Tanggung Jawab Individu Dan Negara Menurut Hukum Internasional
Tanggung Jawab Individu Dan Negara
Menurut Hukum Internasional*)
I Dewa Gede Palguna**)
PENGANTAR
Empat puluh empat tahun yang lalu,
Friedmann menyatakan telah terjadinya perubahan struktur dan berkembangnya
dimensi-dimensi baru hukum internasional. Satu di antaranya yang terpenting
adalah terus meluasnya ruang lingkup bidang hukum ini. Perluasan ruang lingkup
tersebut, untuk bagian terbesar, diakibatkan oleh bertumbuhnya bidang-bidang di
mana seluruh atau sebagian anggota masyarakat bangsa-bangsa bekerjasama untuk
mencapai tujuan-tujuan kesejahteraan internasional.[1]
Oleh karena itu, menurut Friedmann, dalam memahami dimensi-dimensi baru bidang
hukum ini mesti dimulai dari lima perspektif yang berbeda:
(1)
meluasnya ruang
lingkup hukum internasional publik dengan masuknya pokok-pokok bahasan baru
yang sebelumnya berada di luar bidang hukum ini;
(2)
masuknya
organisasi-organisasi internasional publik dan – dalam batas-batas tertentu –
korporasi-korporasi privat dan orang perorangan atau individu;
(3)
perluasan
“horizontal” hukum internasional, khususnya turut sertanya kelompok negara
non-Barat ke dalam keluarga hukum bangsa-bangsa;
(4)
dampak
prinsip-prinsip politik, sosial, dan ekonomi organisasi pada universalitas
hukum internasional publik, utamanya ketika ruang lingkup dan pokok bahasan
prinsip-prinsip itu meluas;
(5)
peran dan keanekaragaman
organisasi internasional dalam implementasi tugas-tugas baru hukum
internasional.[2]
Sebagian dari yang dikatakan
Friedmann lebih dari empat puluh tahun yang lalu itu kini telah benar-benar
menjadi kenyataan, misalnya masuknya hak asasi manusia, perlindungan lingkungan
hidup, dan ruang angkasa ke dalam domain hukum internasional.[3]
Kendatipun demikian, hingga saat ini, negara-negara tetaplah merupakan pelaku
utama dalam hukum internasional dalam pengertian bahwa negara-negaralah yang
hingga saat ini masih tetap menikmati kepribadian hukum internasional (international legal personality) yang
penuh, yang berarti negara-negara itu dapat menciptakan dan menjadi subjek
langsung dari kewajiban-kewajiban internasional.[4]
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan
umum di kalangan sarjana hukum, sampai dengan perkembangannya saat ini, yang
telah diterima sebagai subjek hukum internasional – yaitu pemegang hak dan
kewajiban dalam hukum internasional – selain negara adalah Tahta Suci (Vatican),
Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang perorangan
(individu), dan pihak dalam sengketa (belligerent).[5]
Dalam kaitan dengan acara ini, pertanyaannya
kemudian adalah, jika hingga saat ini negara masih merupakan pelaku utama dalam
hukum internasional, yang artinya bahwa negaralah yang merupakan subjek hukum
utama dalam hukum internasional, apakah dengan demikian berarti hanya negara
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum internasional? Perkembangan yang
terjadi, khususnya setelah Perang Dunia II, menunjukkan bahwa individu atau
orang perorangan pun, dalam batas-batas tertentu, dapat dimintakan
pertanggungjwabannya menurut atau dalam hukum internasional, khususnya dengan
makin berkembangnya hukum humaniter internasional, hukum internasional hak
asasi manusia, dan hukum pidana internasional. Ketiga cabang hukum
internasional ini, pada titik tertentu, bukan hanya saling berhubungan tetapi juga
saling melengkapi. Jeffrey L. Dunoff dan kawan-kawan mempunyai perumpamaan
menarik dalam menggambarkan hubungan antara ketiga cabang hukum internasional
ini:
Geometrically, international human rights law, international humanitarian
law, and international criminal law might be visualized as three circles or rings,
each of which overlaps with the other two. Thus ... certain major human rights
treaties and humanitarian law contain penal provisions. In that sense, criminal
processes are an alternative along a continuum to enforce human rights or
humanitarian law. At the same time and quiet significantly, states do not
regard most human rights and humanitarian law violations as entailing
individual responsibility; international criminal law does not incorporate all
humanitarian or human rights law”.[6]
Tulisan ini mencoba menguraikan secara
singkat persoalan pertanggungjawaban negara dan individu dalam atau menurut
hukum internasional. Sedangkan, masalah pertanggungjawaban subjek-subjek hukum
internasional lainnya, misalnya organisasi internasional, tidak akan dibahas di
sini. Hal itu di samping dikarenakan berada di luar ruang lingkup acara ini
juga karena, mengingat sifatnya, memerlukan waktu khusus atau tersendiri.
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL[7]
Tinjauan Umum
Secara umum dikatakan, negara bertanggung
jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan
dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah
membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada
tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab
Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States
for Internationally Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut
“Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/
59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi
tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan
masalah itu kembali pada tahun 2007.
Hukum internasional tentang tanggung
jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan
internasional. Ia berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan
pengadilan internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi.
Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip dan
menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC, sehingga kalaupun rancangan
Artikel itu tidak menjelma sebagai konvensi, dapat dipastikan bahwa ia akan
tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional itu. Oleh
karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional (International Court of
Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum
kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara)
sebagai sumber primer hukum internasional.
Sebelum masuk ke dalam hal-hal
substansial yang lebih detail, ada tiga hal penting, semacam prinsip umum, yang
perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
(1) bahwa Artikel bersifat residual, maksudnya Artikel tidak berlaku dalam hal syarat-syarat
atau kondisi bagi adanya suatu perbuatan yang dipersalahkan secara
internasional (internationally wrongful
act) atau isi maupun implementasi tanggung jawab internasional suatu negara
diatur oleh ketentuan hukum internasional khusus;[8]
(2) bahwa hukum kebiasaan internasional akan
tetap berlaku terhadap masalah-masalah yang tidak dicakup oleh Artikel,
sehingga tetap terbuka bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur
tentang tanggung jawab negara, misalnya mengenai tanggung jawab atas
akibat-akibat yang merugikan atau membayakan yang ditimbulkan oleh suatu
tindakan yang tidak dilarang oleh hukum internasional;[9]
(3) bahwa, tanpa mengabaikan ketentuan dalam
Piagam PBB, kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam Pasal 103 Artikel
diutamakan berlakunya daripada kewajiban-kewajiban yang timbul dari
perjanjian-perjanjian internasional lainnya.[10]
Maksud ketentuan ini adalah untuk menyatakan secara tegas bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Artikel tidak mengesampingkan tindakan yang diambil
oleh PBB mengenai pembayaran kompensasi oleh suatu negara.
Perbuatan suatu negara
yang dipersalahkan secara internasional
(Internationally wrongful act of a state)
Artikel menentukan bahwa setiap
tindakan atau perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional
melahirkan pertanggungjawaban internasional negara yang bersangkutan. Perbuatan
tersebut dikatakan salah hanya jika (a) berdasarkan hukum internasional ia dapat
diatribusikan kepada negara itu, dan (b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional. Namun Artikel tidak memberi pembatasan kapan
suatu negara melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Hal itu
ditentukan melalui penerapan sumber-sumber ketentuan primer (ketentuan perjanjian
internasional, hukum kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum
internasional lainnya). Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap
pertanggungjawaban organisasi internasional dan individu atau orang-perorangan. [11]
Perbuatan yang
diatribusikan kepada suatu negara
(Attribution of conduct to a state)
Dalam keadaan bagaimanakah suatu
perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara? Secara umum, ketentuan yang
berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara atau pemerintah
atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan
perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat
diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan
nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan
apa pun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai
organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara. Juga termasuk di dalamnya orang-orang yang secara
nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak diklasifikan
demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.[12]
Perbuatan atau tindakan yang murni
merupakan tindakan pribadi yang dilakukan seseorang, meskipun orang yang bersangkutan
adalah pejabat suatu negara, tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara.[13]
Namun, perbuatan yang dilakukan oleh orang atau entitas yang bukan merupakan
organ negara tetapi diberi kewenangan oleh hukum nasional suatu negara untuk
melaksanakan “unsur-unsur kewenangan pemerintah” (elements of govermental authority) akan dianggap sebagai perbuatan
negara jika dalam kasus tertentu orang atau entitas tadi bertindak dalam
kapasitas demikian.[14]
Sementara itu, jika organ suatu negara
sedang melaksanakan tugas untuk membantu negara lain, maka perbuatan organ
negara tadi akan dianggap sebagai perbuatan negara yang disebut terakhir
sepanjang organ negara itu bertindak atas persetujuan serta berada di bawah
kewenangan, perintah, dan pengawasan negara yang disebut terakhir dan untuk
mencapai tujuan-tujuan negara yang disebut terakhir tadi.[15]
Tindakan organ negara, atau orang
maupun entitas yang diberi wewenang untuk melaksanakan unsur-unsur kewenangan
pemerintahan, dipandang sebagai tindakan negara jika organ negara, orang atau
entitas tersebut bertindak dalam kapasitas itu bahkan jika mereka bertindak
melampaui kewenangannya atau melanggar perintah.[16]
Ketentuan ini dimaksudkan agar suatu negara tidak menghindar dari tanggung
jawabnya dengan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh organ-organnya
itu adalah tindakan yang tidak sah. Namun, dalam hal ini, tidak mencakup
tindakan yang murni merupakan tindakan atau perbuatan pribadi,[17]
melainkan tindakan yang diakui atau tampak dilakukan pada saat organ-organ
negara, orang, atau entitas tadi sedang melaksanakan fungsi-fungsi resminya.
Bahkan tindakan seseorang atau
sekelompok orang yang tidak merupakan tindakan pemerintah pun dapat dianggap
sebagai tindakan negara jika orang atau kelompok orang itu bertindak berdasarkan
perintah negara atau berada di bawah perintah atau pengawasan negara.[18]
Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab atas tindakan sekelompok orang
yang, misalnya, melakukan teror berdasarkan perintah negara itu. Juga, suatu
perbuatan yang sesungguhnya tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara akan
dapat diatribusikan kepada negara jika negara tersebut mengakui dan menerima
tindakan tersebut sebagai tindakannya.[19]
Namun, dalam hubungan ini, jika sekadar berupa pernyataan dukungan yang
dinyatakan oleh suatu negara tidak cukup untuk menyatakan perbuatan itu diatribusikan
kepada negara tersebut.
Pelanggaran suatu
kewajiban internasional
(Breach of an international obligation)
Sekalipun suatu perbuatan dapat
diatribusikan kepada suatu negara, untuk
melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus dibuktikan
merupakan melanggar suatu kewajiban internasional negara yang
bersangkutan. Untuk menentukan ada
tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional, Artikel menentukan bahwa
hal itu harus ditentukan secara kasus demi kasus.[20]
Sementara itu ditentukan pula bahwa
perbuatan suatu negara tidak dianggap pelanggaran kewajiban internasional jika
perbuatan itu terjadi sebelum terikatnya suatu negara oleh suatu kewajiban
internasional.[21] Hal ini
sudah merupakan asas hukum internasional yang berlaku umum yaitu bahwa suatu
perbuatan harus dinilai menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu
terjadi, bukan ketika terjadinya sengketa akibat perbuatan itu (yang bisa saja
baru terjadi bertahun-tahun setelah perbuatan itu).
Keadaan-keadaan yang
menghapuskan kesalahan
(Circumstances precluding wrongfulness)
Keadaan-keadaan tertentu, meski
tidak mempengaruhi suatu kewajiban internasional, dapat menjadi alasan pembenar
atas terjadinya pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, yang dengan
demikian menghapuskan unsur kesalahan dari perbuatan itu. Beban pembuktiannya berada
pada negara yang hendak membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban.
Contohnya, adanya persetujuan dari
suatu negara atas perbuatan yang dilakukan oleh negara lain yang jika tidak ada
persetujuan tersebut perbuatan tadi adalah perbuatan yang dapat dipersalahkan.[22]
Demikian pula tindakan yang dilakukan dalam rangka pembelaan diri sesuai dengan
ketentuan Piagam PBB.[23]
Namun, dalam hubungan ini penting dicatat bahwa kendatipun penggunaan kekuatan
bersenjata (misalnya dalam rangka pembelaan diri tadi) itu sah, tanggung bagi
terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter yang berlaku dalam sengketa
bersenjata (jus in bello) atau pelanggaran
terhadap hak asasi yang tergolong ke dalam non-derogable
tetap berlaku.[24]
Terdapat beberapa hal lain yang
dapat membebaskan suatu negara dari kesalahan, yaitu jika perbuatan itu
dilakukan karena keadaan terpaksa (force
majeure), atau jika pelaku tidak mempunyai pilihan lain yang masuk akal,
dalam keadaan tertekan (distress),
guna menyelamatkan hidupnya atau pihak lain yang berada di bawah pengawasannya.[25]
Yang juga dapat membebaskan negara dari kesalahan adalah jika tindakan yang
dilakukan itu merupakan keharusan (necessity).
Hal ini bisa terjadi dalam hal adanya pertentangan yang tidak dapat didamaikan
antara kepentingan mendasar suatu negara dan kewajiban internasional negara
itu. Oleh karenanya, dalil necessity
ini rentan terhadap kemungkinan penyalahgunaan. Untuk menghindari
penyalahgunaan itulah Artikel menentukan bahwa dalil necessity baru dapat diterima sepanjang: (a) hal itu merupakan
satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan kepentingan esensial suatu negara
dari bahaya besar dan segera terjadi (grave
and imminent peril), (b) tidak menimbulkan gangguan serius terhadap
kepentingan esensial negara yang terikat oleh kewajiban internasional itu atau
masyarakat internasional secara keseluruhan.[26]
Selanjutnya ditegaskan pula oleh
Artikel bahwa hal apa pun tidak dapat membebaskan suatu negara untuk melanggar
suatu norma hukum internasional yang sudah pasti (jus cogens, peremptory norms), misalnya larangan melakukan
genosida, perbudakan, agresi, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.[27]
Isi pertanggungjawaban
internasional suatu negara
(Content of the international responsibility
of a state)
Ketika suatu perbuatan yang
dipersalahkan menurut hukum internasional terjadi maka lahirlah suatu hubungan
hukum baru antara negara-negara yang terkait, terutama kewajiban untuk
melakukan perbaikan (reparation). Akibat
hukum dari suatu perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional tidak
menghilangkan keharusan untuk mematuhi kewajiban yang dilanggar.[28]
Dengan kata lain, pelanggaran terhadap suatu kewajiban tidaklah menghilangkan
kewajiban itu. Selanjutnya, Pasal 30 Artikel menentukan bahwa suatu negara yang
dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum
internasional diwajibkan untuk (a) mengakhiri perbuatan itu, (b) menawarkan jaminan
yang memadai atau jaminan tidak akan mengulangi perbuatan itu.
Negara yang dipertanggungjawabkan
karena melakukan kesalahan menurut hukum
internasional berkewajiban untuk melakukan perbaikan penuh atas kerugian yang
diakibatkan oleh perbuatannya itu. Kerugian itu mencakup kerugian material
maupun moral. Bentuk atau jenis perbaikan (reparation)
itu mencakup restitusi (restitution),
kompensasi (compensation), dan
pemenuhan (satisfaction).[29]
Restitusi adalah tindakan untuk
mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran sepanjang hal itu
secara material tidak mustahil atau sepanjang tidak merupakan suatu beban yang
tidak proporsional. Restitusi hanya mencakup pengembalian hal-hal sebelum
kejadian, sedangkan kerugian lebih lanjut merupakan masalah kompensasi.[30] Adapun kompensasi pengertiannya adalah bahwa
suatu negara berkewajiban untuk memberi kompensasi atas kerugian yang
disebabkan oleh perbuatannya yang dipersalahkan menurut hukum internasional
sepanjang hal itu tidak menyangkut hal-hal yang telah dilakukan secara baik
melalui restitusi.[31]
Sementara itu, menyangkut soal pemenuhan (satisfaction),
Artikel menentukan bahwa hal itu dilakukan sepanjang restitusi atau kompensasi
tidak berlangsung baik atau tidak memuaskan. Ia dapat berupa pengakuan telah
melakukan pelanggaran, pernyataan menyesal, atau permohonan maaf secara formal
atau sarana-sarana lain yang dipandang tepat.[32]
Tindakan balasan
(Countermeasures)
Negara yang menderita kerugian
karena perbuatan negara lain diperbolehkan melakukan tindakan balasan yakni
berupa tindakan tidak melaksanakan kewajiban internasional tertentu dalam
hubungan dengan negara yang melakukan pelanggaran namun semata-mata dengan
tujuan agar negara yang melakukan pelanggaran itu berhenti melakukan
pelanggaran dan melakukan perbaikan penuh.[33]
Namun tindakan balasan ini mengandung bahaya atau risiko yaitu jika
ternyata terbukti bahwa justru tindakan negara yang mulanya dianggap melanggar
itu adalah tindakan yang sah menurut hukum internasional maka tindakan balasan
itulah yang menjadi tindakan yang tidak sah. Di samping itu, harus dibedakan
pengertian tindakan balasan dalam rangka tanggung jawab negara ini dan
pembalasan (reprisal) yang dikenal
dalam hukum yang berlaku dalam sengketa bersenjata atau hukum humaniter, juga
berbeda dengan tindakan penjatuhan sanksi, penghentian atau pengakhiran suatu
perjanjian. Countermeasures ini
lazimnya terjadi dalam konteks bilateral.
TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Tinjauan Umum
Seseorang yang bertindak atas nama suatu
negara juga dapat dipertanggung-jawabkan secara individual.[34]
Sehingga, meskipun suatu negara bertanggung jawab atas suatu perbuatan yang
dipersalahkan (a wrongful act) yang
dilakukan oleh para pejabatnya, para pejabat itu secara individual juga dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana untuk perbuatan yang sama, khususnya yang
menyangkut pelanggaran terhadap hukum sengketa bersenjata (hukum humaniter) dan
tindak pidana internasional lainnya.[35]
Dengan demikian, berdasarkan
ketentuan-ketentuan Artikel, jika seorang individu melakukan suatu tindak
pidana internasional ia tetap dapat dituntut pertanggung-jawabannya secara
individual, meskipun orang yang bersangkutan pada saat melakukan perbuatan itu
berkedudukan sebagai organ negara. Ketentuan ini menjadi penting untuk mencegah
terjadinya keadaan di mana seseorang berdalih di balik statusnya sebagai organ
negara untuk menghindarkan diri dari tanggung jawabnya atas tindak pidana yang
telah dilakukannya.
Jenis-jenis tindak pidana internasional
Ada tiga sumber untuk menemukan
perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana internasional,
yaitu:[36]
(1)
tindak pidana
internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang dalam praktik hukum
internasional;
(2)
tindak pidana
internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional;
(3)
tindak pidana
internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi
manusia.
Dengan telah berlakunya Statuta Roma (Rome Statute, selanjutnya disebut “Statuta”),
yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC), pada tanggal 17 Juli 1998,
jenis-jenis tindak pidana menurut ketiga sumber itu terangkum dalam Pasal 5
Statuta, walaupun tidak seluruhnya, yang mengatur tentang yurisdiksi ICC,
yaitu:
(a)
Kejahatan
Genosida
(b)
Kejahatan
terhadap Kemanusiaan;
(c)
Kejahatan Perang;
(d)
Agresi.
Yang dimaksud dan termasuk ke dalam
kejahatan Genosida adalah salah satu atau lebih dari perbuatan berikut yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, etnis, ras, atau agama, seperti :
(a)
membunuh anggota
kelompok;
(b)
menyebabkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
(c)
sengaja
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian;
(d)
memaksa
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam suatu kelompok;
(e)
memindahkan
secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya.[37]
Sedangkan yang dimaksud dan yang
termasuk ke dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah salah satu dari
beberapa perbuatan berikut yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari
serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap penduduk
sipil:
(a)
pembunuhan;
(b)
pembasmian;
(c)
perbudakan;
(d)
deportasi atau
pemindahan penduduk secara paksa;
(e)
pengurungan atau
pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan
dasar hukum internasional;
(f)
penyiksaan;
(g)
pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi
secara paksa, atau berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya;
(h)
penindasan
terhadap suatu kelompok yang dapat dikenali atau terhadap suatu kelompok
politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, jender/jenis kelamin, atau
kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak diperbolehkan dalam
hukum internasional;
(i)
penghilangan
orang secara paksa;
(j)
kejahatan rasial
(apartheid);
(k)
perbuatan tidak
manusiawi yang serupa, yang dengan sengaja mengakibatkan penderitaan yang
berat, luka serius terhadap badan, mental, atau kesehatan fisik seseorang.[38]
Adapun yang dimaksud dan yang
termasuk ke dalam kejahatan perang adalah mencakup sejumlah perbuatan atau
tindakan yang sangat luas yakni:
(a)
pelanggaran berat
terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu:
1.
sengaja melakukan
pembunuhan;
2.
penyiksaan atau
perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk percobaan-percobaan biologis;
3.
segaja
menimbulkan penderitaan yang berat, atau luka badan maupun kesehatan yang
serius;
4.
perusakan secara
luas dan perampasan terhadap harta benda, yang tidak dibenarkan oleh
kepentingan militer dan dilakukan secara melawan hukum dan semena-mena;
5.
pemaksaan
terhadap tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi lainnya untuk berdinas
dalam ketentaraan negara musuh;
6.
sengaja melakukan
pencabutan hak tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi lainnya atas
pengadilan yang adil dan wajar;
7.
deportasi atau
pemindahan atau penahanan secara melawan hukum;
8.
penyanderaan.
(b)
pelanggaran berat
terhadap hukum dalam kerangka hukum internasional, mencakup 26 jenis perbuatan,
yaitu:
1.
dengan sengaja
melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil atau terhadap orang sipil yang
tidak secara langsung terlibat dalam pertempuran;
2.
dengan sengaja
melakukan penyerangan terhadap sasaran sipil yang bukan merupakan sasaran
militer;
3.
dengan sengaja
melakukan penyerangan terhadap personel, instalasi-instalasi, bangunan,
unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi penjaga perdamaian sesuai
dengan Piagam PBB, sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan
sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum internasional tentang
konflik bersenjata;
4.
dengan sengaja
melancarkan serangan yang diketahuinya bahwa serangan itu akan menimbulkan
kematian atau cedera terhadap penduduk sipil, atau kerusakan terhadap sasaran
sipil, atau mengakibatkan kerusakan yang meluas, sangat berat dan berjangka
waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara tegas melampaui batas dalam
kaitannya dengan upaya mengantisipasi keuntungan-keuntungan militer yang nyata
dan langsung;
5.
penyerangan atau
peledakan kota, desa-desa, tempat tinggal, dan gedung yang tidak dilindungi dan
bukan sasaran militer;
6.
pembunuhan atau
melukai kombatan yang sudah menyerah yaitu mereka yang sudah meletakkan
senjatanya atau sudah tidak lagi memiliki sarana untuk melawan;
7.
penggunaan
bendera gencatan senjata, tanda-tanda atau seragam militer musuh atau PBB, juga
emblem pembeda (distinctive emblem)
yang diatur dalam Konvensi Jenewa, dengan tidak semestinya, yang mengakibatkan
kematian atau luka berat;
8.
pemindahan secara
langsung maupun tidak langsung oleh kekuatan pendudukan (occupying power) terhadap sebagian penduduk sipilnya ke dalam
wilayah yang diduduki, atau deportasi maupun pemindahan seluruh atau sebagian
penduduk yang tinggal di daerah yang diduduki di dalam maupun keluar daerah
mereka;
9.
secara sengaja
melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, pendidikan, kebudayaan,
ilmu pengetahuan, atau amal, bangunan bersejarah, rumah sakit, dan
tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dan luka-luka dikumpulkan,
sepanjang tempat-tempat itu bukan untuk kepentingan militer;
10.
mewajibkan orang
yang dalam kekuasaan pihak lawan untuk melakukan mutilasi fisik, atau untuk
percobaan medis atau keilmuan apa pun yang tidak dibenarkan secara oleh medis,
kesehatan gigi, atau perawatan rumah sakit terhadap seseorang yang dilakukan di
luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya serius
terhadap kesehatan orang itu;
11.
membunuh atau
melukai orang sipil dari negara atau tentara musuh;
12.
menyatakan bahwa
tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan;
13.
penghancuran dan
penyitaan barang milik musuh kecuali perusakan atau penyitaan tersebut terpaksa
dilakukan demi kepentingan atau keperluan konflik;
14.
menyatakan
penghapusan, penangguhan, atau tidak dapat diterimanya hak-hak dan tindakan
warga negara dari pihak musuh dalam suatu pengadilan;
15.
melakukan
pemaksaan terhadap penduduk pihak lawan untuk ikut dalam operasi perang melawan
negaranya sendiri, bahkan jikalaupun mereka berdinas dalam tentara musuh
sebelum permulaan perang;
16.
perampasan kota
atau tempat bahkan dengan penyerangan;
17.
penggunaan racun
atau senjata beracun;
18.
penggunaan asphyxiating, gas beracun atau gas-gas
lainnya dan semua cairan, bahan-bahan, atau peralatan-peralatan yang beracun;
19.
penggunaan peluru
yang dengan mudah meluas dan hancur dalam tubuh manusia, seperti peluru dengan
selubung keras yang tidak seluruhnya menutupi ujung peluru atau ujung peluru
tersebut ditoreh;
20.
menggunakan
senjata, proyektil, atau bahan dan metode perang yang pada dasarnya dapat
menyebabkan luka yang berlebihan atau tidak perlu atau secara inheren dan
membabibuta, dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional mengenai konflik
bersenjata, yang mana senjata, proyektil peluru, dan bahan-bahan, serta metode
tersebut secara komprehensif dilarang dan dicantumkan dalam lampiran Statuta
ini melalui amandemen berkaitan dengan Pasal 121 dan 123;
21.
penghinaan
terhadap martabat seseorang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan
merendahkan; atau
22.
pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran dan kehamilan secara paksa, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) f, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lainnya yang juga diatur dalam Konvensi Jenewa;
23.
penggunaan
penduduk sipil atau orang yang dilindungi untuk membuat suatu wilayah militer
atau pasukan militer immune dari operasi
militer;
24.
dengan sengaja
melakukan penyerangan terhadap bangunan, bahan-bahan, unit-unit, alat
transportasi, dan personel medis yang menggunakan emblem pembeda (distinctive emblem) dalam Konvensi
Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
25.
dengan sengaja
menggunakan kelaparan penduduk sipil sebagai metode berperang dengan cara
menghentikan persediaan bahan-bahan yang dibutuhkan mereka untuk bertahan
hidup, termasuk menghalangi bantuan bahan-bahan sebagaimana diatur dalam
Konvensi Jenewa;
26.
mempekerjakan atau
melibatkan anak-anak di bawah umur limat belas tahun ke dalam angkatan
bersenjata atau menggunakan mereka untuk ikut serta secara aktif dalam
pertempuran;
(c)
dalam hal konflik
bersenjata nasional (non-international
armed conflict), pelanggaran berat terhadap Pasal 3 ketentuan yang
bersamaan (common articles)[39]
dari keempat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 adalah perbuatan-perbuatan sebagai
berikut yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ikut serta secara aktif
dalam pertempuran, termasuk di dalamnya anggota tentara yang telah meletakkan
senjatanya serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka, ditahan atau sebab-sebab
lainnya:
1.
kekerasan
terhadap jiwa dan raga, khususnya segala macam pembunuhan, mutilasi, perlakuan
kejam, dan penyiksaan;
2.
penghinaan
terhadap martabat seseorang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan
merendahkan;
3.
penyanderaan;
4.
penghukuman dan
pelaksanaan hukuman tanpa didahului dengan putusan dari pengadilan yang
dibentuk secara teratur yang memberikan segenap jaminan hukum yang diakui
sebagai keharusan.
(d)
pelanggaran berat
lainnya terhadap hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam konflik
bersenjata nasional dalam kerangka hukum internasional, yang mencakup 12 macam
perbuatan, yaitu:
1.
dengan sengaja
melancarkan serangan terhadap penduduk
sipil atau orang sipil yang tidak terlibat langsung dalam peperangan;
2.
dengan sengaja
menyerang bangunan, material, unit-unit, dan transportasi serta personel medis
yang menggunakan emblem pembeda (distinctive
emblem) dalam Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
3.
dengan sengaja
menyerang personel, instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan
kemanusiaan dan misi penjaga perdamaian PBB, sepanjang mereka berhak atas
perlindungan yang diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut
hukum internasional tentang konflik bersenjata;
4.
dengan sengaja
melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, pendidikan, kebudayaan,
ilmu pengetahuan, atau amal, bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat
di mana orang-orang yang sakit dan luka-luka dikumpulkan, sepanjang
tempat-tempat itu bukan untuk keperluan militer;
5.
merampas kota
atau tempat bahkan dengan penyerangan;
6.
melakukan
pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran dan kehamilan secara paksa,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) f, sterilisasi secara paksa, atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang dianggap sebagai pelanggaran berat
terhadap Pasal 3 ketentuan yang bersamaan yang terdapat dalam keempat Konvensi
Jenewa;
7.
mempekerjakan
atau melibatkan anak-anak di bawah umur limat belas tahun ke dalam angkatan
bersenjata atau menggunakan mereka untuk turut serta secara aktif dalam
pertempuran;
8.
memerintahkan
pemindahan lokasi penduduk sipil untuk alasan-alasan yang berkaitan dengan konflik,
kecuali untuk alasan keamanan atau alasan militer mengharuskannya;
9.
membunuh atau
melukai tentara lawan dengan curang;
10.
menyatakan bahwa
tidak akan ada tempat tinggal yang diberikan;
11.
mewajibkan orang
yang berada dalam kekuasaan pihak lawan untuk melakukan mutilasi fisik, atau
untuk percobaan medis atau keilmuan apa pun yang tidak dibenarkan oleh
perawatan medis, gigi, atau rumah sakit terhadap seseorang yang dilakukan di
luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya serius terhadap
kesehatan orang itu;
12.
mengharuskan atau
merampas harta benda pihak lawan kecuali tindakan-tindakan tersebut terpaksa
dilakukan demi kepentingan atau kebutuhan konflik.
Dikarenakan terbatasnya waktu maka
banyak hal lain yang berkait dengan tanggung jawab individu dalam hukum
internasional tidak dapat dituangkan dalam tulisan ini. Hal-hal tersebut bukan
hanya yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana melainkan juga
kemungkinan-kemungkinan bagi lahirnya tanggung jawab perdata atas diri
seseorang karena suatu perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum
internasional.
Jakarta, 21 Oktober 2008.
*****
*) Disampaikan pada acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan
Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD),
Jakarta, 21 Oktober 2008.
**) Dosen tetap pada Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.
[1] Lihat lebih jauh Friedmann, The Changing Structure of International Law,
Columbia University Press and Stevens & Sons Ltd., 1964, h. 67-68.
[2] Lihat lebih jauh ibid., h. 70-71.
[3] Louis Henkin, et.al., International Law,
Cases and Materials, West Publishing Co., St. Paul, Minn., 1987, h. 33.
[4] Jeffrey L. Dunoff, et.al., International Law:
Norms, Actors, Process, A Problem-oriented Approach, Aspen Publishers, New
York, 2006, h. 111.
[5] Lihat lebih jauh, antara lain, Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, Buku I-Bagian Umum, Binacipta, 1982, h. 89-105.
[6] Jeffrey L. Dunoff, et.al., op.cit., h.
607-608.
[7] Kecuali disebutkan lain, uraian berikut
diambil dari Anthony Aust, Handbook of
International Law, Cambridge University Press, 2005, h. 407-429.
[8] Pasal 55.
[9] Pasal 56.
[10] Pasal 59.
[11] Vide
Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 Artikel.
[12] Vide
Pasal 4 ayat (1) dan (2) Artikel.
[13] Aust memberi contoh dalam hubungan ini,
misalnya, serangan yang dilakukan oleh seorang polisi perempuan terhadap
seorang asing yang ia dapati sedang tidur seranjang dengan suaminya tidak dapat
diatribusikan kepada negara meskipun ketika melakukan serangan tersebut polisi
perempuan tadi masih mengenakan seragam. Vide
Anthony Aust, op.cit., h. 411.
[14] Pasal 5 Artikel.
[15] Pasal 6 Artikel. Ketentuan ini berlaku
terhadap angkatan bersenjata suatu negara untuk membantu negara lain jika dan
hanya jika angkatan bersenjata tersebut berada di bawah perintah dan pengawasan
eksklusif negara yang disebut terakhir.
[16] Pasal 7 Artikel.
[17] Vide
supra, catatan kaki 13.
[18] Pasal 8 Artikel.
[19] Pasal 11 Artikel.
[20] Vide
lebih jauh Pasal 13-15 Artikel.
[21] Pasal 13 Artikel.
[22] Pasal 20 Artikel.
[24] Pasal 22 Artikel.
[25] Pasal 23 dan 24 Artikel.
[26] Pasal 25 Artikel.
[27] Pasal 26 Artikel.
[28] Pasal 29 Artikel.
[29] Pasal 34 Artikel.
[30] Pasal 35 Artikel.
[31] Pasal 36 Artikel.
[32] Pasal 37 Artikel.
[33] Pasal 49 Artikel.
[35] Artikel membiarkan persoalan tanggung
jawab perdata bagi kejahatan-kejahatan tadi tetap terbuka. Dengan demikian,
bukan tidak mungkin apabila suatu ketika di masa yang akan datang seseorang di
samping dapat dituntut secara pidana berdasarkan hukum internasional, ia juga
dapat dipertanggungjawabkan secara perdata.
[36] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, 2000, h. 40.
[37] Pasal 6 Statuta.
[38] Pasal 7 ayat (1) Statuta.
[39] Ketentuan-ketentuan yang bersamaan (common articles) adalah
ketentuan-ketentuan yang karena pentingnya diulangi dan dirumuskan secara sama
atau dengan sedikit modifikasi dalam keempat Konvensi Jenewa 1949.
Comments