Keutamaan Hukum Islam Di Indonesia Khususnya Hukum Waris


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur yang paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan disebut kaum muslim paling besar yang berkumpul dalam wilayah kenegaraan. Islam adalah agama dan jalan hidup yang berdasarkan pada firman Allah yang termaktub di dalam quran dan sunah Rasul. Setiap orang Islam berkewajiban untuk bertingkah laku dalam seluruh hidupnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Quran dan Sunah. Oleh karena itu, setiap orang Islam hendaknya memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah.
Suatu ajaran tidak bisa dipraktekkan tanpa adanya pemahaman. Perlu untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di negara ini. Dalam memahami ajaran Islam, diperlukan pengetahuan tentang hukum Islam. Adanya hukum Islam mengantarkan umat Islam dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, serta dapat melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Hukum Islam yang terdapat di Indonesia bersifat mengikat dan sebagai pedoman untuk seluruh warga negara. Karena itu menjadi sangat menarik untuk mempelajari alur perjalanan hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia ini.
Kewajiban mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah yang akan mendatangkan kemaslahatan memiliki acuan yang kuat. Dari segi substansi muatan hukumnya sejalan dengan isyarat dari Sunnah Rasul. Hukum Islam memiliki cakupan yang luas. Seseorang yang dinilai pakar dalam hukum Islam dapat dikatakan sebagai hakim atau ulama Islam sebenarnya. Hukum Islam tidak hanya mengkaji manusia sebagai makhluk sosial, tetapi juga manusia sebagai makhluk beragama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah hukum itu?
2.      Bagaimana latar belakang keberadaan hukum Islam di Indonesia?
3.      Bagaimana perkembangan hukum Islam di Indonesia?
4.      Apakah yang dimaksud dengan hukum waris itu?
5.      Bagaimana pelaksanaan hukum waris di Indonesia?
6.      Apa saja hak-hak yang bersangkutan dengan harta pusaka?
7.      Siapakah yang menjadi ahli waris dalam pembagian harta pusaka?
8.      Berapakah ketentuan kadar bagian dari masing-masing ahli waris?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari hukum.
2.      Untuk mengetahui latar belakang kberadaan hukum Islam di Indonesia,
3.      Untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di Indonesia.
4.      Untuk mengetahui arti dari hukum waris.
5.      Untuk mengetahui pelaksanaan hukum waris di Indonesia.
6.      Untuk mengetahui hak-hak yang bersangkutan dengan harta pusaka.
7.      Untuk mengetahui ahli waris dalam pembagian harta pusaka.
8.      Untuk mengetahui kadar bagian dari masing-masing ahli waris.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum
Istilah Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau al-syari`ah al-islamy. Dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, yaitu hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindakan atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat, bersifat mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata Islam. Jadi dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah seperangkat peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan Sunah Rasul tentang tingkah laku mukallaf  yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua umat Islam.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup hukum Syari`ah dan hukum Fikih, karena arti keduanya terkandung di dalamnya. Penting untuk dikemukakan bahwa karakter utama suatu hukum adalah mengikat anggotanya. Jika tidak ada ikatannya, maka tidak bisa dikatakan sebagai hukum. Ikatan suatu hukum adalah pemberlakuan sanksi atas orang yang melanggarnya.
Kedudukan hukum Islam sangat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku manusia, tidak terkecuali bagi pemeluk Islam di Indonesia. Berdasarkan perkembangan hukum Islam di Indonesia, hasil pemikirannya tidak lagi didominasi oleh fiqh, akan tetapi hasil pemikiran hukum Islam tersebut masih terdapat tiga jenis produk lainnya. Pertama, Fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus daripada fiqh atau ijtihad secara umum. Dalam hal ini para ulama menentukan seorang mufti haruslah memiliki syarat sebagaimana seorang mujtahid.
Kedua, keputusan pengadilan yang merupakan hasil pemikiran keputusan hakim pengadilan berdasarkan pemeriksaan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknis disebut dengan qadla' atau al-hukm, yaitu ucapan (tulisan) penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang diberi kewenangan untuk itu. Ada yang mendefinisikan sebagai ketetapan hukum syar`i disamakan melalui seorang hakim yang diangkat itu (Salam Maskur, 1979 : 20). Idealnya seorang hakim haruslah memiliki syarat sebagaimana seorang mujtahid atau mufti. Mengingat, keputusan pengadilan selain sebagai kepentingan keadilan pihak yang berperkara, ia dapat sebagai referensi hukum (yurisprudensi) bagi hakim yang lainnya. Ketiga, bahwa undang-undang merupakan peraturan dari suatu badan legislatif kepada warga negara, yang bersifat mengikat dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum (fiqh, fatwa, keputusan pengadilan dan undang-undang) yang menjadi pedoman dan diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia.

B.     Latar Belakang Keberadaan Hukum Islam di Indonesia
Secara garis besar hukum Islam terbagi menjadi dua macam. Pertama, fiqh adat meliputi aturan tentang shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, dan sebagainnya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Ketentuan hukum ibadat ini, semula diatur secara global dalam Quran yang kemudian dijelaskan oleh  Sunah Rasul yang berupa ucapan, perbuatan atau penetapannya dan diformulasikan oleh para fuqaha' kedalam kitab-kitab fiqh. Pada prinsipnya dalam masalah ibadah, kaum muslimin dapat menerima dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Hal ini karena ibadah sendiri adalah menghambakan diri kepada Allah, zat yang berhak disembah.
Kedua, yaitu fiqh muamalat yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, seperti perikatan, sanksi hukum dan aturan lain. Adanya fiqh muamalat ini sebagai harapan agar manusia dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan. Fiqh muamalat ini dipilah sesuai dengan aspek dan tujuan masing-masing.
Hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya memiliki kedudukan yang paling utama dan amat penting. Wahid (1991 : 229) mengatakan bahwa di Indonesia, hukum-hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Meski didominasi oleh fiqh Syafi'iyah yang lebih banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, adanya pengaruh madzhab Hanafi mulai diterima. Penerimaan dan pelaksanaan hukum Islam ini, dapat dilihat pada masa-masa kerajaan Islam awal. Pada zaman kesultanan Islam, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara. Hukum adat setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam.
Di Wajo misalnya, hukum waris menggunakan hukum Islam dan hukum adat, keduanya memiliki hubungan sangat erat. Demikian juga di Banten pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, hukum adat dan hukum agama tidak ada bedanya.

C.     Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Membicarakan kekuatan hukum dari hukum Islam di Indonesia perlu dipahami dari macam produk pemikiran hukum Islam itu sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam yang telah berkembang dan berlaku di Indonesia, seiring pertumbuhan dan perkembangannya empat produk pemikiran hukum Islam tersebut adalah fiqh, fatwa ulama, keputusan pengadilan dan perundang-undangan. Persoalnnya adalah, dimana posisi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam konteks hasil pemikiran hukum Islam tersebut. Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat dipedomani para hakim dan masyarakat seluruhnya, karena pada hakikatnya, kompilasi sepanjang sejarahnya telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaanya.
Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi Nusantara Indonesia hingga pada hari ini tergolong hukum yang hidup di masyarakat. Bukan saja karena hukum Islam dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, akan tetapi di beberapa daerah hukum Islam telah menjadi bagian tradisi masyarakat. Hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berakar pada budaya masyarakat. Karena itu, bisa dipahami bila dalam sejarahnya di Indonesia ia menjadi kekuatan moral masyarakat.
Indonesia adalah Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Pada saat ini Indonesia menggunakan KUHP sebagai sumber hukum pidana utama. Untuk hukum keluarga di Indonesia masih memberlakukan kitab undang-undang tentang perkawinan dan juga hukum Islam yang diberlakukan atas asas personalitas ke-Islaman.

D.    Hukum Waris Islam
Dalam Quran telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik. Diantara harta yang halal (boleh) diambil ialah harta pusaka atau harta warisan. Dalam Quran dan Hadis telah diatur cara pembagian harta pusaka dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal. Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia itu pasti ada hukumnya, baik dihukumi wajib, sunah, haram atau mubah. Disamping itu terdapat pula hikmah dari adanya hukum-hukum tersebut. Seperti halnya hukum waris Islam yang ada di Indonesia saat ini. Masalah hukum warisan sudah dijelaskan permasalahannya dalam Quran dan Sunah dengan keterangan yang jelas dan pasti. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (laki-laki atau perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahi waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing. Selain itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan.
Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapatkan bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas yaitu seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut hanya berhak setengah dari harta itu (Syarifuddin, 1984 : 66). Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, adalah sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan. Sedangkan menurut syi`ah, cucu baik melalui garis laki-laki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan. Menurut Zuhdi (1981 : 16-17) penyebab timbulnya bemacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris cukup banyak. Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yaitu :
1.      Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda.
2.      Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris.

E.     Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia
Sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.
Di Jawa dan Madura pada tahun 1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya dapat menentukan sendiri perkara-perkara yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, baitul mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura, dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang yang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun, Pengadilan Agama tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun 1957, diundangkan PP Nomor 45 tahun 1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.
Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa Pengadilan Agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaannya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataannya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri. Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu.

F.     Beberapa Hak Yang Bersangkutan Dengan Harta Pusaka
Sebelum kita teruskan uraian pembagian harta pusaka kepada ahli waris, terlebih dahulu akan diterangkan beberapa hak yang wajib didahulukan dari pembagian harta pusaka kepada ahli waris, diantaranya yaitu :
1.      Yang terutama adalah hak yang bersangkutan dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya. Hak ini hendaklah diambil terlebih dahulu dari jumlah harta tersebut sebelum dibagi-bagi kepada ahli waris.
2.      Belanja untuk mengurus mayat, seperti harga kain kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah diselesaikan hak yang pertama tadi, barulah sisanya dipergunakan untuk belanja mengurus wayat.
3.      Hutang, kalau si mayat meninggalkan hutang, hutang itu hendaklah dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli warisnya.
4.      Wasiat, kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya, wasiat itu hendaklah dibayar dari jumlah harta peninggalannya sebelum dibagi-bagi.
5.      Sesudah dibayar semua hak yang disebutkan di atas, barulah harta peninggalan si mayat itu dibagi kepada ahli waris menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya yan suci.
Dalam agama Islam sebab-sebab diadakannya warisan dikarenakan ada empat sebab (kekeluargaan, perkawinan, memerdekakan budak, dan adanya hubungan Islam).

G.    Ahli Waris
Orang-orang yang boleh mendapatkan harta pusaka dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak anak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan :
Dari pihak laki-laki :
1.      Anak laki-laki dari yang meninggal dunia.
2.      Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, dan terus ke bawah asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3.      Bapak dari yang meninggal dunia.
4.      Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari yang meninggal.
5.      Saudara laki-laki seibu-sebapak.
6.      Saudara laki-laki sebapak saja.
7.      Saudara laki-laki seibu saja.
8.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu-sebapak.
9.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
10.  Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu-sebapak.
11.  Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
12.  Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu-sebapak.
13.  Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
14.  Suami.
15.  Laki-laki yang memerdekakan mayat.
Jika 15 orang tersebut di atas semua ada,  maka yang mendapat harta pusaka dari mereka itu hanya 3 orang saja, yaitu :
a.       Bapak.
b.      Anak laki-laki.
c.       Suami.
Dari pihak perempuan :
1.      Anak perempuan.
2.      Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
3.      Ibu.
4.      Ibu dari bapak.
5.      Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
6.      Saudara perempuan yang yang seibu-sebapak.
7.      Saudara perempuan yang sebapak.
8.      Saudara perempuan yang seibu.
9.      Istri.
10.  Perempuan yang memerdekakan si mayat.
Jika 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu :
a.       Istri.
b.      Anak perempuan.
c.       Anak perempuan dari anak laki-laki.
d.      Ibu.
e.       Saudara perempuan yang seibu-sebapak.
Menurut Rasjid (1986 : 327) sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan ada semua, maka yang tetap pasti mendapat harta waris hanya salah seorang dari dua suami-istri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.

H.    Ketentuan Kadar Bagian Masing-masing
Yang mendapat setengah harta :
1.      Anak perempuan apabila ia sendiri, tidak bersama-sama saudaranya.
2.      Anak perempuan dari anak anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.
3.      Saudara perempuan yang seibu-sebapak atau sebapak saja, apabila saudara seibu-sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.
4.      Suami, apabila istrinya yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang mendapat seperempat harta :
1.      Suami, apabila istrinya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki atau perempuan.
2.      Istri, baik istri itu seorang atau berbilang, mendapat seperempat dari harta peninggalan suami, jika tidak meninggalkan anak (baik laki-laki maupun perempuan) dan tidak tidak pula anak dari anak laki-laki (baik laki-laki maupun perempuan). Maka sekiranya istri itu berbilang, seperempat itu dibagi rata antara mereka.
Yang mendapat seperdelapan harta :
Istri, baik satu ataupun berbilang, mendapatkan harta pusaka dari suaminya seperdelapan dari harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak untuknya, baik anak laki-laki maupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki (baik laki-laki maupun perempuan juga).
Yang mendapat dua pertiga :
1.      Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak laki-laki. Berarti apabila anak perempuan berbilang sedangkan anak laki-laki ada, maka mereka mendapat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh bapak mereka.
2.      Untuk dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila anak perempuan tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang sedangkan anak perempuan tidak ada, mereka mendapat harta pusaka dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta.
3.      Orang yang mendapat bagian dua pertiga juga ialah saudara perempuan yang seibu-sebapak apabila berbilang (dua atau lebih).
4.      Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.
Yang mendapat sepertiga harta :
1.      Ibu, mendapat sepertiga dari harta apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu (anak dari anak laki-laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, baik seibu-sebapak, ataupun sebapak saja, atau seibu saja.
2.      Yang mendapat sepertiga harta juga ialah dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang mendapat seperenam harta :
1.      Ibu mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan oleh anaknya apabila ia beserta anak, beserta anak dari laki-laki, beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, seibu-sebapak, sebapak saja, atau seibu saja.
2.      Bapak si mayat mendapat seperenam dari harta apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari laki-laki.
3.      Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) mendapat seperenam dari harta kalau ibu tidak ada.
4.      Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, berarti anak perempuan dari anak laki-laki mendapat seperenam dari harta, baik sendiri atau berbilang. Apabila bersama-sama seorang anak perempuan, tetapi anak perempuan itu berbilang, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat harta pusaka.
5.      Kakek (bapak dari bapak) mendapat harta pusaka seperenam harta apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada.
6.      Untuk seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan
7.      Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri atau berbilang, apabila beserta saudara perempuan yang seibu-sebapak. Adapun apabila berbilang saudara seibu-sebapak (dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat harta pusaka.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa hukum Islam merupakan seperangkat peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan Sunah Rasul tentang tingkah laku mukallaf  yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua umat Islam. Kedudukan hukum Islam sangat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku manusia, tidak terkecuali bagi pemeluk Islam di Indonesia.
Wahid (1991 : 229) mengatakan bahwa di Indonesia, hukum-hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi Nusantara Indonesia hingga pada hari ini tergolong hukum yang hidup di masyarakat. Bukan saja karena hukum Islam dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, akan tetapi di beberapa daerah hukum Islam telah menjadi bagian tradisi masyarakat. Hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berakar pada budaya masyarakat, karena itu bisa dipahami bila dalam sejarahnya di Indonesia ia menjadi kekuatan moral masyarakat.
Dalam Quran dan Sunah terdapat barbagai macam hukum-hukum Islam yang salah satunya ialah hukum waris Islam. Quran dan Hadis telah mengatur bagaimana cara pembagian harta pusaka dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal. Masalah hukum warisan sudah dijelaskan permasalahannya dalam Quran dan Sunah dengan keterangan yang jelas dan pasti. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (laki-laki atau perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahi waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Salam Maskur. 1979. Peradilan dalam Islam (terj. Imron AM).  Surabaya :  Bina Ilmu.
Abdurrahman Wahid. 1991. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung : Rosda Karya.
Amir Syarifuddin. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta.
Massjfuk Zuhdi. 1981. Mengenai Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat. Surabaya : Bina Ilmu.
Sulaiman Rasjid. 1986. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru.

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki