Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga



Para pendiri negeri ini, sungguh sangat arif dalam menyusun UUD 1945 menghargai peranan wanita pada masa silam dan mengantisipasi pada masa yang akan datang, dengan tidak ada satu kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap wanita. Konstitusi ini dengan tegas menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara (baik pria maupun wanita). Di dalam GBHN 1993 di antaranya juga diamanatkan, bahwa wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria dalam pembangunan. Selain itu, pengambil keputusan juga telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dalam UU No. 7 Tahun 1984.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa wanita mengalami ketertinggalan atau ketidakberuntungan lebih banyak dibandingkan dengan pria di antaranya di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, penguasaan dan  pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal kekerasan misalnya Kekerasan terhadap perempuan terjadi di seluruh belahan dunia, dalam semua tingkat sosio-ekonomi dan pendidikan. Tanpa memandang budaya dan agama. Kekerasan terhadap perempuan ini memiliki banyak bentuk, mulai dari kekerasan domestik dan perkosaan hingga pernikahan di usia muda dan penyunatan. Semua kekerasan yang terjadi itu merupakan pelanggaran atas hak manusia yang paling asasi.

Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, berakar dari adanya  budaya patriarki. Budaya patriarki yang melihat garis keturunan dari ayah, secara tidak langsung membuat timbulnya pemikiran bahwa perempuan mempunyai posisi yang lebih rendah dari pada laki-laki (subordinat). Perempuan dianggap sebagai mahluk lemah yang tidak mampu untuk melakukan apapun, dilecehkan, dikucilkan dan dikesampingkan, serta tidak mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya. Perempuan sering disalahkan atas setiap kejadian buruk yang terjadi di keluarganya, di rumah tangganya. Perempuan pun pasrah apabila mendapat perlakuan yang kasar dari suaminya dan menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan oleh suaminya, karena memang ia yang menyebabkan semua itu terjadi. Perempuan selalu dituntut untuk meladeni apapun yang suaminya inginkan. Sementara laki-laki dianggap sebaliknya, yakni sebagai mahluk yang kuat, dapat melakukan apapun dan sebagainya. Budaya patriarki ini pun menyebabkan timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Sejarah logika di indonesia