Hipokrit (Infaq) Sebuah Problem Bki
1.
Matan Hadist dan terjemahnya
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ:
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص. م. قَالَ : ايَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ/ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ,
وَإِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ, وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (رواه البخارى)
Abu Hurairah
ra. Berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, tanda-randa orang munafik itu ada
tiga yaitu jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika percaya
ia khianat.” HR. Bukhari[1]
حَدَّثَنَا قَبِصَةُ بْنُ عُقْبَةَ قَالَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَرَّةَ عَنْ مَسْرُوْقٍ
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍ وَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ اَرْبَعٌ مَنْ كُنَّا فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا, وَ مَنْ كَانَتْ فِيْهِ
خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتىَّ يَدَعَهَا إِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ وَاِذَا حَدَّثَ كَذَبَ, وَاِذَا عَاهَدَ غَدَرَ: وَاِذَا خَاصَمَ
فَجَرَ (رواه البخارى)
Qobishah bin
‘uqbah menceritakan, berkata sifyan dari amsyi dari Abdullah bin Masruqin dari
Abdullah bin ‘amrin : dan sesungguhnya Nabi SAW bersabda ada empat perbuatan
yang jika seseorang melakukannya, ia benar-benar orang munafik. Dan barang
siapa yang mengerjakan salah satu perbuatan nifak sampai meninggal dunia. Yaitu
jika dipercaya ia berkhianat, jika berkata, ia berdusta, jika berjanji, ia
ingkar dan jika berdebat atau bersengketa ia melampaui batas (HR. Bukhari)[2]
2.
Makna mufradat
Munafik berasal dari kata naffaqa ( نَافَقَ ), yanafiqu (يُنَافِقُ ),
nifaqan (نِفَاقً
), wa munafaqatan (مُنَافَقَةً ). Secara bahasa berarti salah satu
lubang tempat keluarnya Yarbu (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, di mana bika
ia edicrai dari salah satu lubang maka ia keluar dari lubang lainnya.
Dengan demikian, secara etimologis, nifaq dapat diartikan sebagai membuka
satu sisi dan menutup sisi lainnya; konotasi inilah yang populer di kalangan
orang arab sampai datangnya Islam.
Ibnu Majzhur menyatakan bahwa menyatakan bahwa sebutan munafik dengan
pengertian tersebut merupakan pengertian khusus yang belum dikenal oleh banyak
orang Arab sebelumnya, yaitu orang yang ada pada lahirnya menampakkan keimanan padahal
dalam batinnya menyeimbangkan kekufuran.[3]
حَدَّثَ : berkata
كَذَّبَ : Dusta
خَصْلَةٌ :
وَعَدَ
: berjanji
خَانَ : berkhianat
تمُِنَ : amanat/
dipercaya
فَجَرَ : melampaui
batas
خَاهَمَ : berdebat
3.
Penjelasan analisa
Hadis ini ditafsirkan sejumlah orang-orang yang cenderung kepada sekte
murji’ah kepada orang-orang munafik pada zaman Nabi SAW. Mereka berbicara
kepada Nabi SAW kemudian nistakan beliau, beliau memberi amanat kepada mereka
namun mereka mengkhianati dan mereka berjanji kepada beliau untuk keluar
bersama beliau ke medan ijtihad namun mereka melanggar janji.
Adapun pembagian nifaq (kemunafikan) ada 2 bagian:
1.
Nifak (kemunafikan) besar, yaitu
seseorang memperlihatkan diri beriman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari Kiamat, namun menyembunyikan sesuatu
yang membatalkan itu semua atau sebagiannya. Inilah nifak (kemunafikan) yang
terjadi pada masa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan Al-Qur’an
mengecam para pelakunya, mengkafirkan mereka, dan menjelaskan bahwa mereka
berbeda di lapisan terbawah neraca.
2.
Nifak (kemunafikan) kecil, yaitu
nifak (kemunafikan) dalam amal, maksudnya seseorang memperlihatkan amal shalih
secara terang-terangan dan menyembunyikan amal kebalikannya.
Sedangkan asal muasal kemunafikan ialah dari empat karakter atau sifat
yang disebutkan dalam hadis di atas itu.
1.
Jika membicarakan salah satu
masalah kepada orang yang membenarkan dirinya di masalah tersebut, ia
mendustakan orang tersebut. Di Al-Musnad disebutkan hadis dari Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam yang bersabda,
“Sungguh
besar pengkhianatan jika engkau membicarakan pembicaraan kepada saudaramu; ia
membenarkanmu sedang engkau mendustakannya.”
Al-Hasan
berkata, “Ada yang mengatakan bahwa kemunafikan ialah ketidaksamaan antara saat
sendiri dengan saat ramai, ketidaksamaan perkataan dengan perbuatan, dan
ketidaksamaan jalan masuk dengan jalan keluar.”
2.
Jika berjanji, ia mengingkari.
Bagian ini terbagi ke dalam dua bagian; pertama, seseorang berjanji dan
berniat tidak menepati janjinya. Ini adalah tidak menepati janji yang paling
buruk. Jika seseorang berkata, “Insya Allah, aku akan mengerjakan ini dan itu,”
padahal ia berniat tidak mengerjakannya, maka ia berdusta dan pelanggar janji.
Ini dikatakan Al-Auzi. Kedua; seseorang berjanji dan berniat menepati
janjinya kemudian ia melanggar janji tanpa udzur.
3.
Mengkhianati amanah. Jika orang
diberi amanah, ia wajib menunaikannya, seperti firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kaliani menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.”
(An-Nisa’:58).[5]
Nabi Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,
“Tunaikanlah
(berikan) amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu”
Di
Khutbah haji Wada’, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
“barang siapa
terdapat amanah padanya, hendaklah ia menunaikannya (memberikannya) kepada
orang yang memberinya amanah.”
Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kalian mengkhianati
amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui.”
(Al-Anfal:27).[6]
Jadi, mengkhianati amanah termasuk
karakter kemunafikan.
- Jika ia bersengketa, ia melewati batas. Yang dimaksud dengan melewati batas ialah keluar dari kebenaran dengan sengaja sehingga kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Inilah yang mendorong terjadinya kebohongan, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
“Tinggalkan kebohongan oleh kalian,
karena kebohongan membawa kepada dosa dan dosa membawa ke neraka.”[7]
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim disebutkan hadis dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang
bersabda,
“Sesungguhnya orang laki-laki
yang paling dibenci Allah ialah orang yang paling sengit permusuhannya.”
Jika ketika bersengketa; baik
persengketaan dalam agama dan dunia, seseorang mempunyai kemampuan untuk
memenangkan kebatilan, membuat kesan kepada pendengar bahwa ia pihak yang
benar, melemahkan kebenaran, dan mengemas kebenaran dalam bentuk kebatilan,
maka itu termasuk hal-hal haram yang paling buruk dan kemunafikan yang paling
jelek.
Kesimpulannya, sesungguhnya
kemunafikan kecil penyebabnya ialah ketidaksamaan saat sendirian dengan saat
ramai. Itu dikatakan Al-Hasan. Al-Hasan juga berkata, “termasuk kemunafikan
ialah ketidaksamaan hati dengan lidah, ketidaksamaan saat sendirian dengan saat
ramai, dan ketidaksamaan masuk dengan keluar.”
Di antara sifat aplikatif
kemunafikan yang terbesar ialah seseorang mengerjakan salah satu perbuatan dan
memperlihatkan diri bahwa ia menginginkan kebaikan, namun ia mengerjakannya
untuk sampai pada tujuan buruk dengan penipuan ini ia ingin mewujudkan
ambisinya. Ia bahagia dengan makarnya.
Berdasarkan penjelasan hadis di atas
dan kandungan maknanya tersebut dapat diambil suatu pemahaman bahwa munafiqun
adalah sifat yang buruk yang tidak boleh dimiliki seorang muslim apalagi
sebagai seorang konselor. Karena sifat munafiq dapat merusak bahkan
menghancurkan nilai-nilai keagamaan seseorang. Baik sebagai konseling maupun
sebagai konselor. Sebagai seorang konselor harus jujur dan mengatakan yang
benar antara lisan dan hati tentang arahan dan bimbingan serta tekhnik yang
akan digunakan untuk membimbing konseli tersebut.
“Sesungguhnya kami telah
menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenarannya, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu
menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang
khianat.” (QS. An-Nisa’4: 105)[8]
Sebagai konselor harus bisa
dipercaya, tidak berkhianat kepada siapapun.
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ
Sebagai konselor tidak boleh melampaui
batas.
Sebagai konselor harus mempunyai sifat
tanggung jawab tidak boleh mengingkari janji.
[1] Fadhli Bahri: Panduan Ilmu dan
Hikmah Jami’ul Ulum wal-Hikam (Jakarta: PT. Darul Falah, 2006) hal. 974
[2] Abu Fajar Al-Qalami & Abdul
Wahid al-Banjari : Terjemah Riyadhus Shalihin (Jakarta: Gita
Media Press, 2004) hal. 286.
[3] http//www.google.com
[4] Kamus Akbar, Arab-Indonesia
(Surabaya: Giri Utama,2008).
[5] Al-Qur’an Terjemah Juz 4
[6] Al-Qur’an Terjemah Juz 8
[7] Sayyid Ahmad al-Hasyim, Syarah
Mukhtarul Hadist (Bandung: Sinar Baru Algesindo,1993).
[8] Al-Qur’an Terjemah Juz 4
[9] Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan
Konseling dalam Islam (Yogyakarta: UII Press,2004), hal. 48
Comments