesan. Untuk emenuhi
kemampuan (competent) dalam keterampilan pragmatis anak harus mengetahui, memahami
dan mengerti kedua eran tersebut, sebagai pemrakarsa dan sebagai penerima pesan
Seorang ahli bedah otak bernama
Penfield (Harris, 1987:21) berkesimpulan :
“Orang merasakan lagi emosi yang
pada mulanya dihasilkan oleh keadaan dalam dirinya. Dan dia sadar akan
interpretasi yang sama, benar atau salah, yang dia berikan terhadap pengalaman
itu pada saat-saat pertama. Jadi, ingatan yang timbul bukanlah reproduksi
fotografis atau fonografis adegan atau peristiwa masa lampau. Tepatnya, ingatan
itu adalah reproduksi dari apa yang dilihat, didengar, dirasa dan dimengerti”
Menurut Stewart L.
Pengertian
artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh
komunikator (Rakhmat, 2008:13). Kegagalan menerima isi pesan secara
cermat disebut kegagalan komunikasi primer, dalam hal ini terutama anak autis
mengalamikegagalan menerima isi pesan. Komunikasi juga dimaksudkan untuk
menimbulkan kesenangan dan kehangatan hubungan, namun pada kasus anak autis,
kesenangan terhadap benda maupun manusia ditunjukkan dengan emosi yang mendalam
Faisal Yatim dalam buku
mengenai terapi autis (2007:24). Kualitas komunikasi pada anak autis
menjadi sangat buruk, mereka tidak mampu menganalisis dan memahami sistem
komunikasi manusia. Kemampuan bicara mengalami keterlambatan, bahasa yang tidak
lazim selalu diulang-ulang, dan tidak nampak usaha dari si anak untuk
berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Mereka juga tidak mampu berbagi rasa
terhadap perasaan orang sekitar dalam hal hubungan antar teman sepergaulan
serta perilaku berkomunikasi.
(Wilson, 1987 Kathleen Ann Quill,1995).Komunikasi lebih dari pada kemampuan untuk bicara
atau kemampuan untuk merangkai kata-kata dalam urutan yang tepat
Untuk peran pemrakarsa dalam berkomunikasi, anak autistic mengalami
kesulitan dalam memulai percakapan atau pembicaraan ( Feidstein,
Konstantereas, Oxman , & Webster, 1982 dalam Kathleen Ann Quill, 1995).
Siller dan Sigman (2002) menemukan bahwa perkembangan kemampuan
komunikasi dan interaksi anak dengan gangguan autism dapat diprediksikan dari
seberapa intens keterlibatan orang tua atau pengasuh terhadap interaksi dan
hubungan dengan aktivitas anak.
Menurut Hovland dalam Blake
Haroldsen komunikasi antar
pribadi sebagai Interpersonal communication as interacting situation in
which an individual (the comunicator) transmit stimuli (usually
verbal symbols) to modify the behavior of other individuals
(communicates) in face to face setting (Haroldsen, 1979 : 26).
Hovland berpendapat bahwa komunikasi antar pribadi
sebagai suatu situasi interaksi, dimana individu (komunikator) mengirim
stimulus (perangsang) berupa simbol verbal untuk mengubah perilaku
individu-individu lain dalam situasi tatap muka.
Menurut Barlund (Sendjaja, 2002) komunikasi antar pribadi memiliki
lima
kriteria :
1. Dalam komunikasi antar pribadi ada dua orang atau
lebih yang menganggap kehadiran satu sama lainnya dalam kedekatan fisik;
2. Komunikasi antar pribadi mengandung saling
ketergantungan berkomunikasi;
3. Komunikasi antar pribadi mengandung suatu pertukaran
pesan;
4. Dasar interaksinya tatap muka, sehingga semua indera
dimungkinkan untuk digunakan’
5. Komunikasi antar pribadi memiliki cakupan yang luas,
dengan beberapa aturan yang
mengatur jumlah, bentuk, atau isi pesan.
Wood (1983 : 6), bahwa “Skill interpersonal communication is
directly linked to the quality of our lives, Interpersonal communication help
us seek our personal goals, the prosess of intrapersonal communication is the
basis of our relationships”.
Kemampuan komunikasi antar pribadi itu memberi pengaruh langsung
terhadap kualitas
hidup seseorang, dan membantu dalam bentuk suatu kesamaan dan
menyesuaikan dengan yang
lain. Kemampuan komunikasi antar pribadi memungkinkan seorang
mengatur perilaku social dalam usaha pencapaian dasar dari hubunganhubungan
yang dilakukan seseorang
Devito menguraikan ciri karakteristik dari komunikasi antar pribadi
sebagai berikut :
1. Adanya pesan yang disampaikan oleh sipenerima pesan termasuk di
dalamnya pesan verbal dan non verbal;
2. Dalam prosesnya melibatkan sekelompok orang;
3. Terjadi penerimaan pesan oleh pihak lain;
4. Adanya efek, apabila terjadi keterlibatan komunikasi antar
pribadi, tentu akan terjadi beberapa efek. Apakah efek itu berupa persetujuan
total atau ketidaksetujuan total. Umpan balik adalah pesan yang dikirim kembali
oleh si penerima, baik secara sengaja maupun tidak.
Melancholy
(part III)
·
kemampuan berkomunikasi anak autis mengalami keterlambatan atau
malah tidak bisa bicara,
·
lebih suka menyendiri,
·
bersosialisasi seperti tersenyum dan mentap mata lawan bicara,
·
sensitive terhadap cahaya, penciuman,rasa, pendengaran dan sentuhan
·
tidak mampu berimajinasi dalam bermain,tidak bisa menirukan tingkah
laku temannya
·
bisa menjadi pendian atau malah bisa menjadi sangat hiperaktif
·
mencurahkan pada suatu benda, aktivitas, atau orang
·
tidak dapat menunjukkan akal sehatnya
Berbagai terapi mungkin telah diterapkan
diberbagai pusat terapi yang berbeda, namun yang banyak digunakan dan dianggap
sebagai dasar dari pembentukan perilaku dan kontak sosial adalah terapi
perilaku. Terapi ini memang nampak cukup memberikan hasil yang dapat dilihat
dalam waktu relatif singkat, sesuai dengan tingkatan gangguan autism yang
dimilikinya. Sayangnya metode yang pertama kali dipopulerkan oleh Loovas sebagai
metode Applied Behavior Analysis yang menekankan konsep dan teori
belajar ini belum diterapkan secara tepat. Ketidaktepatan dari penerapan metode
ABA ini adalah munculnya beberapa tindakan dan emosi terapis yang tidak
diharapkan, sehingga hal ini akan menimbulkan efek samping yang kurang
menguntungkan, baik bagi orang tua maupun bagi anak. Tindakan ini akan
memberikan efek yang lebih menyulitkan, apabila orang tua di rumah juga
mengikuti pola dan model terapi yang yang diterima anak di pusat terapinya. Perilaku
dan afek yang dianggap kurang diharapkan antara lain, adalah perilaku agresi
seperti memukul, mencubit, menginjak kaki; sedangkan afek yang menyertainya
adalah suara dengan nada tinggi, mata melotot, wajah cemberut yang menunjukkan
emosi negatif. Sedangkan afek yang menyertainya adalah suara dengan nada
tinggi, mata melotot, wajah cemberut yang menunjukkan emosi negatif. Individu
dengan autisme dapat menampilkan ditandai penurunan pemahaman emosi termasuk
ekspresi wajah (Braverman,Fein, Lucci, & Waterhouse, 1989; Celani,
Battacchi,& Arcidiacono, 1999; Hobson, 1986; Klin, Sparrow, de Bildt,
Cicchetti, Cohen, &Volkmar, 1999).
Orang tua yang mungkin belum banyak tahu efek
negatif dari tindakan tersebut juga ikut-ikutan menerapkan di rumah, apalagi bila
dianggap cara tersebut memiliki hasil yang dianggap efektif, karena anak akan
mematuhi perintah tanpa memperhatikan emosi anak serta efek habituasinya. Orang
tua baru akan merasa kesulitan, apabila anak tidak mau mematuhi perintah dan
ajarannya bila tidak diperlakukan secara keras, bahkan membutuhkan tindakan
yang lebih keras dari yang pernah diterimanya.
Pengalaman ini menuntut banyak orang untuk
memikirkan terapi alternatif yang mungkin dapat diberikan untuk membantu
meningkatkan perilaku positif dan mengurangi simtom-simtom negatif dari
anak-anak dengan gangguan autism. Sebenarnya banyak alternatif terapi yang
dikenal oleh para ahli maupun pemerhati, namun sayangnya belum banyak yang
dapat diterapkan secara lengkap, hal ini disebabkan oleh keterbatasan fasilitas
yang ada di pusat-pusat terapi, sehingga belum ada data dan fakta yang
menunjukkan bukti-bukti efektivitas dari penerapan terapi tersebut bagi
perbaikan kemampuan anak autism.
Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka penelitian
ini bertujuan untuk menerapkan terapi dengan model “bermain sosial” untuk
membantu meningkatkan perilaku positif anak autism, serta ingin mengetahui
seberapa jauh sumbangan terapi tersebut pada tujuan yang ingin dicapai. Terapi
tersebut dipilih sebagai terapi alternatif, mengingat terapi tersebut biayanya
murah, dapat dilakukan dimana saja, tidak harus dikelas, dan oleh siapa saja.
Hal ini memungkinkan setiap orang tua atau keluarga yang memiliki anak dengan
gangguan autism dapat memberikan terapi tersebut sepanjang waktu.
Prawitosari (2002) mengatakan bahwa individu yang dikatakan sehat
secara biopsikososiokultural adalah individu yang :
·
Bermain,
·
sekolah,
·
Bekerja,
·
Bercinta,
·
Beribadah.
Kegiatan bermain berperan untuk mengembangkan
kemapuan fisik, intelektual, sosial dan emosio
Smith (1971)
menjelaskan bahwa bermain bagi anak merupakan kegiatan yang terdiri dari :
meniru, eksplorasi, menguji dan membangun
Hughes ( 1995). Berdasarkan pengertian ini manfaat bermain
bagi anak adalah sebagai sarana untuk menyalurkan ketegangan yang disebabkan
oleh pembatasan lingkungan terhadap perilaku mereka; penyaluran keinginan dan
kebutuhan yang tidak dapat mereka miliki.
Sementara Landreth (2001)
mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis
antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang
menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu
hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi
dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.
Menurut Hughes (1995) beberapa karakteristik kegiatan bermain
berdasarkan sikap individu adalah :
1. Bermain dilakukan karena kesukarelaan, bukan
paksaan
2. Bermain merupakan kegiatan untuk dinikmati.
3. Bermain merupakan kegiatan yang
menyenangkan.
4. Aktivitas dalam bermain lebih penting dari
pada tujuan
5. Bermain harus aktif secara fisik dan mental
6. Bermain itu bebas, tidak harus selaras
dengan kenyataan.
7. Dalam bermain, individu bertingkah laku
secara spontan, sesuai dengan yang diinginkan saat itu.
8.Makna dan kesenangan bermain sepenuhnya
ditentukan oleh pelaku. Berdasarkan sifat kegiatannya, maka bermain dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
a. bermain aktif
b. bermain pasif
Bermain aktif adalah bermain yang kegembirannya
timbul dari anak itu sendiri, meliputi kegiatan bermain bebas, spontan, bermain
drama, melamun, bermain konstruktif, bermain musik, dan berolahraga. Bermain
aktif berfungsi untuk memuaskan kebutuhan anak, diantaranya adalah kebutuhan
untuk mengadakan sosialisasi, mandiri dalam bekerja sama dengan orang lain,
membutuhkan rasa percaya diri, serta mengambangkan daya imajinasi. Bermain
pasif adalah bermain yang kegembiraannya diperoleh melalui kegiatan orang lain,
misalnya: membaca buku, menonton, mendengarkan radio, dan dongeng. Bermain
pasif berfungsi untuk sumber pengembangan kemampuan berkomunikasi, sumber
pengetahuan dan juga sumber identifikasi diri terhadap tokoh teladan dari segi
kualitas, kepemimpinan, budi pekerti dan keberhasilan dalam bidang lain
Beberapa stimulus yang mengundang
respon bagi anak-anak autistik dapat berupa benda maupun peristiwa. Namun,
adanya gangguan pemrosesan pada anak autistik dapat mengakibatkan reaksi emosional
yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan ketakutan.
Dalam beberapa penelitian mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa
stimulus yang menimbulkan respon emosi adalah benda-benda yang ada di dalam
kehidupan mereka sehari-hari (Greenspan dan Wieder, 2006).
Sebagian besar teknik terapi
bermain yang dilaporkan dalam literatur menggunakan basis pendekatan
psikodinamika atau sudut pandang analitis. Hal ini sangat menarik karena
pendekatan ini secara tradisional dianggap membutuhkan komunikasi verbal yang
tinggi, sementara populasi autistik tidak dapat berkomunikasi secara verbal.
Namun terdapat juga beberapa hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan
terapi bermain pada penyandang autisme dengan berdasar pada pendekatan
perilakuan (Landreth, 2001). Salah satu contoh penerapan terapi bermain
yang menggunakan pendekatan perilakuan adalah The ETHOS Play Session dari Bryna
Siegel (Schaefer,
Gitlin, & Sandgrund, 1991).
Bromfield mencoba
menirukan perilaku obsessif anak untuk mencium/membaui semua objek yang ditemui
menggunakan suatu boneka yang juga mencium-cium benda. Apa yang dilakukan
Bromfield dan yang dikatakannya ternyata dapat menarik perhatian anak tersebut.
Bromfield berhasil menjalin komunikasi lanjutan dengan anak tersebut
menggunakan alat-alat bermain lain seperti boneka, catatan-catatan kecil, dan
telepon mainan. Setelah proses terapi yang berjalan 3 tahun, si anak dapat
berkomunikasi secara lebih sering dan langsung
Lower & Lanyado juga menerapkan terapi bermain
yang menggunakan pemaknaan sebagai teknik utama. Mereka berusaha masuk ke dunia
anak dengan memaknai bahasa tubuh dan tanda-tanda dari anak, seperti gerakan
menunjuk. Tidak ada penjelasan detil tentang teknik mereka namun dikatakan
bahwa mereka kurang berhasil dengan teknik ini.
Wolfberg & Schuler menyarankan penggunaan terapi
bermain kelompok bagi anak-anak autistik dan menekankan pentingnya integrasi
kelompok yang lebih banyak memasukkan anak-anak dengan kemampuan sosial yan
tinggi. Jadi mereka memasangkan anak-anak autistik dengan anak-anak normal dan
secara hati-hati memilih alat bermain dan jenis permainan yang dapat
memfasilitasi proses bermain dan interaksi di antara mereka. Fasilitator dewasa
hanya berperan sebagai pendukung dan mendorong terjadinya proses interaksi yang
tepat.
Mundschenk & Sasso juga menggunakan terapi bermain
kelompok ini. Mereka melatih anak-anak non-autistik untuk berinteraksi dengan
anak-anak autistik dalam kelompok.
Voyat mendeskripsikan pendekatan multi
disiplin dalam penggunaan terapi bermain bagi anak autisme, yaitu dengan
menggabungkan terapi bermain dengan pendidikan khusus dan melatih ketrampilan
mengurus diri sendiri
Kegiatan bermain berperan untuk mengembangkan
kemapuan fisik, intelektual, sosial dan emosional
Gheart & Leovitt, (1985). Bermain juga memegang peranan untuk
menmgembangkan kemampuan intelektual, khususnya merangsang perkembangan
kognitif, membangun struktur kognitif, belajar memecahkan masalah, rasa
kompetisi dan percaya diri, menetralisir
emosi negatif, menyelesaikan konflik, menyalurkan agresivitas secara aman dan
mengembangkan konsep diri secara realistic. Secara fisik, bermain juga
mematangkan kecakapan motorik kasar dan halus, keterampilan jari jemari, serta
koordinasi mata dan tangan. Kepekaan pengindraan juga berkembang, menguasai
keterampilan motorik dan menyalurkan energi fisik. Pengembangan imajinasi dan
kreativitas anak juga berkembang melalui aktivitas bermain
Kasari (2002)
menemukan bahwa intervensi atau terapi yang dibutuhkan untuk anak dengan
gangguan autism dimasa mendatang adalah intervensi yang comprehensif yang dapat
memberikan situasi “ joint attention “ dan “symbolic play”. Hal
ini bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada anak bahwa anak harus memahami
apa yang ada dibalik suatu tindakan. Sehingga dapat diharapkan ia dapat
memahami dirinya dan memanajemeni dirinya. Bermain simbolik ini selain dapat
menumbuhkembangkan kemampuan anak dalam memahami suatu situasi, anak juga dapat
mengembangkan pemahaman terhadap perannya dalam lingkungan. Perkembangan empati
juga akan mengikutinya pelan-pelan. Terapi bermain sosial ini juga dapat
mempengaruhi perkembangan nilai-nilai dan relasi sosial didalam keluarga,
sehingga diharapkan juga akan dapat menumbuhkan emosi positif bagi anggota
keluarga lain. Dengan demikian maka terapi ini akan semakin dapat berjalan
secara intensif dan alamiah. Oleh karena itu tingkat keberhasilannya juga akan
semakin tinggi.
Bermain adalah
bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi
perkembangan ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi,
ketrampilan sosial, ketrampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan
kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001).
Erikson (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan bermain sebagai
suatu situasi dimana ego dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan
menciptakan situasi model dan juga dapat menguasai realitas melalui percobaan
dan perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan
permainan sebagai ‘pembiaran pergi’, kebebasan untuk mengalami, membenamkan
seseorang secara total dalam momen tersebut sehingga tidak ada lagi beda antara
diri dan objek dan diri sendiri dan orang lain. Energi, hidup, spirit, kejutan,
peleburan, kesadaran, pembaharuan, semuanya adalah kualitas dalam permainan.
Erikson juga mulai
mempublikasikan karyanya tentang anak dan remaja. Mendasarkan pada teori
perkembangan psikososialnya, Erikson memandang bermain sebagai sebuah ekspresi
kombinasi beberapa kekuatan, yaitu: perkembangan individual, dinamika keluarga,
dan harapan masyarakat
Melanie Klein dan Anna Freud
(Schaefer, et al., 1991), mencoba untuk
menggunakan permainan sebagai media utnuk terapi.
Margaret
Lowenfeld,
yang memperkenalkan apa yang dia sebut “Teknik Miniatur Dunia”. Teknik ini
merupakan sistem pertama dalam penggunaan mainan dan objek dalam bentuk mini
(miniatur) secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan
kognitif juga memberi perhatian pada perilaku bermain. Menurutnya, perubahan
perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual, sama seperti peningkatan
kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu untuk
mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Menurut Axline, dalam situasi bermain anak-anak
menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas.
Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas
dan tanpa usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri
mereka dan orang lain dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa
ketika bermain mereka dapat melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri,
menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Comments