Kurikulum Pendidikan Ditengah Corona (part 1)


Pangkal kegagalan pertama kali Sistem pendidikan di Indonesia adalah kurikulum yg sama diberlakukan menyeluruh kepada semua siswa. Tak peduli IQ nya berapa, Bakatnya Apa, dan lain sebagainya.

Bisa dibayangkan Andai Kuda yg berbakat lari cepat, ikan yg berbakat berenang, monyet yg berbakat memanjat, didudukkan dalam 1 kelas kemudian diajar cara merayap ala cicak dmn hanya hewan dgn "spatulae" yg mampu melakukannya. Lalu ketiga hewan itu menghadapi ujian dgn soal praktek "merayap di dinding", pasti ketiganya mendapat nilai nol. Dan dalam dunia pendidikan kita, nilai nol pasti dekat dgn label bodoh.

Berapa banyak siswa Qt yg pandai dalam olahraga di labeli bodoh karena gagal ujian matematikanya?. Berapa banyak siswa yg pandai memainkan alat musik tapi mendapat label bodoh karena dapat nilai jelek dalam pelajaran IPA? Berapa banyak siswa yg mahir dalam bidang tertentu tetapi mendapat predikat bodoh karena rapor nya jelek?

Kita menyepakati, setiap anak lahir dengan keunikan tersendiri dan kecerdasan yg berbeda-beda. Lalu kenapa diberikan kurikulum/materi ajar yg sama. Seharusnya muncul solusi donk untuk membangun sistem pendidikan yg sesuai dgn setiap anak.

Menarik adalah situasi ditengah corona ini. Kebijakan belajar di rumah membuka celah bahwa perubahan mendasar tentang cara belajar bisa dilakukan. Paradigma belajar yang harus di kelas dan bersama-sama tak lagi relevan. Orang tua yang selama ini hanya mendelegasikan pengajaran anaknya ke guru mulai dituntut untuk berpartisipasi aktif.

Hanya saja, kurikulumnya masih sama. Yg berubah hanya pola ajarnya dari "direct teaching" yg belajar langsung dikelas berubah menjadi "technology base teaching" dgn perantara teknologi.

Sekolah idealnya hanya menjadi pusat komando, laboratorium untuk mengklasifkasi dan mengolah data bakat siswa, dan sebagai bank data materi ajar beragam kurikulum serta beragam kebutuhan administratif lainnya.

Sedang guru, menjadi fasilitator dan evaluator. Menjadi konsultan orang tua yg mendampingi anaknya belajar. Persis seperti yang terjadi saat ini.

Orang tua, akhirnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri apa bakat anaknya. Dan bisa memilih pendidikan model apa yg cocok untuk anaknya.

Jadi ga ada lagi yg mengeluh sekolah puluhan tahun dari sejak umur 3 tahun, menghabiskan banyak waktu dan biaya, kemudian setelah lulus masih kesusahan nyari kerja dan penghidupan.

Amar Suteja, 2 April 2020
(Catatan pendidikan untuk buah hati)

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Sejarah logika di indonesia