Proposal Pengabdian Masayarakat di Desa Turi Kecamatan Tambakrejo Kabupaten Bojonegoro. “Perubahan Sosial dan Pembangunan Masyarakat Pedalaman”
A.
Pendahuluan
Jika
kita melihat perkembangan zaman di abad ke 21 ini pasti yang ada di benak kita
bahwa peradaban manusia seakan-akan telah memasuki masa kejayaannya. Akan
tetapi dibalik semua itu masih ada kelompok-kelompok manusia yang hidup di
suatu tempat yang jauh dari keramaian atau posisinya berada ditengah hutan.
Mungkin hal seperti ini tidak asing lagi jika melihat kondisi Negara Indonesia
yang sedang berkembang ini, akan tetapi biasanya hal ini terjadi pada
daerah-daerah yang memiliki wilayah luas namun memiliki penduduk yang sedikit
seperti di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi ataupun Irian Jaya. Hal ini
wajar ketika persebaran penduduk di daerah itu tidak merata, akan tetapi apa
jadinya jika hal itu justru terjadi di pulau Jawa yang notabene sebagai pulau
pusat pemerintahan dan merupakan pulau terpadat di Indonesia.
Hal
inilah yang Tim Bakti Sosial temui di Desa Turi Kecamatan Tambakrejo Kabupaten
Bojonegoro. Keadaan desa yang di kelilingi oleh hutan, dataran tinggi dan terdapat
sungai yang membelah paru-paru Desa Turi membuat suasana desa semakin tenang,
dan ramai dengan gemericik air sungai. Tahun
2012, mayoritas penduduk ialah penduduk asli warga Turi. Tidak ada pendatang di
desa ini. Mereka (para penduduk) adalah secara turun-temurun menetap di desa
dan tidak ada yang pindah atau keluar kota (meninggalkan desa tempat
kelahiran).
Di desa
Turi terkenal dengan hutan yang penuh dengan jati, akan tetapi hutan tersebut
bukanlah milik petani sepenuhnya melainkan milik PERHUTANI. Dan setiap panen
pohon jati memerlukan waktu kurang lebih 30 tahun. Sedangkan di pinggir hutan
dihiasi dengan lahan-lahan para petani dengan membentuk terasering yang
ditanami “tanaman pokok” seperti padi, jagung, kedelai dsb.
Masyarakat
Turi didominasi oleh penduduk asli, jadi interaksi antar warganya sangat baik.
Hal itu terbukti dengan kekompakan mereka dalam hal bergotong royong membuat
rumah. Tiap warga memberikan sumbangsihnya sesuai dengan kemampuan yang mereka
miliki.
Melihat
keadaan geografis yang sedemikian rupa, mayoritas masyarakat Turi bekerja
sebagai petani dan pemecah batu. Meskipun mayoritas penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, tidak semua masyarakat Turi mempunyai sawah. Banyak
dari mereka yang hanya bekerja sebagai buruh tani, peternak dan pedagang.
Selain itu tidak sedikit pula warga Turi yang bekerja sebagai pemecah batu
kali.
Masyarakat
Turi jarang yang menjadi pekerja ke luar daerah apalagi ke luar negeri, hanya
beberapa orang saja yang bekerja ke luar pulau, seperti Bali, dan itupun tidak
menetap di sana hanya beberapa bulan saja, kemudian mereka balik lagi ke daerah
asal mereka.
Meskipun
letak Desa Turi yang berada di dataran tinggi, tidak membuat pendidikan
masyarakatnya terbelakang. Mulai dari tahun 1917 masyarakat sudah menggenal
pendidikan, yaitu: pendidikan sekolah rakyat, atau yang dikenal dengan sebutan
SR (sekolah rakyat). Akan tetapi kendala
faktor ekonomi yang di hadapi masyarakat, masyarakat masih sedikit yang
mengikuti proses pendidikan di sekolah tersebut.
Desa
Turi tergolong Desa yang paling timur di dalam kecamatan Tambak Rejo. Dengan
batas sebelah barat bertetangga dengan Desa Malingmati, Sebelah utara dengan
desa Mulyorejo, sebelah Timur dengan Desa Sengon dan Desa Bondol, sedangkan di
sebalah selatan langsung berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk. Dilihat dari
struktur Geografis tanahnya Desa Turi memiliki lapisan tanah yang sangat keras
dan jarang sekali berlumpur, hal ini dikarenakan tingginya kandungan kapur
didalamnya, sehingga tanah Desa Turi agak sulit ditanami bermacam-macam
tumbuhan karena tanahnya tergolong tidak subur.
Melihat
luasnya tanah yang dimiliki oleh desa ini ternyata Masih ada sekelompok
masyarakat yang bisa hidup di daerah yang terpencil dan tanpa akses
transportasi sekalipun. Jaraknya dari desa paling akhir yakni 17 Km dan
perjalanannya pun harus merambah hutan. Hal ini akan sangat mempengaruhi
tingkat perubahan yang terjadi disana, daerah itu seakan-akan terisolasi dan
tidak terjamah sekalipun. Jika tidak ada salah seorang yang mempelopori supaya
ada sebuah perubahan disana maka kehidupan masyarakat akan menjadi stagnan. Karena
pada dasarnya Di dunia ini segala sesuatunya pasti akan mengalami apa yang
dinamakan sebagai sebuah perubahan, manusia terlahir dengan tidak memiliki
kemampuan apapun sampai dia tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dan pada
akhirnya nanti kembali tua dan tidak bisa apa-apa, kesemua ini disebut dengan
proses perubahan. Pada dasarnya manusia bersifat aktif cenderung berubah-ubah
maka sangat mustahil bagi masyarakat tidak mengalami perubahan di setiap
masyarakat pasti mengalami perubahan Cuma ada yang perubahannya lambat dan ada
juga yang perubahanya cepat yaitu evolusi dan revolusi.
Perubahan
yang menyangkut kehidupan manusia disebut perubahan social dapat mengenai nilai-nilai
social, norma-norma social, pola-pola perilaku organisasi, susunan kelembagaan
masyarakat, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi
social dan lain sebagainya. Perubahan dalam suatu masyarakat memang telah ada
sejak zaman dahulu, namun dewasa ini perubahan-perubahan itu terjadi dengan
sangat cepat sehingga kadang-kadang membingungkan manusia yang menghadapinya,
perubahan-perubahan itu muncul dalam kaitan yang tak runtut ataupun runtut
karena aspek potensial masyarakat sendiri yang memang terikat oleh waktu dan
tenpat.[1]
Dalam
kehidupan masyarakat manusia ada pandangan segolongan atau kelompok yang
mempunyai rasa membangun di mana selalu menginginkan adanya kemajuan-kemajuan
dan perombakan-perombakan sesuai dengan tututan zaman. Wilbert moor
mendefinisikan secara luas arti perubahan sosial sebagai “perubahan penting
dalam struktur sosial” dan yang dimaksudkan dengan struktur sosial adalah
“pola-pola perilaku dan intraksi sosial”.
Tulisan
Jurnal ini akan menjelaskan bagaimana kondisi masyarakat yang hidup di
pedalaman hutan di Desa turi ini dengan focus tentang bagaimana perubahan
social yang terjadi disana serta keberadaan agen yang bisa membawa perubahan
pada masyarakat setempat. Disini penulis menggunakan teori strukturasi milik
Anthony Giddens yang mengintegrasikan antara agen dan strukturnya, hal ini
sangat penting mengingat keberadaan agen dalam struktur bisa mengadakan sebuah
dinamisasi pada struktur itu sendiri, sedangkan agen sendiri adalah penciptaan
dari struktur dalam masyarakat itu sendiri.
B.
Teori
Strukturasi Anthony Giddens
Salah
satu upaya yang paling terkenal yang mengintegrasikan agen-struktur adalah
teori strukturasi Giddens. Giddent mengatakan, “ setiap riset dalam ilmu social
atau sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan dengan struktur Namun,
dalam hal ini tak berarti bahwa struktur menentukan tindakan atau sebaliknya.
Meski
Giddent bukan Marxis, namun ada pengaruh besar Marxian dalam karyanya, dan
bahkan ia melihat The constitution of society sebagai cerminan pemikiran
integrative yang melekat dalam pemikiran Marx, yaitu” manusia adalah pembuat
sejarah, tetapi mereka tak dapat membuatnya sesuka hatinya, mereka tidak dapat
membuatnya berdasarkan keadaan yang mereka pilih sendiri, melainkan berdasarkan
keadaan yang langsung mereka hadapi, diterima, dan dibawah dari masa lalu.”
Teori
strukturasi Giddens yang memusatkan perhatian pada praktik social yang berulang
itu pada dasarnya adalah sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan
struktur. Namun ia berpendirian bahwa tindakan agen itu dapat dilihat sebagai
perulangan, artinya aktifitas” bukanlah dihasilkan sekali jadi oleh actor
social, tetapi secara terus menerus mereka ciptakan ulang melalui suatu cara,
dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri bahwa mereka sendiri sebagai
actor. Di dalam dan melalui aktifitas mereka, agen menciptakan kondisi yang
memungkinkan aktifitas ini berlangsung.” Dengan demikian, aktifitas tidak
dihasilkan melalui kesadaran, melalui konstruksional tentang realitas, atau
tidak diciptakan oleh struktur social. Malahan dalam menyatakan diri mereka
sendiri sebagai actor, orang terlibat dalam praktik social dan melalui praktik
social itulah baik kesadaran maupun struktur itu diciptakan. Giddens juga
memusatkan perhatian pada kesadaran atau refleksitas. Namun dalam
merenung(refleksif) manusia tak hanya merenungi diri sendiri, tetapi juga
terlibat dalam memonitor aliran terus menerus dari aktifitas dan kondisi
structural. Secara umum dapat dinyatakan bahwa Giddens memusatkan perhatian
pada proses dialektika dimana praktik social, struktur, dan kesadaran
diciptakan. Jadi Giddens menjelaskan masalah agen dan struktur secara historis,
processual, dan dinamis.
Elemen-elemen
teori strukturasi. Dimulai dari pemikirannya tentang agen yang terus menerus
memonitor pemikiran dan aktifitas mereka sendiri serta kontek social dan fisik
mereka. Dalam upaya mereka mencari perasaan aman, actor merasionalkan kehidupan
mereka, yang dimaksud Giddens dengan rasionalisasi adalah mengembangkan
kebiasaan sehari-hari yang tak hanya memberikan perasaan aman kepada actor,
tetapi juga memungkinkan mereka menghadapi kehidupan social mereka secara
efisien.Aktor juga mempunyai motifasi untuk bertindak dan motifasi ini meliputi
keinginan dan hasrat yang mendorong tindakan. Jadi, sementara rasionalisasi dan
refleksifitas terus-menerus terlibat dalam tindakan, motifasi dapat dibayangkan
sebagai potensi untuk bertindak. Motivasi menyediakan rencana menyeluruh untuk
bertindak, tetapi menurut Giddens sebagian besar tindakan kita tidak dimotivasi
secara langsung. Meski tindakan tertentu tidak di motivasi dan motivasi kita
tak bisa dari, namun motivasi memainkan peran penting dalam tindakan manusia.
Di
bidang kesadaran pun Giddens membedakan antara kesadaran Diskursif dan
kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan
tindakan kita dalam kata-kata. Kesadaran praktis melibatkan tindakan yang
dianggap actor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa
yang mereka lakukan. Tipe kesadaran praktis inilah yang sangat penting bagi
teori strukturasi; berarti teori ini lebih memusatkan perhatian pada apa yang
dilakukan actor ketimbang apa yang dikatakannya.
Sesuai
dengan penekananannya pada keagenan, Giddens memberikan kekuasaan besar
terhadap agen. Dengan kata lain, menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk
menciptakan pertentangan dalam kehidupan social, dan bahkan ia lebih yakin lagi
bahwa agen tak berarti apa-apa tanpa kekuasaan. Artinya, actor berhenti menjadi
agen bila ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Giddens tentu
saja mengakui adanya paksaan atau pembatas terhadap actor, tetapi ini tak
berarti actor tidak mempunyai pilihan dan tidak mempunyai peluang untuk membuat
pertentangan. Menurutnya, kekuasaan secara logis mendahului subyektivitas
karena tindakan melibatkan kekuasaan atau kemampuan untuk mengubah situasi.
Jadi, teori strukturasi Giddens memberikan kekuasaan kepada actor dan tindakan.
Inti konseptual teori terletak pada pemikiran tentang struktur, system dan dwi
rangkap struktur. Struktur didefinisikan sebagai “property-properti yang
berstruktur (aturan dan sumber daya), property yang memungkinkan praktik social
serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu yang
membuatnya menjadi bentuk sistemik”. Struktur hanya akan terwujud karena adanya
aturan dan sumber daya. Struktur itu sendiri tidak ada dalam ruang dan waktu. Fenomena
social mempunyai kapasitas yang cukup untuk menjadi struktur. Giddens
berpendapat “struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia.”
Jadi Giddens mengemukakan definisi struktur yang tak lazim, Yng tak mengikuti
pola durkhemian dalam memandang struktur sebagai sesuatu yang berada di luar
dan memaksa actor. Giddens berupaya menghindarkan kesan bahwa struktur berada
di luar terhadap tindakan actor. “menurut saya, struktur adalah apa yang
membentuk dan menentukan terhadap kehidupan social, tetapi bukan struktur itu
sendiri yang membentuk dan menentukan kehidupan social itu.”
Giddens
tak menyangkal fakta bahwa struktur dapat memaksa atau mengendalikan tindakan,
tetapi struktur juga sering memberikan kemungkinan bagi agen untuk melakukan sesuatu
yang sebaliknya tak akan mampu mereka kerjakan. Ia juga mendefinisikan system
Sosial sebagai praktik social yang dikembangbiakkan atau hubungan yang
direproduksi antara actor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik
social tetap.” Jadi gagasan tentang system social ini berasal dari pemusatan
perhatiannya terhadap praktik social.
Menurut
Giddens, human agency dan struktur sosial berhubungan satu sama lain.
Tindakan-tindakan yang berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individual-lah
yang mereproduksi struktur tersebut. Tindakan sehari-hari seseorang memperkuat
dan mereproduksi seperangkat ekspektasi. Perangkat ekspektasi orang-orang
lainlah yang membentuk apa yang oleh sosiolog disebut sebagai “kekuatan sosial”
dan “struktur sosial.”[2]
Hal
ini berarti, terdapat struktur sosial –seperti, tradisi, institusi, aturan
moral—serta cara-cara mapan untuk melakukan sesuatu. Namun, ini juga berarti
bahwa semua struktur itu bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan,
menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda. Dalam pandangan Giddens,
terdapat sifat dualitas pada struktur. Yakni, struktur sebagai medium, dan
sekaligus sebagai hasil (outcome) dari tindakan-tindakan agen yang
diorganisasikan secara berulang (recursively). Maka properti-properti
struktural dari suatu sistem sosial sebenarnya tidak berada di luar tindakan,
namun sangat terkait dalam produksi dan reproduksi tindakan-tindakan tersebut.
Struktur
dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami secara terpisah.
Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat, namun pada saat
yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained) oleh masyarakat. Struktur
diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen. Sedangkan
tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk yang bermakna (meaningful form)
hanya melalui kerangka struktur. Jalur kausalitas ini berlangsung ke dua arah
timbal-balik, sehingga tidak memungkinkan bagi kita untuk menentukan apa yang
mengubah apa. Struktur dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining)
sekaligus membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen.
Dalam
teori strukturasi, si agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran:
1.
kesadaran diskursif (discursive
consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal
oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang
kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu
kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif.
2.
Kesadaran praktis (practical
consciousness). Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang
kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri.
Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya
dengan kasus ketidaksadaran (unsconscious) adalah, tidak ada tabir represi yang
menutupi kesadaran praktis.
3.
Motif atau kognisi tak sadar (unconscious
motives/cognition). Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang
cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan
langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari
rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah
secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.
Pemahaman tentang kesadaran praktis
ini sangat fundamental bagi teori strukturasi. Struktur dibentuk oleh kesadaran
praktis, berupa tindakan berulang-ulang, yang tidak memerlukan proses refleksif
(perenungan), dan tidak ada “pengambilan jarak” oleh si agen terhadap struktur.
Ketika makin banyak agen mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas keseharian
dalam melakukan sesuatu, mereka sebenarnya telah memperkuat tatanan struktur
(order).
Perubahan (change) struktur bisa
terjadi jika semakin banyak aktor/agen yang mengadopsi kesadaran diskursif.
Yaitu, manakala si agen “mengambil jarak” dari struktur, dan melakukan sesuatu
tindakan dengan mencari makna/nilai dari tindakannya tersebut. Hasilnya bisa
berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan, dan praktis telah
mengubah struktur tersebut.
Perubahan juga bisa terjadi karena
konsekuensi dari tindakan, yang hasilnya sebenarnya tidak diniatkan sebelumnya
(unintended consequences). Unintended consequences mungkin secara sistematis
menjadi umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui bagi
munculnya tindakan-tindakan lain lebih jauh.
Dalam kasus unintended consequences
ini, bukan adanya atau tidak-adanya niat (intensi) yang penting. Namun, adanya
kompetensi atau kapabilitas di pihak si agen untuk melakukan perubahan. Jadi,
hal ini sebenarnya berkaitan dengan kuasa atau power. Giddens menekankan
pentingnya power, yang merupakan sarana mencapai tujuan, dan karenanya terlibat
secara langsung dalam tindakan-tindakan setiap orang. Power adalah kapasitas
transformatif seseorang untuk mengubah dunia sosial dan material.
C.
Proses
Terisolasinya Masyarakat Pedalaman Desa Turi
Seperti
penjelasan di atas bahwa Desa turi terbagi menjadi 6 dusun dan wilayahnya
sebagian besar adalah wilayah hutan. Dusun-dusun yang ada di desa Turi terbagi
menjadi 2 wilayah yakni dusun-dusun yang ada di dekat jalan akses utama
Tambakrejo-Ngambon yang juga merupakan nadi transportasi 2 kecamatan tersebut,
dan dusun-dusun yang ada di tengah hutan. Dusun-dusun yang dapat di akses oleh
kendaraan yakni yang berada di dekat akses utama adalah dusun Turi, dusun
Balong dan dusun Belah. Sedangkan dusun Sukosewu, dusun Bacem dan Dusun Bothi
letak posisinya berada di tengah-tengah hutan.
Jarak
antara wilayah dusun pertama dengan wilayah dusun kedua berkisar sekitar 17 km
dan tidak ada jalan akses yang menuju kesana, jika kita ingin kesana kita harus
benar-benar merambah hutan. Hal ini seakan-akan terjadi sebuah jarak pemisah
antara wilayah yang disamping jalan dengan wilayah yang berada di tengah hutan.
Yang mana secara otomatis wilayah yang berada di tengah hutan ini mengalami
keterasingan wilayah dari pusat pemerintahan. Dapat dibayangkan masyarakat
sekitar walaupun dibayar 100 ribu rupiah pun enggan mengantarkan Tim Bakti
Sosial gara-gara sulitnya medan yang akan ditempuh. Untuk sampai diwilayah itu
hanya mungkin jika pada saat musim kemarau, dikarenakan kita harus berjalan
kaki untuk sampai kesana. Mobil atau sepeda motor standard tidak bisa kita
pakai untuk kesana karena jika pada musim penghujuan lapisan dan kedalaman
lumpur bisa sampai merendam lutut orang dewasa dan sudah dapat dipastikan jika
kita kesana tetap memakai kendaraan motor yang standard pasti akan rusak di
tengah jalan.
Keterasingan
wilayah yang terjadi di desa Turi ini seakan-akan dibiarkan saja oleh
masyarakat. Padahal listrik belum masuk kewilayah hutan tersebut, menurut salah
satu warga kondisi disana sangat sederhana sekali dan masyarakatnya pun
terkenal sangat baik. Hal yang tidak pernah kami duga sebelumnya, jika
dipedalaman Kalimantan atau pulau-pulau yang berwilayah luas lainnya kami sudah
banyak mendengar tentang sekelompok masyarakat yang hidup di hutan. Akan tetapi
baru kali ini kita melihat di pulau Jawa yang merupakan Pulau terpadat
penduduknya juga masih ada manusia-manusia yang menggantungkan hidupnya juga
pada hutan dengan medan yang tidak kalah sulit dengan pedalaman-pedalaman pulau
Kalimantan.
Sungguh
Ironis memang ketika kabupaten Bojonegoro yang didalam perut Buminya terdapat
potensi sumber daya minyak bumi yang melimpah ruah ternyata masih memiliki
daerah-daerah yang belum mempunyai akses keluar sama sekali. Jika ada truk-truk
yang ingin mengambil hasil pertanian dari sawah mereka maka ban-ban truk
tersebut harus dilapisi dengan rantai terlebih dahulu agar bisa bergerak. Kami
tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan disana, ternyata apa yang kami
lihat di Dusun dimana tempat kami tinggal masih belum ada apa-apanya jika
melihat masih bayak lagi dusun yang ada di pedalaman hutan.
Keterputusan
akses tidak hanya menyebabkan sulitnya perputaran roda perekonomian melainkan
juga garis interaksi antara wilayah satu dengan wilayah yang lainnya juga sudah
terputus. Terbukti menurut pak Tamat beliau akan ke wilayah dalan hutan jika
ada acara-acara besar saja, semisal ada perkawinan atau acara-acara hajatan
yang serupa itupun jika yang punya hajat juga perangkat desa, jika orang lain
mungkin saya tidak akan datang. Selain pak Tamat dan perangkat desa masyarakat
di wilayah akses jalan tidak ada yang berangkat karena mereka sendiri juga
tidak saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya. Begitu pula
sebaliknya masyarakat di wilayah hutan juga akan pergi jika hanya pada acara
besar dan itupun yang punya acara sanak family atau perangkat desa saja.
Hal
ini diperparah dengan tidak mengalirnya bantuan-bantuan pembanguan dari pemerintah
kedaerah-daerah yang sesungguhnya lebih membutuhkannya. Semisal bantuan
pavingasi dari pemkab bojonegoro justru dipergunakan warga untuk membangun
akses-akses jalan yang masih bisa dilewati, bukan untuk membangun jalan
penghubung disana. Hal ini memang seringkali terjadi di Negara kita yang
tercinta ini wilayah-wialayah yang dibangun biasanya yang merupakan wilayah
yang ditempati oleh roda pemerintahan. Semakin jauh suatu wilayah dengan
wilayah pusat maka semakin tidak teruruslah wilayah tersebut.
Ketimpangan
ini juga membuat pimpinan yang seringkali terpilih bahkan yang selalu terpilih
adalah orang-orang yang hidupnya di wilayah pusat. Karena jika pemimpin mereka
bukan dari wilayah pusat perbedaan ideology atau pemikiran dan jauhnya akses
menjadi permasalahan utama. Contohnya saja Presiden kita apakah pernah
seseorang selain yang tinggal dan berdomisili di pulau Jawa? Lucu memang tapi
inilah realita yang terjadi didalam masyarakat kita. Jika kita asumsikan
kembali ke system pemerintahan desa Turi hal ini membuat semakin sempitnya
peluang untuk menduduki kursi pimpinan pemerintahan desa bagi warga yang ada di
wilayah hutan. Karena jelas tidak bisa kalau balaidesanya dipindah di tengah
hutan yang jauh dari akses pusat. Jadi dengan kata lain jika salah satu warga
dari sana ingin mencalonkan diri maka terlebih dahulu dia harus pindah ke
daerah pusat tersebut agar roda pemerintahannya bisa berjalan, akan tetapi hal
ini tidak bisa menjawab permasalahan kita di atas tadi, karena dia tidak
menjamin apakah di daerah pusat itu ada yang mendukung dia yanag mana notabene
sebagai orang luar wilayah yang tidak banyak dikenal. Atau setelah jadi
sekalipun apakah dia akan membangun desanya atau lebih memilih membangun atau
dapat diistilahkan membayar janjinya pada msyarakat yang di pusat karena telah
memilih dia ketika merebut kursi pimpinan.
Hal
inilah yang kami maksud penting terbagun jalan akses tersebut sehingga tidak
memunculkan seuatu gap anatar wilayah satu dengan wilayah yang lainnya. Akan
timbul berbagai permasalahan di dalamnya jika ada keterputusan komunikasi di
tengah masyarakat. Contoh salah satu permasalahan yang sangat bisa terjadi
adalah munculnya model kelompok masyarakat Ingroup dan Outgroup. Karena
persamaan nasib dan wilayah masyarakat yang berada di tengah hutan jika sadar
akan kondisi mereka akan bisa sangat ingroup sekali dengan kelompoknya dan
sangat outgroup dengan kelompok lain. Yang dimaksud disini adalah ketika
mayarakat menjadi ingroup maka rasa memiliki atau keterikatan mereka semakin
besar dengan kelompoknya karena merasa satu penderitaan dan ketika mereka
menjadi outgroup dengan yang laian masyarakat menganggap bahwa kelompok lain
yang diluar kelompoknya adalah sebuah halangan bahkan musuh, contohnya
pemerintahan desa dan sebagainya. Jika hal ini sampai terjadi maka akan muncul
benih-benih konflik antar 2 wilayah yang saling berjauhan lokasi tersebut walau
dalam satu lokasi desa.
Dalam
membangun akses jalan masyarakat tidak bisa langsung membangun sesuka hati
mereka harus ada persetujuan dari perangkat desa. Dan hal ini tidak bisa
dilakukan selama masih musim penghujan. Ada beberapa cara untuk membangun akses
jalan ini diantaranya yaitu dengan pavingasi, akan tetapi kendalanya disini
harga paving sangat mahal dan tidak bertahan lama. Hal ini terbukti dengan
paving bantuan dari dana PNPM ketika dipasang menurut warga tidak sampai 1
tahun sudah terbenam ketanah lagi. Sifat tanah di desa Turi yang terus bergerak
dan mudah amblas merupakan penyebabnya. Jalan terakhir dan satu-satunya yang
paling mungkin adalah menggunakan pecahan batu gunung dengan ukuran yang agak
besar untuk melapisi tanah agar tidak licin dan dapat dilalui oleh kendaraan
bermotor. Kelemahannya Cuma satu yakni jalan menjadi bergeronjal, akan tetapi
hal ini lebih baik daripada harus berjalan diatas lumpur.
Sumberdaya
Batu gunung sendiri juga masih sangat melimpah jika peragkat desa bisa
menghentikan untuk sementara waktu penambangan dengan menggunakan truk, dan
dialihkan untuk membangun kembali akses jalan yang ada di Desa turi maka hal
ini akan bisa menjadi kenyataan. Akan tetapi disinilah masalahnya tidak ada
yang dianggap sebagai orang tu di masyarakat Turi sehingga dalam mengorganisir
massa sulitnya bukan main. Bahkan kepala desa pun juga kesulitan dalam
mengkondisikan warga-warganya hal ini disebabkan juga kurang aktifnya kepala
desa untuk datang dan mengetahui apa keluhan dari warganya. Sehingga dia tidak
mempunyai legitimasi yang kuat dari warganya sendiri. Jika hal ini terus
berlangsung maka antara pemimpin dan yang dipimpin tidak saling berjalan
beriringan dan dalam setiap programpun pasti akan gagal jika tidak ada
kerjasama yang bagus diantara keduanya.
D.
Analisis
Bentuk Interaksi dan Perubahan Sosial Masyarakat Pedalaman Hutan Desa Turi
Pada
dasarnya kedekatan masyarakat bisa terbangun jika intensitas mereka dalam
berinteraksi lebih banyak. Hal ini akan menimbulkan rasa saling memiliki
diantara para individu-individu dalam suatu masyarakat. Rasa persaudaraan itu
muncul ketika mereka memiliki beberapa kesamaan dalam segi wilayah, sejarah,
maupun tingkat perekonomian yang sama. Akan
tetapi walaupun mereka memiliki beberapa kesamaan namun jarang melakukan
interaksi secara bersama, ini akan mengacaukan struktur yang mereka buat.
Struktur yang diciptakan atas perulangan-perulangan aktivitas agen akan bisa
berubah jika masing-masing mengedepankan lokalitas wilayah mereka sendiri.
Dalam hal ini dibutuhkan seorang agen yang bisa menjadi local leader untuk
menyatukan derajat perubahan social diantara kedua wilayah tersebut.
Memang
pada saat ini belum terasa adanya kesenjangan yang terjadi. Akan tetapi lambat
laun jika salah satu wilayah mengalami sebuah kemajuan dalam bidang apapun maka
wilayah yang tertinggal dan akan termaljinalkan. Apalagi ditambah dengan tidak
adanya akses jalan untuk menuju kesana. Tipe masyarakat seperti ini sangatlah
membutuhkan seorang leader yang tidak hanya menjadi aktor melainkan juga bisa
memposisikan diri sebagai seorang agen yang bisa mengadakan perubahan pada
system yang ada di dalam strukturnya. Dikarenakan yang terjadi di Masyarakat
turi saat ini adalah krisis pemimpin dimana sekarang yang menjadi kepala desa
usianya sudah terlalu tua, sehingga tidak bisa merangkul ke segala lapisan
masyarakat. Masalah usia ini juga lah yang menyebabkan bapak kepala desa turi
kurang pro aktif dalam menanggapi permasalahan yang ada di desanya. Maka dari
itu masyarakat butuh akan seorang leader yang posisinya tidak harus pemimpin
yang penting dia memiliki pengaruh disana untuk memunculkan kembali keseimbangan
antar struktur yang ada di sistemnya.
Ada
beberapa sumber daya yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Turi untuk
mengatasi problem ini akan tetapi tetap saja hal ini dibutuhkan seorang leader
yang mampu menggerakkan masyarakat untuk merealisasikan pelaksanaanya, salah
satunya adalah mengumpulkan batu gunung untuk dipecah lagi keukuran yang lebih
kecil atau seringkali disebut dengan batu koral. Jika pada musim penghujan
batu-batu gunung tersebut terbawa oleh aliran sungai dan masyarakat setempat
tinggal masuk kesungai tersebut dan menambang secara konvensional batu-batu
gunng tersebut, yakni dengan cara mengumpulkan dan membawa batu-batu itu dari
sungai ke rumah masing-masing dengan menggunakan keranjang-keranjang pikulan.
Akan
tetapi lain ceritanya jika tiba musim kemarau, bukanya berenti tapi malah
menjadi-jadi. Akan tetapi yang menambang bukanlah masyarakat sekitar dikarnakan
mereka tidak bisa menambang karna tidak ada batu yang ikut aliran air sebab
ketika musim kemarau sungai akan menjadi kering. Tangan rapuh masyarakat
digantikan dengan tangan-tangan besi mesin yang mengeruk sumberdaya alam itu
lebih besar dari massyarakat. Bukan keranjang pikulan lagi yang turun kesungai
akan tetapi truk-truk besarlah yang mendmonasi eksploitasi batu gunung
tersebut.
Yang
terjadi berikutnya adalah batu-batu itu dibawa keluar desa dan keuntungannya
dinikmati oleh orang-orang yang ada diluar sana. Entah bagaimana mereka bisa
masuk ke desa, seakan-akan mereka sudah memperoleh ijin dari para perangkat
desa hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perlawanan dari masyarakat terhadap
penambangan besar-besaran itu. Hal seperti inilah yang harus ditekan terlebih
dahulu, tidak usah terlalu lama satu tahun saja penambangan liar ini dihentikan
dan lebih difokuskan untuk membangun jalan akses antar wilayah di desa Turi
ini, maka bukan tidak mungkin kedua wilayah ini akan bisa terhubung lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Yustika,
Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan
Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo.
Ritzer,
George..2009.teori sosiologi dari klasik
sampai postmodern.kreasi wacana: Yogyakarta
Sanderson,
K Stephen.2003. Makro Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Suwarno
dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 1994,
Bagas
Setyabudi, Perubahan Sosial, Kurnia Jaya, (Bandung, 2006)
Comments