Museum Hasyim Asy’ari, Perlukah?
Oleh : Rijal Mumazziq Z
(Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU Jawa Timur)
Ada yang menarik dari statemen yang
dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri haul KH.
Abdurrahman Wahid di Ponpes Tebuireng. SBY secara terbuka mendorong
didirikannya Museum KH. M. Hasyim Asy’ari (Koran Sindo /03/01).
Mengapa harus Museum KH. M. Hasyim Asy’ari? Di antara tokoh
Indonesia, selain Bung Karno, Kiai Hasyim Asy’ari-lah yang memiliki pengikut
banyak. Jika Museum Bung Karno telah berdiri, maka sudah sepantasnya jika
Museum Kiai Hasyim juga ada. Melalui museum, segala kiprah kakek Gus Dur itu
akan terekam secara lengkap di dalamnya, sehingga lebih mudah bagi siapapun
untuk menelusuri kiprah dan perjuangan hadratussyaikh selama hidupnya.
Selama ini, keberadaan museum masih belum menjadi perhatian utama
masyarakat. Dibandingkan dengan tempat wisata lain, jumlah pengunjung museum
jelas kalah telak. Wisata sejarah masih belum menjadi prioritas dibandingkan
dengan destinasi wisata lainnya. Terlebih, kondisi beberapa museum yang
“memprihatinkan”, beberapa koleksi yang lenyap, hingga dijadikannya museum
sebagai lokasi syuting acara mistis membuat eksistensinya semakin miris.
Lebih ironis lagi, selama ini museum hanya ditempatkan pada konteks
wisata sejarah saja, jauh dari upaya character building masyarakat,
pengokohan akar sejarah, maupun konteks belajar dari sejarah. Alhasil, museum
tak ubahnya pameran barang antik.
Upaya belajar dari sejarah maupun
ketokohan seseorang, seringkali hanya beredar dari mulut ke mulut. Ketika
narasumber yang menjadi narator kisah meninggal, maka hilang pula kisah otentik
ketokohan seseorang maupun sejarah yang mengelilinginya. Hal ini terjadi pula
pada benda-benda yang memiliki nilai sejarah, yang seringkali ikut “terkubur”
saat sang pemilik meninggal.
Historiografi
Ulama
Di kalangan santri, upaya
pendokumentasian maupun pelestarian sesuatu yang berkaitan dengan dunia
pesantren maupun kiai, telah dimulai, meskipun dalam skala mikro. Di Ponpes
Langitan Tuban, manuskrip kitab tulisan tangan warisan pendiri pesantren masih
terlestarikan dengan baik. Manuskrip yang ditulis akhir 1800-an itu disimpan di
lemari kaca yang dilengkapi dengan pengaturan temperatur udara dan tata
pencahayaan. Pihak Ponpes Langitan juga melakukan upaya dokumentasi digital
maupun visual pada naskah kuno ini. Langkah penyelamatan warisan para pendahulu
juga dilakukan beberapa pesantren lainnya.
Dalam skala makro, Museum NU di
Surabaya menawarkan koleksi sejarah seputar NU, pesantren, dan dunia kiai.
Namun, tetap saja museum yang berdiri sejak 2004 ini belum cukup menggambarkan
kebesaran NU dalam konteks historisnya. NU dan dunia pesantren masih butuh
museum-museum lain yang dapat menopang akar kesejarahannya. Di sinilah,
barangkali, musem yang rencananya diberi nama Museum Islam Nusantara KH Hasyim
Asy'ari ini mampu menjadi pendamping museum NU.
Lebih luas lagi, berdirinya Museum KH. M. Hasyim Asy’ari bakal
memberi warna berbeda dalam arus historisitas Indonesia. Tatkala berkunjung di
Museum 10 Nopember Surabaya, penulis hampir tidak menjumpai historiografi
peranan ulama dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI—meskipun
museum juga ini diresmikan oleh Presiden Gus Dur. Padahal, peristiwa heroik 10
Nopember 1945 tidak akan terjadi tanpa adanya sumbu peledak bernama “Resolusi
Jihad 22 Oktober 1945” yang diprakarsai oleh KH. M. Hasyim Asy’ari dan para
ulama lainnya.
Sebagai sosok yang berpengaruh, tentu tak hanya benda-benda yang
berkaitan dengan KH. M. Hasyim Asy’ari yang menjadi koleksi museum ini,
nantinya. Saya memimpikan Museum KH. M. Hasyim Asy’ari juga dilengkapi dengan
perpustakaan yang berisi koleksi kitab karya KH. M. Hasyim Asy’ari, baik yang
sudah dicetak ataupun yang masih berbentuk manuskrip, maupun ulasan mengenai
pemikiran hadratussyaikh dan dunia pesantren. Melalui perpustakaan yang include
dengan museum, pengunjung museum tak hanya mengenang dan belajar dari KH. M.
Hasyim Asy’ari, melainkan dari keturunannya; KH. Abdul Wahid Hasyim dan Gus
Dur. Ketiga sosok ini memiliki sumbangsih besar terhadap bangsa Indonesia.
Tak usah khawatir koleksi benda di
Museum KH. M. Hasyim Asy’ari ini nanti hanya “itu-itu” saja. Sebab, sebagai sosok yang memiliki pengikut
dalam jumlah besar, mustahil jika museum ini bakal kekurangan koleksi.
Melalui Museum KH. M. Hasyim Asy’ari, kelak, anak cucu kita tetap
mengenalnya secara utuh. Sebagai seorang ulama, pejuang kemerdekaan, pahlawan
nasional, dan sosok pribadi mengagumkan, yang tak lelah menanamkan konstruksi Islam
rahmatan lil alamin. Melalui museum, sosok dan jejak kebegawanan Kiai
Hasyim akan tetap terlestarikan. Nilai-nilai dan ajaran Kiai Hasyim akan
memberi energi, inspirasi, motivasi, inovasi, sinergi, dan dinamisasi.
Ya, Museum KH. M. Hasyim Asy’ari bukanlah
tempat pameran barang antik. Tapi tempat kita mengenal, belajar, meneladani,
dan merasa bangga bahwa Indonesia memiliki tiga putra terbaik: KH. M. Hasyim
Asy’ari, KH. A. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Ini bukan museum
keluarga, melainkan museum bergenre “Dari Ulama untuk Bangsa”. Bagaimana?
Comments