Pelaksanaan Bimbingan Konseling Islam Non Direktif
A.
Matan Hadits dan
Terjemahnya
عن
أبي امامة قال: إن فتى شابا أتي النبي صلى الله عليه وسلم فقال يارسول الله إئدنلى
بالزنى, فأقبل القوم عليه فزجروه قالوا مه مه فقال ادنه فدنا منه قريبا قال فجلس
قال أتحبه لأمك قال لا و الله جعلني الله ندائك قال و لا الناس يحبونه لأمهاتهم
قال أفتحبهه لابنتك قال لا و الله يارسول الله جعلنى الله ندائك قال و لا الناس
يحبونه لبناتهم قال أفتحبه لاختك قال لا و الله جعلنى الله ندائك قال ولا الناس
يحبونه لعماتهم قال أتحبوه لخالتك قال لا والله جعلنى الله ندائك قال و لا الناس
يحبونه لخالاتهم قال فوضع يده عليه وقال اللهم اغفر ذنبه و طهر قلبه و حسن فرجه
فلم يكن بعد ذلك الفتى يلتفت إلى شيئ (رواه أحمد)[1]
Artinya: Abu Umamah berkata: ada seorang
pemuda datang menemui Nabi saw, seraya berkata: wahai Rasulullah! Ijinkanlah
aku melakukan zina. Orang-orangpun mengerumuni pemuda itu dan membentaknya
seraya berkata: "Muh-muh! (dengan maksud mencalanya) Rasulullah saw seraya
bersabda: "Suruhlah ua mendekatimu. Pemuda itupun mendekati Rasulullah saw
sampai benar-benar dekat kemudian ia duduk. Beliau bertanya kepadanya: Apakah
kamu suka bila perzinahan itu dilakukan atas ibumu? Ia menjawab: tidak demi
Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu. Beliau berkata:
begitu pula semua manusia, mereka tak suka hal itu terjadi pada ibu mereka.
Lalu, beliau berkata lagi: apakah kamu suka hal itu terjadi pada anak putrimu?
Ia menjawab: tidak demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai
tebusanmu. Beliau berkata: begitu pula setiap manusia mereka tidak suka hal itu
terjadi pada diri anak putrinya. Beliau berkata: apakah kamu suka bila hal itu
terjadi pada saudara putrimu? Ia menjawab, tidak demi Allah, biarlah Allah
menjadikan diriku sebagai tebusanmu. Beliau berkata: begitu pula semua manusia
mereka juga tidak suka hal itu terjadi pada diri saudara putrinya. Beliau
berkata: apakah kamu suka hal itu terjadi pada bibimu (dari ayah)? Ia menjawab:
tidak demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu. Beliau
berkata: begitu pula setiap manusia mereka tidak suka hal itu terjadi pada
bibimu (dari ibu). Kemudian beliau meletakkan tangan pada pemuda itu seraya
berdo'a: ya Allah! Ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan peliharalah
kehormatannya. Selanjutnya pemuda itu tidak pernah berbuat penyimpangan (HR. Ahmad).[2]
B.
Makna Mufrodat (Kosa Kata)
Kata az-zina (الزنى) pada hadits di atas merupakan bentuk
masdar yang terpola dari kata زَنَى-
يَزْنِى-زِنًا- زِنَاءً .[3]
zina merupakan hubungan seksual di luar nikah. Sayyid Quthub menulis bahwa
dalam perzinahan terdapat pembunuhan dalam beberapa segi, pertama pada
penembatan sebab kehidupan (sperma) bukan pada tempatnya yang sah. Ini bisa
disusul dengan keinginan untuk menggugurkan yakni membunuh janin yang
dikandung. Kalau ia tetap dilahirkan hidup maka biasanya ia dibiarkan begitu
saja tanpa ada yang memelihara dan mendidiknya. Ini merupakan salah satu bentuk
pembunuhan, yang terkait dalam Al-Qur'an surah Al-Isra' ayat 32:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
Artinya:
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.[4]
C.
Penjelasan dan Analisis
Hadits
Tema utama tentang hadits yang menjadi pokok
bahasan ini adalah pelaksanaan BKI non direktif. Pelaksanaan BKI non direktif
adalah bimbingan konseling tidak secara langsung dalam arti konseli atau klien
lebih aktif dan lebih berperan daripada konselornya dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang dihadapinya. Contoh pelaksanaan bimbingan konseling Islam secara
non direktif adalah sebagaimana dialog dan komunikasi antara Nabi saw dan
seorang pemuda sebagai konseli atau klien. Yang ada dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang ada di atas tadi.[5]
Langkah-langkah khusus pada konseling dengan teknik tidak langsung (non
directive counseling) sebagai berikut:
1.
Seseorang datang untuk minta
bantuan, contoh yang ada dalam hadits adalah ada seorang pemuda yang datang menemui
Nabi saw.
2.
Perumusan mengenai suasana
bantuan. Terhadap klien disadarkan bahwa konselor tidak punya jawaban, tetapi
melalui proses konseling klien akan memperoleh sesuatu, dengan bantuan, untuk
bisa melakukan pemecahan persoalannya sendiri.
3.
Konselor meningkatkan keberanian
klien untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya sehubungan dengan masalahnya. Di
satu pihak ini adalah berkat sikap ramah, lemah lembut, penuh kasih sayang,
penuh perhatian dan menerima dari konselor, di pihak lain melalui percakapan
terapeautik dengan konselor, terjadi kemajuan seperti perilaku-perilaku Nabi
Muhammad saw
4.
Konselor menerima, mengenali dan
menjelaskan berbagai perasaan negatif, kalau konselor menerima perasaan ini, ia
harus siap untuk memberikan respon mengenai perasaan yang mendasarinya.
Contohnya dalam hadits di atas pemuda itu datang menemui Nabi saw seraya
berkata: Wahai Rasulullah ijinkalah aku melakukan zina! Kemudian Nabi
memberikan respons, Rasulullah saw seraya bersabda: "Suruhlah ia
mendekatiku".
5.
Ketika perasaan-perasaan negatif
telah diungkapkan sepenuhnya, saat itu akan diikuti oleh ekspresi dari dorongan
positif untuk berkembang lebih lanjut. Ekspresi positif adalah tanda yang jelas
dan meyakinkan dari keseluruhan proses yang telah terjadi. Contohnya: Rasulullah
bertanya kepada pemuda itu: apakah kamu suka bila perzinahan itu dilakukan atas
ibumu?. Pemuda itu menjawab, tidak demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku
sebagai tebusanmu. Rasulullah sampai bertanya: Apakah kamu suka perzinahan itu
terjadi pada diri anak putrimu, saudara putrimu, bibimu (dari ayah), bibimu
(dari ibu). Jawaban pemuda itu sama.
6.
Konselor menerima dan mengenali
perasaan-perasaan positif yang diungkapkan. Perasaan positif tidak diterima
oleh konselor sebagai sesuatu yang harus dipuji atau seperti layaknya sesuatu
permintaan yang harus dipenuhi, melainkan sebagai sesuatu yang biasa ada pada
diri pribadi seseorang. Contohnya: Rasulullah memberikan respons. Rasulullah
berkata: begitu pula semua manusia, mereka tidak suka hal itu terjadi pada ibu
mereka, anak putrinya, saudara putrinya, bibinya (dari ayah), bibinya (dari
ibu)
7.
Pemahaman, pengenalan dan
penerimaan tentang diri sendiri. Dari penerimaan konselor itulah klien belajar
dan menyadari diri sendiri sebagaimana keadaan sebenarnya. Contohnya: Pemuda
itu belajar dan menyadari bahwa melakukan zina tidak diizinkan Rasulullah
karena pemuda itu sadar kalau dia juga tidak suka perzinahan itu dilakukan pada
ibu mereka, anak putrinya, saudara putrinya, bibi (dari ayah) dan bibi (dari
ibu).
8.
Bersama-sama dengan proses
pemahaman ini adalah proses yang memperjelas kemungkinan-kemungkinan keputusan
atau tindakan yang akan dilakukan. Contoh: kemungkinan pemuda itu lebih baik
perilakunya.
9.
Tindakan positif. Suatu keputusan
untuk melakukan sesuatu tindakan yang nyata yang positif, yang tumbuh sedikit
demi sedikit dari dirinya sendiri. Contoh: Rasulullah kemudian meletakkan
tangan pada pemuda itu seraya berdoa': Ya Allah: Ampulih dosanya, sucikanlah
hatinya dan peliharalah kehormatannya. Selanjutanya pemuda itu tidak pernah
berbuat penyimpangan. Dia selalu berperilaku baik.
Ciri-ciri pelaksanaan BKI non direktif
adalah:
1.
Bertumpu pada data yang
dikemukakan klien
2.
Bersangkutan paut dengan isi
kehidupan emosi
3.
Lebih banyak terpusat pada seni
hubungan antar manusia
4.
Terutama berhubungan dengan
hal-hal perorangan atau kelompok
5.
Menitikberatkan pada proses
wawancara.[6]
Hadits di atas menunjukkan bahwa bimbingan
Rasulullah saw kepada konselinya yang secara dialogis tersebut mencakup sikap
yang lemah lembut, ramah tamah, penuh kasih sayang, perhatian, sistematis,
logis dan efektif serta mencapai hasil yang
maksimal yang berfokus pada kesadaran konselinya dalam menegakkan
kebenaran.[7]
[1] Ahmad Ibn Hambal, Musnad
Imam Ahmad Ibn Hambal, juz. V (Beirut: Al-Maktab Al-Islamy, 1398/ 1978),
256-257
[2] Aswadi, Iyadah
Ta'ziyah Perspektif Bimbingan Konseling Islam (Surabaya: PT. Dakwah Digital Press, 2009),
36-37
[3] Syarif Al-Qusyairy, Kamus
Akbar (Surabaya,
PT. Giri Utama), 164
[5] Aswadi, Iyadah
Ta'ziyah Perspektif Bimbingan Konseling Islam (Surabaya: PT. Dakwah Digital Press, 2009), 37
[6] Singgih D. Gunarsa, Konseling
dan Psikoterapi (Jakarta:
PT. Gunung Mulia, 2007), 129-133
[7] Aswadi, Iyadah
Ta'ziyah Perspektif Bimbingan Konseling Islam (Surabaya: PT. Dakwah Digital Press, 2009),
37-38
Comments