“MELESTARIKAN NILAI LUHUR, MENGGENGGAM MODERNITAS”
Tan Malaka, dalam perspektifnya yang kritis lewat Madilog menggarisbawahi kultur masyarakat Indonesia yang baginya “konservatif” . Betapa tidak, kepercayaan berlebihan pada sesuatu yang gaib – yang kemudian ia sebut dengan logika mistika – dianggapnya tidak sesuai dengan realitas. Belum lagi tantangan zaman yang bagi Tan sudah sangat urgent dilawan dengan rasio dan objektifitas. Kritik ini pun yang dianggap merambah pada kemunduran masyarakat timur, Tan sadar bahwa bagaimanapun, kultur masyarakat Indonesia yang dianggap konservatif tadi punya “nilai” tersendiri juga kohesi sosial lebih dengan kearifan lokal.
Namun kemudian, kritik Tan Malaka justru terbentur dengan pemetaan kebudayaan yang akhirnya ia pun mafhum bahwa tidak mudah mendikotomi “kultur dengan ritual” di Indonesia, yang merupakan bagian dari kearifan lokal yang komprehensif.
Bagi perspektif general ke-indonesiaan, kultur dan ritual adalah dua hal yang baku menyatu. Bagai dua sisi mata uang logam yang berbeda namun berdampingan. Memang kultur tadi kemudian tidak serta merta melulu pada hal gaib, sisi relijiuasitas pun turut andil dalam sebuah nilai. Terpeliharanya nilai-nilai yang kemudian relevan dengan sebutan nilai luhur .
Salah satu elemen yang tetap memelihara nilai luhur sebagai bagian dari kearifan lokal adalah Nahdatul Ulama (NU). Ini terlihat dari bagaimana NU mengkomparasi nilai relijiusitas dengan seremonial yang sudah terpelihara sejak dahulu, walaupun kemudian menuai kritik dari elemen dan kelompok yang kontra, bagi para Kiai dan kaum Nahdliyin hal tersebut justru menjadi ejawantah dari konteks menghormati nilai luhur, mempertahankan dan meng-akulturasikannya dengan kebutuhan, nilai Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan bahkan dari sisi modernitas.
Salah satu Tokoh besar NU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan menyebut bahwa kultur timur Indonesia adalah sebuah nilai yang tidak bisa begitu saja ditinggalkan, Gus Dur mencoba merefleksikan hal tersebut dengan komparasi nilai-nilai luhur keagamaan dan kebudayaan setempat. Bagi Gus Dur , tidak ada kebudayaan tunggal yang mutlak, karena hal tersebut tersusun rapi dari berbagai irisan kebudayaan dunia, hal itu berarti secara implisit menegaskan bahwa kehidupan bersama yang toleran adalah hal mutlak yang wajib dijaga, minimal demi menjaga irisan tadi.
Sejatinya, agama di Indonesia adalah bentuk asimilasi nilai-nilai kearifan lokal, budaya ketimuran, dan kuat akan sisi ke gotong royongan yang toleran. Gus Dur pun mencontohkan secara sederhana beda penyebaran agama di jazirah Arab yang cenderung dengan peperangan, dan di Indonesia yang santun nan elegan dengan memanfaatkan nilai-nilai luhur . Seperti para wali (wali songo) yang gigih menyebarkan agama Islam dengan menggunakan kesenian wayang, bercocok tanam, perdagangan, hingga perkawinan.
Menelaah dari sisi keragaman Jakarta sebagai ibu kota Negara, juga replika kecil Republik Indonesia menjadi barometer iklim integrasi kebangsaan.
Keberagaman suku dan ras yang berbaur di ibu kota membuatnya menjadi acuan, bahwa integrasi dan toleransi cukup berjalan baik disini. Memang, membubuhkan paradigma toleran dalam diri masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun tanpa disadari hal tersebut sudah terpatri sejak lama, sejak para leluhur di Republik mulai meneladani arti keberagaman itu. Mereka mengakomodasi nilai luhur dan menerapkannya secara elegan, isu SARA yang rentan yang memang kerap terjadi berangsur menurun, mengapa? Ternyata komparasi nilai luhur dan sisi modernitas menjadi penting. Manusia modern di Jakarta pun yang diasosiasikan sebagai mahluk a-sosial ternyata kerap menyuarakan kepentingan keberagaman dalam konteks interaksi sosial, singkatnya mereka perlu menghargai keberagaman demi menunjang karier dan relasi. Oleh karena itu, bagaimanapun dua sisi antara nilai luhur dan modernitas menemui titik temu, walau beda orientasi namun sama metoda.
Namun kemudian, kritik Tan Malaka justru terbentur dengan pemetaan kebudayaan yang akhirnya ia pun mafhum bahwa tidak mudah mendikotomi “kultur dengan ritual” di Indonesia, yang merupakan bagian dari kearifan lokal yang komprehensif.
Bagi perspektif general ke-indonesiaan, kultur dan ritual adalah dua hal yang baku menyatu. Bagai dua sisi mata uang logam yang berbeda namun berdampingan. Memang kultur tadi kemudian tidak serta merta melulu pada hal gaib, sisi relijiuasitas pun turut andil dalam sebuah nilai. Terpeliharanya nilai-nilai yang kemudian relevan dengan sebutan nilai luhur .
Salah satu elemen yang tetap memelihara nilai luhur sebagai bagian dari kearifan lokal adalah Nahdatul Ulama (NU). Ini terlihat dari bagaimana NU mengkomparasi nilai relijiusitas dengan seremonial yang sudah terpelihara sejak dahulu, walaupun kemudian menuai kritik dari elemen dan kelompok yang kontra, bagi para Kiai dan kaum Nahdliyin hal tersebut justru menjadi ejawantah dari konteks menghormati nilai luhur, mempertahankan dan meng-akulturasikannya dengan kebutuhan, nilai Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan bahkan dari sisi modernitas.
Salah satu Tokoh besar NU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan menyebut bahwa kultur timur Indonesia adalah sebuah nilai yang tidak bisa begitu saja ditinggalkan, Gus Dur mencoba merefleksikan hal tersebut dengan komparasi nilai-nilai luhur keagamaan dan kebudayaan setempat. Bagi Gus Dur , tidak ada kebudayaan tunggal yang mutlak, karena hal tersebut tersusun rapi dari berbagai irisan kebudayaan dunia, hal itu berarti secara implisit menegaskan bahwa kehidupan bersama yang toleran adalah hal mutlak yang wajib dijaga, minimal demi menjaga irisan tadi.
Sejatinya, agama di Indonesia adalah bentuk asimilasi nilai-nilai kearifan lokal, budaya ketimuran, dan kuat akan sisi ke gotong royongan yang toleran. Gus Dur pun mencontohkan secara sederhana beda penyebaran agama di jazirah Arab yang cenderung dengan peperangan, dan di Indonesia yang santun nan elegan dengan memanfaatkan nilai-nilai luhur . Seperti para wali (wali songo) yang gigih menyebarkan agama Islam dengan menggunakan kesenian wayang, bercocok tanam, perdagangan, hingga perkawinan.
Menelaah dari sisi keragaman Jakarta sebagai ibu kota Negara, juga replika kecil Republik Indonesia menjadi barometer iklim integrasi kebangsaan.
Keberagaman suku dan ras yang berbaur di ibu kota membuatnya menjadi acuan, bahwa integrasi dan toleransi cukup berjalan baik disini. Memang, membubuhkan paradigma toleran dalam diri masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun tanpa disadari hal tersebut sudah terpatri sejak lama, sejak para leluhur di Republik mulai meneladani arti keberagaman itu. Mereka mengakomodasi nilai luhur dan menerapkannya secara elegan, isu SARA yang rentan yang memang kerap terjadi berangsur menurun, mengapa? Ternyata komparasi nilai luhur dan sisi modernitas menjadi penting. Manusia modern di Jakarta pun yang diasosiasikan sebagai mahluk a-sosial ternyata kerap menyuarakan kepentingan keberagaman dalam konteks interaksi sosial, singkatnya mereka perlu menghargai keberagaman demi menunjang karier dan relasi. Oleh karena itu, bagaimanapun dua sisi antara nilai luhur dan modernitas menemui titik temu, walau beda orientasi namun sama metoda.
Comments