Konstitusi
A.
PENGERTIAN
Dalam kamus
hukum Indonesia, konstitusi adalah segala ketentuan aturan tentang
ketatanegaraan atau Undang-Undang Dasar, dan sebagainya; UUD suatu Negara[1]. Ada dua istilah terkait
dengan norma atau ketentuan dasar terkait dengan kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan. Kedua istilah tersebut adalah konstitusi dan Undang-Undang Dasar.
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer”
yang berarti membentuk. Maksud dari istilah tersebut adalah pembentukan,
penyusunan suatu Negara atau pernyataan berdirinya suatu Negara, atau
proklamasi berdirinya suatu Negara baru yang berdaulat.
Dalam bahasa
Latin, konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yakni cume berarti “bersama dengan” dan statuere yang berarti
“membuat sesuatu agar bisa berdiri” atau “mendirikan”, dan “menatapkan
sesuatu”.
Sedangkan
Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan dari istilah Belanda dan Jerman : grondwet. Kata grond berarti tanah atau dasar dari wet berarti undang-undang. Sehingga memiliki arti bahwa suatu
undnag-undang menjadi dasar dari segala hukum dan bahwa Indonesia mempergunakan
perkataan UUD seperti arti grondwet.
Istilah
konstitusi dalam bahasa Inggris memiliki makna yang lebih luas daripada
Undang-Undang Dasar. Konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur dan mengikat
dengan cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat. Sedangkan Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dalam
konstitusi.
Herman Heller
berpandangan bahwa kontitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar.
Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis, melainkan juga bersifat sosiologis dan
politis. Sedangkan Undnag-Undang Dasar hanyalah merupakan sebagian dari
pengertian konstitusi.
F. False juga
berpendapat sama yang membagi pengertian konstitusi menjadi dua :
1. Sosiologis
dan politis. Secara sosiologis dan politis adalah sintesa factor-faktor
kekuatan yang nyata dalam masyarakat (hubungan antara kekuasaan-kekuasaan dalam
suatu Negara), seperti raja, parlemen, cabinet, angkatan perang, partai politik
dan lain-lain.
2. Yuridis,
adalah suatu naskah yang membuat susunan dan kerangka bangunan Negara dan
sendi-sendi pemerintah suatu Negara. Naskah formal yang berisi gambaran
kekuasaan lembga-lembaga Negara secara resmi.
Berbeda dengan
pendapat James Bryce, seperti dikutip C.F Strong yang menyamakan kostitusi
dengan UUD. Ia mendefinisikan konstitusi sebagai kerangka masyarakat politik
(Negara) yang disorganisir dengand an melalui hukum.
Dalam praktik
ketatanegaraan Indonesia, pengertian konstitusi adalah sama dengan pengertian
UUD. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat
sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Dari
beberapa pengertian di atas konstitusi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Suatu
kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada para penguasa
Negara.
2.
Suatu
dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem
politik.
3.
Suatu
deskripsi yang menyangkut Hak Asasi Manusia.
B.
SEJARAH
PERUBAHAN KONSTITUSI
Mengenai
sejarah perubahan konstitusi di Indonesia, tidak akan lepas dari buku “Hukum
Dasar” hasil karya Dokuritsu Zyunbi
Tyoosokai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau
biasa kita sebut BPUPKI. Yang pada masa pendudukan Jepang Hukum Dasar itu
kemudian berubah menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, setelah
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang saat itu
lebih dikenal dengan Dokuritsu Zyunbi
Inkai pada 18 Agustus 1945, setelah dibacakan pada upacara Proklamasi pada
tanggal 17 Agustus 1945, yang sekarang lebih kita kenal sebagai “Undang-Undang
Dasar 1945”.
Pada tahun
1949, ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat
(Federasi), diadakan penggantian Konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 keadaan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Demikian pula pada awal 1950,
saat bentuk Negara Indonesia diubah lagi menjadi bentuk Negara Republik
Indonesia Serikat menjadi Negara kesatuan yang kedua, dengan ditandai
pergantian konstitusi RIS 1949 diganti dengan konstitusi baru dengan
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia berdasarkan pasal 127a, pasal
190 dan pasal 191 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Perubahan ini
mencakup perubahan muqadimah, dan bentuk Negara, yaitu perubahan dari bentuk
federal ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keluarnya pasal-pasal
yang menetapkan perubahan-perubahan pada UUD ini disebut juga dengan Undang-Undang
Federal No.7 Tahun 1950. Hal ini diawali dengan ditandatangani Piagam
Persetujuan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat dan pemerintah
Negara Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950, untuk bersama-sama
melaksanakan Negara kesatuan sebagai Negara Republik Indonesia berdasarkan
proklamasi 17 Agustus 1945 sesuai dengan cita-cita rakyat setelah dijajah
begitu lama.
Pada tanggal 15
Agustus 1950, Presiden Soekarno mengeluarkan “Piagam Pernyataan”, yang
menyatakan kepastian bahwa tanggal 17 Agustus 1950 susunan Unitaris sudah
kembali meliputi seluruh wilayah Indonesia yang menyatakan bahwa Undang-Undang
Dasar Sementara akan menjadi patokan dasar untuk penetapan hukum di Indonesia. Sayangnya
hal ini hanya bertahan selama delapan tahun, tepatnya hingga Juli 1959. Pada
saat itu kembalilah lagi konstituante bersama pemerintah menetapkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.[2]
Sedangkan
menurut pendapat Jimly Ashiddiqie, perubahan dari UUDS 1950 kepada UUD 1945
merupakan tindakan penggantian konstitusi baru. Karena berlakunya kembali UUD
1945 merupakan perubahan konstitusi dalam arti perubahan UUD secara total dan
menyeluruh dengan pergantian konstitusi baru.
C.
SISTEM
PERUBAHAN KONSTITUSI
Konstitusi
sendiri merupakan hasil pemikiran orang-orang yang duduk menjadi anggota
Konstituante yang dibentuk dan dipilih oleh rakyat, yang dalam konteks
Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas menyusun dan
menetapan Undang-Undang Dasar. Karena konstitusi sendiri merupakan berasal dari
aspirasi rakyat, maka kemungkinan konstitusi tidak sempurna sangatlah wajar,
sehingga perlu adanya perubahan dalam pembaruan yang lebih baik. Hal ini
seiring dengan zaman, teknologi, dan kebudayaan konstitusi harus diadakan
peninjauan kembali baik dengan cara penggantian konstitusi baru.
Ketidak
sempurnaan sebuah konstitusi Negara dapat disebabkan dua hal :
1.
Susunan
konstitusi merupaan hasil kompromi politik antar anggota partai politik dan kelompok
kepentingan dalam masyarakat, atau dipengaruhi kepentingan market.
2.
Kapabilitas
dan kemampuan para anggota komisi kontituante sangat terbatas dan tidak peka
dalam menyerap seluruh aspirasi rakyat dan keterbatasan waktu.
Karena tuntutan
zaman dan kepentingan masyarakat, menurut Sri Soemantri, perubahan sebuah Konstitusi
(UUD) dapat dilakukan oleh :
1.
Perubahan
konstitusi melalui siding kekuasaan legislative, tetapi dengan
pembatasan-pembatasan tertentu.
2.
Perubahan
melalui suara rakyat dengan suatu referendum nasional.
3.
Sejumlah
Negara bagian, hal ini berlaku khusus untu Negara yang berbentuk Negara seriakt
/ federasi.
4.
Dengan
kebiasaan etatanegaraan, atau suatu lembaga Negara yang khusus dibentuk hanya
untuk keperluan perubahan konstitusi.
Sementara
menurut Meriam Budiarjo, ada empat macam prosedur dalam perubahan konstitusi,
yaitu :
a.
Sidang
badan legislative dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorum
untuk sidang yang membicarakan usul perubahan Undang-Undang Dasar dan jumlah
minimum anggota badan legislative untu menerimanya.
b.
Referendum
atau plebisit.
c.
Negara-negara
bagian dalam Negara federal (misalnya, Negara USA dengan ¾ dari 50
negara-negara bagian harus menyetujui).
d.
Musyawarah
khusus (special convention).
Pendapat yang
senada diungkapkan oleh C. F. Strong. Ia mengatakan bahwa prosedur perubahan
konstiitusi ada empat macam cara, yaitu :
1.
Perubahan
konstitusi yang dilakukan oleh pemegang legislative, akan tetapi menurut
pembatasan-pembatasan tertentu.
2.
Perubahan
konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum.
3.
Perubahan
konstitusi (ini berlaku dalam Negara serikat) yang dilakukan oleh sejulah
Negara-negara bagian.
4.
Perubahan
konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi artinya dilakukan oleh suatu
lembaga Negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Berkaitan dengan
prosedur yang harus dihadapi untuk melakukan suatu perubahan materi atau isi
Undang-Undang Dasar, kalau kita perhatikan ada tiga pola dasar, yakni :
Pertama, dengan secara
langsung memasukkan (insert) materi
baru ke dalam naskah undang-undang dasar. Misalnya, Negara yang menganut pola
ini, seperti Perancis, Jerman, dan Belanda. Keseluruhan materi perubahan ini langsung
dimasukkan ke dalam teks konstitusi.
Kedua, mengganti
naskah undang-undang dasar secara keseluruhan, kelompok kedua ini Negara yang
bersangkutan mengganti naskah konstitusi yang berlaku dengan naskah yang baru.
Dan kebanyakan Negara tatanan perpolitikannya belum mapan dan stabil, biasanya
masih terjadi jatuh bangunnya pemerintahan. Contoh Negara miskin di Asia
seperti Myanmar, Laos, Kamboja, serta Negara Afrika, seperti Liberia, Chad,
Kamerun dan Nigeria.
Ketiga, kelompok yang
terakhir ini adalah Negara yang melakukan perubahan naskah konstitusinya dengan
cara terpisah dari naskah yang berlaku, biasanya hal yang seperti ini disebut
dengan istilah amandemen pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Dengan cara
demikian naskah aslinya tetap ada dan utuh. Tetapi, kebutuhan akan perubahan hukum
dasar dapat terpenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan addendum atau
tambahan naskah asli tersebut. Hal ini, sekarang seperti yang terjadi pada
tatanan kenegeraan Indonesia.
D.
TUJUAN,
FUNGSI DAN RUANG LINGKUP
Secara garis
besar tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah dan menetapkan pelaksanaan
kekuasaan yang berdaulat. Menurut Bagir Manan, hakikat tujuan konstitusi
merupakan perwujudan paham tentang konstitusi yaitu pembatasan terhadap
kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga Negara
maupun setiap penduduk di pihak lain.
Dalam berbagai
literature hukum tata Negara maupun ilmu politik ditegaskan bahwa fungsi
konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem
politik dan sistem hukum Negara. Karena itu ruang lingkup isi Undang-Undang
Dasar sebagai konstitusi tertulis sebagaimana dikemukakan oleh A.H. Struycken
memuat tentang :
a.
Hasil
perjuangan politik bangsa waktu lampau;
b.
Tindakan
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
c.
Pandangan
tokoh bangsa yang hendak mewujudkan baik waktu sekatang maupun untuk masa yang
akan datang;
d.
Suatu
keinginan dengan dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.
Sedangkan
menurut Sri Soematri dengan mengutip pendapat Steenbeck, menyatakan bahwa
terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi, yaitu :
1.
Konstitusi
atau Undang-Undang Dasar harus menjamin Hak Asasi Manusia.
2.
Konstitusi
atau Undang-Undang Dasar harus memuat susunan ketatanegaraan suatu Negara yang
bersifat mendasar.
3.
Konstitusi
atau Undang-Undang harus mengatur tugas serta pembagian atau pembatasan
kekuasaan Negara secara jelas.
Dalam ranah
kekuasaan yang ada di masyarakat, maka kekuasaan politiklah yang paling
mempunyai arti dan kedudukan penting. Oleh karena itu, kekuasaan politik suatu
negara harus diintragasikan. Kesatuan kekuasaan politik dan Negara ini
diwujudkan dalam aturan dasar yang konkrit dan rinci agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan atau biasa disebut abuse
of power oleh seseorang yang sedang menjabat atau berkuasa atas nama
rakyat.
Usaha integrasi
berbagai jenis kekuatan politik dalam Negara akan menentukan berbagai macam
sifat / karakter dasar / fundamental dari Negara tersebut.
Karakter atau
fundamental bisa tercirikan sbb, yaitu :
1.
Negara
cenderung bersifat memaksa (otoritas sangat jelas dan tidak terbantahkan);
2.
Negara
tersebut bersifat memonopoli tujuan bersama;
3.
Negara
terkesan menguasai hampir dalam segala hal atau juga bisa hampir menguasai
seluruh aspek dalam Negara;
4.
Negara
tersebut dapat menggunakan kekuatan fisik secara sah untuk ditaati peraturan
dan keputusannya;
5.
Negara
dapat menjatuhkan sanksi atau hukuman yang bersifat otoratif (pribadi).
Dalam rangka
menegakkan hukum (law inforcenment)
terhadap pelanggaran hukum dan kriminalitas, atas perintang undang-undang dan
pengadilan, maka Negara bersifat dalam memberikan sanksi hukum yang mandiri dan otoratif serta represif (equality before the law). Oleh karena
itu, tidak mungkin setiap anggota masyarakat dapat melaksanakan kehendak dan
tujuannya, selain Negara
Pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dapat mempunyai lima macam kekuasaan
politik, yaiu :
1.
Kekuasaan
diplomatic (diplomatic power);
2.
Kekuasaan
administrative (administrative power);
3.
Kekuasaan
militer (militery power);
4.
Kekuasaan
hukum atau kehakiman (judicial power);
5.
Kekuasaan
legislative (legislative power).
Selanjutnya
dalam paham konstitusi (konstitusionalisme) yang demokratis dijelaskan bahwa
isi konstitusi meliputi :
1.
Anatomi
kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2.
Jaminan
dan perlindungan hak asasi manusia;
3.
Peradilan
yang bebas dan mandiri (independen);
4.
Pertanggungjawaban
kepada rakyat (akuntabilitas public) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan
rakyat.
E.
KLASIFIKASI
KONSTITUSI
K.C. Wheare,
sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib dk., mengungkapkan secara pajang lebar
mengenai berbagai macam kontitusi yang pada intinya konstitusi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Konstitusi
Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi tertuis adalah konstitusi
dalam bentuk dokumen yang memiliki kesakralan khusus dalam proses perumusannya,
konstitusi ini merupakan instrument yang oleh para penyusunnya disusun untuk
segaa kemungkinan yang dirasa terjadi dalam pelaksanaannya. Sedangkan
konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang berkembang atas dasar adat
istiadat dari pada hukum tertulis, konstitusi ini tidka membutuhkan proses yang
panjang.
2.
Konstitusi
Fleksibel dan Konstitusi Kaku
Konstitusi yang dapat diubah atau
diamandemen tanpa adanya procedural khusus yang dinyatakan secara tertulis
sebagai konstitusi fleksibel, sebaliknya konstitusi yang mengsyaratkan
procedural atau amandemennya perlu tata cara yang khusus adalah konstitusi kaku
atau konstitusi rigid.
3.
Konstitusi
Derajat Tinggi dan Konstitusi Tidak Derajat Tinggi
Konstitusi derajat tinggi adalah
konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam Negara, jika dilihat dari
bentuknya konstitusi ini berada di atas peraturan perundangan-perundangan yang
ain. Demikian juga syarat-syarat untuk mengubahnya sangatlah berat. Sedangkan
konstitusi tidak derajat tinggi sebaliknya, konstitusi ini tidka memiliki
derajat atau kedudukan tinggi dan persyaratan untuk mengubahnya sama dengan
persyaratan untuk mengubah peraturan lain yang setingkat dengan undang-undang.
4.
Konstitusi
Serikat dan Konstiusi Kesatuan
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk
suatu Negara, jika bentuk suatu Negara serikat. Maka, akan didapatkan sistem
pembagian kekuasaan antara Negara / pemerintah Negara serikat dengan pemerintah
Negara bagian. Pembagian kekuasaan tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaannya
terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi yang telah
disepakati.
5.
Konstitusi
Sistem Pemerintahan Presidensial dan Konstitusi Sistem Pemerintahan Parlementer
Menurut C.F. Strong terdapat dua
macam pemerintahan presendial di Negara-negara dunia dewasa ini dengan cirri
pokoknya sebagai berikut :
a.
Presiden
tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislative, akan tetapi dipilih langsung
oleh rakyat atau dewan pemilih. Seperti Amerika Serikat dan Indonesia.
b.
Presiden
tidak termasuk pemegang kekuasaan legislative.
c.
Presiden
tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislative atau Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah tidak dapat memerintahkan diadakannya
pemilihan umum lebih awal.
Sedangkan ciri sistem pemerintahan
parlementer sebagai berikut :
a.
Kabinet
yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau didasarkan kekuatan-kekuatan
politik yang menguasai parlemen atau lembaga legislative.
b.
Para
anggota cabinet mungkin seluruhnya atau mungkin juga sebagian adalah anggota
parlemen.
c.
Perdana
menteri bersama cabinet bertanggungjawab kepada parlemen.
d.
Kepala
Negara dengan saran atau nasehat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
F.
KONSTITUALISME
DAN KONSTITUSI / PIAGAM MADINAH
Piagam tertulis
dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi
dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan
bersama antara Nabi Muhammad saw. dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah
tidak lama setelah beliau hijrah dari kota Mekkah ke Yastrib (Madinah), pada
tahun 622 M.
Secara
keseluruhan Piagam Madinah berisi 47 pasal ketentuan. Yang intinya adalah
memberika jaminan kesamaan dan kesatuan dalam keberagaman dan kemajemukan
masyarakat yang dirumuskan dalam konstitusi, sehingga dalam menghadapi musuh
Negara yang mungkin menyerang setiap warga kota akan membantu untuk bela
Negara.
Shahifah atau Piagam
Madinah, secara umum membawa watak masyarakat yang dibina oleh Nabi, mereka
mampu berpegang pada prinsip kemerdekaan dan penghormatan yang sesungguhnya
terhadap hak-hak dasar manusia, dan menyerahkan urusan kemayarakatan kepada
umatnya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan perincian pelaksanaan
pengaturan kehidupan masyarakat di luar masalah-masalah yang berdifat
‘ubudiyah. Said Ramadan dalam buku Islamic
Law, mencatat ada tiga hal yang penting dalam Piagam Madinah, yaitu: 1)
Telah tercipta suatu konstelasi social politik di Negara Madinah yang terdiri
dari orang-orang Islam dan non-Muslim, termasuk Yahudi. 2) Kedudukan orang-orang
Yahudi diatur dengan jelas dalam Konstitusi Madinah. 3) Adanya jaminan
persamaan, baik perlindungan maupun keamanan bagi orang-orang Islam maupun
non-Islam.[3]
Selain itu,
mantan Menteri Agama RI, Munawir Syadzali, menyebutkan bahwa Piagam Madinah
merupakan dasar-dasar fundamental dalam meletakkan Negara yang majemuk dan
multietnis di Madinah, yang berisi pokok-pokok sistem pemerintahan, antara lain
:
1.
Semua
pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi mereka merupakan satu
komunitas bangsa.
2.
Hubungan
antara sesama anggota komunitas Islam, dan anggota komunitas Islam dengan
anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip :
a.
Bertetangga
yang baik.
b.
Saling
bantu membantu dalam menghadapi musuh bersama.
c.
Membela
mereka yang minoritas (lemah).
d.
Saling
menasehati, keterbukaan informasi.
e.
Jaminan
kebebasan beragama.
Namun, secara
garis besar yang dapat dijabarkan oleh pakar dunia tentang Piagam Madinah
adalah :
1.
Piagam
Madinah sendiri adalah sebuah kontrak social.
2.
Piagam
Madinah mampu memberikan legitimasi kepada warga Negara dan kewarganegaraan
berbasis pluralitas,
3.
Piagam
Madinah memberikan jaminan hak asasi manusia kepada setiap warga tanpa
diskriminasi.
4.
Piagam
Madinah menjamin kebebasan beragama, walaupun kepada masyarakat minoritas.
Dari pernyataan
di atas dapat kita simpulkan, bahwa fungsi-fungsi dari Piagam Madinah sebagai
berikut :
1.
Fungsi
penentu dan pembatas kekuasaan organ-organ Negara.
2.
Fungsi
mengatur hubungan antar organ Negara.
3.
Fungsi
pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara.
4.
Fungsi
pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan
penyelenggaraan kekuasaan Negara.
5.
Fungsi
penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem
demokrasi adalah rakyat / kedaulatan rakyat) kepada warga Negara.
6.
Fungsi
simbiolik sebagai pemersatu.
7.
Fungsi
sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan.
8.
Fungsi
simbolik sebagai upacara.
9.
Fungsi
sebagai sarana pengendali masyarakat, baik dalam arti sempit hanya di bidang
politik maupun dalam arti luas mencakup bidang social dan ekonomi.
10.
Fungsi
sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Syahuri, Dr. Taufiqurrohman. 2011. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum.
Kencana Prenada Media Group : Jakarta.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel
Surabaya. 2012. Civic Education
(Pendidikan Kewarganegaraan). IAIN Sunan EMpel Press : Surabaya.
Marbun. B.N. 2006. Kamus Hukum Indonesia. Pustaka Sinar
Harapan : Jakarta.
Comments