Wasiat Pada Masa Jahiliyah
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Dalam diskusi tentang
kesusastraan Islam, Sastra Jahiliyah tak pernah luput dari pembicaraan. Berdasarkan
studi komparatif antara sastra arab pada periode Jahiliyah dan periode-periode setelah
munculnya Islam akan dapat ditarik kesimpulan mengenai peran Islam yang begitu besar
dalam perubahan sosio-kultural bangsa Arab. Kita akan menyaksikan bagaimana sebuah
bangsa yang sekian lama terjerembab dalam paganisme dan dekadensi moral yang
demikian parah dapat diselamatkan oleh Islam menuju kehidupan yang penuh petunjuk
dan kemulyaan.
Karya sastra pada masa periode Jahiliyah menggambarkan
keadaan hidup masyarakat pada masa itu, dimana mereka sangat fanatik dengan kabilah
atau suku mereka, sehingga syair-syair yang muncul tidak jauh dari pembanggaan terhadap
kabilah masing-masing.
Begitu dengan khutbah yang kebanyakan berfungsi sebagai
pembangkit semangat berperang membelah kabilahnya, namun demikian karya-karya sastra
pada periode Jahiliyah juga tidak luput dari nilai-nilai positif yang
dipertahankan oleh Islam seperti hikmah dan semangat juang. Hampir seluruh syair-syair
dan khutbah pada masa Jahiliyah diriwayatkan dari mulut ke mulut kecuali yang
termasuk kedalam Al-Mu`allaqot, hal ini
disebabkan masyarakat Jahiliyah sangat tidak terbiasa dengan budaya tulis menulis.
Pada umumnya syair-syair Jahiliyah dimulai dengan mengenang puing-puing masa lalu
yang telah hancur, berbicara tentang hewan-hewan yang mereka miliki dan menggambarkan
keadaan alam tempat mereka tinggal. Beberapa kosa kata yang terdapat dalam karya-karya
sastra Jahiliyah sulit dipahami, karena sudah jarang dipakai dalam bahasa arab saat
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wasiat Pada Masa Jahiliyah
Perkataan wasiat itu berasal dari bahasa
Arab, dari kata Was-Sha yang artinya menurut bahasa ialah pesan, petaruh,
nasehat, dll. Adapun menurut istilah Syariah ialah pesan terakhir yang
diucapkan dengan lisan atau disampaikan tulisan oleh seseorang yang akan meninggal
dunia yang berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.
Di zaman Jahiliyah, wasiat ialah nasehat seseorang yang akan meninggal dunia
atau akan berpisah kepada seorang yang dicintainya dalam rangka permohonan untuk
mengerjakan sesuatu. Sedangkan kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya,
mewasiatkan supaya memberikan harta bendanya kepada orang-orang yang jauh, yang
tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga denganya. Ibu-bapaknya sendiri,
anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya
karena anggapan umum pada waktu itu, perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan
yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.
B. Syarat-syarat Wasiat
Adapun syarat-syarat wasiat itu ialah :
1.
Meninggalkan harta yang
banyak.
2.
Tidak boleh melebihi 1/3
dari jumlah seluruh harta
Syarat yang pertama
dan utama tentang kewajiban melakukan wasiat itu ialah apabila seseorang meninggalkan
harta yang banyak. Syekh Muhammad Abduh menetapkan, bahwa dalam menetapkan ukuran
itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan
keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan
miskin, kalau yang meninggal dunia meninggalkan 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk
dalam bilangan meninggalkan “harta yang banyak”. Tetapi, bagi seorang Raja atauWazir
tentu lain pula ukuran yang dipakai sebagai tolak ukur.
Syarat yang
kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang
ditinggalkan. Hal itu dijelaskan pada suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash. Pada suatu ketika, tatkala Sa`ad bin Abi Waqash
sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya :
“ ya, Rasulullah !!
Apakah aku boleh mewasiatkan seluruh hartaku?”
“Jangan!!!”-sahut Rasulullah.
“Kalau separuh bagaimana?”
“Jangan!!!”
“Jika sepertiga?”
“Masih banyak, jika engkau tinggalkan ahli
warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam
keadaan miskin, mereka hidup minta-minta kepada manusia.”
Dari sinilah bisa
diketahui mengapa tidak boleh mengeluarkan wasiat melebihi 1/3 dari harta yang
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia. Wasiat memiliki banyak persamaan
dengan khutbah, hanya saja umumnya wasiat lebih ringkas daripada khutbah.
C. Contoh-contoh Wasiat
Disaat DzulIsba`
Al-`adwani merasakan ajalnya sudah dekat ia memanggil anaknya Usaid, ia menasehati
anaknya dengan beberapa nasehat demi mewujudkan kedudukan yang mulia ditengah manusia
dan menjadikannya seorang yang mulia, terhormat dan dicintai oleh kaumnya,
iaberkata :
ألن جانبك لقومك يحبوك, وتواضع لهم
يرفعوك, وابسط لهم وجهك يطيعوك, ولا تستأثر عليهم بشيء يسودوك,أكرم صغارهم كما
تكرم كبارهم و يكبر على مودتك صغارهم, واسمح بمالك, و أعزز جارك وأعن من استعان
بك, وأكرم ضيفك, وصن وجهك عن مسألة أحد شيئا, فبذلك يتم سؤددك.
“Berlemah lembutlah kepada manusia maka mereka
akan mencintaimu, dan bersikap rendah hatilah niscaya mereka akan mengangkat kedudukanmu,
sambut mereka dengan wajah yang selalu berseri maka mereka akan menaatimu, dan janganlah
engkau bersikap kikir maka mereka akan menghormatimu. Muliakanlah anak kecil mereka
sebagaimana engkau mencintai orang-orang dewasa diantara mereka, maka anak kecil
tadi akan tumbuh dengan kecintaan kepadamu, mudahkanlah hartamu untuk kau berikan,
hormatilah tetanggamu dan tolonglah orang yang meminta pertolongan, muliakanlah
tamu dan selalulah ketika menghadapi orang yang meminta-minta, maka dengan itu sempurnalah
kharismamu.”
b. Wasiat Ibnu Abd Manaf (ayah dari Abdul Muthallib) kepada kaum quraisy
untuk memulyakan kepada jama`ah Haji
يا معشر قريش... أنتم سادة العرب، أحسنها وجوها وأعظمها
احلاما، وأوسطها انسابا و أقربها أرحاما.
يا معشر القريش...!!! انتم جيران بيت الله. أكرمكم بولايته و
خصكم بجواره دون بنى إسماعيل وحفظ منكم أحسن ما حفظ جار من جاره، فأكرموا
ضيفه وزوار بيته، فإنهم يأتونكم شعثا غبرا من كل بلد.
فورب هذه البنية لو كان مال يحمل ذلك لا كفيتموه ألا وإني مخرج
من طيب مالي و حلاله مالم تقطع فيه رحم، ولم يؤخذ بظلم ولم يدخل فيه حرام فواضعه،
فمن شاء ان يفعل منكم مثل ذلك فعل.
وأسئلكم بخرمة هذاالبيت ألا يخرج رجل منكم من ماله لكرامة زوار
بيت الله ومعونتهم إلا طيب لم يؤخذ ظلما، ولم تقطع فيه رحم، ولم يغتسب
“Wahai kaum quraisy...kalian adalah pemuka-pemuka bangsa Arab,
punya paras terbaik, cita-cita yang tinggi, keturunan yang terbaik, dan tali silaturrahmi
yang kuat.
Wahai kaum quraisy...kalian adalah tetangga dekat rumah Allah, memberi kehormatan
pada kalian untuk menjadi penguasanya, memilih kalian menjadi tetangganya daripada
anak turun bani Isma’il yang lain. Dan menjaga kalian sebaik menjaga tetangga kepada
tetangganya. Karena itu muliakanlah para tamu rumah-Nya. Sesungguhnya
mereka datang dari tempat yang jauh dengan susah payah.
Maka demi Robbnya ka’bah,
seandainya hartaku cukup untuk menjamu tamu-amu Allah, maka aku tidak akan melibatkan
kalian untuk menjamunya. Ketahuilah, aku mengeluarkan harta terbaikku untuk menghormati
tamu Allah, harta yang kuperoleh dengan cara halal tanpa memutus tamu silaturrahmi,
harta yang diambil tanpa kedzaliman dan tidak masuk di dalamnya barang haram,
semua itu aku khususkan untuk tamu Allah. Kalau diantara kalian mau melakukan seperti
apa yang aku lakukan, maka lakukanlah..
Aku minta demi haramnya rumah ini,
jangan sampai ada laki-laki yang mengeluarkan hartanya untuk menghormati tamu baitullah
kecuali dengan kebaikan, jangan ada kedzaliman, jangan ada terputusnya silaturrahmi,
dan jangan ada peng-ghasab-an.”
c. Wasiat Utsman bin Affan
Hisyam
bin `Urwah berkata dari ayahnya bahwa Utsman memberikan wasiat kepada Zubair.[1]
Al-ashma`i berkata, “Dari al-`Ala` bin al-Fadhl dari ayahnya berkata, “Ketika
Utsman bin Affan terbunuh mereka memeriksa lemari-lemarinya dan mereka dapati
di dalamnya sebuah kotak yang terkunci. Setelah mereka buka ternyata isinya
adalah selembar kertas yang bertuliskan : Ini adalah wasiat Utsman.
Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
“Utsman bin Affan bersaksi bahwa tiada
Allah yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan
bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Surga itu benar adanya dan
neraka itu juga benar adanya. Bahwasanya Allah akan membangkitkan manusia dari
dalam kubur di hari yang tidak diragukan lagi dan Allah tidak akan menyelisihi
janji-Nya. Di atasnya manusia hidup dan di atasnya pula manusia mati, dan di
atasnya juga akan dibangkitkan kembali insya Allah. “
Masa
Kekhalifahan & Umur Beliau radhiyallahu `anhu :
Masa khilafahnya adalah 11 tahun 11
bulan dan 17 hari. Beliau dibai`at pada awal bulan Muharram tahun 24 Hijriyah.
Beliau terbunuh pada 18 Dzulhijjah tahun 35 Hijriyah. Adapun usia beliau telah
mencapai lebih dari 80 tahun. Shalih bin Kaisan berkata “ Beliau wafat pada
usia 80 tahun beberapa bulan.” Qatadah berkata “Beliau meninggal pada usia 88
tahun atau 90 tahun.”
D.
Dalil Wasiat
Adapun dalil-dalil wasiat sebagai
berikut :
Dalam
al-Quran Allah Swt berfirman :
............مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ............
“(Pembahagian
itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah dibayarkan
hutangnya.” (QS An-Nisa': 11)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ
فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ...
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila salah seorang kamu menghadapi kamatian,
sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua
orang yang adil di antara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[2],
jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”
(QS al-Maidah : 106) Terdapat juga hadis-hadis yang menganjurkan seseorang itu
membuat wasiat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa
Rasulullah saw bersabda yang bermaksud:
“Seseorang Muslim yang mempunyai
sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-turut
melainkan dia menulis wasiat disisinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V:
355 no: 2738, Muslim III: 1249 no: 1627, ’Aunul Ma’bud VIII: 63 no: 2845,
Tirmidzi II: 224 no: 981, Ibnu Majah II: 901 no: 2699 dan Nasa’i VI: 238). Hadis
ini menyebut kalimah “tidak sepatutnya” menunjukkan bahwa langkah persediaan
perlu diambil oleh setiap seorang Muslim dengan menulis wasiatnya kerana dia
tidak mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan
mengakibatkan segala hajatnya tergendala dan tidak terlaksana.
Dalam hadis lain,
Rasulullah saw bersabda yang bermaksud:
“Orang yang malang ialah orang yang tidak sempat
berwasiat”.(HR
Ibnu Majah). Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda yang
bermaksud:
"Barang
siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati dalam
keadaan bertakwa dan (mengucapkan) Syahadah, mati dengan mendapat ampunan." (HR Ibn Majah).
BAB III
PENUTUP
Wasiat merupakan pesan seseorang untuk
dilaksanakan setelah kematian orang yang berwasiat. Wasiat adalah perintah
untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang sifatnya tidak terbatas pada
jenis tertentu. Bisa saja perintah itu berupa sesuatu yang harus dikerjakan
terhadap suatu benda atau suatu pekerjaan yang baik, atau meninggalkan
pekerjaan buruk. Seperti berwasiat untuk selalu melakukan amar makruf dan nahi
munkar, meninggalkan bidang pekerjaan yang secara syara’ diharamkan, dan lain
sebagainya.
Di zaman Jahiliyah, wasiat ialah nasehat
seseorang yang akan meninggal dunia atau akan berpisah kepada seorang yang
dicintainya dalam rangka permohonan untuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan
kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya
memberikan harta bendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai
hubungan darah dan keluarga denganya. Ibu-bapaknya sendiri, anaknya dan kaum
kerabat dekatnya tidak disebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena
anggapan umum pada waktu itu, perbuatan yang demikian itu adalah satu
kebanggaan yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.
Wasiat mempunyai syarat yang wajib untuk
dilaksanakan. Syarat yang pertama dan utama tentang kewajiban melakukan wasiat
itu ialah apabila seseorang meninggalkan harta yang banyak. Syarat yang kedua
dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang
ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi,
Ali. 1997. Hukum waris, hukum keluarga,
hukum pembuktian. Jakarta : Rineka Cipta.
[diakses pada tanggal 12 November 2012]
Comments