Konsep Manusia Menurut Islam dan Kebutuhan Manusia Terhadap BKI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memahami hakikat manusia menurut perspektif
Islam, haruslah dilihat dari sumber utama ajaran Islam yaitu Al Quran.
Dalam Al Quran
diuraikan bagaimana Allah telah menciptakan manusia dari materi dan roh,
melewati beberapa fase penciptaan sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Shad,
38: 71-72 yan artinya: “(Ingatlah)ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiaannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka
hendaklah kamu bersujud kepadanya”. (Erhamwilda,
2009: 5)
B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi manusia.
b. Apa asal-usul manusia.
c. Apa potensi manusia.
d. Apakah manusia sebagai khalifah.
e. Apa kebutuhan manusia terhadap BKI.
C.
Tujuan
a. Mengetahui definisi manusia.
b. Mengetahui asal-usul manusia.
c. Menerti potensi manusia.
d. Manusia sebagai khalifah.
e. Mengetahui kebutuhan manusia terhadap BKI.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Manusia
Manusia
adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek
jasmaniyah lebih-lebih rohaniayahnya. Karena kesempurnaannya itulah, maka dapat
memahami, mengenall secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahliaanya yang
spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tampa melalui studi yang
panjang dan hati-hati tenang “manusia” melalui Al Qur’an dan sudah tentu harus
di bawah bimbingan petunjuk Allah Ta’ala, serta serta berparadigma kepada proses
pertumbuhan dan perkembangan eksistensi diri yang terdapat pada para Nabi,
Rosul dan khususnya Nabi Muhammad SAW.
Secara
etimologi istilah manusia di dalam Al Qur’an ada empat kata yang dipergunakan,
yakni:
1.
Ins, Insan dan Unas.
Kata “insan”
diambil dari asal kata “uns” yang
mempunyai arti jinak, tidak liar, senang hati, tampak atau terlihat, seperti
yang terdapat dalam firman Allah SWT:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
di dalam sebaik-baiknya bentuk”. (at Tiin,95:4).
Kata
“insan” bermakna manusia mempunyai
dua unsur kemanusiaanya, yaitu aspek lahiriyah dan aspek bathiniyah.
Sedangkankata Ins dan Unas, menunjukan sifat dasar manusia
adalah fitri yang terpancar dari alam rohaninya, yaitu gemar bersahabat, ramah
dan sopan santun serta taat kepada Allah Ta’ala.
2.
Basyar
Kata
ini berasal dari makna kulit luar yang terdapat dilihat dengan kata kasar,
bersifat indah dan cantik. Dan dapat menimbulkan rasa senang, bahagia dan
gembira bagi siapa yang melihatnya.
3.
Bani Adam
Arti
kata “Bani Adam” ialah anak adam, sebagaimana firman-Nya :
“Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan
kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”. (Al-A’Araaf,
7:27)
4.
Dzurrriyat Adam
Para
ahli telah mendefinisikan manusia dengan berbagai pengertian, seperti yang
dikemukakan oleh ADI NEGORO dalam bukunya “ENSIKLOPEDIA UMUM DALAM BAHASA
INDONESIA” menyatakan : manusia adalah alam kecil sebbagian dari alam besar
yang ada di atas bumi, sebagian dari makhluk yang bernyawa, sebagian dari
bangsa ANTROPOMORPHEN, binatang yang menyusui, akan makhluk yang mengetahui dan
dapat menguasai kekuatan-kekuatan alam, di luar dan di dalam dirinya (lahir dan
batin).
B.
Asal
Usul Manusia
Asal
manusia secara esensial berasal mula dari Allah Ta’ala, bersifat Nur (cahaya),
ruh (hidup) dan gaib (tidak tampak oleh mata kasar). Ia tidak dapat
didefinisikan oleh kata-kata,huruf, bunyi ataupun sesuatu, melainkan hanya
dialah yang dapat mengetahui dan memahaminya. Sedangkan usul dari manusia
adalah berasal dari air mani dan tanah. Atau dengan kata lain, jika seseorang
manusia ditinjau secara asalnya, makaia bersifat ruhaniyah, sedangkan secara
usulnya berarti ia bersifat jasmaniyah. (Hamdani Bakran
Adz Dzaky, 2001: 13-18).
1.
Asal Ruhaniyah
Ruhani, merupakan unsur paling halus, bersifat suci dan Ilahi karena
dianggap berasal dari Ilahi, kecenderungannya kepada yang suci, bersih dan
mulia, kekal dalam arti tidak hancur karena hancurnya badan jasmani. (Isep Zainal Arifin, 2009: 27-30).
Asal
manusia secara ruhaniyah yaitu berasal dari cahaya dan ruh Allah (Nur Allah)
yang bersifat gaib tetap terang benderang dan sangat menyilaukan pandangan
batin manusia, jika ia dapat memandangnya atas izinNya.
Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani RA. Menerangkan dalam mukaddimah kitabnya “SIR AL
ASRAAR” bahwa, “ketahuilah, semoga engkau diberi tampak (penyingkapan)
kepada segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah”. Makhluk yang
pertama diciptakan-Nya adalah ruh Muhammad SAW; ia diciptakan dari nur (cahaya) jamal (keindahan) Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Hadits Qudsi
: “Atelah ciptakan ruh Muhammad dari Cahaya-ku.” Selanjutnya beliau
menyatakan bahwa hakikat Muhammad disebut “NUR”, sebagaimana sabda Nabi
SAW.: “Aku dari Allah, dan orang-orang
mukmin dari aku”.
2.
Asal Jasmaniyah
Air
Tanah debu
Saripati tanah
Tanah liat
Tanah lumpur
Tanah seperti tembikar
Tanah bumi
Berbentuk tubuh ( Hamdani Bakran Adz Dzaky, 2001: 20).
Jasmani, terdiri dari
badan kasar, berupa wujud fisik, sifatnya tergantung pada materi dan memiliki
kecenderungan biologis, dapat hancur dan rusak, tetapi merupakan tampat penting
bagi eksistensi dan wadahnya unsur kehidupan.
3.
Asal Nafsani
Nafsani, merupakan unsur penghubung antara jasmani
dan rohani, karena itu dapat bersifat dan kecenderungan seperti jasmani, tetapi
di sisi laain juga memiliki kecenderungan dan sifat seperti halnya ruhani.
Karena itu seperti disebut dalam QS Al-Syams ayat 8-9, nafs adalah potensi
dari Allah yang diilhami dengan dua kecenderungan baik dan buruk, yaitu Ilham
Fujur dan Ilham Taqwa, yang sama-sama memiliki takriran yang kuat.
4.
Asal Melalui Proses
Keturunan Adam
Air mani
Dalam rahim/kandungan
ibu
Proses kejadian dalam
kandungan
Jika dikaitkan
dengan persoalan psikoterapi Islam, akan terdapat dua penyakit batin manusia,
yaitu;
1.
Penyakit Nafsani; tidak lain
adalah apa yang disebut gangguan dan penyakit jiwa dalam psikologi. Berakibat
kepada sehat-sakitnya seseorang, berdimensi duniawi bahkan jika pun terkena
penyakit jiwa yang parah, yaitu gila, manusianya tidak terkena taklif hukum
agama.
2.
Penyakit Ruhani; adalah
penyakit yang menggerogoti kesucian ruh, berakibat kepada baik-buruknya
seseorang, ia berdampak baik terhadap perilaku dunia bahkan sampai ke akhirat,
misalnya jenis penyakit ini murtad, musyrik, kafir, munafik, hasud, dan
lain-lain.
Karena itu dalam
prespektif psikoterapi Islam, psikoterapi ada dua jenis, yaitu;
1.
Psikoterapi Duniawi, yaitu
merupakan hasil ijtihadi manusia berupa metode dan teknik pengobatan kejiwaan
yang didasarkan kepada kaidah-kaidah hasil akal pikiran manusia.
2.
Psikoterapi Ukhrawi, yaitu
merupakan terapi tekait dengan bagaimana manusia dapat hidayah dan wahbah
yang berisi kerangka ideologis dan teologis dan memiliki program penyelamatan
manusia di dunia dan di akhirat. (Isep Zainal Arifin, 2009: 27-30)
C.
Potensi
Manusia
Manusia
di hadapan Allah Ta’ala bukanlah makhuk-Nya yang lain, akan tetapi seorang
makhluk yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Hal itu terbukti dengan
jatuhnya pilihan-Nya kepadanya sebagai “KHALIFAH”, yakni menaburkan potensi
keselarasan, kemanfaatan, musyawarah dan kasih sayang ke seluruh penjuru alam,
baik alam di bumi maupun di langit, di dunia maupun di akhirat.
Potensi-potensi
yang ada dalam diri manusia adalah:
I.
Potensi Nur Ilahiyah
Nur
Ilahiyah adalah potensi yang paling tinggi dan bersifat luas, gaib dan tidak
terbatas, karena ia sangat sangat dekat dengan eksistensi Allah Ta’ala. Banyak
orang yang tidak mengembangkan potensi Nur (cahaya), sebagamana sejak
zaman azali Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepada mereka, maka kerugian,
kekurangan dan kesempurnaanlah yang akan mereka dapatkan di dalam hidup dan
kehidupan ini. Imam Al-Ghazali setelah melewati
saat-saat yang kritis dari pergulatan spiritualnya, ia menyatakan;
“Hal itu tidak datang karena alasan-alasan yang
terarah atau karena argumentasi yang tersusun rapi, tetapi datangnya dari Nur
yang telah ditawarkan Allah sedalam-dalamnya di hati sanubari saya, NUR ILAHI
itu merupakan kunci menuju bahagia terbesar dari pengetahuan”.
II.
Potensi Ruh Ilahiyah
Menurut
Syeikh Muhyiddin Ibn ‘Araby R.A., beliau menafsirkan bahwa orang yang bertanya
itu adalah orang-orang yang kemampuan mereka tidak dapat melampaui batas rasa
inderawi (al-hissi) dan yang dirasakan (al-mahsus), dengan penyerupaan pada
sebagian apa yang mereka telah rasakan dari suatu penyifatan yang berasal dari
alam amr (perintah); yaitu alam
penciptaan yang ia merupakan alam dzat-dzat yang murni dari matri yang pertama;
yaitu berupa jauhar-jauhar
(mutiara-mutiara) yang disucikan dari bentuk, warna, aspek, dan tempat. Untuk
mencapainya tidak akan mungkin bagi orang-orang yang terdinding dengan suatu
keadaan (ruang dan waktu), karena kemampuan mereka yang memiliki kekurangan
serta sedikitnya ilmu pengetahuan mereka. Sedangkan pengertian mereka diberi
ilmu hanya sedikit; yaitu ilmu tentang yang dirasakan (inderawi), ia merupakan
sesuatu yang kurang lagi hina, jika dibandingkan atau sinisbatkan kepada ilmu
Allah Ta’ala dan orang yang mendalam ilmunya.
Dalam
permasalahan ruh ini banyak para ilmuwan dan sebagian besar orang awam tersesat
karenanya. Agar terhindar dari kesesatan itu hendaklah tetap berpegang teguh
kepada Al-kitab dan As-Sunnah, dan yang telah memjadi pedoman bagi orang salih
terdahulu, bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan selain Allah adalah alam
(makhluk)-Nya”.
III.
Potensi Nafs Ilahiyah
Dalam
prespektif bahasa kata “nafs” memiliki beberapa arti, seperti : jiwa, darah,
badan, dan orang. Dr. M.Quraish Shihab M.A., menyatakan bahwa kata nafsdalam Al Qur’an mempunyai beberapa
makna, sekali diartikan sebagai totalias manusia. Pengertian nafs di sini
adalah yang berhubungan dengan eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah
Ta’alam hal mana ia memiliki potensi yang khusus dalam diri setiap hamba.
IV.
Potensi Qalb Ilahiyah
Asal
kata “Qalb” bermakna membalikan,
memalingkan atau menjadikan yang di atas ke bawah yang di salam keluar. Qalbu
berasal dalam bentuk masdar atau kata benda mengandung arti lubuk hati, akal,
kekuatan, semangat, dan keberanian.
Pengertian
qalb adalah dalam makna rohaniyah dan ia tidak dapat di lihat dengan kepala
mata kepala, kecuali dengan pengelihatan batiniyah (mukasyafah). Ia merupakan
tempat menerima perasaan kasih sayang, pengajaran, pengetahuan, berita,
kekuatan, keimanan, keislaman, keikhlasan dan ketauhitan.
V.
Potensi Akal Ilahiyah
Kata “Aql” tidak ditentukan di dalam Al
Qur’an, yaitu akal sebagai isim atau kata benda; yang ada hanya bentuk fi’il
(kata kerja), masa lalu (madhi), masa sekarang atau akan datang (mudhori’). Asal
makna itu adalah ikatan, tambatan, benteng atau penghalang. Al Qur’an
menggunakan kata ‘aql ini untuk sesuatu yang mengikat atau menghalangi
seseorang terjeruumus dalam kesalahan atau dosa. Dan Al Qur’an tidak
menjelaskan secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan
akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
Daya untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu
Dorongan moral
Daya untuk menggambil
pelajaran dan kesimpulan serta hikmah
VI.
Potensi Inderawi
Ilahiyah
Allah
SWT menjadikan kesempurnaan yang lengkap dalam diri seseorang manusia dengan
potensi inderawi, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman,dan peraba. Kelima
cabang atau macam potensi inderawi itupun memiliki berbagai tingkatan dan
bobot. Bagi orang kebanyakan kelimanya hanya sekedar pelengkap sebagai manusia
yang hidup, akan tetapi mereka tidak dapat memahami secara lebih spesifik,
bahwa kelimanya mempunyai fungsi Ilahiyah yang besar. (Hamdani
Bakran Adz Dzaky, 2001: 25-65).
D.
Manusia Sebagai Khalifah
Dalam Al Quran manusia menempati
kedudukan istimewa dalam alam semesta ini. Dia adalah khalifah di atas bumi
ini. Seperti firman Allah yang bermakna:
“Ingatlah,
ketika Tuhan mu berkata kepada malaikat: Aku akan menciptakan khalifah
di atas bumi”. (Q. 2 : 31).
Manusia yang
dianggap sebagai khalifah Allah tidak dapat memegang tanggug jawab sebagai
khalifah kecuali kalau ia diperlengkapi dengan potwnsi-potensi yang
membolehkannya berbuat demikian. Al Quran menyatakan bahwa ada beberapa
ciri-ciri yang demikiannya. Ciri-ciri pertama adalah bahwa dari
fitrahnya manusia adalah baik semenjak dari awal. Ia tidak mewarisi dosa karena
Adam as. Meninggalkan surga.
Al Quran mengakui
kebutuhan-kebutuhan biologikal yang menuntut pemuasan. Ini memerlukan
penjelasan tentang syarat-syarat yang menyebabkan kebutuhan-kebutuhan
biologikal ini mungkin wujud berdampingan dengan fitrah tanpa
menimbulkan masalah. Perlu di tegaskan di sini bahwa badan di mana
kebutuhan-kebutuhan ini melekat tidaklah dengan sendirinya membentuk manusia.
Badan hanyalah satu unsur ke mana ditambahkan sesuatu yang lain, yaitu roh.
Interaksi antara badan dan roh menghasilkan khalifah. Inilah ciri-ciri kedua
yang membedakan khalifah dari makhluk-makhluk lain.
Itulah dua ciri-ciri utama yang
dimiliki oleh khalifah, yaitu fitrah yang baik dan ruh. Tetapi
ada lagi ciri-ciri ketiga, yaitu kebebasan kemauan, kebebasan untuk
memilih tingkah lakunya sendiri. Khalifah itu menerima dengan kemauan sendiri
amanah yang tidak dapat dipikul oleh makhluk oleh makhluk-makhluk lain.
Namun ada lagi ciri keempat manusia yang perlu
disebutkan di sini, yaitu ‘aqal yang membolehkan manusia membuat pilihan
antara yang betul dan salah.
Keempat ciri-ciri inilah yang
membedakan manusia yang disebut khalifah dari makhluk-makhluk lain, dan tujuan
atau matlamat tertinggi (ultimate aim) pendidikan dalam Islam
adalah membina individu-individu yang akan bertindak sebagai khalifah, atau
sekurang-kurangnya menempatkannya disuatu jalan menuju ke arah tujuan tersebut.
(Hasan Langgulung, (1986: 57-58).
E.
Kebuthan Manusia Terhadap BKI
Urgensi Bimbingan dan Konseling
bagi manusia merujuk pada dua predikat, yaitu;
1.
Sebagai makhluk yang lemah (‘abdun).
Dalam kondisi
fisik yang tak berdaya, orang membutuhkan bantuan orang lain, dokter misalnya –
untuk memulihkan kesehatannya. Demikian pula dalam kondisi mental yang kacau,
seseorang membutuhkan bantuan kejiwaan, untuk memulihkan rasa percaya dirinya,
meluruskan cara berfikir, cara pandang dan cara merangsangnya sehingga ia
kembali realistis, mampu melihat kenyataan sebenarnya dan mampu mengatsi
problemnya dengan cara-cara yang apat dipertanggung jawabkan.
2.
Sebagai Khalifah Allah.
Dalam
perspektif Bimbingan dan Konseling Islam, seorang muslim sebagai khalifah Allah
terpanggil untuk membantu orang lain yang sedang mengalami gangguan kejiwaan
yang menyebabkan orang itu tak mampu mengatasi tugas-tugas nya dalam kehidupan.
Selain merujuk pada dua predikat
tersebut, di sini juga disinggung beberapa urgensi Bimbingan dan Konseling
Islam, diantaranya;
a.
Manusia yang tidak lepas dari
masalah.
b.
Manusia yang selalu bersifat
idealis, dinamis.
c.
Untuk menemukan jati diri manusia
itu sendiri.
d.
Untuk mencapai kesejarteraan.
Untuk mengetahui kedudukan Bimbingan
Konseling Agama, dalam prespektif keilmuan maupun prespektif sjsrsn Islam,
sekurangnya perlu diketahui lebih dahulu empat hal, yaitu;
1.
Bantuan kodrat kejiwaan manusia
membutuhkan bantuan psikologis.
2.
Gangguan kejiwaan yang berbeda
membutuhkan terapi yang tepat.
3.
Meskipun manusia memiliki fitrah
kejiwaan yang cenderung pada keadilan dan kebenaran, tetapi daya tarik kepada
keburukan lebih banyak dan lebih kuat tarikannya sehingga mtif kepada keburukan
lebih cepat merespon stimulus kebenaran, mendahului respon motif kepada
kebaikan atas stimulus kebaikan.
4.
Keyakinan agama (keimanan)
merupakan bagian dari struktur kepribadian, sehingga getar batin dapat di
jadikan penggerak tingkah laku (motif) kepada kebaikan. (Achmad Mubarok, 2000: 23-25)
BAB III
KESIMPULAN
Manusia
adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek
jasmaniyah lebih-lebih rohaniayahnya. Karena kesempurnaannya itulah, maka dapat
memahami, mengenall secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahliaanya yang
spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tampa melalui studi yang
panjang dan hati-hati tenang “manusia” melalui Al Qur’an dan sudah tentu harus
di bawah bimbingan petunjuk Allah Ta’ala, serta serta berparadigma kepada
proses pertumbuhan dan perkembangan eksistensi diri yang terdapat pada para
Nabi, Rosul dan khususnya Nabi Muhammad SAW.
Secara
etimologi istilah manusia di dalam Al Qur’an ada empat kata yang dipergunakan,
yakni: Ins, Insan dan Unas- Basyar- Bani Adam dan Dzurrriyat
Adam.
Daftar Pustaka
Adz
Dzaky, Hamdani Bakran, Psikoterapi Konseling Islam, (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2001)
Arifin,
Isep Zainal, Bimbingan Penyuluhan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009).
Erhamwilda,
Konseling Islami, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009).
Langgulung,
Hasan, Manusia Pendidikan, (Jakarta: Alhusna Zikra, 1986).
Mubarok,
Achmad, Konseling Agama Teori dan Kasus, (Jakarta: Bina Raja Pariwara,
2000).
Comments