Hukum Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran Islam yang kristalnya berupa al qur’an dan as Sunnah
dapat di gunakan untuk memahami Hukum Islam. Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang
menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam, Hukum Islam dari masa ke masa mulai
zaman Rasulullah SAW sampai periode sekarang telah mengalami perkembangan yang
begitu signifikan. Lihat saja, pada masa Rasul, dalam menyelesaikan masalah
hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada beliau dan dalam
menjawabnya beliau langsung mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Setelah beliau
wafat, selain menggunakan al Qur’an dan al Hadits sebagai dasar penyelesaian
masalah hukum, juga berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua sumber
tersebut. Pada masa tabi’in, kesepakatan dari sahabat dalam masalah hukum juga
menjadi salah satu sumber hukum dalam menjawab persoalan umat.
Pada bahasan kali ini, penulis akan mencoba membahas keadaan
dan perkembangan hukum Islam pada masa tabi’in khususnya pada masa Dinasti Umayyah
yang mempunyai masa pemerintahan lebih kurang 91 tahun. Mengenai sumber-sumber
hukum serta pemikiran-pemikiran yang timbul dari sekte-sekte yang timbul pada
masa ini dan yang terkait di dalamnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Kondisi hukum Islam dan perkembangannya pada masa tabi’in /
Dinasti Umayyah
Klasifikasi perkembangan hukum islam
(fiqh) pada era tabi’in sebenarnya masih membingungkan banyak pengamat.
Kebingungan itu dapat dipahami dengan munculnya pergolakan-pergolakan yang
muncul berasal pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali dan akhirnya memuncak pada
pemerintahan daulah Umayyah yang melahirkan agitasi teologis cukup tajam.
Pergolakan-pergolakan tersebut justru membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan hukum Islam sendiri, sehingga memunculnya para imam madzhab-madzhab.
Pembentukan pemerintahan Islam sebagian besar merupakan prestasi dinasti
kekhalifaan yang pertama, yaitu Dinasti Umayyah. Dinasti ini berpusat di
Damaskus pada tahun 661 M.
Secara umum para tabi’in pada masa ini mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum.
Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari
keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka
sendiri berijtiahad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat. Dalam
lapangan hukum, kontribusi besar Dinasti Umayyah adalah pembentukan siatem peradilan
kekhalifaan yang baru. Dalam sistem ini, para hakim diberi gelar Qadi.
Mereka mengkhususkan diri sebagai pembawa otoritas khalifah dalam wilayah
peradilan.
Para Qadi melalui keputusan hukum setiap kasus meletakkan dasar-dasar yang
penting bagi perkembangan hukum Islam selanjutnya.
2. Pengaruh ahl Hadits dan ahl Ra’y
Pada masa murid sahabat (tabi`in), terdapat tiga pembagian
geografis yang besar dalam dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz, dan Mesir. Dua
madzhab Irak, yaitu Basrah dan Kufah. Hijaz juga memiliki dua pusat hukum,
yaitu Mekah dan Madinah. Sedangkan Mesir tidak dimasukkan dalam peta
madzhab-madzhab hukum awal, karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya
sendiri. Para pakar hukum Islam yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung
menggunakan penalaran rasional dalam skala yang cukup luas, yaitu memandang
hukum Islam dalam takaran rasionalitas. Kecenderungan baru ini mendapat
tanggapan kritis dari pakar hukum Islam yang tinggal di Hijaz (Madinah) yang
memandang hukum sebagai ketentuan Allah yang wajib diikuti.
Perkembangan lebih lanjut dari dua kecenderungan ini melahirkan dua
aliran dalam hukum Islammasa awal, yaitu ahl al-ra`y (kaum rasionalis)
di Kufah dan ahl al-hadist (kaum skripturalis) di Madinah.
Berdasarkan kecenderungan ini, pemikiran hukum Islam pada masa
murid sahabat (tabi`in) mengarah kepada dua bentuk. Pertama,
lebih banyak menggunakan riwayat dibanding dengan penalaran akal. Metode
demikian ini berkembang di kalangan pakar hukum Islam Madinah dengan tokohnya
Sa`id bin al-Musayyab. Cara ini lebih dikenal dengan sebutan dengan sebutan
“Aliran Madinah”. Kedua, lebih banyak menggunakan penalaran rasional
dibandingkan dengan menggunakan riwayat. Metode pemikiran ini berkembang di
kalangan pakar hukum Islam Kufah dengan tokohnya Ibrahim an-Nakha`i. Cara ini
lebih dikenal dengan sebutan “Aliran
Kufah”. Adapun madzhab Madinah menjadi madzhab Malik, sedangkan madzhab Kufah
menjadi madzhab Hanafi.
3.
Penggunaan Rasio
Ada kecendrungan baru dari beberapa ahli hukum
Islam (fuqoha) untuk memandang hukum sebagai pertimbangan rasionalitas. Mereka
tidak saja banyak menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi
persoalan yang muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum
terjadi dan memberi hukumnya.
Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh Ibrahim bin yazid an Nakha’I, seorang ahli
fiqh irak guru Hammad bin Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fiqh
rasionalis kepada Abu Hanifah. Aliran ini tidaklah berjalan mulus, tetapi
banyak mendapatkan tanggapan dan tantangan. Reaksi paling keras berasal dari
ulama Hijaz (Madinah) yang menganggap aliran ini telah menyeleweng dari manhaj
sahabat, bahkan berpaling dari ajaran Rasulullah SAW.
Dengan
munculnya aliran ini, dianggap telah membuka pintu untuk memasuki suatu krisis
pemahaman keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Ibnu Syihab Zuhri, seorang ahli Hadits pada waktu itu pernah
mengatakan, “sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu
yang mereka miliki ketika mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran”.[1]
Sufyan bin Uyainah, Ayyub Sahtayani,
Abu Umar, Auza’I dan Sya’bi adalah ulama terkemuka yang paling vokal menolak
gagasan Ibrahim. “Pendapat mereka itu sebenarnya lebih patut dibuang di
toilet”, kata Sya’bi.[2]
Namun tidak berarti fragmentasi fiqhiyyah pada periode ini memasung
perkembangan fiqh. Sebab, meskipun muncul beberapa reaksi agak keras, namun
apresiasi terhadap gagasan Ibrahim dan ulama Irak, pro maupun kontra, sangat
terasa.
Dalam beberapa pertemuan dan dialog
yang mereka adakan untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang muncul dan di
munculkan, di irak dan Hijaz dapat ditangkap beberapa isyarat yang memungkinkan
kedua belah pihak saling melengkapi, saling mengisi antara satu dengan lainnya.
Ulama Hijaz yang kaya akan Hadits dan fatwa-fatwa sahabat dipaksa menjawab
persoalan yang belum timbul pada masa Nabi SAW dan sahabat.
4.
Penggunaan
Hadist
Dalam
masyarakat Islam terdapat kelompok yang metode pemahamannya terhadap ajaran
wahyu amat terikat oleh informasi dari Nabi SAW. Dengan kata lain ajaran islam
itu diperoleh dari al Qur’an dan petunjuk dari Nabi SAW saja, bukan yang lain.
Disamping
disebut as Sunnah, petunjuk dari Nabi SAW juga disebut al Hadits. Karena itu
kelompok ini disebut ahlul Hadits. Mulanya aliran ini timbul di Hijaz, utamanya
di Madinah. Karrena penduduk hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi
Rasul disbanding dengan penduduk di luar Hijaz. Di Madinah sebagai ibukota
Islam, beredar Hadits Nabi SAW yang jauh lebih banyak dan lengkap disbanding
dengan daerah lain mana pun. Semua persoalan hukum dan dan budaya sudah
terjawab oleh teks wahyu (al Qur’an dan al Hadits). Sehingga pada masa itu
Hijaz dikenal sebagai pusat Hadits.[3]
BAB III
PENUTUP
A.
kesimpulan
Dari uraian yang dapat penulis
sampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum pada era tabi’in mereka
lebih mengikuti manhaj (metode, kaidah istidlal) sahabat dalam mencari hukum.
Mereka merujuk pada al Qur’an dan al Hadits dan apabila tidak mendapatkan dari
keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan baru setelah itu mereka
sendiri berijtiahad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat.
Pada masa ini pula rasio (ra’y)
mulai marak digunakan dalam memahami hukum islam. Ini bermulai ketika seorang
Irak Ibrahim bin Yazid an Nakha’I yang hidup pada waktu itu memandang sulit
kiranya jika memahami hukum Islam sesuai dengan teks harfiyah Qur’an dan Sunnah.
Karena Irak adalah daerah yang mempunyai budaya, adat dan suasana kehidupan
yang jauh berbeda dengan HIjaz yang merupakan bumi Nabi dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Qoyyim,
Ibnul,al Jauziy, I’lamul Muqi’in, Jilid 1,
A. Sirry ,Mun’im, Sejarah Fiqih Islam:
Sebuah Pengantar,1995, Surabaya: Risalah Gusti.
Comments