Kurikulum Pendidikan ditengah Corona (Part 3)


- tentang solusi alternatif-

Di part 1 saya membahas tentang konstruksi penyelenggaraan pendidikan yang ideal dan memperlihatkan bahwa perubahan mendasar cara pembelajaran bisa dilakukan. Di part 2 saya mengulas ke-mubazir-an kurikulum sekolah yang memaksa menginput puluhan mata pelajaran kedalam kepala anak yang belum tentu pengetahuan tersebut diingat atau bahkan terpakai dikemudian hari.

Lalu bagaimana solusinya? Bukankah 2 pokok persoalan diatas melibatkan institusi besar yang tidak mungkin perseorangan seperti kita bisa merubahnya? Haruskah kita menggerakkan banyak orang untuk demonstrasi menuntut perubahan system pendidikan?

Pertama, perubahan tidak selalu harus dari atas (Top-Down) tapi bisa dilakukan dari elemen yang paling bawah (Bottom Up) yang kemudian hari bisa menyentuh sampai bagian atas penentu kebijakan. Ada banyak contoh kasus dimana penentu kebijakan harus mengikuti hasrat masyarakat, apalagi jika viral, sangat mudah sekali.

Terkait cara “Bottom Up” ini, apa yang harus dilakukan?

Cara pertama carilah lembaga sekolah yang kurikulum pendidikannya tidak padat, luwes, dan punya ijasah kesetaraan. Semakin sedikit mata pelajaran kognitif yang di berikan di sekolah tersebut, maka semakin baik. Itu artinya siswa punya banyak waktu untuk mengerjakan hal-hal lain. Seperti bereksplorasi, bereksperimen, dan berinovasi. Apalagi jika lembaga sekolah tersebut punya kurikulum luwes mengikuti perkembangan zaman maka semakin baik. Jadi siswa tidak tabu dengan teknologi-teknolgi baru, produksi-produksi budaya baru , dan hal-hal lain yang akan selalu ada pembaruan.

Soal ijasah, ini opsional. bergantung pada komitmen awal belajar. Jika ijasah dirasa penting mengingat kita hidup di Negara yang mengedepankan ijasah daripada portofolio skill, maka carilah lembaga sekolah dengan 2 indikator diatas yang memiliki legalitas mengeluarkan ijasah nasional atau ijasah kesetaraan.

Lalu bagaimana jika kita tidak menemukan lembaga sekolah yang seperti itu?

Solusi alternatif jelas merupakan jawaban satu-satunya. Solusi alternatif adalah upaya melakukan perubahan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan minat dan bakat anak tetapi juga harus ramah dengan system penyelenggaraan pendidikan yang mainstream (berijasah yang diakui oleh Negara). Apakah solusi alternatif ini sudah tersedia dan bisa dilakukan sekarang ini? jawabannya adalah ada, tersedia, dan bisa dilakukan. Bahkan sudah ada undang-undang yang mengaturnya.

Solusi tersebut adalah homeschooling. Mungkin agak terdengar aneh ketika kita mendengar istilah homeschooling. Kesan seperti anti sosial, mahal, elit, orang tua harus pintar, dll masih melekat di homeschooling. Saya tidak akan membahas panjang lebar tentang kesan homeschooling ini. Tetapi yang perlu di ingat, satu-satunya cara belajar yang membebaskan kita untuk bongkar pasang mata pelajaran, mengetahui minat bakat anak secara akurat, serta berijasah legal yang diakui Negara hanyalah homeschooling. Di tulisan berikutnya akan saya bahas homeschooling yang ramah dikantong dan tidak menyulitkan orang tua.

Yang perlu digarisbawahi adalah perubahan sistem pendidikan bisa dilakukan dari bawah jika suatu saat jumlah masyarakat yang mengambil solusi alternative semakin banyak. Seperti lembaga bimbingan belajar yang bukan bagian resmi dari penyelenggara pendidikan formal kita tapi hari ini begitu lekat karena banyak masyarakat yang menggunakannnya.

Amar Suteja, 29 April 2020.
(Catatan pendidikan untuk buah hati)

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Sejarah logika di indonesia