Jurnalistik Islami
A.
Pengertian
Jurnalisitik dan Jurnalistik Islami
Jurnalistik
(journalistic) berasal dari Bahasa Prancis, “du jour” atau “journal” yang
bermakna “hari” atau “catatan harian”. Sedangkan dalam kamus Bahasa Inggris,
kata “journal” diartikan sebagai pelaporan, penulisan atau pencatatan kejadian,
dan dalam kamus Bahasa Belanda, “journalistiek” artinya penyiaran catatan
harian.[1]
jurnalistik
bisa dipahami sebagai suatu pengelolaan laporan harian agar menarik minat
khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat mengenai
apa saja yang terjadi di dunia, apakah itu peristiwa faktual (berita, news)
atau pendapat seseorang (opini). Singkatnya, kegiatan jurnalistik itu meliputi
kegiatan mengumpulkan, menyiapkan, menuliskan, dan menyebarkan informasi berupa
berita, feature, dan opini melalui media massa.
Emha Ainun
Najib (dalam Kasman, 2004: 20), menyebutkan, jurnalistik Islam adalah sebuah
teknologi dan sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang
mengabdikan diri kepada nilai-nilai Islam, bagaimana dan ke mana semestinya
manusia, masyarakat, kebudayaan, dan perabadan mengarahkan dirinya.
Sedangkan menurut
Asep Romli, jurnalistik Islami bisa dirumuskan sebagai suatu proses meliput,
mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan nilai-nilai Islam,
khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam. Jurnalistik Islami juga bisa
dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang
sarat muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam.[2]
Jurnalistik
Islami pun bernafaskan jurnalisme profetik, suatu bentuk jurnalisme yang tidak
hanya melaporkan berita dan masalah secara lengkap, jelas, jujur, serta aktual,
tetapi juga memberikan interpretasi serta petunjuk ke arah perubahan,
transformasi, berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ia menjadi
jurnalisme yang secara sadar dan bertanggungjawab memuat kandungan nila-nilai
dan cita Islam (M. Syafi’i Anwar, 1989:166).
B.
Pers Islam
kontemporer
Segmentasi (mengotak-ngotakkan
pasar ke dalam kelompok konsumen potensial) merupakan strategi untuk membidik kelompok
pasar yang jelas di kancah industri media.
Dimasa depan industri media menjuju kearah demasifikasi/arah segmentasi
pembaca tertentu dengan tujuan memenuhi kepentingan selompok tertentu pembaca
yang dituju.(Al Barran dalam subhan Afif:2001) Ketika Pilihan konsumen semakin
beragam dan spesifik media dihadapkan pada segmen pasar tertentu.[3]
David T. Hill ) dalam Subhan Afif: 2001), menyatakan:
“....it is somewhat
surprising to many foreign observes that while more than 80% of the Indonesian
population is categorized as muslim, two of the largest newspaper are
assocated with Christian interest....The islamic media has been
marginalizedby more professional, secular or Christian interest.
Harian umum
republika merupakan pers isllam no.1 di Indonesia. Sementara pers islam lainnya
sulit berkembang. Iklan tak mampu dijadikan andalan pemasukan, banyak pers
islam yang tak mampu mempertahankan eksistensinya meski keberadaannya cukup
prestisius.: Kiblat, Ulumul Quran, panji masyarakat, umat dan harian Pelita.
Pers islam dengan segmentasi religius yang menetapkan segmennya adalah umat
islam. Pada kenyataannya tak menjadi pilihan utama bagi umat islam sendiri.
Fenomena yang
ironis, pers islam yang terjepit diantara pers non islam/universal di tengah
dominasi masyarakat muslim indonesia . Rusjdi Hamka menjelaskan beberapa faktor
yang menyebabkan pers islam sulit berkembang atau berhenti terbit-keterbatasan
pers islam[4]:
a)
Terbatasnya
modal
Motivasi utama penerbitan pers islam adalah semangat dakwah. Para
penerbit dan redaktur pers islamkebanyakan adalah orang –orang sepaham,
sehingga sulit dihindarkan sifat eksklusifisme (kurang tertsariknya kalangan
luar yng tidak sepham membaca atau berlangganan.
Selain itu,
ditinjau dari segi bisnis, para wartawan dan pengusaha muslim belum banyak yang
berani menginvestasikan modalnya dibidang penerbitan pers ini. Modal untuk
menerbitkan sebuah majalah islam biasanya berasal dari sumbangan, zakat atau
infak umat islam sendiri.
b)
Kurang
profesional
Kurangnya
tenaga profesional yang terdidik dan memahami seleuk beluk penerbitan pers
meliputi segi bisnis, redaksional, teknik cetak, dan berbagai peralatan
canggih. Tidak bisa dipungkiri dunia pers saaat ini adalah sebuah industri yang
melibatkan banyak elemen, mulai dari wartawan, karyaan administrasi, percetakan
sampai pada agen atau pengecer. Oleh karena naya selain mempertahankan idelisme
nya, pers harus dikelola menurut prinsip ekonomi, tegasnya mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya.
c)
Minat baca umat
yang rendah
Dengan mengusung tema media islam,
selama ini pangsa pers islam ialah masyarakat rural, didaerah-daerah,
seperti kaum santri, aktivis organisasi islam. Mereka menjadi pelanggan pers
islam karena solidaritas dan harganya yang lebih murah.
d)
Kurang menarik
bagi kalangan menengah keatas
Secara penampilan kurang menarik dan secara isi terlalu “berat”
untuk di konsumsi pleh orang awam yang kebanyakan adalah kalangan menengah ke
atas yang hidup di kota, perasaan kurang prestise membaca media islam,
begitupun pada kalangan pengusaha, mereka lebih tertarik mempromosikan
perusahaannya pada media non-islam.
Disisi lain
keberadaan pers sangat di butuhkan dari segi edukasi. Yaitu mendidik umat dan
sebagai media dakwah yangf pada gilirannya memberikan konstribusi bagi
terciptanya masyarakat madani Kembali ke akar persoalan mengenai lambannya perkembangan pers islam indonesia,
solusi yang seharusnya direalisasikan adalah menyeimbangkan ke-2 unsur
(idealisme dan kepentingan bisnis). Berarti dibutuhkan pengelolaan pers islam
secara profesional. Dan umat islam.
Pengelola butuh dukungan umat islam dengan mrenjadi pelanggan tetap dan
turu menyebarkannya dengan menjadi agen. Umat islam yang menjadi pelnggan juga
butuhn profesionalisme pengelola dan kepuasan membaca.
C.
Peranan Jurnalis & Media Islam
Sebagai
jurnalis muslim, hendaknya menjunjung tinggi kode etik atau kaidah jurnalistik
tersendiri, sesuai dengan tuntutan ajaran Islam, yakni menginformasikan berita
dengan benar atau tidak berbohong, merekayasa, atau memanipulasi data. Hal
itu sesuai dengan potongan Alqur’an yang berbunyi “Dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta” (Alhajj:30).
Kode
etik lainnya ialah bijaksana dan penuh nasihat, sesuai dengan potongan
ayat Alqur’an “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan penuh kebijakan, nasihat yang
baik, serta bantahlah mereka dengan bantahan (argumentasi) yang lebih baik”
(Annahl:125). Kemudian, harus menelitik kebenaran berita/fakta sebelum
dipublikasikan. sesuai dengan ayat Alqur’an “Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, carilah keterangan tentang
kebenarannya (tabayun).. (Alhujurat:6).
Selain itu,
jurnalis Islam menghindari untuk mengejek, penghinaan sehingga menimbulkan
permusuhan dan kebencian. Sesuai dengan surat Alhujurat ayat 11, “Hari
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling mengejek. Mungkin yang diejek
itu lebih baik dari mereka yang mengejek…”.
Asep Romli juga
mengatakan, jurnalis Muslim bukan saja para wartawan yang beragama dan
“comitted” dengan ajaran Islam, akan tetapi juga para cendekiawan muslim,
ulama, muballigh, dan umat Islam pada umumnya yang memiliki kemampuan untuk
menulis di media massa. Karenanya, dalam rangka dakwah Islam, setidaknya para jurnalis
dan media dakwah (dalam lingkup instansi) tersebut memiliki lima peran penting,
yakni[5] :
1. Sebagai
pendidik (Muaddib)
Yaitu
melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Para pekerja pers Islam harus
menguasai ajaran Islam dari rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia
mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjahui
larangan-Nya. Para pekerja pers Islam memikul tugas mulia untuk mencegah umat
Islam dari perilaku yang menyimpang dari syari’at Islam, juga melindungi umat
dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
2.
Sebagai pelurus informasi (Musaddid)
Setidaknya ada tiga yang harus diluruskan oleh
para pekerja pers Islam yaitu pertama,
informasi tentang ajaran agama dan umat Islam. Kedua,
informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu para
pekerja pers Islam dituntut untuk mampu menggali-melakukan investigative
reporting-tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran musaddid
terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya
datang dari pers barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah) dan
distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak
disukainya.
3.
Sebagai pembaharu (Mujaddid)
Yaitu penyebar paham pembaharuan akan pemahaman
dan pengalaman ajaran Islam (reformisme Islam). Para pekerja pres Islam
hendaknya menjadi “juru bicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam
memegang teguh Al-qur’an dan Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengalamannya
(membersihkan dari bid’ah, khurafat, takhayul, dan isme-isme asing non Islam),
dan menerapkannya dalam segala saspek kehidupan umat.
4.
Sebagai pemersatu (Muwahid)
Yaitu harus mampu menjadi jembatan yang
mempersatukan umat Islam, oleh karena itu kode etik pers yang berupa impartiality
(tidak memihak pada golongan tertentu) dan menyajikan dua sisi dari setiap
informasi harus ditegakkan. Para pekerja pers Islam harus membuang jauh-jauh
sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan.
5.
Sebagai pejuang (Mujahid)
Yaitu pejuang Islam. Melalui media massa, para
pekerja pers Islam berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong
penegakan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syi’ar Islam, mempromosikan citra
Islam yang positif dan rahmatan lilalamin,
serta menanmkan ruhul jihad di kalangan umat. Peran
kelima ini, sebagai mujahid, sebenarnya menyimpulkan keempat peran sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Zakiah,
Kiki. Profesionalisme Pers Islam dalam
menjalankan Jurnalisme Dakwah” dalam Farid Hamid dkk. Ilmu Komunikasi; Sekarang
dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Prenada Media Grup.
Syamsul, asep.
2006. Jurnalistik
Praktis untuk Pemula. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
http://bumisubangs.wordpress.com/, diakses 21 Oktober 2012, pukul 18.00
[1] http://bumisubangs.wordpress.com/,
diakses 21 Oktober 2012, pukul 18.00
[2] Kiki Zakiah, “ Profesionalisme Pers Islam dalam menjalankan Jurnalisme
Dakwah” dalam Farid Hamid dkk. Ilmu Komunikasi; Sekarang dan Tantangan Masa
Depan. Jakarta: Prenada Media Grup.
[3] Ibid.,103
[4] Ibid, h.104-105
[5] Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis untuk Pemula,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 122
Comments