Konstitusi


A.    PENGERTIAN
Dalam kamus hukum Indonesia, konstitusi adalah segala ketentuan aturan tentang ketatanegaraan atau Undang-Undang Dasar, dan sebagainya; UUD suatu Negara[1]. Ada dua istilah terkait dengan norma atau ketentuan dasar terkait dengan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Kedua istilah tersebut adalah konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang berarti membentuk. Maksud dari istilah tersebut adalah pembentukan, penyusunan suatu Negara atau pernyataan berdirinya suatu Negara, atau proklamasi berdirinya suatu Negara baru yang berdaulat.
Dalam bahasa Latin, konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yakni cume berarti “bersama dengan” dan statuere  yang berarti “membuat sesuatu agar bisa berdiri” atau “mendirikan”, dan “menatapkan sesuatu”.
Sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan dari istilah Belanda dan Jerman : grondwet. Kata grond berarti tanah atau dasar dari wet berarti undang-undang. Sehingga memiliki arti bahwa suatu undnag-undang menjadi dasar dari segala hukum dan bahwa Indonesia mempergunakan perkataan UUD seperti arti grondwet.   
Istilah konstitusi dalam bahasa Inggris memiliki makna yang lebih luas daripada Undang-Undang Dasar. Konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur dan mengikat dengan cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Sedangkan Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dalam konstitusi.
Herman Heller berpandangan bahwa kontitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis, melainkan juga bersifat sosiologis dan politis. Sedangkan Undnag-Undang Dasar hanyalah merupakan sebagian dari pengertian konstitusi.
F. False juga berpendapat sama yang membagi pengertian konstitusi menjadi dua :
1. Sosiologis dan politis. Secara sosiologis dan politis adalah sintesa factor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat (hubungan antara kekuasaan-kekuasaan dalam suatu Negara), seperti raja, parlemen, cabinet, angkatan perang, partai politik dan lain-lain.
2. Yuridis, adalah suatu naskah yang membuat susunan dan kerangka bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintah suatu Negara. Naskah formal yang berisi gambaran kekuasaan lembga-lembaga Negara secara resmi.
Berbeda dengan pendapat James Bryce, seperti dikutip C.F Strong yang menyamakan kostitusi dengan UUD. Ia mendefinisikan konstitusi sebagai kerangka masyarakat politik (Negara) yang disorganisir dengand an melalui hukum.
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, pengertian konstitusi adalah sama dengan pengertian UUD. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Dari beberapa pengertian di atas konstitusi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.             Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada para penguasa Negara.
2.             Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik.
3.             Suatu deskripsi yang menyangkut Hak Asasi Manusia.

B.     SEJARAH PERUBAHAN KONSTITUSI
Mengenai sejarah perubahan konstitusi di Indonesia, tidak akan lepas dari buku “Hukum Dasar” hasil karya Dokuritsu Zyunbi Tyoosokai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau biasa kita sebut BPUPKI. Yang pada masa pendudukan Jepang Hukum Dasar itu kemudian berubah menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, setelah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang saat itu lebih dikenal dengan Dokuritsu Zyunbi Inkai pada 18 Agustus 1945, setelah dibacakan pada upacara Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, yang sekarang lebih kita kenal sebagai “Undang-Undang Dasar 1945”.
Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan penggantian Konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 keadaan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Demikian pula pada awal 1950, saat bentuk Negara Indonesia diubah lagi menjadi bentuk Negara Republik Indonesia Serikat menjadi Negara kesatuan yang kedua, dengan ditandai pergantian konstitusi RIS 1949 diganti dengan konstitusi baru dengan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia berdasarkan pasal 127a, pasal 190 dan pasal 191 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Perubahan ini mencakup perubahan muqadimah, dan bentuk Negara, yaitu perubahan dari bentuk federal ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keluarnya pasal-pasal yang menetapkan perubahan-perubahan pada UUD ini disebut juga dengan Undang-Undang Federal No.7 Tahun 1950. Hal ini diawali dengan ditandatangani Piagam Persetujuan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat dan pemerintah Negara Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950, untuk bersama-sama melaksanakan Negara kesatuan sebagai Negara Republik Indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945 sesuai dengan cita-cita rakyat setelah dijajah begitu lama.
Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno mengeluarkan “Piagam Pernyataan”, yang menyatakan kepastian bahwa tanggal 17 Agustus 1950 susunan Unitaris sudah kembali meliputi seluruh wilayah Indonesia yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Sementara akan menjadi patokan dasar untuk penetapan hukum di Indonesia. Sayangnya hal ini hanya bertahan selama delapan tahun, tepatnya hingga Juli 1959. Pada saat itu kembalilah lagi konstituante bersama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.[2]
Sedangkan menurut pendapat Jimly Ashiddiqie, perubahan dari UUDS 1950 kepada UUD 1945 merupakan tindakan penggantian konstitusi baru. Karena berlakunya kembali UUD 1945 merupakan perubahan konstitusi dalam arti perubahan UUD secara total dan menyeluruh dengan pergantian konstitusi baru.

C.     SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI
Konstitusi sendiri merupakan hasil pemikiran orang-orang yang duduk menjadi anggota Konstituante yang dibentuk dan dipilih oleh rakyat, yang dalam konteks Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas menyusun dan menetapan Undang-Undang Dasar. Karena konstitusi sendiri merupakan berasal dari aspirasi rakyat, maka kemungkinan konstitusi tidak sempurna sangatlah wajar, sehingga perlu adanya perubahan dalam pembaruan yang lebih baik. Hal ini seiring dengan zaman, teknologi, dan kebudayaan konstitusi harus diadakan peninjauan kembali baik dengan cara penggantian konstitusi baru.
Ketidak sempurnaan sebuah konstitusi Negara dapat disebabkan dua hal :
1.      Susunan konstitusi merupaan hasil kompromi politik antar anggota partai politik dan kelompok kepentingan dalam masyarakat, atau dipengaruhi kepentingan market.
2.      Kapabilitas dan kemampuan para anggota komisi kontituante sangat terbatas dan tidak peka dalam menyerap seluruh aspirasi rakyat dan keterbatasan waktu.
Karena tuntutan zaman dan kepentingan masyarakat, menurut Sri Soemantri, perubahan sebuah Konstitusi (UUD) dapat dilakukan oleh :
1.      Perubahan konstitusi melalui siding kekuasaan legislative, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
2.      Perubahan melalui suara rakyat dengan suatu referendum nasional.
3.      Sejumlah Negara bagian, hal ini berlaku khusus untu Negara yang berbentuk Negara seriakt / federasi.
4.      Dengan kebiasaan etatanegaraan, atau suatu lembaga Negara yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan konstitusi.
Sementara menurut Meriam Budiarjo, ada empat macam prosedur dalam perubahan konstitusi, yaitu :
a.       Sidang badan legislative dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan Undang-Undang Dasar dan jumlah minimum anggota badan legislative untu menerimanya.
b.      Referendum atau plebisit.
c.       Negara-negara bagian dalam Negara federal (misalnya, Negara USA dengan ¾ dari 50 negara-negara bagian harus menyetujui).
d.      Musyawarah khusus (special convention).
Pendapat yang senada diungkapkan oleh C. F. Strong. Ia mengatakan bahwa prosedur perubahan konstiitusi ada empat macam cara, yaitu :
1.      Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang legislative, akan tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu.
2.      Perubahan konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum.
3.      Perubahan konstitusi (ini berlaku dalam Negara serikat) yang dilakukan oleh sejulah Negara-negara bagian.
4.      Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi artinya dilakukan oleh suatu lembaga Negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Berkaitan dengan prosedur yang harus dihadapi untuk melakukan suatu perubahan materi atau isi Undang-Undang Dasar, kalau kita perhatikan ada tiga pola dasar, yakni :
Pertama, dengan secara langsung memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah undang-undang dasar. Misalnya, Negara yang menganut pola ini, seperti Perancis, Jerman, dan Belanda. Keseluruhan materi perubahan ini langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi.
Kedua, mengganti naskah undang-undang dasar secara keseluruhan, kelompok kedua ini Negara yang bersangkutan mengganti naskah konstitusi yang berlaku dengan naskah yang baru. Dan kebanyakan Negara tatanan perpolitikannya belum mapan dan stabil, biasanya masih terjadi jatuh bangunnya pemerintahan. Contoh Negara miskin di Asia seperti Myanmar, Laos, Kamboja, serta Negara Afrika, seperti Liberia, Chad, Kamerun dan Nigeria.
Ketiga, kelompok yang terakhir ini adalah Negara yang melakukan perubahan naskah konstitusinya dengan cara terpisah dari naskah yang berlaku, biasanya hal yang seperti ini disebut dengan istilah amandemen pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Dengan cara demikian naskah aslinya tetap ada dan utuh. Tetapi, kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat terpenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan addendum atau tambahan naskah asli tersebut. Hal ini, sekarang seperti yang terjadi pada tatanan kenegeraan Indonesia.

D.    TUJUAN, FUNGSI DAN RUANG LINGKUP
Secara garis besar tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan kesewenang-wenangan pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Menurut Bagir Manan, hakikat tujuan konstitusi merupakan perwujudan paham tentang konstitusi yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga Negara maupun setiap penduduk di pihak lain.
Dalam berbagai literature hukum tata Negara maupun ilmu politik ditegaskan bahwa fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum Negara. Karena itu ruang lingkup isi Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis sebagaimana dikemukakan oleh A.H. Struycken memuat tentang :
a.       Hasil perjuangan politik bangsa waktu lampau;
b.      Tindakan tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
c.       Pandangan tokoh bangsa yang hendak mewujudkan baik waktu sekatang maupun untuk masa yang akan datang;
d.      Suatu keinginan dengan dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Sedangkan menurut Sri Soematri dengan mengutip pendapat Steenbeck, menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi, yaitu :
1.      Konstitusi atau Undang-Undang Dasar harus menjamin Hak Asasi Manusia.
2.      Konstitusi atau Undang-Undang Dasar harus memuat susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat mendasar.
3.      Konstitusi atau Undang-Undang harus mengatur tugas serta pembagian atau pembatasan kekuasaan Negara secara jelas.
Dalam ranah kekuasaan yang ada di masyarakat, maka kekuasaan politiklah yang paling mempunyai arti dan kedudukan penting. Oleh karena itu, kekuasaan politik suatu negara harus diintragasikan. Kesatuan kekuasaan politik dan Negara ini diwujudkan dalam aturan dasar yang konkrit dan rinci agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau biasa disebut abuse of power oleh seseorang yang sedang menjabat atau berkuasa atas nama rakyat.
Usaha integrasi berbagai jenis kekuatan politik dalam Negara akan menentukan berbagai macam sifat / karakter dasar / fundamental dari Negara tersebut.
Karakter atau fundamental  bisa tercirikan sbb, yaitu :
1.      Negara cenderung bersifat memaksa (otoritas sangat jelas dan tidak terbantahkan);
2.      Negara tersebut bersifat memonopoli tujuan bersama;
3.      Negara terkesan menguasai hampir dalam segala hal atau juga bisa hampir menguasai seluruh aspek dalam Negara;
4.      Negara tersebut dapat menggunakan kekuatan fisik secara sah untuk ditaati peraturan dan keputusannya;
5.      Negara dapat menjatuhkan sanksi atau hukuman yang bersifat otoratif (pribadi).
Dalam rangka menegakkan hukum (law inforcenment) terhadap pelanggaran hukum dan kriminalitas, atas perintang undang-undang dan pengadilan, maka Negara bersifat dalam memberikan sanksi hukum  yang mandiri dan otoratif serta represif (equality before the law). Oleh karena itu, tidak mungkin setiap anggota masyarakat dapat melaksanakan kehendak dan tujuannya, selain Negara
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dapat mempunyai lima macam kekuasaan politik, yaiu :
1.      Kekuasaan diplomatic (diplomatic power);
2.      Kekuasaan administrative (administrative power);
3.      Kekuasaan militer (militery power);
4.      Kekuasaan hukum atau kehakiman (judicial power);
5.      Kekuasaan legislative (legislative power).
Selanjutnya dalam paham konstitusi (konstitusionalisme) yang demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi :
1.      Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
2.      Jaminan dan perlindungan hak asasi manusia;
3.      Peradilan yang bebas dan mandiri (independen);
4.      Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas public) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.

E.     KLASIFIKASI KONSTITUSI
K.C. Wheare, sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib dk., mengungkapkan secara pajang lebar mengenai berbagai macam kontitusi yang pada intinya konstitusi dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi tertuis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki kesakralan khusus dalam proses perumusannya, konstitusi ini merupakan instrument yang oleh para penyusunnya disusun untuk segaa kemungkinan yang dirasa terjadi dalam pelaksanaannya. Sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang berkembang atas dasar adat istiadat dari pada hukum tertulis, konstitusi ini tidka membutuhkan proses yang panjang.
2.      Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku
Konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya procedural khusus yang dinyatakan secara tertulis sebagai konstitusi fleksibel, sebaliknya konstitusi yang mengsyaratkan procedural atau amandemennya perlu tata cara yang khusus adalah konstitusi kaku atau konstitusi rigid.
3.      Konstitusi Derajat Tinggi dan Konstitusi Tidak Derajat Tinggi
Konstitusi derajat tinggi adalah konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam Negara, jika dilihat dari bentuknya konstitusi ini berada di atas peraturan perundangan-perundangan yang ain. Demikian juga syarat-syarat untuk mengubahnya sangatlah berat. Sedangkan konstitusi tidak derajat tinggi sebaliknya, konstitusi ini tidka memiliki derajat atau kedudukan tinggi dan persyaratan untuk mengubahnya sama dengan persyaratan untuk mengubah peraturan lain yang setingkat dengan undang-undang.
4.      Konstitusi Serikat dan Konstiusi Kesatuan
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk suatu Negara, jika bentuk suatu Negara serikat. Maka, akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara Negara / pemerintah Negara serikat dengan pemerintah Negara bagian. Pembagian kekuasaan tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaannya terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi yang telah disepakati.
5.      Konstitusi Sistem Pemerintahan Presidensial dan Konstitusi Sistem Pemerintahan Parlementer
Menurut C.F. Strong terdapat dua macam pemerintahan presendial di Negara-negara dunia dewasa ini dengan cirri pokoknya sebagai berikut :
a.       Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislative, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih. Seperti Amerika Serikat dan Indonesia.
b.      Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislative.
c.       Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislative atau Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah tidak dapat memerintahkan diadakannya pemilihan umum lebih awal.
Sedangkan ciri sistem pemerintahan parlementer sebagai berikut :
a.       Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau didasarkan kekuatan-kekuatan politik yang menguasai parlemen atau lembaga legislative.
b.      Para anggota cabinet mungkin seluruhnya atau mungkin juga sebagian adalah anggota parlemen.
c.       Perdana menteri bersama cabinet bertanggungjawab kepada parlemen.
d.      Kepala Negara dengan saran atau nasehat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.

F.      KONSTITUALISME DAN KONSTITUSI / PIAGAM MADINAH
Piagam tertulis dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad saw. dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari kota Mekkah ke Yastrib (Madinah), pada tahun 622 M.
Secara keseluruhan Piagam Madinah berisi 47 pasal ketentuan. Yang intinya adalah memberika jaminan kesamaan dan kesatuan dalam keberagaman dan kemajemukan masyarakat yang dirumuskan dalam konstitusi, sehingga dalam menghadapi musuh Negara yang mungkin menyerang setiap warga kota akan membantu untuk bela Negara.
Shahifah atau Piagam Madinah, secara umum membawa watak masyarakat yang dibina oleh Nabi, mereka mampu berpegang pada prinsip kemerdekaan dan penghormatan yang sesungguhnya terhadap hak-hak dasar manusia, dan menyerahkan urusan kemayarakatan kepada umatnya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan perincian pelaksanaan pengaturan kehidupan masyarakat di luar masalah-masalah yang berdifat ‘ubudiyah. Said Ramadan dalam buku Islamic Law, mencatat ada tiga hal yang penting dalam Piagam Madinah, yaitu: 1) Telah tercipta suatu konstelasi social politik di Negara Madinah yang terdiri dari orang-orang Islam dan non-Muslim, termasuk Yahudi. 2) Kedudukan orang-orang Yahudi diatur dengan jelas dalam Konstitusi Madinah. 3) Adanya jaminan persamaan, baik perlindungan maupun keamanan bagi orang-orang Islam maupun non-Islam.[3]
Selain itu, mantan Menteri Agama RI, Munawir Syadzali, menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan dasar-dasar fundamental dalam meletakkan Negara yang majemuk dan multietnis di Madinah, yang berisi pokok-pokok sistem pemerintahan, antara lain :
1.      Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi mereka merupakan satu komunitas bangsa.
2.      Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam, dan anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip :
a.       Bertetangga yang baik.
b.      Saling bantu membantu dalam menghadapi musuh bersama.
c.       Membela mereka yang minoritas (lemah).
d.      Saling menasehati, keterbukaan informasi.
e.       Jaminan kebebasan beragama.
Namun, secara garis besar yang dapat dijabarkan oleh pakar dunia tentang Piagam Madinah adalah :
1.      Piagam Madinah sendiri adalah sebuah kontrak social.
2.      Piagam Madinah mampu memberikan legitimasi kepada warga Negara dan kewarganegaraan berbasis pluralitas,
3.      Piagam Madinah memberikan jaminan hak asasi manusia kepada setiap warga tanpa diskriminasi.
4.      Piagam Madinah menjamin kebebasan beragama, walaupun kepada masyarakat minoritas.
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan, bahwa fungsi-fungsi dari Piagam Madinah sebagai berikut :
1.      Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ-organ Negara.
2.      Fungsi mengatur hubungan antar organ Negara.
3.      Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara.
4.      Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan Negara.
5.      Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat / kedaulatan rakyat) kepada warga Negara.
6.      Fungsi simbiolik sebagai pemersatu.
7.      Fungsi sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan.
8.      Fungsi simbolik sebagai upacara.
9.      Fungsi sebagai sarana pengendali masyarakat, baik dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang social dan ekonomi.
10.  Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat.

DAFTAR  PUSTAKA

Syahuri, Dr. Taufiqurrohman. 2011. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Kencana Prenada Media Group : Jakarta.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2012. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). IAIN Sunan EMpel Press : Surabaya.
Marbun. B.N. 2006. Kamus Hukum Indonesia. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta.


[1] B.N MARBUN, KAMUS HUKUM INDONESIA, 2003:146.
[2] Dr. TAUFIQURROHMAN SYAHURI, SH. MH.  Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. 2011 : 18-19
[3] Ibid, 213.

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki