Subsidi BBM dan Ketahanan Energi Nasional Dalam Perspektif Islam
KETAHANAN ENERGI NASIONAL
Seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, menipisnya cadangan energi fosil di
Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang pastinya akan diikuti oleh peningkatan
kebutuhan energi yang mau tak mau menjadi kewajiban Negara untuk menyediakan
pasokan energi untuk rakyatnya.
Energi
telah menjadi komoditas yang mahal. Hal ini dapat dilihat dari fluktuasi harga
minyak dunia yang terus meningkat. Secara ekonomi, impor minyak yang semakin
meningkat akan mempengaruhi kondisi keuangan negara. Mengingat, harga minyak di
dalam negeri masih mendapat subsidi yang cukup besar dari pemerintah. Tekanan
terhadap APBN dari porsi pengeluaran untuk subsidi energi yaitu BBM dan listrik
saat ini menjadi sangat besar. Subsidi energi yang sangat besar ini adalah
indikasi kerentanan ketahanan energi nasional dalam jangka panjang yang pada
akhirnya dapat mengganggu stabilitas pembangunan nasional.
Berbagai
fenomena kelangkaan energy seperti antrean BBM dan pemadaman listrik yang
seringkali terjadi pada sejumlah wilayah di Indonesia mengindikasikan bahwa
pasokan energi sangat terbatas, sementara permintaan terhadap energi tersebut
meningkat tanpa batas. Oleh sebab itu, pengelolaan energi tidak hanya bertumpu
pada sisi penyediaan saja. Tapi juga penting untuk mengendalikan sisi permintaan
energy, dalam hal ini BBM.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP SUBSIDI BBM
Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan
(financial assistance; Arab: i’anah maliyah), yang biasanya dibayar oleh
pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga, atau untuk
mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk mendorong berbagai
kegiatan ekonomi. Istilah subsidi yang digunakan oleh non-pemerintah, seperti
individu atau institusi non-pemerintah sering disebut derma atau sumbangan (charity).
Subsidi dapat juga berbentuk kebijakan
proteksionisme atau hambatan perdagangan (trade barrier) dengan cara
menjadikan barang dan jasa domestik bersifat kompetitif terhadap barang dan
jasa impor. Dalam sistem Kapitalisme, subsidi merupakan salah satu instrumen
pengendalian tidak langsung. Grossman dalam Sistem-Sistem Ekonomi (1995)
menerangkan bahwa dalam sistem Kapitalisme terdapat dua macam pengendalian
ekonomi oleh pemerintah, yaitu pengendalian langsung dan tidak langsung.
Pengendalian langsung adalah kebijakan yang bekerja dengan mengabaikan
mekanisme pasar, contohnya embargo perdagangan dan penetapan harga tertinggi
suatu barang. Adapun pengendalian tidak langsung adalah kebijakan yang bekerja
melalui mekanisme pasar, misalnya penetapan tarif serta segala macam pajak dan
subsidi. (Grossman, 1995).
SUBSIDI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Islam
berbeda dengan Kapitalisme. Jika Kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif
intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari
perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan
oleh Negara termasuk penentuan sektor mana saja yang boleh dan wajib di
subsidi.
Subsidi
dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara,
karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u
ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak pengelola negara.
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal
(Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan
petanian mereka. Atas dasar itu, negara boleh memberikan subsidi kepada
individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan
benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe.
Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak
sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak
goreng, dan sebagainya.
Subsidi
boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq
al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi
(al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa
perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer,
simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat
al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang.
Subsidi
untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara
kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk
barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat,
Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya
secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi,
atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai
sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga
diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah,
dan bila memungkinkan malah diberikan secara gratis.
Secara
hukum, semua subsidi sebagaimana yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh,
karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah
boleh, selama tidak memberatkan keuangan Negara dan pada sector-sektor yang
menyangkut hajat hidup orang banyak dan demi kemaslahatan rakyat.
Pemberian
subsidi ini merupakan hak pemimpin dalam mengelola harta milik negara (milkiyah
al-dawlah). Pemimpin suatu Negara diperkenankan untuk memberikan harta
kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh juga mengkhususkan
pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya.
Semua ini adalah hak kepala pemerintahan berdasarkan pertimbangan syariah
sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat.
Namun,
dalam kondisi khusus (terjadinya ketimpangan ekonomi), pemberian subsidi yang
asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya atau sebaliknya, karena mengikuti
kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun
al-iqtishadi). Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara
seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu
sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran yang artinya: “..Supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS
al-Hasyr [59] : 7). Nabi Muhammad SAW pernah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta
milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kaum Anshar, karena Nabi SAW
melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar.
Dalam
konteks persoalan sekarang ini, meksipun lonjakan harga minyak mentah dunia
makin meningkat tajam yang berimbas pada membengkaknya anggaran APBN kita untuk
mensubsidi BBM, pemerintah tidak boleh serta merta mencabut subsidi BBM secara
keseluruhan lalu kemudian melemparkan ke harga pasar. Kebijakan pengurangan
subsidi tersebut memang perlu dilakukan (dengan berbagai pertimbangan dan
kepentingan yang lebih luas), tetapi harus dilakukan secara bertahap dengan
terlebih dahulu melakukan sosialisasi, penjelasan dan memperhatikan rasa
keadilan serta daya beli masyarakat.
Sekali
lagi apapun kebijakan yang akan diambil, kepentingan rakyat adalah yang paling
utama dan harus selalu diutamakan. Karena itulah sejatinya fungsi dan peran
Negara, yakni: “melindungi setiap warga Negara dan seluruh tumpah darah
Indonesia”.
Apabila
rencana pengurangan subsidi BBM terealisasi, maka negara memiliki dana
penghematan sebesar Rp 38,3 triliun jika harga BBM naik Rp 1.000/liter dan jika
harga BBM naik Rp 1.500 bisa menghemat subsidi BBM sekitar Rp 57 triliun. Hendaknya
dana tersebut dapat dialokasikan untuk mendukung dan mengembangkan
sektor-sektor yang lebih prioritas seperti sektor pendidikan, keamanan dan
kesehatan daripada dialokasikan untuk kompensasi berupa bantuan langsung tunai
(BLT) yang kurang mendidik dan kontraproduktif dengan kemandirian ekonomi
rakyat.
Karena
khusus untuk ketiga sektor ini, pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam telah
mewajibkan Negara untuk menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut
secara cuma-cuma bagi rakyat. Bahkan di dalam konstitusi kita Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pemukaan UUD ’45, Pasal 30, 31, hingga Pasal 34) juga telah
mengamanahkan bahwa sektor-sektor tersebut adalah merupakan hak setiap warga
Negara yang harus ditunaikan oleh negara. Karena itu, jika pembiayaan negara
untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi maka subsidi menyeluruh
untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar’i. Wallahu
a’lambishawab.
Comments