Ki Hajar Dewantara

BAB I

PENDAHULUAN

A . Dasar Pemikiran

Dalam terjadinya proses kegiatan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh sebagai aktor utama. Para pendidik telah memainkan peranan yang amat signifikan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, hingga Perguruan Tinggi atau Universitas. Di lembaga-lembaga pendidikan tersebut, mereka telah mengembangkan sistem dan pendekatan dalam proses belajar mengajar, visi dan misi yang harus diperjuangkan, kurikulum, bahan ajar berupa buku-buku, majalah, dan sebagainya, gedung-gedung tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan lengkap dengan sarana prasarananya, tradisisi dan etos keilmuan yang dikembangkan, sumber dana dan kualitas lulusan yang dihasilkan.

Seiring dengan itu sudah tiba waktunya bagi kita untuk mengkaji gagasan, pemikiran dan pendapat dari pemikir pendidikan masa lalu untuk dijadikan masukan bagi penyusunan konsep pendidikan masa depan dan diteladani karena keberhasilannya setelah terlebih dahulu melakukan proses analisis, dialektika internal, dan sebagainya. Inilah antara lain yang mendasari pemikiran disusunnya makalah ini.

B. Tujuan

Penulisan makalah Tokoh-tokoh pendidikan ini memiliki tujuan dan sasaran sebagai berikut:

1. Mendokumentasikan pemikiran para tokoh tokoh pendidikan di Indonesia secara utuh, lengkap, komprehensif dan sistematis.

2. Memberikan apresiasi (penghargaan) intelektual kepada para tokoh pendidikan masa lalu dalam rangka memberikan kesadaran bagi para tokoh selanjutnya untuk mengupayakan karya konstruktif dalam bidang pendidikan sesuai dengan zamannya.

3. Menyediakan bahan kajian awal bagi para mahasiswa yang ingin melakukan pendalaman tentang keahlian dalam bidang pendidikan.

4. Memenuhi tugas kelompok mata kuliah Bahasa Indonesia.

C. Ruang Lingkup

Seiring dengan tujuan tersebut di atas, maka ruang lingkup kajian makalah ini difokuskan kepada upaya memahami pemikiran para tokoh pendidikan di Indonesi, dengan catatan sudah pasti tidak mungkin menjangkau seluruh pemikiran para tokoh pendidikan tersebut, mengingat keterbatasan sumber dan sebagainya.

Pemikiran pendidikan dari tokoh tersebut akan dilihat secara komprehensif baik dari segi visi, misi, tujuan dan strategi yang dikembangkan dalam rangka memajukan pendidikan. Visi, misi, tujuan pendidikan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana, administrasi, hubungannya dengan masyarakat dan hubungan kerja; evaluasi, biaya serta peran yang dimainkan para lulusannya.

D. Metodologi dan Pendekatan

Penulis makalah ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang bebentuk deskriptif analitis. Maka upaya yang dilakukan adalah memberikan uraian atau deskripsi yang seluas-luasnya terhadap bidang pemikiran yang dibahas.

Untuk mendeskripsikan masalah tersebut, maka bahan-bahan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah buku-buku, jurnal, internet, dan sebagainya yang sudah tertulis para pakar dalam bidang pendidikan, termasuk pula hasil-hasil penelitian yang dapat dipertaggungjawabkan akuntabilitas ilmiahnya.


BAB II

PEMBAHASAN

KI HAJAR DEWANTARA

Indonesia pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Belanda menjajah Indonesia tiga setengah abad. Sedangkan Jepang menjajah Indonesia selama lebih kurang tiga setengah tahun. Tidak seperti halnya Inggris terhadap rakyat jajahannya seperti India dan Mesir, Belanda tergolong pelit terhadap rakyat jajahannya. Sedangkan Inggris bersikap baik dan memberdayakan terhadap rakyat jajahan. Akibatnya rakyat jajahan Inggris adalah rakyat yang berpendidikan. Sedangkan rakyat jajahan Belanda adalah rakyat bodoh. Itulah yang dialami dan terjadi pada bangsa Indonesia. Menjelang akhir masa penjajahannya, Belanda mulai memberikan perhatian terhadap pendidikan bangsa Indonesia, setelah mendapatkan tekanan dari dunia internasional, dan mutu pendidikan yang mereka berikan adalah pendidikan yang bermutu rendah serta diupayakan agar bangsa Indonesia jadi budak penjajah dan kehilang jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.

Kondisi pendidikan yang demikian itu telah mendorong Ki Hajar Dewantara untuk meresponinya. Dialah tokoh yang menggas agar pendidikan yang diberikan ke bangsa Indonesia adalah pendidikan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sendiri dan didasarkan pada semangat nasionalisme, patriotism serta membangun jati diri bangsa sebagai manusia yang merdeka, bebas, bermartabat, dan dihormati bangsa lain.

Berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan harus dirumuskan berdasarkan kemauan bangsa Indonesia sendiri. Gagasan dan pekirin Ki Hajar Dewantara inilah yang kemudian mejadi acuan menyelenggaraan pendidikan nasional hingga demokrasi yang berbunyi ing ngarso sing tulodo (di depan member contoh), ing madya mangun karso (di tengah membangkitkan kreativitas), dan tut wuri handayani(di belakang memberikan pengawasan) adalah berasal dari Ki Hajar Dewantara. Demikian pula gagasan pendidikan yang berwawasan global dengan cara mengharuskan para siswa menguasai pengetahuan agama dan umum serta menguasai bahasa asing telah dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, jauh sebelum bangsa Indonesia mengenal apa yang disebut era globalisasi.

A. Pengantar

Berbicara tentang pendidikan pada umumnya, serta pendidikan Islam pada khususnya di Indonesia tidak dapat ditinggalkan pembicaraan terhadap tokoh dan pejuang pendidikan Indonesia sejati yang bernama Ki Hajar Dewantara. Seorang pakar yang berkecimpung atau mengosentrasikan keahliannya dalam bidang pendidikan, amatlah naïf apabila tidak mengetahui dan memahami pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara. Hal yang demikian itu terjadi antara lain disebabkan karena berbagai konsep strategis tentang pendidikan di Indonesia dalam hampir seluruh aspeknya senantiasa merujuk pada pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Gagasan dan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara telah ditulis dalam berbagai karangannya yang mendapatkan sambutan hangat dari kepala Negara, Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir. Soekarno. Karena demikian luas dan mendalam pemikiran pendidikannya itu, maka boleh jadi ia belum dapat dibaca oleh para pakar pendidkan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, karena berbagai alasan. Bagaimanakah corak, sifat dan karakter pemikiran pendidikannya itu, boleh jadi belum dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat.

Demikian pula dalam situasi reformasi seperti sekarang ini, konsep pendidikan di Indonesia tengah ditinjau ulang untuk kemudian dihasilkan suatu rumusan konsep pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam kaitan mencari rumusan konsep pendidikan yang demikian itu, maka sebaiknya kita menengok sejenak pemikiran-pemikiran pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, dalam kerangka al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah (meneruskan hal-hal masa lalu yang masih relevan dan mengambil pemikiran baru yang lebih baik).

Sejalan dengan pemikiran singkat tersebut di atas, maka uraian yang ada paling tidak akan membantu para pembaca untuk memahami pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara secara cepat dan tepat, untuk kemudian dijadikan bahan bagi pengembangan dan perumusan konsep pendidikan di masa depan.

Sebagai seorang Muslim yang taat dan tinggal dalam lingkungan budaya Jawa yang kental, maka dapat diduga kuat, bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara itu, selain dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, situasi politik dan perjalanan hidupnya, juga akan dipengaruhi oleh pandangannya tentang ajaran Islam. Hal ini pada gilirannya menjadi dasar yang kuat untuk mengidentifikasi corak dan sifat gagasan-gagasan pendidikan itu.



B. Riwayat Hidup

Ki Hajar Dewantara yang nama aslinya Suwardi Suryadiningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889, bertepatan dengan 1303 H. di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 26 April 1959 bertepatan dengan 1376 H (berusia 70 tahun).

Dilihat dari segi leluhurnya, ia adalah putra dari Suryaningrat, putra Pau Alam III. Sebagai seorang keluarga nigrat, ia termasuk yang memperoleh keuntungan dalam mendapatkan pendidikan yang baik. Pendidikan dasarnya ia peroleh dari sekolah rendah Belanda (Europeesche Lagere School, ELS). Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Guru (Kweek School); tetapi sebelum sempat menyelesaikannya, ia pindah ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Arten). Namun di sekolah ini pun ia tidak sempat menamatkan pendidikannya, dikarenakan ayahnya mengalami kesulitan ekonomi. Sejak itu, ia memilih terjun ke dalam bidang jurnalistik, suatu bidang yang kelak mengantarkannya ke dunia pergerakan politik nasional.

Pada tahun 1912, nama Ki Hajar Dewantara dapat dikategorikan sebagai tokoh muda yang mendapat perhatian Cokroaminoto untuk memperkuat barisan Syarekat Islam cabang Bandung. Oleh karena itu, ia bersama dengan Wignyadisastra dan Abdul Muis, yang masing-masing diangkat sebagai Ketua dan Wakil Ketua, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai sekretaris. Namun keterlibatannyadalam Syarekat Islam ini terhitung singkat, tidak genap satu tahun. Hal ini terjadi, karena bersama dengan E.F.E. Dowes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, ia diasingkan ke Belanda (1913) atas dasar orientasi politik mereka yang cukup radikal. Selain alasan tersebut, Ki Hajar Dewantara tidak memiliki kesempatan untuk menjadi tokoh penting di lingkungan Syarikat Islam.

Sebagai tokoh pergerakan politik dan tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak hanya terlibat dalam konsep dan pemikiran melainkan juga terlihat aktif sebagai pelaku yang berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang melalui pendidikan yang diperjuankanya melalui Sistem Pendidikan Taman Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam posisinya yang demikian itu, maka dapat diduga ia memiliki konsep-konsep yang strategis tentang pendidikan di Indonesia. Konsep ini cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut. Karena jasanya yang demikian besar dalam dunia pendidikan, maka hari kelahirannya, tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.



C. Gagasan dan Pemikiran Pendidikan

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pada masa hidupnya Ki Hajar Dewantara banyak mengabdikan dirinya bagi kepentingan pendidikan nasional, melalui Taman Siswa yang dirikan dan diasuhnya. Dalam kapasitasnya yang demikian itu dapat diduga kuat bahwa ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang dikemukakannya.

Gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan

Secara sederhana visi dapat diartikan suatu cita-cita ideal yang bersifat jangka panjang jauh kedepan dan mengandung makna yang amat dalam yang kemudian berfungsi sebagai arah pandang kemana suatu kegiatan akan diarahkan. Secara konseptual visi biasanya berisi rumusan kalimat yang tegas, jelas dan singkat.

Sedangkan misi adalah serangkain langkah-langkah stategis yang lebih terperinci dan terukur yang apabila dilaksanakan akan terasa pengaruhnya baik secara psikologis, sosiologis maupun cultural. Kumpulan dari misi tersebut selanjutnya berfungsi untuk mencapai visi.

Adapun tujuan, adalah langkah-langkah strategis yang lebih terukur dan terjangkau hasilnya dalam kurun dan kadar tertentu.

Dalam berbagai tulisannya, Ki Hajar Dewantara tidak mengungkapkan visi dan misi tujuan pendidikan secara eksplisit. Namun dari berbagi pernyataan yang dapat dilihat menurut batasan pengertian tersebut di atas dapat dijumpai bahwa ia memiliki visi dan misi pendidikan tersebut. Ki Hajar Dewantara misalnya mengatakan bahwa “Pendidikan nasional sebagimana dianut oleh Taman Siswa adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup ari bangsanya (culturel-national) dan ditujukan untuk keperluan kehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.”

Pada bagian lain, Ki Hajar Dewantara mengatakan “Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menunutun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya."

Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa “Pendidikan yang dilakukan dengan keinsafan, ditujukan ke arah keselamatan dan kebahagian manusia, tidak hanya bersifat laku pembangunan, tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasaskan peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.”

Dengan memperhatikan beberapa pernyataan tersebut di atas, tampak sekali bahwa visi, misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal, yang telah maju dengan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain.

Pernyataan visi, misi dan tujuan pendidikan yang bernuansa perjuangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi sosial politik pada masanya, yaitu politik kolonial penjajah Belanda yang telah menguras kekayaan alam Indonesia serta menyengsarakan rakyat Indonesia secara lahir batin.

Pada masa Ki Hajar Dewantara, pemerintah kolonial Belanda memang telah mulai memberikan sedikit kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Namun, menurut Ki Hajar Dewantara, pedidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda itu tidak lepas dari tujuan kolonialismenya, dan bukan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara mengatakan sebagai berikut:

“Pengajaran pada zaman sekarang (masa Ki Hajar Dewantara hidup), tak dapat member kepuasan pada rakyat kita. Pengajaran gubernemen, yyang seolah-olah dijadikan contoh dan umumnya dianggap sebagai usaha untuk menjunjung derajat kita, ternyata tak dapat memberi penghidupan pada kita, yang sepadan dengan cita-cita kita sebagai rakyat yang berusaha akan mendapatkan keselamatan. Hingga kini nasib kita semata-mata hanya memberi manfaat kepada bangsa lain.”

Lebih jauh ia mengatakan bahwa pengajaran yang kita terima dari pemerintah itu pertama kali sangat kurang, kedua kalinya sangat mengecewakan sebagai alat pendidikan rakyat. Sungguhpun ada sebagian kecil dari bangsa kita, yaitu kaum priyayi yang boleh menuntut pelajaran di sekolah Belanda hingga kemudian dapat meneruskan pelajarannya di sekolah yang lebih tinggi, tetapi untuk rakyat umum tertutup pintu yang dapat menuntut ke arah penghidupan yang pantas. Kemudian kita mendapat sekolah bumiputra kelas satu, yang kelak menjadi HIS (Holland Indischee School) banyak orang yang merasa senang, karena ada pengharapan bagi anak-anaknya mencapai kepandaian yang bisa dijadikan alat untuk mencapai derajat penghidupan yang sama dengan penghidupan bangsa lain yang hidup di tanah kita. Akan tetapi penghargaan itu dikatakan sia-sia belaka.

Ki Hajar Dewantara lebih lanjut mengatakan bahwa anak keluaran HIS itu umumnya masih kurang kepandaiannya untuk meneruskan pelajaran pada sekolah yang lebih tinggi. Kebanyakan anak-anak itu tak dapat diterima untuk MULO (setingkat Perguruan Tinggi), karena kurang kepandaiannya, terutama dalam hal bahasa Belanda. Untuk mencari pekerjaan, maka anak-anak keluaran HIS itu masih sangat mentah; kebanyakan mereka itu hanya cakap buat menjabat jurutulis atau jurutulis pembantu dengan gaji yang sama dengan gaji jongos atau koki.

Berdasar fakta-fakta tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia adalah pendidikan yang tidak bermutu, berbeda dengan pendidikan yang mereka berikan kepada bangsanya sendiri atau orang-orang Eropa, termasuk orang Cina. Dengan kata lain, pemerintah Belanda telah bersikap sangat diskriminatif terhadap bangsa Indonesia.

Atas dasar kenyataan inilah Ki Hajar Dewantara menginginkan agar rakyat Indonesia memiliki pendidikan yang tak kalah mutunya dengan pendidikan yang diselenggarakan adalah pendidikan yang bebas dari campur tangan penjajah, ditentukan oleh visi, misi dan tujuan kita sendiri, melalui lembaga pendidikan yang diadakan oleh sendiri. Inilah yang menyebabkan Ki Hajar Dewantara mendirikan Lembaga Pendidikan Taman Siswa.

Adapun perlunya landasan budaya dan peradaban bangsa sendiri yang menjiwai pendidikan pendidikan bagi bangsa Indonesia sebagaimana terlihat pada Taman Siswa, adalah karena pendidikan yang diberikan oleh kolonial Belanda kepada bangsa kita pendidikan yang menyebabkan bangsa kita kehilangan kepercayaan pada dirinya dan kepada rakyatnya, bahkan juga kepada perikeadaban bangsa sendiri, sehingga kultur kita amat bergantung pada masyarakat Eropa di negeri kita ini. Dalam kaitan ini, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa usaha dari perguruan kebangsaan untuk membelokkan aliran koloial ke arah nasional dengan mengadakan cara dan si pengajaran sendiri, sering kali hanya dapat persetujuan dalam kata, tidak dengan tenaga, disebabkan karena umumnya orang masih mengharap dapat tempat di dalam masyarakat Hindia Belanda, sehingga sering kali aliran prinsipil nasional terdesak oleh pengaruh Eropa.

Selain itu bahwa perlunya ditanamkan jiwa kebangsaan dan kebudayaan Indonesia melalui pendidikan yang diselenggarakan sendiri, adalah karena sifat dari pendidikan kolonial Belanda dipandang oleh Ki Hajar Dewantara sebagai yang tidak sejalan dengan falsafat orang timur yang menekankan prinsip keseimbangan antara pemenuhan lahir batin, material spiritual, jasmani dan rohani, individual dan sosial, emosional dan intelektual. Pendidikan kolonial yang diberikan kepada rakyat Indonesia telah menyebabkan rakyat kita menjadi materialistis (mengutamakan hidup materi semata-mata), rasionalistis (hanya menerima hal-hal yang dianggap benar menurut akal saja), egoistis (hanya mementingkan diri sendiri saja), dan eropanis (mengagung-agungkan budaya Eropa).

Selanjutnya Ki Hajar Dewantara menginginkan agar pendidikan yang diberikan kepada bangsa Indonesia adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu pendidikan yang dapat membawa kemajuan bagi peserta didik. Ungkapan ini merupakan respons dari adanya pendidikan yang di berikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat kita, yaitu pendidikan yang mengajarkan hal-hal yang sulit dipelajari, tapi tidak ada fungsinya untuk menolong kehidupan rakyat di masa depan.

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, tampak dengan jelas bahwa visi, misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang berasaskan kemerdekaaan, keseimbangan, kesesuaian dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan.

2. Kurikulum (Mata Pelajaran)

Istilah “kurikulum” berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish. Dalam pengertian yang sederhana kurikulum sering diartikan dengan sejumlah mata pelajaran atau bidang studi. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertian kurikulum tidak hanya terbatas pada pengertian sejumlah mata pelajaran atau bidang studi saja, melainkan termasuk pula kegiatan-kegiatan belajar dimaksud dapat dilakukan dalam kelas dengan mengikuti ceramah, bertanya jawab, mengadakan demonstrasi, bisa juga kegiatan di luar kelas, baik di dalam maupun di luar kampus. Sejalan dengan itu pendapat berikutnya mengatakan bahwa menurut pandangan modern, kurikulum lebih dari sekadar rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern ialah semua secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Pandangan ini bertolak sesuatu actual, yang nyata, yaitu yang actual terjadi di sekolah dalam proses belajar.

Sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan, Ki Hajar Dewantara dalam berbagai bukunya tidak terlibat dalam mengartikan kurikulum secara teknis sebagaimana tersebut di atas. Namun secara substansial, dapat dijumpai bahwa Ki Hajar Dewantaradengan caranya sendiri banyak membicarakan masalah kurikulum, yakni kurikulum dalam arti konvensional, yaitu nama-nama mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya. Dalam kaitan ini, Ki Hajar Dewantara antara lain mengatakan sebagai berikut:

“Pelajaran yang diberikan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga pengaruh pada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang kedua adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan cultural dan kemasyarakatan.”

Pada bagian berikutnya Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya progam pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya: intelektualisme dan materialism, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.

Dengan ungkapan tersebut, terlihat bahwa Ki Hajar Dewantara menginginkan agar bahan pelajaran diberikan mengarah pada pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual sebagaimana telah diuraiakan di atas. Bahan pelajaran yang memajukan intelek dan kemasyarakatan, dengan memberikan ilmu dan kepandaian pada anak-anak kita yang ditujukan kepada matangnya batin, yaitu halusnya perasaan serta teguh, tetap dan luhurnya kemauan yang akhirnya dapat menyesuaikan hidupnya anak dengan dunianya (alam individu, alam kebangsaan, alam kemanusiaan); yang kesemuanya ini dimaksud untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan, bagi orang seorang, serta di alam pergaulannya dengan orang-orang lain dapat dicapai pula tertib dan damai.

Selain mempertimbangkan factor-faktor keseimbangan hidup sebagaimana tersebut di atas, mata pelajaran (kurikulum) yang diberikan kepada anak didik juga harus bertolak dari kodrat manusia yang memiliki sifat dan ciri-ciri kejiwaan yang sesuai dengan perkembangan usianya. Sejalan dengan ini, Ki Hajar Dewantara menguraikan bahan pelajaran sebagai berikut.

Pertama, untuk anak usia Taman Kanak-kanak hendaknya diajarkan: (a) permaianan dan olahraga dengan nyanyian dan tari (pemeliharaan badan secara rhytms); (b) nyanyian rakyat (macapat, tembang, gending di tanah Jawa); menggambar corak dan warna, merangkai bunga, menyulam daun pisang yang disobek-sobek atau janur. Latihan ini diberikan untuk kesempurnaan pancaindera yang dihubungkan dengan rasa; (c) cerita yang berujud dongeng, mitologis dan historis ( tambo hanya yang mengenai daerahnya) dihubungkan dengan pelajaran bahasa dan lagu (metode Sari Swara); dan (d) pelajaran mengenal keadaan tempat kelilingnya si anak selaku persediaan pelajaran ilmu alam, ilmu kodrat, ilmu bumi, dan ilmu negeri (kemasyarakatan dan kenasionalan).

Kedua, untuk taman muda (masa wiraga wirama), hendaknya diberikan pelajaran: (a) olahraga, pencak dan tari; (b) nyanyian (di tanah Jawa: tembang gede, tembang gending), dan buat yang cakap yang disertai gamelan (instrumental), selanjutnya menggambar menurut kepandaian dan mulai berkenalan dengan alam kesenian Indonesia Raya dan Asia; (c) bahasa dan cerita kesusasteraan, tambo dan keagamaan, mulai dari alam daerah, kemudian alam Indonesia dan akhirnya ikhtisar dari Asia; (d) pengetahuan tentang kodrat alam, bumi, negeri dan pergaulan umum di tanah airnya, di daerah Asia dan di benua lain-lainnya.

Ketiga, untuk taman dewasa (masa wirama) hendaknya diajarkan: (a) olahraga diteruskan dengan tujuan agar dapat mempertahankan diri; (b) tari dilanjutkan nyanyian dang ending, menggambar dan kesenian lain-lainnya dimajukan, mulai belajar mengenal alam kesenian asing (Eropa); (c) bahasa dan kesusasteraaan daerah dan Indonesia, bahasa asing dunia (bahasa Inggris),ilmu keagamaan, “mythen” dan “legenden” dari luar Indonesia; (d) ilmu negeri dari Indonesia sekarang dan dahulu dan pokok pangkalnya sosiologi dan ekonomi, penunutun anak-anak mengadakan perhimpunan umum, koperasi, perusahaan, majalah, debating club, dan badan pertolongan dan sebagainya.

Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa Ki Hajar Dewantara secara eksplisit tidak berbicara tentang kurikulum dalam pengertian sebagai kurikulum yang bersifat konsepsional teoretis akademis sebagaimana yang dikenal sekarang. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan bahwa Ki Hajar Dewantara tidak memiliki kapasitas sebagai seorang teoretisi murni semata-mata. Ki Hajar Dewantara lebih memperlihatkan perpaduan antara teoretisi dan praktisi. Sebagai teoretisi, terliaht pada gagasan dan pemikirannya yang didasarkan pada kebutuhan objektif masyarakat serta situasi cultural yang berkembang pada zamannya. Sedangkan sebagai praktisi, terlihat pada upaya melaksanakan gagasan dan pemikirannya itu. Yang dibicarakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah bahan pelajaran atau sejumlah mata pelajaran yang perlu diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkatannya, yakni usia kanak-kanak, usia anak/remaja dan usia dewasa. Kesesuaian mata pelajaran dengan tingkat usia anak ini mendapatkan perhatian dan penekanan yang spesifik dari Ki Hajar Dewantara. Hal yang demikian selain memperlihatkan kedalaman wawasannya tentang psikologi anak, juga karena tanggung jawabnya yang demikian besar terhadap kondisi kejiwaaan, psikologis dan fisiologis peserta didik.

Pemikiran dan gagasannya tentang mata pelajaran, secara substansial tampak masih cukup relevan untuk diterapkan di masa sekarang. Bagi kalangan praktisi pendidikan, mulai dari tingkat yang paling dasar, yaitu taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dapat mengambil model atau sekurang-kurangnya sabagai bahan perbandingan dari model pendidikan yang akan dikembangkan.

Hal lain yang cukup menarik dari gagasan dan pemikirannya tentang mata pelajaran tersebut di atas adalah wawasan yang bersifat global dan mendunia. Hal ini terlihat dari adanya mata pelajaran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang merupakan syarat untuk dapat melakukan pergaulan pada tingkat dunia. Hal yang menarik lainnya adalah bahwa Ki Hajar Dewantara amat mementingkan pendidikan kanak-kanak, kesenian, kekeluargaan, keindonesiaan, kejiwaan, kesopanan dan bahasa, baik bahasa daerah, bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Pada seluruh mata pelajaran ini juga terlihat adanya hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

Pemikiran dan gagasan Ki Hajar Dewantara dalam bidang kurikulum terlihat sangat dipengaruhi oleh semangat kemandirian yang dibangunnya dengan bertumpu pada budanya bangsa sendiri, yaitu budaya Indonesia. Sungguhpun ia dibesarkan daalam lingkungan pendidikan Belanda, tapi ia laksana ia dalam laut. Sungguhpun air laut itu asin, tapi ikan tidak asin, kecuali sengaja diasin. Ki Hajar Dewantara memperlihatkan kejeniusan, keorisinalan, dan kemandirinya dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum (mata pelajaran). Ia ingin mandiri dan tidak mau menjiplak produk Belanda. Ia ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia juga dapat mengurus dan merumuskan sendiri tentang pendidikan yang terbaik bagi bangsanya.


3. Pendidikan Budi Pekerti

Pendidikan budi pekerti termasuk bidang kajian yang mendapat perhatian yang menonjol dari Ki Hajar Dewantara. Pemikiran dan gagasannya tentang pendidikan budi pekerti secara akademis amat luas, kokoh dan komprenhensif, sebagaimana hal ini terlihat pada sejumlah referensi dari para tokoh dalam bidang yang ia gunakan. Penguasaannya terhadap ilmu jiwa yang demikian luas dan mendalam telah digunakannya secara fungsional, proporsional dan elegan dalam membangun konsep atau teorinya tentang pendidikan budi pekerti. Demikian pula semangat nasionalisme, kemandirian dan kemerdekaanya dari pengaruh budaya Belanda telah semakin mendorong baginya untuk merumuskan konsep budi pekerti yang khas bagi bangsa Indonesia. Hal yang demikian terlihat pada adanya bab khusus tentang pendidikan Adab dan Ethik dalam buku Bagian Pertama Pendidikan, mulai dari halaman 459 sampai 491 (32 halaman). Selain itu, pada setiap bab pembahasan buku tersebut, walaupun judulnya bukan membahas tentang budi pekerti tapi di dalamnya dijumpai wawasan yang bernuansa akhlak.

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, budi pekerti adalah jiwa dari pengajaran, dan bukan konsep yang bersifat teoretis sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya, dan bukan pula pengajaran budi pekerti dalam arti mengajar teori tentang baik buruk, benar salah, dan seterusnya. Dalam hubungan ini Ki Hajar Dewantara mengatakan sebagai berikut.

“Dikiranya bahwa pengajaran budi pekerti mengandung arti: pemberian kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah tentang hidup kejiwaan atau peri keadaban manusia. Atau keharusan memberi keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan tentang budi pekerti secara luas dan mendalam. Mungkin ada yang mengira, bahwa untuk itu si pengajar harus seorang yang berpengetahuan dan berpengalaman. Paling sedikit harus seorang yang suci hidupnya, lahir dan batin. Guru diartikan sebagai orang yang harus “digugu” dan “ditiru”. Segala dugaan itu adalah tidak benar, atau boleh dikatakan sebagai sangkaan-sangkaan yang melebihi batas-batas kemungkinan dan keinginan. Karenalah itulah hendaknya diinsyafi, bahwa pengajaran budi pekerti tidak lain artinya daripada menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Menganjurkan atau kalau perlu memerintahkan anak-anak untuk duduk ang baik, jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan dan pakainnya, hormat terhadap ibu bapak dan orang-orang tua lainnya, menolong teman-teman yang perlu ditolong, demikian seterusnya, itulah semuanya sudah merupakan pengajaran budi pekerti. Terhadap anak-anak kecil cukuplah kita membiasakan mereka untuk bertingkah laku yang baik, sedangkan bagi anak-anak yang sudah dapat berpikir , seyogianyalah diberikan keterangan-keterangan yang perlu-perlu. Agar mereka dapat pengertian dan keinsyafan tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya. Barang tentu perlu juga kepada anak-anak dewasa kita yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti, yang dahulu biasa saja disebut metode menyadari, mnginsyafi dan melakukan dapat terpenuhi.

Itulah maksud dan tujuan pemberian pengajaran budi pekerti, dihubungkan dengan tingkatan-tingkatan perkembangan jiwa yang ada didalm hidupnya anak-anak, mulai kecilnya sampai masa dewasanya. Ada baiknya untuk perbandingkan kita memperhatikan tradisi pendidikan keagamaan (Islam) yang sudah di zaman dahulu terkenal sebagai metode syari’ah, hakikat, tarikat, dan makrifat.”

Uraian tersebut dengan jelas memperlihatkan perhatian yang demikian besar dari Ki Hajar Dewantara terhadap pentingnya pendidikan budi pekerti yang ditekankan pada pembentukan karakter, perilaku dan kepribadian melalui upaya pembiasaan melakukan perbuatan terpuji yang dilakukan mulai dari sejak kecil hingga dewasa. Pendidikan budi pekerti yang dimaksud olehnya bukanlah mengajarkan teori-teori tentang baik buruk dengan dalil-dalilnya yang serba menjelimet. Yang ia kehendaki dengan pendidikan budi pekerti adalah pembiasaan berbuat baik pada diri anak dalam kehidupan sehari-hari, hingga mendarah daging. Dan kalaupun ada penjelasan dan keterangan, tapi hal yang demikian dilakukan hanya sebagai penguat, alat dan bukan tujuan.

Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga memiliki pandangan pendidikan budi pekerti yang bersifat integrated dengan pengajaran pada setiap bidang studi. Dengan kata lain, Ki Hajar Dewantara menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apa pun harus mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata. Baginya pengajaran adalah alat bukan tujuan. Pengajaran matematika misalnya adalah alat untuk menghasilkan anak yang memiliki ketrampilan dalam memahami dan mempraktikkan rumusan hitungan secara tepat dan akurat. Namun bersamaan dengan itu pengajaran matematika tersebut harus diarahkan pada

BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian dan analisis pada bab pembahasan di atas, dapat dikemukakan analisis dan kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, tokoh yang dibahas dalam makalah ini dapat dikategorikan sebagai tokoh pembaharuan pendidikan di Indonesia. Ciri-ciri kemodernan mereka antara lain terlihat pada keberaniannya mengemukakan pendapat serta pemikiran mereka senantiasa dihubungkan dengan kebutuhan zaman di mana mereka berada, bersifat demokratis, terbuka, inovatif, progresif, dan rasional.

Kedua, terciptanya pembaruan pendidikan yang dikemukakan tampak sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan keluarga, pendidikan, tempat tinggal, teman dan kolega, bacaan, serta dorongan kuat yang timbul dari diriny sendiri. Hal ini mengingatkan kepada kita, bahwa jika kita menginginkan agar memiliki corak pemikiran tertentu, maka bebagai faktor yang memengaruhinya harus dipertimbangkan.

Ketiga, ide-ide pembaruan pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut bukan hanya tertinggal dalam kertas atau angan-angan belaka, melainkan telah pula dipraktikkan dalam kenyataan dan telah menghasilkan manfaat yang tiadak kecil. Gagasan dan pemikiran yang mereka kemukakan telah memengaruhi perkembangan dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Upaya mereka patut diharagai dengan terus memelihara dan mengembangkannya.

Gagasan tentang pemerataan pendidikan yang bermutu hingga sekarang masih relevan untuk didengungkan dan diperjuangkan, mengingat hingga kini gagasan beliau tersebut ada yang masih belum terwujud. Masih terdapat puluhan juta masyarakat yang belum menikmati pendidikan yang bermutu.

Pendidikan harus mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana bisa hidup secara eksis dan fungsional di tengah-tengah masyarakat. Tujuan pendidikan, dasar pemikiran, kurikulum pendidikan, dan sebagainya harus diarahkan pada upaya menghasilkan manusiayang mandiri. Pendidikan yang membebaskan, integrasi ilmu, dan penguatan pada kemampuan adalah tampak masih cukup relevan untuk diaplikasikan di masa sekarang, saat Indonesia memasuki era globalisasi yang menuntut kemandirian, kemampuan berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Pendidikan adalah alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal, sehingga mereka dapat berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju, dengan tetap berpijak pada identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan.

Berbagai gagasan dan pemikiran pembaruan pendidikan yang dikemukakan jika dipraktikkan akan dapat memberikan dampak perubahan yang signifikan bagi kemajuan pendidikan. Gagasan dan pemikiran tersebut kiranya dapat menjadi dasar bagi kebijakan para pengambil keputusan dalam bidang pendidikan.

Daftar Pustaka

Nata, Abuddin. 2003. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

www.tokoh pendidikan.com

Ajisaka, Arya. 2010. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pusaka.

Comments

Popular posts from this blog

Ucapan dan Perbuatan Nabi Sebagai Model Komunikasi Persuasif

Proses dan Langkah-langkah Konseling

Bimibingan Dan Konseling Islam : Asas-Asas Bki