Hakikat Manusia Sebagai Pelaku Komunikasi
Seperti diulas pada bab-bab
terdahulu komunikasi itu adalah proses, suatu kegiatan yang berlangsung secara
sinambung terus-menerus oleh para pelaku komunikasi.
Komunikasi yang kita bahas adalah
komunikasi manusia (Human Communication), komunikasi antara manusia dengan
manusia, bukan komunikasi antara binatang dengan binatang (Animal
Communication); juga bukan komunikasi antara manusia dengan binatang, juga
bukan pula komunikasi manusia dengan Tuhan (Trancendental Communication).
Seperti juga yang telah dipaparkan
pada bab-bab terdahulu, proses komunikasi berlangsung secara psikologis pada
diri komunikator dan komunikan dan secara mekanistis yang berlangsung antara komunikator
dan komunikan, yaitu ketika komunikator mengirimkan pesannya dengan mulut-
kalau lisan-atau tangan-kalau tulisan, dan sewaktu komunikan menerima pesan
komunikasi dengan telinga-kalau lisan-atau dengan mata-kalau jika tulisan atau
gambar.
Peliknya komunikasi antar manusia,
oleh karena secara sosiologis berlangsung secara horizontal atau vertical
dengan pernbedaan status social ekonomi, tingkat pendidikan, agama, suku,
bangsa, atau ras, dan lain sebagainya.
Rumitnya komunikasi antar manusia,
oleh karena secara teleologis
komunikasi mengandung tujuan; yakni mengubah sikap, opini, perilaku,
kepercayaan, agama. Oleh karena itu untuk memahami proses komunikasi secara
mendalam kita perlu memahami manusia.
A. Pelik-Pelik Manusia
Apakah
manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidaklah semudah keterangan yang
dituangkan dalam sebuah kamus. Secara
sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “makhluk yang berakal
budi (mampu menguasai makhluk lain)”. Aristoteles mengatakan bahwa di alam ini
ada tiga jenis makhluk dengan roh yang tarafnya bertingkat-tingkat. Yang paling
rendah tarafnya adalah anima avegetativa atau
roh vegetative yang dimilki tumbuh-tumbuhan. Jadi, tumbuhan hanya mempunyai roh
vegetative dengan fungsinya terbatas pada makan, tumbuh menjadi besar dan
berkembang biak. Yang lebih tinggi dari itu adalah anima sensitiva atau roh sensitive yang dimiliki oleh binatang
sehingga binatang yang memiliki dua jenis anima, yakni anima vegetativa dan
anima sensitiva itu, selain menjadi besar dan berkembang biak, juga mempunyai
perasaan, naluri dan nafsu, sehingga mampu mengamati, bergerak dan bertindak.
Dan yang paling tinggi adalah anima
intelektiva atau roh intelek yang hanya dimiliki manusia. Jadi, manusia
mempunyai tiga jenis anima atau roh. Karena memiliki roh yang lengkap itu,
manusia menjadi besar, berkembang biak, bernafsu, bernaluri, bergerak,
bertindak, juga berpikir, berkehendak.
Berbeda
dengan makhluk-makhluk lain, manusia mempunyai kesadaran, sadar apa yang ia
lakukan di masa silam ataupun masa datang. Manusia merupakan totalitas,
kesatuan terpadu secara menyeluruh antara roh dan jasad, rohani dan jasmani,
jiwa dan raga yang tidak mungkin dipisahkan. Apabila keduanya berpisah, dengan
kata lain roh tidak bisa menyatu dengan jasad, maka manusia tidak bisa disebut
manusia lagi, melainkan mayat yang lama kelamaan membusuk.
Roh
harus dibedakan dari rohani atau jiwa. Roh atau dalam bahasa latinnya anima
adalah sesuatu yang menyebabkan jasad hidup, tepatnya roh adalah penyebab hidup
bukan penyebab kesadaran yang tampak pada seseorang di saat sedang tidur.
Apakah
artinya ini? Ini berarti bahwa pada waktu ia sadar, ada sesuatu yang berperan
padanya, yang berperan adalah akunya, akunya itulah yang merasa senang, sedih,
dan lain-lain. Tubuhnya tidak merasakan apa-apa. Terbukti pada waktu ia tidur
ia tidak melakukan apa-apa. Akunya itulah yang disebut dengan rohani. Dengan
demikian, proses rohaniah “aku” menyebabkan kesadaran, menjadi sadar untuk
berkehendak atau berbuat adalah proses kegiatan roh bersama panca indera.
Setiap
indera dari setiap pancaindera mempunyai pusat masing-masing yang kesemuanya
terdapat di otak dan memiliki perangsang masing-masing, yang dinamakan dengan adequatus. Lebih jelasnya, mata tidak
dapat menangkap suara, oleh karena perangsangnya adalah cahaya, telinga tidak
mampu mendengar cahaya, sebab perangsang telinga adalah suara, dan lain-lain
(djunaedi: 1980, 17).
Jadi,
seseorang sebagai manusia yang mempunyai anima intelektiva, yang akan
melaksanakan kehendaknya setelah ia melihat atau mendengar sesuatu, ia akan
meminjam anggota tubuh lainnya.
Itulah
sikap dan prilaku yang merupakan objek penting dalam komunikasi. Sikap yang
terdapat dalam diri manusia terdiri dari unsure kognisi yang berkaitan dengan
pikiran, afeksi yang berkaitan dengan perasaan, dan konasi yang berkaitan
dengan tekad atau itikad.
B. Paham-Paham Mengenai Manusia
Prof.Dr.
N.Drijarkara S.J. seorang pakar filsafat Indonesia dalam bukunya “Pertjikan
Filsafat” yang mengupas masalah
paham-paham mengenai manusia yang membahas tentang manusia sebagai pelaku
komunikasi.
Menurut Prof.Dr. N.Drijarkara S.J. dalam
filsafat ada beberapa aliran atau paham mengenai manusia, antara lain paham
materialisme, paham idealism, dan paham eksistensialisme.
1. Paham
Materialisme
Paham materialism berpandangan bahwa
manusia pada prinsipnya adalah materi, atau benda. Memang manusia ada kelebihannya dibandingkan dengan benda-benda
lainnya, seperti kerbau atau batu, namun pada hakikatnya sama saja. Manusia
adalah materi semata-mata, akibat dari proses unsure kimia.
2.
Paham Idealisme
Paham idealism adalah
aliran yang bertentangan secara ekstrim dengan paham materialism. Idealisme
berasal dari perkataan eidos, yang berarti pikiran. Manusia adalah manusia,
karena ia berpikir, karena ia mempunyai idea, karena ia sadar akan dirinya.
Manusia belum pernah pergi ke bulan tapi manusia mengerti tentang bulan.
Terkenallah dalam aliran ini seorang yang bernama Descartes, yang terkenal pula prinsipnya: cogito ergo sum, yang berarti: aku
berpikir maka aku ada.
Descartes memandang
manusia sama saja dengan kesadarannya, dan kesadarannya tersebut tidak
berhubungan sama sekali dengan persentuhan dengan alam jasmani. Dalam kesadaran
itu terdapat idea, tetapi idea itu tidak berasal dari kontak dengan dunia luar.
Memang Descartes tidak memungkiri adanya realitas di luar kesadaran, tetapi
memisahkan kesadaran dari dunia luar.
Menurut Descartes,
manusia itu terdiri dari dua macam zat, yang berbeda secara hakiki, yaitu: Res cogitans, zat yang dapat berpikir,
zat yang bebas, tidak terikat oleh hukum alam, bersifat rohaniyah. Res extenza, zat yang mempunyai luas,
zat materi, tidak bebas, terikat dan dikuasai
oleh hukum alam.
Kedua zat itu berbeda
dan terpisah kehidupannya. Kehidupan manusia berpokok pada kesadarannya, pikirannya yang bebas. Jadi di
situ terdapat dualisme antara jiwa dan raga.
3. Paham
Eksistensialisme
Aliran eksistensialisme menentang kedua aliran terdahulu.
Menurut kata asalnya: eks berarti
keluar, sistensia berarti berdiri.
Eksistensi berarti berdiri sebagai diri
sendiri keluar dari diri sendiri.
Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia, dan cara
ini untuk manusia, bukan untuk benda lain. Sebab beradanya manusia di dunia
berbeda dengan beradanya benda-benda lain di dunia.
Bagaimana reaksi paham
eksistensialisme terhadap paham materialism?
Aliran eksistensialisme menentang aliran materialisme
yang berpendapat bahwa manusia hanyalah benda saja, yang ditentang oleh kaum
eksistensialisme adalah pendapat kaum materialism tentang caranya manusia
berada di dunia.
Menurut ajaran eksistensialisme, manusia bukan saja
berada di dunia, tetapi juga menghadapi dunia, menghadapi benda lain di dunia,
dan ia mengerti pula apa itu hidup. Kesemuanya berarti bahwa manusia itu
subjek. Subjek artinya sadar, sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan
objek-objek yang dihadapinya.
Menurut kaum eksistensialisme, kesalahan aliran
materialisme ialah bahwa materialisme mendetotalisasikan manusia, memungkiri
totalitas manusia, mengatakan bahwa manusia hanya materi, berarti memungkiri
manusia sebagai kesseluruhan.
Bagaimana pula reaksi
paham eksistensialisme terhadap paham idealisme?
Jika materialisme memandang manusia sebagai materi saja,
sesuatu yang ada tanpa menjadi subjek, maka idealisme menganggap manusia adalah
sesuatu yang berpikir, dan pikiran ini merupakan suatu aspek, yang mana
dilupakan oleh materialisme dan dilebih-lebihkan oleh idealisme, suatu aspek
yang dianggap sebagai keseluruhan manusia.
Menurut aliran eksistensialisme, kesalahan idealisme
adalah bahwa idealism memandang manusia sebagai subjek, dan akhirnya sebagai
kesadaran semata-mata, sebaliknya materialisme menganggap manusia sebagai
objek.
Jadi, menurut paham eksistensialisme, manusia bukanlah
hanya objek sebagaimana pandangan ajaran materialism, tetapi juga bukan hanya
subjek atau kesadaran. Seperti menjadi anggapan kaum idealism, manusia adalah
eksistensi.
Eksistensi bukan berarti “ada” atau “berada”, namun
eksistensi dalam pengertian khusus manusia. Manusia yang dalam keberadaanya itu
sadar akan dirinya sedang berada, berada di dunia dan menghadapi dunia, sebagai
subjek yang menghadapi objek, bersatu dengan realitas sekitarnya.
Jelaslah bahwa manusia bukan hanya materi saja, bukan
hanya apa saja, tetapi juga siapa. Dan kesiapan inilah terpenting pada manusia.
Manusia bukan hanya benda jasmani, tetapi perpaduan antara jasmani dan rohani
yang tidak mungkin dipisahkan. Hanyalah manusia yang dapat berkata AKU dengan
sadar. Itulah personal atau pribadi yang terdapat pada manusia, dan
keperibadian ini berdasarkan kerohaniannya. Adapun personal itu terbina dalam
kehidupan bersama dan dengan kehidupan bersama dengan orang lain. Bagi persona
sudah menjadi kebutuhan pokok untuk mengadakan komunikasi dengan sesama
manusia.
Persona berkembang menuju kesempurnaan berdasarkan
pengalaman berkomunikasi antara manusia. Dan ia selalu dalam perjalanan untuk
menjadi persona yang sempurna, untuk berkomunikasi yang lebih sempurna.
Berdasarkan hal
tersebut di atas, itulah pentingnya penelaahan manusia sebagai faktor hakiki
bagi komunikasi. Komunikasi sosial lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah.
Message yang disampaikan komunikator kepada komunikan adalah “isi kesadaran”
atau “gambaran dalam benak”, komunikasi akan berlangsung, kalau komunikan
mengerti pesan tersebut. Jelas di situ terdapat kegiatan rohaniah komunikator
dengan kegiatan rohaniah komunikan.
C.
Ethos
Komunikator
Sejak zaman yunani purba ketika komunikasi masih
berkisar pada komunikasi lisan yang waktu itu dinamakan retorika ditekankan
kepada para komunikator yang dalam retorika disebut orator atau rhetor agar
mereka melengkapi diri dengan ethos, pathos, dan logos (Casmir, 1974: 19-20).
·
Ethos
Berarti
“sumber kepercayaan” (Source Credibility) yang ditunjukkan oleh seorang orator
bahwa ia memang pakar dalam bidangnya, sehingga oleh karena seorang ahli, maka
ia dapat dipercaya.
·
Pathos
Berarti
“imbauan emosional” (emotional appeals) yang ditunjukkan oleh seorang rethor
dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang membangkitkan kegairahan dengan
semangat yang berkobar-kobar pada khalayak.
·
Logos
Mengandung
arti “imbauan logis” (logical appeals) yang ditunjukkan oleh seorang orator
bahwa uraiannya masuk akal sehingga patut diikuti dan dilaksanakan oleh
khalayak.
Walaupun pegangan para
orator zaman yunani purba itu sudah ratusan tahun sebelum masehi usianya, namun
zaman sekarang, pada waktu komunikasi tidak lisan semata-mata, tetapi sudah
berkembang dengan menggunakan media massa modern yang sanggup menjangkau
khalayak yang sebanyak penduduk dunia dan jauhnya melewati batas Negara, para
komunikator ini dianjurkan untuk memperhatikannya. Terutama ethos mutlak harus
dimiliki oleh setiap komunikator, oleh karena apabila seorang komunikator tidak
memiliki ethos, setiap komunikasi yang ia lakukan besar kemungkinan akan
menimbulkan efek boomerang, yang menyebabkan ia kehilangan kepercayaan,
kehormatan dan wibawa.
Menurut paparan Austin J. Freeley dalam bukunya
“Argumentations and debate” komponen ethos dan faktor pendukungnya, antara
lain:
1. Komponen-komponen Ethos,
adalah:
¾ Competence
(kemampuan atau kewenangan)
¾ Integrity
(integritas atau kejujuran)
¾ Good
will (tenggang rasa)
Komunikan akan menentukan apakah mereka percaya bahwa
komunikator memiliki kualitas tersebut. Tugas komunikator adalah membimbing
komunikan untuk percaya,bahwa ia adalah orang mempunyai kemampuan dalam subjek
yang ditanganinya, bahwa ia mempunyai integritas, dan bahwa ia mempunyai good
will terhadap komunikan.
Komunikator menampilkan ethosnya kepada komunikan dengan
jalan melakukan pilihan. Sebagai tahap pertama dalam pembinaan ethosnya,
komunikator harus berusaha untuk mengembangkan komponen tersebut di dalam
dirinya sendiri. Tetapi ini hanya suatu tahap pertama, karena kualitas yang benar-benar
dikehendaki tak dapat mempengaruhi situasi komunikasi, kecuali kalau
komunikator mengadakan pilihan untuk ditimbulkan kepada komunikan.
2. Factor-faktor pendukung ethos
Penentuan komunikan terhadap ethos komunikator tidak
didasarkan atas sebuah faktor, melainkan tumpuan pada berbagai faktor.
Factor-faktor ini secara bersama-sama mempengaruhi keputusan komunikan mengenai
competence, integrity dan good will komunikator.
Dalam hal yang berhhubungan dengan setiap factor komunikator
harus mengadakan pilihan. Sukses komunikator akan ditentukan oleh kemampuan
dalam mengadakan pilihan yang akan meningkatkan ethosnya di mata komunikan.
·
Persiapan (preparations)
Adalah mutlak. Meskipun demikian, hanya persiapan saja
tidaklah sempurna; ia harus memperlihatkan kepada komunikan bahwa ia telah
melakukan persiapan. Ia harus mengajukan argumennya sehingga jelas bagi
komunikan bahwa ia telah memilih bahannya denga teliti. Komunikator harus
menunjukkan kepercayaan mengenai persiapan ini bukan saja sewaktu ia berbicara,
tetapi juga dalam tingkah lakunya, sebelum dan sesudah ia berbicara.
·
Kesungguhan (seriusness)
Komunikator yang sungguh-sungguh akan menimbulkan
kepercayaan oleh komunikan, seorang komunikator harus menangani audiensnya
dengan kesungguhan yang memadai.
·
Ketulusan (sincerity)
Seorang komunikator harus membawakan kesan kepada audiens
bahwa ia orang yang tulus hatinya dalam pikiran dan perbuatan. Seorang
komunikator yang mahir bisa menstimuluskan faktor ethos, jadi menciptakan kesan
palsu dalam pikiran audiens.
·
Kepercayaan (confidence)
Seorang komunikator harus senantiasa memancarkan
kepastian, harus muncul dengan penguasaan diri dan situasi secara sempurna. Tetapi
meskipun ia harus mempunyai kepercayaan, ia tidak boleh menyombongkan diri.
·
Ketenangan (poise)
Audiens akan lebih mempercayai pembicara yang tenang,
yang santai dalam pidatonya, tenang dalam segala situasi.
·
Keramahan (friendship)
Komunikator harus menunjukkan dirinya sebagai seorang
sahabat, oleh karena lebih mudah mempercayai teman daripada orang yang tidak
kita kenal.
·
Kesederhanaan (moderation)
Pada umumnya komunikan mudah percaya pada orang yang
sederhana dalam pernyataannya masuk akal. Gerak-geriknya harus sederhana, ia
harus menghindarkan tingkah laku deklamatoris.
Pada kenyataannya,
sesuai dengan pengertian retorika, yaitu bukan hanya berpidato di hadapan
audiens yang besar jumlahnya, tetapi juga mengandung pengertian berkomunikasi
dengan cara lain.
D.
Komunikator
Humanistik
Adalah diri seseorang yang unik dan otonom, dengan proses
mental mencari informasi secara aktif, yang sadar akan dirinya dan
keterlibatannya dengan masyarakat, memiliki kebebasan memilih, dan bertanggung
jawab terhadap perilaku yang diakibatkan.
Teori humanistic yang mendapat perhatian para pakar
komunikasi, sebenarnya sudah dikembangkan sejak lama, yakni sejak aristoteles,
mengembangkan teori komunikasi dan persuasi yang waktu itu dikenal dengan
retorika (littlejohn. 1978: 159).
Bordon Stone dalam bukunya “Human Communications, the
process of relating” menyajikan 3 pandangan tentang sifat manusia mengenai
teori humanistic.
Ø Perbandingan
tiga pandangan sifat manusia
1.
Asumsi
Behavioristik
Model sifat dasar manusia dengan pendekatan behavioristik
ini berasal dari beberapa pakar psikologi, terutama John Watson, Clark Hull dan
B.F. Skinner, tujuan mereka adalah untuk mengembangkan teori prilaku mnausia
yang sederhana dan berdiri sendiri. Dalil yang muncul adalah stimulus response,
apabila kita dapat mengendalikan stimulus dan response, maka kita dapat
mengetahui prilaku normative seseorang, oleh karena itu, perilaku akan dapat
diprediksi pada saat stimulus terjadi.
Ada tiga asumsi pokok mengenai sifat dasar manusia :
¾
Asumsi yang menyatakan bahwa prilaku
dipelajari dengan membentuk asosiasi yang dapat disebut sebagai kebiasaan,
refleksi atau hubungan antara response dengan peneguhan hal-hal yang
memungkinkan dalam lingkungan. Asosiasi ini dianggap akumulatif, yakni suatu
perubahan besar dalam perilaku dapat disempurnakan melalui realisasi dari
berbagai perubahan kecil.
¾
Asumsi yang menyatakan bahwa manusia
pada dasarnya bersifat hedonistic, berupaya mencari kesenangan dan menghindari
kesulitan.
¾
Asumsi yang meyatakan bahwa perilaku
pada dasarnya ditentukan oleh lingkungan. Oleh karena itu, perilaku merupakan
fungsi asosiasi antara tindakan dengan peneguhan yang berasal dari lingkungan.
“Perkembangan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan”.
2.
Asumsi
psikoanalitik
Berbeda dengan pendekatan behavioristik, pendekatan ini
hanya dilakukan oleh seorang psikolog, yakni sigmund freud. Model psikoanalisis
merupakan model yang bersifat internal yang sangat berbeda dengan kaum
behaviorist. Freud membatasi dua dorongan dasar, yakni seks dan agresi.
Kekuatan dorongan seksual yang disebut libido sangat berperan dalam pemikiran
freud mengenai sifat dasar manusia.
Mengenai agresi, sumbernya adalah kekecewaan yang
diakibatkan oleh ketidakmampuan memecahkan masalah internal dan eksternal.
Model sifat dasar manusia yang dikemukakan oleh freud merupakan model
psikodinamik dengan 3 bagian (id, ego,
superego) bekerja pada semua tingkat kesadaran (di bawah sadar, menjelang
sadar dan sadar), berada di bawah 2 prinsip prilaku (kesenangan dan realita),
dan didorong oleh 2 kebutuhan primer (seks dan agresi).
Menurut kaum psikoanalisis prilaku seseorang diakibatkan
oleh konflik antara pemuasan dorongan dasar (seks dan agresi) dengan
norma-norma masyarakat. Dengan demikian, hidup dipandang sebagai perjuangan
untuk menyelaraskan keinginan dengan perilaku yang diterima oleh masyarakat.
Ini mengakibatkan penekanan kekuatan-kekuatan seksual dan agresi atau
sublimasinya menjadi perilaku yang dapat lebih diterima oleh masyarakat.
3.
Asumsi
Hhumanistik
Bapak aliran ini adalah Abraham Maslow. Humanisme yang
muncul di zaman Renaissance berperan untuk membebaskan pikiran manusia dari
beban yang diletakkan pihak gereja pada waktu itu (antara abad 14 dan 17).
Dengan kebebasan ini timbul upaya-upaya untuk memperoleh pengetahuan melalui
perilaku aneh atau di luar kebiasaan. Konsep utama yang disumbangkan humanisme
terhadap Renaissance adalah konsep mengenai martabat dan kebebasan serta
kemampuan untuk mengetahui dan mengekspresikan perasaan, pikiran dan pengalaman.
Kaum eksistensialis melengkapi psikologi humanistik
dengan hal-hal pokok tentang manusia, termasuk fokusnya terhadap
perkembangannya pribadi. Jadi, perhatiannya terhadap individualitas dan peranan
etika dalam pengambilan keputusan. Penekanannya adalah pada ketidak adaan arti,
yaitu suatu peristiwa hanya berarti apabila seseorang terlibat di dalamnya.
Ø Ciri-ciri
Komunikator Humanistik
Berikut ini adalah cirri-ciri komunikator humanistik,
sebagai berikut:
1.
Berpribadi
Aspek
yang paling penting adalah pandangan sebagai diri seseorang (person), diri
seseorang akan mempunyai nama, dan segera kita mulai dengan
menemukan kedirian (personal). Kita masing-masing mempunyai kepribadian
(personality) dan penampilan yang tidak mungkin sama dengan orang lain di dunia
ini.
2.
unik
Diri seseorang sebagai manusia yang berpribadi adalah
unik, lain dari pada yang lain, khas dan keunikan itu merupakan cirri yang
paling bernilai. Kita dapat berkomunikasi dalam banyak cara yang sama dengan
orang lain, tetapi ini bukan alasan untuk menggeneralisasikan objek yang
normatif.
3.
Aktif
Yang melekat pada proses mental adalah aktivitas. Secara
esensial dapat dikatakan bahwa kita tidak semata-mata penanggap rangsangan internal dan eksternal, melainkan sebagai
system yang aktif dan berkesinambungan menanggapi dan menciptakan perangsang
yang cocok untuk kita. Sebagai system yang aktif kita mencari informasi atau
menggalakkan komunikasi.
4.
Sadar
diri dan keterlibatan sosial
Kesadaran membantu kita menimbulkan kesadaran bahwa dalam
setiap situasi komunikasi kita dihadapkan pada pilihan-pilihan terhadap apa
yang harus kita lakukan. Kita dapat menetukan tujuan kita untuk melaksanakan
kesadaran humanistic kita.
Pada akhirnya ini menuntut rasa tanggung jawab. Dengan
demikian, ini membantu pemahaman kita mengenai masing-masing sebagai “person”
bukan sebagai objek yang ditarik oleh lingkungan atau didorong oleh desakan
yang tidak tampak. Manusia dipandang otonom dalam kemampuannya melakukan pilihan
dan mempertanggungjawabkan perilakunya.
Daftar Pustaka
- Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
- Effendy, Onong Uchyana. 1994. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.
- Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES.
- Vardiansyah, Dani, 2008, filsafat komunikasi suatu pengantar, Jakarta: PT. Indeks.
- Zamroni, Mohammad, 2009, Filsafat Komunikasi, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Comments