Kurikulum Pendidikan Ditengah Corona (Part 2)


Di tulisan sebelumnya, saya menyinggung tentang gambaran besar sistem pendidikan yang ideal. tentang fungsi masing-masing stakeholder yang terlibat dalam pendidikan. mulai dari sekolah sampai orang tua. pertanyaannya, apakah orang tua mampu melaksanakan tugas sebagai guru? bukankah selama ini justru karena tidak punya waktu atau bahkan tidak mampu mengajar maka tugas mengajar di delegasikan ke sekolah dan guru?

Belajar tanpa harus datang ke sekolah dan cukup didampingi orang tua memang akhirnya terbukti mampu dilaksanakan di tengah corona ini. yang walaupun sebelumnya banyak disanggah tidak akan bisa dilakukan. tapi jika dilihat dari hasilnya muncul pertanyaan, apakah cara belajar seperti ini efektif? apakah mampu memintarkan anak? kenyataannya banyak orang tua yang mengeluh tidak sanggup.

untuk menjawab persoalan diatas, kita harus menjawab beberapa persoalan yang yang memicunya.

Yang pertama, tentang kurikulum sekolah yang mewajibkan anak mempelajari dan memahami seluruh ilmu pengetahuan yang ada adalah awal persoalannya. kurikulum kita menghadirkan beragam pelajaran yang harus dipelajari siswa. bukan sebagai opsi/pilihan, semua pelajaran tersebut harus dimakan semuanya tanpa terkecuali. sekarang kita bayangkan, berapa mata pelajaran yang harus kita makan dari sejak kita masuk sekolah sampai lulus SMA? ingatkah kita berapa jumlahnya? saya tidak menanyakan semua materi pelajaran yang sudah kita pelajari selama sekolah, saya hanya menanyakan jumlah mata pelajarannya. pasti kita kesulitan untuk mengingatnya. apalagi untuk mengingat konten pelajarannya, tentu lebih mustahil. lalu apa yang dihasilkan dari kurikulum yang seperti ini?

Kurikulum ini hanyalah menghasilkan persoalan kedua. jika seluruh siswa harus di input semua jenis ilmu pengetahuan, maka penginputnya harus memahami ilmu pengetahuan tersebut lebih dulu. butuh tenaga profesional yang jumlahnya tidak sedikit untuk menginput semua ilmu pengetahuan ini keseluruh anak. dalam model kurikulum seperti ini, tentu orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang diwajibkan kurikulum akan kesulitan mendampingi anaknya belajar. karena paradigmanya adalah mengajar bukan mendidik.

Tenaga pengajar kemudian menjadi persoalan selanjutnya. agar proses input pengetahuan ke kepala siswa berjalan dengan baik, maka harus ada semacam standardisasi. untuk memperoleh izin mengajar dari sekolah setidaknya harus berpendidikan tinggi. kemudian harus disertifikasi jika sudah mengajar. tidak selesai disitu, tenaga pengajar juga harus mampu membuat laporan pencapaian apakah tugasnya sebagai penginput ilmu ke kepala anak berhasil dengan baik atau tidak. jadi kemudian tugas tenaga pengajar menjadi ganda, sebagai penginput dan sebagai evaluator. dua tugas yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh orang yang sama. karena objektifitasnya bisa dipertanyakan ketika meberikan penilaian. maka tak heran jika ada siswa yang selalu naik kelas kemudian gagal di Ujian Nasional. bahkan di tahap Ujian Nasional ada tenaga pengajar yang masih mencoba memanipulasi evaluasi belajar ini dengan cara mengajak siswanya curang agar lulus. untuk menutupi kegagalannya dalam menginput ilmu yang ditugaskan kurikulum kepadanya.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah akan berhasil metode belajar dirumah bersama orang tua saat ini? jika ketiga persoalan diatas tidak selesai, maka belajar dirumah kemungkinan besarnya akan gagal. belajar dirumah tak lebih dari kebijakan abal-abal agar terkesan 'memikirkan pendidikan anak dengan baik". jika demikian, kenapa tidak dibuat kelas online saja semacam aplikasi ruang guru. dengan begitu kan tidak merepotkan orang tua.
Jika niatnya adalah betul memikirkan pendidikan anak-anak ditengah corona ini, mestinya ini adalah peluang untuk menguji sistem pendidikan yang baru. sebuah opsi baru yang bisa mengganti opsi mainstream yang sudah ada saat ini yang telah terlihat semua titik cacatnya.

Amar Suteja, 5 April 2020
(Catatan pendidikan untuk buah hati)

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Sejarah logika di indonesia