Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
2.1 Pengertian Badan Penyelesai
Sengketa
Pada perbankan syariah,
apabila terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua
belah pihak tersebut tidak menyelesaikan perselisihan tersebut di peradilan
negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum matei syariah.
Sehingga lembaga yang mengatur materi dan atau berdasarkan prinsip syariah
adalah Badan Penyelesai Sengketa. Di Indonesia lembaga tersebut dikenal dengen
nama Badan Abitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama
oleh kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.[1]
2.2 BASYARNAS (Badan Syariah Nasional)
Badan Arbitrase syariah Nasional adalah perubahan nama dari Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia(BAMUI) Indonesia yang berdiri pada tanggal 21
Oktober 1993 / 5 jumadil Awal 1414 H yang diprakasai oleh majlis Ulama
Indonesia. Dengan adanya
undang-undang perbankan.no 7 tahun 1992 membuat era baru dalam sejarah
perkembangan hukum ekonomi
Indonesia. Undang-undang tersebut memeperkenalkan sistem bagi hasil yang tidak
dikenal dalam undang-undang tentang pokok perbankan no.14 tahun 1967. Dengan
adanya system bagi hasil itu maka perbankan dapat melepaskan diri
dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “ bunga”. Pada
tanggal 22 April 1992 Dewan Pimpinan MUI mengundang rapat para pakar atau
praktisi hukum atau cendekiawan muslim termasuk dari kalangan Perguruan Tinggi
guna bertukar pikiran perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam. Setelah beberapa
kali melekukan rapat,
didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat ndonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober tahun 1993 M. Didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan dalam akte notaris Yudo Paripurno,SH. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Dalam rekomendasi RAKERNAS MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hukum arbitase syari’ah satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan MUI dengan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktobe 2003, maka MUI dengan Sk-nya no.Kep-09/MUI/XII/2003, pada tanggal 24 Desember 1993 menetapkan:[2]
didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat ndonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober tahun 1993 M. Didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan dalam akte notaris Yudo Paripurno,SH. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Dalam rekomendasi RAKERNAS MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hukum arbitase syari’ah satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan MUI dengan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktobe 2003, maka MUI dengan Sk-nya no.Kep-09/MUI/XII/2003, pada tanggal 24 Desember 1993 menetapkan:[2]
1. Mengubah nama
Badan Arbitras Mu’amalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
2. Mengubah bentuk
badan BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan merupakan
perangkat organisasi.
3. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, BASYARNAS bersifat
otonom dan independen.
4. Mengangkat
pengurus Basyarnas
Dengan lahirnya sistem bagi hasil ini terbuka peluang lahirnya bank muamalat Indonesia yang dalam operasionalnya menggunakan hukum islam. Dari peristiwa di atas merupakan tonggak sejarah yang sangat penting dalam kerhidupan umat islam khususnya perkembangan hukum nasional umumnya. Selama ini peranan hukum islam terbatas hanya pada bidang keluarga saja tetapi pada tahun 1992 peranan hukum islam telah memasuki dunia hukum ekonomi, diterapkannya hukum islam membawa sejarah penting lahirnya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Lahirnya Badan Arbitrase ini sangat tepat karena melalui badan arbitrase tersebut sangketa-sangketa bisnis yang operasionalnya hukum islam dapat diselesaikan menggunakan hukum islam juga.
2.2.1
Tujuan Berdirinya dan Ruamh Lingkup BASYARNAS
Adapun tujuan didirinya dan
ruang lingkup Basyarnas (BAMUI) berdasarkan isi dari pasal 4 Anggaran Dasar
yayasan arbitrase Muamalah Indonesia adalah sebagai berikut :[3]
1.
Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sangketa-sangketa
muamalah / perdata yang timbul dalam perdagangan , industry, keuangan, jasa dan
lain-lain.
2.
Menerima permintaan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa dalam suatu
perjanjian,ataun tampa adanya suatu sangketa untuk memberikan sutu pendapat
yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
3.
Adanya BASYARNAS sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk
menyelesaikan kemungkianan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank
syari’ah dengan para nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada khususunya
dan antara sesama umat islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang
menjadikan syari’ah islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan suatu
kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata.
4.
Ruang lingkup Basyarnas adalah semua lembaga keuangan, industry, jasa dan
lain-lain yang dalam operasinya menggunakan system syariah.
Ada beberapa alasan para
pihak memeilih menyelesaikan sangketa melalui arbitrase dan tidak menggunakan
badan peradilan umum, adalah sebagai berikut :[4]
1.
Kepercayaan dan keamanan Arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat
luas bagi para pedagang,pengusaha dan investor, dan juga memberikan rasa aman
terhadap keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan system hokum yang
berbeda.
2.
Keahlian Arbiter, para pihak yang bersangketa mempunyai kepercayaan yang
besar terhadap keahlian arbiter dalam menyelesaikan sangketa mereka karena para
arbiter adalah orang yang ahli dalam fiqh, hukum ekonomi dll.
3.
Cepat dan hemat biaya dalam pengambilan keputusannya pada basayrnas
relative lebih cepat dibandingkan pada pengadilan umum dan biaya lebih hemat.
4.
Bersifat rahasia, Arbitrase bersifat tertutup karena berlangsunng di
lingkungan pribadi dan tidak umum.
5.
Bersifat non preseden, dalam system hukum prinsip preseden mempunyai
pengaruh penting.Dalam keputusan arbitrase umumnya tidak memiliki atau sifat
preseden. Kerena untuk perkara yang sama bisa saja dihasilkan keputusan yang
berbeda.
6.
Kepekaan arbiter, yang membedakan antara Basyarnas dan pengadilan umum
lainnya adalah kepekaan atau kearifan dari arbiter terhadap perangkat peraturan
yang kan diterapkan arbiter terhadap perkara-perkara yang ditangani.
7.
Pelaksanaan keputusan, keputusan arbitrase mungkin lebih mudah
dilaksanakan daripada keputusan pengadailan hal ini disebabkan kerena keputusan
arbitrase bersifat final.
2.2.2
Contoh Perkara yang dapat Diselesaikan oleh BASYARNAS
Contoh perkara yang dapat
diselesaikan oleh BASYARNAS seperti sengketa muamalat (perdata) yang timbul
dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lan-lain secara adil dan
cepat. Bila dicontohkan lebih spesifik, seperti perkara berikut : Perkara
kredit macet antara seorang nasabah Bank dan Lembaga Bank. Akibat adanya kredit
macet , maka nasabah menggugat Bank, atau dapat sebaliknya, Bank yang menggugat
nasabahnya. Kemudian pihak yang menggugat mengajukan perkara tersebut ke
BASYARNAS. Apabila perkara tersebut dapat diterima oleh BASYARNAS,maka para
pihak harus mengikuti prosedur ataupun mekanisme yang telah ditentukan dan
ditetapan oleh BASYARNAS. Cara yang dilakukan BASYARNAS untuk menyelesaikan perkara
adalah sebagai berikut :
1.
Mediasi : Musyawarah untukmufakat
2.
Sidang : Mengeluarkan putusan
3.
Putusan :Mengeluarkan putusan pada
suatu perkara
Dalam penyelesaian suatu
perkara di BASYARNAS, tidak hanya orang muslim saja yang bisa, melainkan orang
non muslim juga dapat menyelesaikan perkaranya di BASYARNAS dengan syarat ia
setuju penyelesaian masalahnya diselesaikan dengan syariat/ ajaran islam.
2.2.3 Visi dan Misi BASYARNAS
Adapun visi dan misi
BASYARNAS ( Badan Arbitrase Syariah Nasional ) adlah sebagai berikut :
• Visi
:
1. Sebagai
lembaga hakam yang amanah dan terpercaya dalam menyelesaikan sangketa muamalah
(perdata) berdasarkan syariah
2. Terwujudnya
msyarakat yang adil dan sejahtera dalam pranata hokum,ekonomi, social, budaya
yang islami.
• Misi
:
1. Menyelesaikan
secara adil dan cepat sangketa muamalah ( perdata) dalam bidang
perdagangan, keuangan, industry, jasa dan lain-lain.
2. Memberikan
pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tampa adanya suatu sangketa
mengenai persoalan tertentu dalam suatu perjanjian.
2.3 Sengketa Bank Syariah
Menurut Siti Megadianty adam
dan Takdir Rahmadi, sebagaimana dikutip Rachmadi Usman dalam kosa kata Inggris
terdapat dua istilah, yakni “conflict” dan “dispute”, yang keduanya-duanya
mengandung pengertian tentang adanya perbedaan diantara kedua pihak atau lebih,
tetapi keduanya dapat dibedakan.[5] Di dalam bahasa Indonesia
kosa kata “conflict” sudah diserap menjadi “konflik” yang maksudnya adalah
sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan
kepentingan. Sedangkan kosa kata “dispute” telah diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “sengketa”, yakni berkembangnya konflik bilamana pihak
yangmerasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya,
baik secara langsung kepada pihak yang dianggapa sebagai penyebab kerugian atau
pihak lain.[6]
Sengketa perbankan syariah yakni perbedaan kepentingan diantara dua pihak atau
lebih dalam perbankan syariah yang mengakibatkan terjadinya kerugian bagi suatu
pihak maupun pihak-pihak tertentu dan perbedaan kepentingan atau kerugian
tersebut dinyatakan kepada pihak yang dianggap menjadi penyebab kerugian atau
kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut memberikan pendapat yang berbeda.
Pada produk-produk perbankan
syariah seperti produk musyarakah dan mudarabah, sengketa dapat terjadi dalam
linkup produk pengumpulan dana, seperti tentang jumlah atau angka-angka
tabungan atau deposito, atau bila nasabah merasa bahwa keuntungan yang
diterimanya tidak wajar atau menyalahi kesepakatan. Dimungkinkan juga apabila
nasabah tidak dapat menarik dananya pada waktu yang ditentukan dan sebagainya,
juga apabila nasabah merasa bahwa dananya teleh digunakan untuk membiayai
proyek-proyek yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Sengketa juga
dapat terjadi pada produk –produk pembiayaan syariah, seperti dalam hal terjadi
kerugian dalam produk pembiayaan bebentuk mudarabah, lalu bank sebagai shahibul
mal membebankan kerugian tersebut kepada pengusaha (mudarib), sedangkan
pengusaha tidak menjalankan usahanya dengan sungguh-sungguh atau tidak jujur
sehingga timbul kerugian, atau apabila kejujuran mudarib tidak diakui oleh bank
dan sebagainya.
Pada produk musyarakah,
sengketa mungkin terjadi karena masing-masing pihak merasa mitranya tidak
jujur, tidak profesional, tidak produktif, tidak efisien atau tidak maksimal
menjalankan usaha bersama sehingga terjadi kerugian. Apabila terjadi sengketa
syariah, maka berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, lembaga yang
berwenang mengadilinya adalah pengadilan agama. Meskipun demikian, ada
kemungkinan sengketa perbankan syariah tidak di ajukan ke pengadilan agama, hal
ini terjadi apabila dalam perjanjian atau akad produk tersebut telah
menyebutkan bahwa ditentukannya lembaga-lembaga lain atau cara lain yang akan
menyelesaikan sengketa. Keadaan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1338
KUHP Perdata tentang kebebasan berkontrak.[7]
Secara khusus untuk sengketa
yang terdapat dalam perbankan syariah dan lembaga-lembaga ekonomi syariah pada
umumnya ditangani oleh lembaga penyelesai sengketa di luar pengadilan negeri
terutama adalah melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Dengan
demikian, litigasi atau penyelesaian sengketa melalui gugatan di pengadilan
bukan satu-satunya lembaga atau cara yang dapat menyelesaikan sengketa sebab
tersedia beberapa alternatif untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan,
yakni arbitrase dan Alternative Dispute Resolution.
2.4 Penyelesaian Sengketa Bank
Syariah
Pada awalnya, yang menjadi kendala hukum
bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana
penyelesaiannya, karena pengadilan negeri tidak enggunakan syariah sebagai
landasan hukum bagi penyelesaian perkara sedangkan wewenang pengadilan saat itu
menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sadakah sehingga penyelesaian sengketa
perrbankan syariah saat ini dapat dilakukan melalui metode nonlitigasi.[8]
Pada prinsipnya, penegakan hukum hanya dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman (judicial power) yang secara konstitusional lazi dsebut
badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang
memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah
kekuasaan kehakiman yang berpuncak di mahkamah Agung. Pasal 2 UUNo. 14 Tahun
1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan
peradian hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat foral dan official
serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun
berdasarkan Pasal 181, 1855, dan 1858 KUHPerdata, penjelasan Pasal 3 UU No. 14
Tahun 1970 serta UU No. 30 Thun 1999 tentang Arbitrase dan ADR, maka terbuka
kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain
pengadilan (nontiligasi) seperti arbitrase atau perdamaian (islah).
Penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi di atur dalam satu pasal, yakni
Pasal 6 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.[9]
2.4.1 Perdamaian
(Sulh/Islah)
Islah secara harfiah mengandung pengertian
“memtus pertengkaran atau perselisihan”. Dalam pengertian syariah dirumuskan
sebagai “suatu jenis akad (perjanjian) unuk mengakhiri perlawanan (peselisihan)
antara dua orang yang berlawanan.” Dalam perdamaianini terdapat dua pihak yang
sebelumnya di antara mereka ada suatu persengketaan, dan kemudian para pihak
sepakat untuk saling melepaskan semua atau sebagian dari tuntutannya, hal ini
dimaksudkan agar persengketaan di antara mereka (pihak yang bersengketa) dapat
berakhir.
Perdamaia dalam
syariah Islah sangat dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian di antara para
pihak yang bersngketa, maka akan terhindarkanlah kehancuran silaturahmi
(hubungan kasih saying) di antaa para pihak, dan sekaligus permusuhan di antara
para pihak akan dapat diakhiri.[10] Rukun dari perjanjian
perdamaian adalah:[11]
1. adanya ijab;
2. adanya kabul;
3. adanya lafal.
Ketiga rukun terseut sangat penting artinya
dalam suatu pejanjia perdamaian, sebab tanpa adanya ijab, Kabul, dan lafal
tidak diketahui adanya perdamaian di antara mereka. Apabila rukun initelah
terpenuhi, maka dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum,
yaitu masing-masing pihak berkewajiban untuk menaati isi perjanjian. Perjanjia
itu dapat dipaksakan pelaksanaannya, tidak dapat dibatalkan secara sepihak dan
kalaupun dibatalkan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Adapun
yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan
kepada hal berikut ini :
1. Perihal subjek. Orang yang melakukan perdamaian
haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum, dan uga harus mempunyai
kekuasaan atau kewenangan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan
dalam perdamaian itu.
2. Perihal objek. Harus memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Berbentuk harta (baik berwujud maupun tidak
berwujud) yang dapat dinilai, diserahterimaka, dan bermanfaat.
b. Dapat diketahui secara jelas, sehingga
tidak menimbulkan kesamaran dan ketidakjelasan yang dapat menimbulkan
pertikaian yang baru.
Sengketa yang boleh di damaikan adalah :[12]
1. Sengketa tersebut berbentuk harta yang
dapat dinilai
2. Menyangkut hak manusa yang boleh diganti
Dengan kata lain
perjanjian perdamaian hanya sebatas pada persoalan-persoalanmuamalah saja
(hubungan keperdataan). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hal Allah
SWT tidak dapat diadakan perdamaian.
2.4.2
Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari Bahasa Belanda:
“arbitrate” dan Bahasa Inggris: arbitration, dalam Bahasa Latin: arbitrare,
yang berarti penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para
hakim berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk dan mentaati keputusan
yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk
tersebut. Dengan demikian arbitrase merupakan suatu peradilan perdamain, dimana
para pihak yang bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang
hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh
hakim yang adil yaitu tidak memihak kepada salah satu pihak yang berselisih
tersebut. Keputusan yang telah diambil mengikat bagi kedua belah pihak. Dalam
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak1 yang
bersengketa. Ada beberapa alasan para pihak memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase dan tidak menggunakan peradilan umum, antara lain:
1.
Kepercayaan dan keamanan bagi pihak yang
berselisih.
Arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang
sangat luas bagi pihak yang akan menyelesaikan persengketaan yang terjadi
diantara mereka. Mereka dapat menentukan arbiter yang mereka inginkan atau
menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga arbitrase yang akan memilih arbiter bagi
mereka. Disamping itu melalui arbitrase relatif lebih aman terhadap keadaan
yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang
berbeda.
2.
Keahlian (expertise) dari para arbiter.
Para pihak mempunyai kepercayaan yang besar
kepada para arbiter mengenai perkara yang akan diselesaikan. Mereka juga dapat
menunjuk arbiter yang memiliki keahlian tertentu untuk membantu menyelesaikan
persengketaan mereka, sedangkan dalam pengadilan umum, hal ini tidak bisa
dilakukan mereka.
3.
Arbitrase bersifat rahasia.
Arbitrase bersifat tertutup dan rahasia, karena
ia hanya menyangkut pribadi dan tidak bersifat umum. Tujuannya adalah untuk
melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan misalnya dengan
penyebarnya rahasia bisnis para pihak yang bersengketa kepada masyarakat umum.
4.
Non-preseden.
Keputusan arbitrase tidak memiliki nilai yang
berpengaruh penting dalam pengambilan keputusan arbitrase lainnya atau bersifat
Non-preseden. Dengan demikian keputusan arbitrase bisa saja berbeda antara satu
dengan lainnya walaupun perkara yang diselesaikan serupa atau memiliki
kesamaan.
5.
Kearifan dan kepekaan arbiter.
Kearifan dan kepekaan arbiter terhadap aturan
yang akan diterapkan inilah yang menjadi motivasi para pihak yang bersengketa
meminta penyelesaian sengketanya melalui arbitrase.
6.
Keputusan arbitrase lebih mudah dilaksanakan
daripada peradilan.
7.
Cepat dan hemat biaya penyelesaian.
Arbitrase lebih cepat dan lebih ringan biayanya
dibandingkan pengadilan umum yang akan menyelesaian persengketaan yang terjadi
antara para pihak. Melalui arbitrase tidak ada kemungkinan kasasi terhadap
keputusan arbitrase, karena keputusannya final dan binding.
2.4.3 Pengadilan Biasa
(Al-Qadla)
Al-qadla secara
harfiah berarti antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah fikih
kata ini berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa
untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Lembaga peradilan semacam ini
berenang menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana. Orang yang berwenang
untuk menyelesaikan perkara pada pengadilan semacam ini dikenal dengan qadli
(hakim). Kekuasaan qadli tak dapat dibatasi oleh persetujua pihak yang bertikai
dan keputusan dari qadli ini mengikat kedua belah pihak.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Antonio Syafi’i. “Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik”, Cet.1,
(Jakarta; Gema Insani; 2001).
http://hendrakholid.net/blog/2011/01/05/badan-arbitrase-syariah-nasional/
Sutedi Adrian, “Perbankan Syariah”, Bogor: Ghalia Indonesia;
2009.
Wirdyaningsih,et al. “Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana; 2005.
[1] Syafi’i Antonio. “Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik”, Cet.1, (Jakarta;
Gema Insani; 2001), hlm. 30
[2] http://hendrakholid.net/blog/2011/01/05/badan-arbitrase-syariah-nasional/
[5] Adrian Sutedi. Perbankan Syariah. Bogor: Ghalia Indonesia,
2009. 166
[6] Wirdyaningsih,et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2005. hlm. 221
[7] Adrian Sutedi. Perbankan Syariah. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009. 167
Comments