Asal Usul Manusia
BAB I
A.
PENDAHULUAN
Jika kita mendengar kata filsafat maka
konotasi kita akan segera pada sesuatu yang besifat prinsip yang juga sering
dikaitkan pada pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai dasar [1].
Pada hakekatnya semua yang ada di alam ini sudah sejak awal menjadi pemikiran
dan teka-teki yang tak habis-habisnya diselidiki dan inilah yang menjadi
fundamen timbulnya filsafat.
Jadi, filsafat adalah hasil usaha
manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahani secara radikal,
integral dan universal tentang hakikat sarwa yang ada (hakekat
Tuhan, alam dan hakekat manusia), serta sikap manusia termasuk sebagai
konsekwensinya dari pemahamannya tersebut (Anshari, 19984: 12), dan
manusia tentu mempersoalkan dirinya sendiri, bahkan boleh dikatakan ia adalah
teka-teki bagai dirinya sendiri, siapakah sebenarnya “aku” ini ?[2]
Kalau demikian maka jelaslah bahwa hal
ini memerlukan perenungan yang mendalam dan meng-asas pada usaha akal dan
pekerjaan pikiran manusia. Karenanya filsafat-lah yang bertugas untuk mencari jawaban
dengan cara ilmiah, obyektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan
pada akal budi manusia. Karenanya filsafat itu timbul dari kodrat manusia.
Manusia mempunyai keistimewahan dari
makhluk-makhluk yang lain, ia diciptakan oleh Allah SWT begitu sempurna dan
kesempurnaan ini manusia dapat meningkatkan kehidupannya.
Dengan berpikir atau bernalar, merupakan
satu bentuk kegiatan akan manusia melalui pengetahuan yang kita terima melalui
panca indra diolag dan ditunjukan untuk diri sendiri dengan manifestasinya,
ialah mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukan alasan-asalan,
membuktukan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik
kesimpulan, meneliti suatu jalan pemikiran, mencari kausalitasnya, membahas
secara realitas dan lain-lain.[3](Salam,
1988:1).
Sesuai dengan makna filsafat, yaitu sebagai ilmu
yang bertujuan untuk berusaha memahami semua yang timbul dalam keseluruhan
lingkup pengalaman manusia, maka berfilosofis memerlukan suatu ilmu dalam
mewujudkan pemahaman tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Manusia
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam
bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika
dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut
manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya.
Berikut beberapa Definisi lain
tentang manusia :
1.
Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua
makhluk natural dan supranatural, manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat
hakikat yg mulia.
2.
Manusia adalah kemauan bebas. Inilah kekuatannya yg
luar biasa dan tidak dapat dijelaskan : kemauan dalam arti bahwa kemanusiaan
telah masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yg bebas –
kepadanya dunia alam –world of nature–, sejarah dan masyarakat sepenuhnya
bergantung, serta terus menerus melakukan campur tangan pada dan bertindak atas
rangkaian deterministis ini. Dua determinasi eksistensial, kebebasan dan pilihan,
telah memberinya suatu kualitas seperti Tuhan
3.
Manusia adalah makhluk yg sadar. Ini adalah kualitasnya
yg paling menonjol; Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yg
menakjubkan, ia memahami aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yg tersembunyi
dari pengamatan, dan mampu menganalisa masing-masing realita dan peristiwa. Ia
tidak tetap tinggal pada permukaan serba-indera dan akibat saja, tetapi
mengamati apa yg ada di luar penginderaan dan menyimpulkan penyebab dari
akibat. Dengan demikian ia melewati batas penginderaannya dan memperpanjang
ikatan waktunya sampai ke masa lampau dan masa mendatang, ke dalam waktu yg
tidak dihadirinya secara objektif. Ia mendapat pegangan yg benar, luas dan
dalam atas lingkungannya sendiri. Kesadaran adalah suatu zat yg lebih mulia
daripada eksistensi.
4.
Manusia adalah makhluk yg sadar diri. Ini berarti bahwa
ia adalah satu-satuna makhluk hidup yg mempunyai pengetahuan atas kehadirannya
sendiri ; ia mampu mempelajari, manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.
5.
Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif tingkah
lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya
di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib-semu
–quasi-miracolous– yg memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari
eksistensi dirinya, memberinya perluasan dan kedalaman eksistensial yg tak
terbatas, dan menempatkannya pada suatu posisi untuk menikmati apa yg belum
diberikan alam.
6.
Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yg ideal. Dengan
ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yg ada, tetapi berjuang untuk
mengubahnya menjadi apa yg seharusnya. Idealisme adalah faktor utama dalam
pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk
puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yg ada. Kekuatan inilah yg selalu
memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat dan
mencipta dalam alam jasmaniah dan ruhaniah.
7.
Manusia adalah
makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai
terdiri dari ikatan yg ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku,
perbuatan atau dimana suatu motif yg lebih tinggi daripada motif manfaat
timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan
dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau
mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.
8.
Manusia adalah makhluk utama dalam dunia alami,
mempunyai esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau sebagai
suatu gejala yg bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur
dalam alam yg independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil
dalam menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya
suatu keterlibatan dan tanggung jawab yg tidak akan punya arti kalau tidak
dinyatakan dengan mengacu pada sistem nilai.
Manusia cara keberadaannya yang sekaligus
membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan
mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut
yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang
dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki
karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi
emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat
manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia
juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini
melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi
dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang
ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya[4].
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam
fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah
hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof.
Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal
simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan
bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut.
Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia
adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia
memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk
alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia
berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam
sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens,
manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga
dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang
menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga
disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam
bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini
merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga
digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang
menganggap permainan sebagai ritus suci. [5]
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan
binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan
hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan
kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung
bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal
bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam
kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan
binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia
berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren,
dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam
bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak
merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa
cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak
hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia
hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan
binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.[6]
Antropologi
adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang
hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang
dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang
kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan
mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang
kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu?
Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan
manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai
dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling
manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.[7]
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan
satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari
hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang
mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia.
Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi
(termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan
trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk
meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat
historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang
menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan
berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia
diciptakan oleh sejarah. [8]
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok
yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur
pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan
materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme
yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang
keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan
pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada
dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono
dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono
pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya.
Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan
berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan
eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan
itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan,
dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. [9]
a.
Hakekat Manusia
Masalah
manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan
atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat
bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa
mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan
kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa.[10]
Bagi
Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui
secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah
membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas
dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus
dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral
manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak
kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi
menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Pantheisme
memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya
adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal
tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa
aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih
berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam
pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih
berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang
yang menyatukan pengalaman.
Iqbal
juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium
methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena
meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga
dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada
dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak.
Baginya
hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah.
Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna.
Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir
dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif.
Hakekat
manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada
tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik,
dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya.
Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara
konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif.
Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya,
sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan
khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang
membentuk pada tahapan nafs secara aktual.[11]
Bagi
Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan
dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia
dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan
manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan
keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah
terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status
unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat
mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia
terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik,
dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia
didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan
pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu
suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu.
Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah
dengan cara untuk menjadi lebih.
Manusia
dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses
kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan
simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya,
sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;
b.
Ruh Tuhan + Lempung Busuk (Tanah) Manusia
Ruh
Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia
tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena
kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan
simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak.
Ruh
Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan
yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan
lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab
menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan
Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang
menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut
menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan
bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang
telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya
adalah ruh Tuhan.[12]
Manusia
merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan
dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian
dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi.
Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian
esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang
berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia
ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat
berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang
mendahulukan esensi dan juga eksistensi.
Manusia
yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau
lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang
menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada
tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati
bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari
dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya
manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar.
Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak
direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia
dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami
tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri
dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada
dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama
dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau
manusia sempurna.
Bagan Esensi dan
Eksistensi Manusia
No
|
Eksistensi manusia
|
Esensi Kesadaran
Fitrah (Basic Human Drives)
|
Basic Human Values
(Basic Islamic Values)
|
Kebutuhan Dasar
(Basic Human Needs)
|
|
1
|
Al Insan
|
Rasa ingin tahu
|
Intelektual
|
Intelektual
|
|
2
|
Al Basyar
|
Rasa lapar, haus, dingin
|
Biologis
|
Biologis
|
|
3
|
Abdullah
|
Sara ingin berterimakasih dan bersykur kepada
tuhan
|
Spiritual
|
Spiritual
|
|
4
|
An-Nas
|
Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian
|
Sosial
|
Sosial
|
|
5
|
Khalifah fil ardli
|
Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran,
keadilan dan keindahan lingkungan
|
Estetika
|
Estetika
|
|
Manusia
yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan
bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya
yang berbagai macam dimensi tersebut.
Manusia
dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan
khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada
dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan
estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan
mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu
menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan
karaktersistik profetik.
Pembebasan
yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan
sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga
manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang
bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti
Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
c.
Dimesi Manusia
Murtadha Mutahhari memformulasikan manusia sebagai
makhluk serba dimensi, diantaranya:
1.
Dimensi pertama: secara fisik manusia
hampir sama dengan hewan.
2.
Dimensi kedua : manusia memiliki ilmu
dan pengetahuan.
3.
Dimensi ketiga: manusia bersinergi atas
kebajikan etis.
4.
Dimensi keempat: manusia mempunyai
kecenderungan keindahan.
5.
Dimensi kelima: manusia mempunyai
kecenderungan dalam hal pemujaan dan pengkudusan.
6.
Dimensi keenam: manusia adalah makhluk
serba bisa.
7.
Dimensi ketujuh: manusia memiliki
pengetahuan diri.
8.
Dimensi kedelapan: manusia mempunyai
pengembangan bakat.
d.
Kedudukan dan Peran Manusia
Manusia sebagai mahluk yang
berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum
membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan
eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai
abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah.
Kedudukan dan peran manusia
adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai
khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha
dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu
menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi.
Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi
nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi.
Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling
berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi.
Manusia dengan alam sekitar
merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap
Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti
Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan
utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus
menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang
amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan
maqasid asy-syari’ah.
e.
Tujuan
hidup manusia
Pada
hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan
kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air
hujan kelaut.
Kembalinya
manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal
dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan
dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri
sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi
yang membentuk jasad manusia.
Perjumpaan
manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs
spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut
bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan
kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia
melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh.
Pertemuan
nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan
kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas
Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj
memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi.[13]
Proses
bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika
manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya.
Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai
macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj,
Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan
kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari
sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena
cinta pula terbentuknya alam serta manusia.
Setelah
menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak
memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi
manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta
tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan
manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan
dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai
insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik
sesama manusia ataupun alam.
BAB
III
PENUTUP
B.
KESIMPULAN
Umat manusia selalu mempunyai perhatian yang hebat akan
dirinya sendiri. Kecakapan manusia untuk mengintrospeksi diri, keinginan
individu untuk menjelajahi lebih mengenai intisari diri mereka, tanpa
terkecuali menghasilkan berbagai penyelidikan mengenai kondisi
manusia merupakan pokok jenis manusia secara keseluruhan. Renungan
diri adalah dasar dari filsafat dan telah ada
sejak awal pencatatan sejarah. Artikel ini misalnya, karena ditulis oleh
manusia, dengan sendirinya tak dapat luput dari contoh refleksi diri.
Manusia kerap menganggap dirinya sebagai spesies dominan di
Bumi,
dan yang paling maju dalam kepandaian dan kemampuannya mengelola lingkungan.
Kepercayaan ini khususnya sangat kuat dalam kebudayaan
Barat, dan berasal dari bagian dalam cerita penciptaan
di Alkitab yang mana Adam
secara khusus diberikan kekuasaan atas Bumi dan semua makhluk. Berdampingan
dengan anggapan kekuasaan manusia, kita sering menganggap ini agak radikal
karena kelemahan dan singkatnya kehidupan manusia (Dalam Kitab
Suci Yahudi, misalnya, kekuasaan manusia dijanjikan dalam Kejadian 1:28, tetapi pengarang kitab Pengkhotbah meratapi kesia-siaan semua usaha
manusia).
Ahli filsafat Yahudi, Protagoras telah membuat pernyataan terkenal
bahwa "Manusia adalah ukuran dari segalanya; apa yang benar, benarlah
itu; apa yang tidak, tidaklah itu". Aristotle mendeskripsikan manusia sebagai
"hewan komunal" (ζωον πολιτικον), yaitu menekankan pembangunan
masyarakat sebagai pusat pembawaan alam manusia, dan "hewan dengan
sapien" (ζωον λογον εχων, dasar rasionil hewan), istilah yang juga
menginspirasikan taksonomi spesies, Homo sapiens.
Pandangan dunia dominan pada abad pertengahan Eropa berupa
keberadaan manusia yang diciri-cirikan oleh dosa,
dan tujuan hidupnya adalah untuk mempersiapkan diri terhadap pengadilan akhir
setelah kematian. Pencerahan / pewahyuan digerakkan oleh keyakinan
baru, bahwa, dalam perkataan Immanuel Kant, "Manusia dibedakan di
atas semua hewan dengan kesadaran-dirinya, yang mana ia adalah 'hewan
rasionil'". Pada awal abad ke-20, Sigmund Freud melancarkan serangan serius kepada
positivisme mendalilkan bahwa kelakuan manusia
mengarah kepada suatu bagian besar yang dikendalikan oleh pikiran
bawah sadar.
Daftar Pustaka
Ali, H, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta
: Kota Kembang, 1990.
Anshari, E.S, Wawasan Islam, Jakarta
: CV. Rajawali, 1984.
Dardiri, A.H. Humanoria,
Filsafat dan Logika, Jakarta : CV. Rajawali, 1986.
Gazalba, S, Pengantar
Kebudayaan Sebagai Ilmu, Yogyakarta : Kanisius, 1990.
Hamersma, Harry, Pintu Masuk
Kedunia Filsafat, Yogyakarta : Pustaka Filsafat, 1992, Cet. Ke-10,
Ihsan, Hamdani, H, dan Ihsan, A
Fuad, H, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2001,
Cet. ke-2.
Jalaluddin, H, dan Idi, Abdullah, Filsafat
Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta : PT Gaya Media
Pratama, 2002, Cet. ke-2.
Rahmat Shaleh, Abdul – Abdul Wahab,
Muhbib, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Prespektif Islam, Jakarta :
Prenada Media, 2004, cet. Ke-1
Salam, B, Filsafat Manusia
Antropologi Metafisika, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1988.
_______, Logika Formal, Jakarta
: PT. Bina Aksara, 1988.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1991.
[1] H. Ali, Filsafat
Pendidikan, Kota Kembang, (Yogyakarta :1990), 15
[2] Ibid…..hl 15
[3] E.S
Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta : CV.
Rajawali, 1984), 23
[4] A.H. Dardiri, Humanoria,
Filsafat dan Logika, (Jakarta : CV. Rajawali, 1986), 45
[5] S. Gazalba, Pengantar
Kebudayaan Sebagai Ilmu, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), 15
[6] Harry Hamersma,
Pintu Masuk Kedunia Filsafat, (Yogyakarta : Pustaka Filsafat, 1992,
Cet. Ke-10), 53
[7] Ibid…..53
[8] H. Ihsan
Hamdani, dan Ihsan, A Fuad, H, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung :
Pustaka Setia, 2001, Cet. ke-2), 47
[9] H. Jalaluddin,
dan Idi, Abdullah, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
(Jakarta : PT Gaya Media Pratama, 2002, Cet. ke-2), 56
[10] Rahmat Shaleh,
Abdul – Abdul Wahab, Muhbib, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Prespektif
Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2004, cet. Ke-1), 47
[13] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1991), 56
Comments